petrichorslines

Ayu Laga.

Dulu, saat Garend baru kembali ke kota kecil ini, dia pernah bilang pada orang-orang yang ditemuinya bahwa Ayu Laga tidak berubah sama sekali. Padahal waktu itu, butuh lebih dari dua tahun bagi Garend untuk punya keberanian kembali kesini. Saat itu, Jevan tidak mengerti kenapa Garend takut sekali untuk kembali.

Tapi sekarang, dia mengerti ketakutan itu. Ternyata, bukan kota ini yang membuat Garend takut. Ternyata, apa yang ada di kota ini lah yang membuat kakak dari sahabatnya itu takut. Ayu Laga selalu memeluk seluruh kenangan, baik maupun buruk. Lantas tanpa segan meletupkannya kembali ke udara saat si empunya kenangan kembali memasuki kawasan ini. Setiap sudut Ayu Laga seakan membisikkan kenangan apa yang tersimpan di dalamnya. Menyeret si empunya kenangan untuk masuk pada lubang dalam kenangan dan terpenjara pada masa lalu.

Hal itu lah yang membuat Jevan juga merasa begitu takut untuk kembali menyapa kedamaian yang Ayu Laga selalu tawarkan.

“Lo ngapain sih, Jev, merem begitu? Aneh deh lo.” Jaenandra berkomentar setelah mendapati kawan baiknya tengah menutup kedua matanya dengan lengan.

Jevan mengabaikan pertanyaan Jaenandra. Bibirnya yang pucat terus bergumam lirih mengikuti irama lagu. Laki-laki itu berusaha mendistraksi dirinya sendiri sejak mulai memasuki gerbang Ayu Laga. Jevan mendengarkan lagu kencang-kencang karena dia tidak menginginkan kenangan-kenangan yang Ayu Laga teriakkan padanya menambah luka pada hatinya yang sudah penuh luka gores. Jevan menutup kedua matanya, karena sebisa mungkin, dia tidak ingin melihat setiap sudut Ayu Laga yang seakan siap memutar kenangan miliknya dan si gadis cantik yang tinggal di kota ini. Pagi tadi, Jevan bahkan harus memohon-mohon pada Jaenandra melalui panggilan telepon, agar Jaenandra mau memberinya tumpangan untuk sampai ke Ayu Laga. Jevan tahu benar, bahwa mengendarai mobilnya sendiri dan mengarahkannya ke Ayu Laga hanya akan membawa kembali kebiasaan lama yang selalu dia lakukan.

Jevan benar-benar serius dalam mendistraksi dirinya guna mempersiapkan acting terbaik untuk berhadapan dengan Adzkiya nanti. Jevan tahu benar bahwa ketika ada Adzkiya di hadapannya, dia tidak akan semudah itu menguasai diri dan melanjutkan skenario yang telah dia buat. Karena itu, tidak akan dibiarkannya kenangan indahnya bersama Adzkiya di kota ini mengambil alih logikanya.

“Udah sampe, lo mau turun sambil tetep merem?” Jaenandra bertanya sambil melepas seat belt. Lantas laki-laki itu turun terlebih dahulu dan membuka bagasi mobil, mengeluarkan beberapa bingkisan dan juga travel bag berwarna hitam.

“Ya gak lah!” Jevan menyusul, ikut mengambil travel bag miliknya. “Kiya udah di dalem belum ya?”

“Tuh ada mobil Kak Lucia, berarti udah ada.”

“Kiya, maaf ya.” Jevan bersiap-siap dengan menghembuskan nafasnya, menarik seluruh sisi kejam dalam dirinya untuk menghadapi Adzkiya.

Ketika mereka masuk, keadaan rumah Garend sudah mulai ramai. Di ruang tamu, mereka bertemu dengan Joni dan Tendra yang tengah mengobrol. Di ruang tengah, mereka disambut Tama— Ayah Garend dan Klarisa—serta kedua orang tua Vivian. Setelah bersalaman dan berbasa-basi, mereka berdua menuju halaman belakang, tempat dimana acara syukuran akan diadakan.

“Sayang.” Klarisa menyambut suaminya dengan tangan terbuka. Mereka berdua berpelukan, Jaenan juga memberikan kecupan kecil di pelipis Klarisa.

Setelah selesai, Klarisa memeluk Jevan sekilas dan berbisik lirih. “Kak Kiya di dalem kamar Kak Vivian. Lagi gendong Artha.”

Jevan hanya mengangguk sebagai jawaban. Laki-laki itu lantas duduk di salah satu kursi dan mengeluarkan rokok. Selang beberapa menit, Jaenandra ikut duduk bersamanya setelah menyapa Garend dan Vivian di kamar—Jevan sengaja tidak ikut ke kamar Vivian karena dia belum siap bertemu dengan Adzkiya. Mereka lalu mengobrol tentang banyak hal untuk membunuh waktu.

Menjelang sore, lampu-lampu taman dinyalakan. Menyajikan taman yang temaram di bawah teduhnya langit Ayu Laga. Angin mulai berhembus mesra, membawa hawa dingin dari perbukitan. Ketika itu, nampak Adzkiya berjalan keluar dari dapur menuju taman. Sisa-sisa sinar matahari yang nyaris orange menyinari parasnya yang ayu. Rambut Adzkiya yang dibiarkan tergerai, tersibak angin sore. Langkah kaki yang diambil dengan anggun membuat Adzkiya menjadi satu-satunya objek yang menarik atensi Jevan tanpa disadari.

Gadis itu mengenakan kaus putih polos yang dipadukan dengan rok selutut berwarna light blue. Kakinya dibungkus sepatu kets berwarna senada dengan kaus yang dikenakan. Adzkiya memoles sedikit wajahnya dengan riasan hingga terlihat segar dan cantik. Tubuhnya memang sedikit kurus dari terakhir kali Jevan lihat, tapi tetap tidak mengurangi daya tarik Adzkiya yang memang kuat. Di belakangnya, Erick menyusul. Mereka lalu tampak mengobrol sambil menuju sebuah meja tempat seluruh makanan disajikan.

“Akrab banget,” komentar Jaenandra merujuk pada Adzkiya dan Erick. “Mana Kak Kiya cakep banget lagi. Lo gak pengen kesana dan meluk dia?”

Sungguh, Jevan ingin sekali menyumpal mulut Jaenandra saat ini.

Btw, kemarin perasaan Pak Erick rambutnya gondrong deh. Kok sekarang jadi cepak rapi gitu? Jangan-jangan dia tau lagi kalau Kak Kiya sukanya cowok yang rambutnya rapi, makanya dia potong rambut.”

Masih lekat di ingatan Jevan tentang fakta yang baru diutarakan Jaenandra itu. Ya, Adzkiya tidak menyukai pria berambut panjang. Maka dulu, saat masih bersamanya, Adzkiya akan mengelus pelan rambut Jevan yang sudah memanjang dan merayunya agar mau memangkas rambut panjangnya itu. Elusan lembut yang Adzkiya berikan bahkan masih bisa Jevan rasakan di tiap helai rambutnya. Jevan merindukan elusan itu, juga elusan yang selalu Adzkiya berikan pada lengannya. Jevan rindu semunya. Jevan rindu Adzkiya.

“Eh, eh, liat tuh Pak Erick ngelepas jaketnya terus dipakein ke Kak Kiya.” Jaenandra berucap pelan namun menggebu. Dipukulnya paha Jevan agar mengikuti arah pandangannya.

Karena kesal, Jevan dengan sengaja menghembuskan asap rokok ke arah wajah Jaenandra dan membuat laki-laki itu terbatuk.

“Anjing lo.”

“Diem makanya.” Jevan menggertak. “Gue mau ke dalem deh, mau nengokin anak Bang Garend.”

Lantas Jevan menekan putung rokoknya ke asbak agar apinya padam lalu membuangnya. Saat Jevan berdiri, Jaenandra dengan cepat menahannya. “Lo abis ngerokok, Nyet. Jangan dulu. Udah sini aja dulu deh, liatin Kak Kiya sama Pak Erick.”

Benar juga, nikotin pasti menempel di pakaiannya. Jevan tidak ingin si kecil Caka dan Artha yang belum dia lihat wujudnya itu terkena efek buruk dari kebiasaan merokoknya.

Jevan kembali duduk, membuang pandangannya ke arah lain. “Duduk disininya sih gak papa ya, Jaen. Tapi kalau liatin merekanya gak deh, makasih.”

Jaenandra terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Jevan yang merunduk. Kemarin, mereka baru saja berdebat mengenai sikap Jevan yang tetap pada pendiriannya untuk pura-pura lupa akan Adzkiya. Tapi hari ini, kawannya itu tampak seperti ingin sekali menarik kerah kaus yang Erick kenakan dan menjauhkannya sejauh-jauhnya dari Adzkiya.

“Pak Jevan!” Suara Erick terdengar diiringi suara langkah kaki yang mendekat ke arah Jevan dan Jaenandra duduk.

Oke, ini akan jadi lebih buruk, batin Jaenandra.

Jevan memaksakan senyum menyambut uluran tangan Erick. Padahal, saat ini dia ingin sekali mengumpati laki-laki yang dengan lancang membawa Adzkiya bersamanya itu.

“Pak Jevan apa kabar? Sudah membaik?”

Jevan mengangguk masih sambil tersenyum. “Yah begini saja, Pak. Ngomong-ngomong, Pak Erick kenal Kak Adzkiya?”

Erick tampak kikuk, dia melirik pada Adzkiya dan merasa tidak enak. “Yaaa... Kami kenal. Waktu saya diminta Mas Jaenandra untuk menjaga kamar rawat Pak Jevan, saya beberapa kali bertemu dengan Mbak Kiya yang sedang mengantar bunga di John Medical.”

Jaenandra membuang muka, berusaha menyembunyikan senyum. Dia bahkan tidak tahu lagi sekarang siapa yang sedang berpura-pura. Entah itu Jevan yang tahu ini semua adalah bohong. Entah itu Pak Erick yang harus mengada-ada tentang bagaimana dia mengenal Adzkiya— karena setahunya, Jevan benar-benar lupa bahwa Jevan lah yang membuatnya mengenal Adzkiya. Atau justru Adzkiya yang hanya menatap keduanya dengan tatapan datar. Semua orang di tempat ini larut dalam kebohongan yang mereka buat masing-masing.

“Permisi, ingin minum?” Seorang pelayan menginterupsi mereka semua. Menawarkan beberapa jenis minuman yang dibawa di atas nampan.

Erick mengambil dua gelas minuman, yang satu adalah cairan berwarna merah yang ducampur buah-buahan— mocktail lalu satu gelas lain adalah lemon tea. Lantas dengan maksud baik, Erick menawarkan lemon tea yang diambilnya pada Adzkiya.

Gadis itu nampak ragu beberapa saat, lalu saat Adzkiya sudah hampir menyentuh gelasnya, Jevan berkata pelan, “Kak Kiya gak suka lemon tea, Pak Erick.”

Jaenandra bingung, Erick dan Jevan saling tatap, sementara Adzkiya menatap Jevan dengan sebelah bibir terangakat. Sebuah senyum yang penuh arti.

Hanya ada lima orang yang tahu tentang Adzkiya yang tidak pernah menyukai lemon tea. Sagara, Garend, Klarisa, Lucia dan... Jevan.

Entah apapun yang terjadi pada salah satu manusia di bumi yang indah ini, keadaan di sekitarnya akan tetap sama. Matahari masih selalu terbit dari timur dan terbenam di barat, air laut masih akan mengirimkan ombaknya menyapa pantai dan mengecup bebatuan di atas pasir putih yang luas, bahkan segala hal yang erat kaitannya dengan manusiapun akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana kehidupan Jevander paska hari itu. Dia tertunduk lesu dan merasa dunianya runtuh, namun ketika dia mendongak, kehidupan sekitarnya tidak ada yang berubah. Dunia tidak ikut sedih bersamanya. Dunia terus berjalan dan mengharuskan dia tertatih-tatih menyeimbanginnya.

Tubuh Jevander mengurus, cekung matanya memprihatinkan, tatapannya sering tidak fokus bahkan kosong. Dia tidak lagi menjadi sosok yang gemar berkumpul dengan kawan-kawannya. Jevander lebih sering menarik diri dari kerumunan dan menghabiskan sisa harinya di kamarnya yang pengap— karena tidak sedikitpun udara dan cahaya dia biarkan masuk. Rambutnya panjang menutupi dahi, tidak tertata, dibiarkan berantakan bahkan ketika dia pergi ke kantor. Asupan kopi menggantikan segala bentuk makanan yang seharusnya masuk ke dalam perutnya yang meronta minta diisi. Jevander terlihat seperti jiwa mati yang terperangkap dalam senggok raga yang enggan melanjutkan hidup. Kawan-kawannya selalu meneleponnya tiap pagi, memastikan bahwa pria yang tengah patah hati itu dalam keadaan baik-baik saja, meskipun yaahh, tidak juga.

Ketukan pada pintu membuat Jevander menoleh sekilas. Larasati muncul dari sana, membawa sebuah berkas atau entah apapun itu, di tangannya. “Permisi, Pak, ini daftar menu makanan untuk meeting malam ini. Silahkan Bapak pilih, nanti saya pesankan.”

“Saya gak makan, Ras. Nanti selesai meeting saya langsung balik aja.”

Larasari, Personal Assistant Jevander, tersenyum lembut. “Pak, sejak pagi Bapak belum makan apa-apa. Sebaiknya Bapak makan malam, ya.”

Masih dengan senyumnya, Larasati menunggu bibir Jevander terbuka untuk mengatakan setidaknya satu menu yang pria itu ingin makan. Namun sayang, hingga beberapa menit terlewat, Jevander tetap tidak mengatakan apa-apa. Senyuman Larasati berubah menjadi raut khawatir. “Sudah satu bulan sejak kembali dari Ayu Laga, Bapak hanya minum kopi dan jarang sekali makan. Bapak masih dalam tahap pemulihan, tidak baik untuk terus-menerus seperti ini, Pak.”

“Saya gak bisa makan, Ras. Saya bahkan gak tau keadaan Kiya gimana sekarang. Dia mungkin sama seperti saya, atau bahkan lebih buruk. Gimana bisa saya nikmatin kehidupan saya seperti sebelumnya setelah saya bikin Kiya hancur kayak kemarin?” Jevander berkata lirih sekali, tanpa memandang Larasati. Matanya masih tertaut pada jajaran gedung tinggi yang dapat dilihat dari jendela ruangannya.

“Bapak gak ingin jujur ke Mbak Adzkiya saja?”

“Kejujuran saya cuma akan bikin dia hidup dalam rasa gak nyaman. Papa saya gak akan berhenti usik dia kalau saya masih keras kepala untuk terus sama Kiya, Ras.”

“Tapi setidaknya Pak Jevan dan Mbak Kiya bisa saling memberi kekuatan, kayak dulu. Kalau seperti ini, yang ada cuma rasa sakit, Pak. Mbak Kiya merasa Pak Jevan meninggalkan dan melupakan dia gitu aja setelah insiden itu, dan Bapak... Bapak harus hidup dalam kebohongan yang Bapak mulai.”

Desahan panjang keluar dari bibir Jevander yang pucat. Larasati bahkan bisa melihat punggung pria itu semakin merunduk. “Saya bahkan gak tau, Ras, apa yang harus saya lakuin kalau Papa saya masih ada. Semuanya salah. Gak akan pernah ada yang benar selama Papa saya masih ada.”

Larasati akhirnya diam. Membiarkan atasannya itu larut dalam kemelut fikirannya, lagi dan lagi. Saat gadis itu hendak berbalik untuk kembali ke ruangannya, pintu ruangan Jevander terbuka lebih dulu.

“Om Pan!” Sesosok pria kecil muncul dengan senyumnya yang menggemaskan. Pipinya merah seperti mengenakan blush on alami. Kaki-kaki kecilnya berlari ke arah meja kerja Jevander. “Om Pan, Gio bawa mam!”

Jevander berdiri dari kursinya, dengan senyuman yang terselip sedikit rasa bingung, pria itu merengkuh si pria kecil. “Loh Gio kesini sama siapa, Nak?”

“Papa,” jawab Sergio riang. Memamerkan giginya yang seperti biji mentimun.

“Terus Papa mana, Nak?”

Ngobol cama Om Wan, di depan ada Om Wan juga.” Celotehan Sergio masih belum begitu jelas, tapi cukup baik untuk anak seusianya.

Jevander membawa Sergio ke sofa yang terletak di dekat pintu masuk. Si pria dewasa mendudukkan Sergio di sampingnya. “Om Pan, Gio bawa mam. Mam cama Gio ya, Om.”

Jevander terpaku, ditatapnya wajah tampan Sergio yang menuruni wajah sempurna kedua orangtuanya. Dulu, pernah sekali waktu Jevander dan Adzkiya sedang berbaring berpelukan di antara pekatnya malam Ayu Laga. Gadis yang begitu dicintainya itu berbisik lirih bahwa dia ingin sekali anak setampan Sergio. Saat itu, dengan sombong, Jevander membanggakan dirinya bahwa dia bisa memberi seluruh gennya untuk anak mereka agar menyamai ketampanan Sergio. Namun sekarang, hari ini, Jevander mempertanyakan kemana perginya kesombongannya itu. Karena jangankan untuk berbagi gen, untuk bisa hidup bersama dengan Adzkiya saja, Jevander sudah kehilangan kepercayaan diri.

“Jep!” Suara itu menyentak dari balik punggung Jevander, membuat si kecil Sergio melongok dan kembali tersenyum.

“Om Wan!”

Yang disapa langsung membalas senyum gemas Sergio. Juan juga langsung mendekat dan duduk berjongkok di depan keponakan kesayangannya itu. “Iiiihhh Gio bawa makanan buat Om Wan juga nggak?” tanyanya sambil menggelitik tubuh kecil Sergio.

Sergio mengangguk lalu menunjuk kotak makanan yang baru saja diletakkan oleh papanya di meja. “Mama macak, Om.”

“Makan, Jev.” Raechan ikut duduk di sebalah Jevander dan mulai membuka kotak makanan itu.

Jevander menggeleng lemah, kembali menyandarkan punggungnya pada sofa. “Gak laper gue, Rae.”

“Jangan gitu, lo udah kurus banget gitu. Ini bini gue yang masak, pake resep dari mama lo, jadi lo harus makan.” Raechan menarik pelan telapak tangan Jevander dan meletakkan kotak makan di sana. Si pria yang dipaksa makan hanya meliriknya ogah-ogahan. Bukan bermaksud tidak menghargai, tapi Jevander benar-benar merasa tidak pantas untuk makan.

“Gio cuapin ya, Om.” Sergio bersuara sambil sebelah tangannya meraih sendok. Diambilnya sepucuk kecil nasi dari kotak makanan dan diarahkan ke mulut Jevander. “Aaaaa Om, ayo mam.”

Jevander menegakkan punggung, menatap wajah polos Sergio yang menunggunya menyambut makanan yang ditawarkan padanya. Lalu dengan susah payah, Jevander akhirnya membuka mulut. Membiarkan si kecil Sergio menyuapkan sepucuk nasi ke mulutnya.

Pintel deh Om Pan!” Sergio terkekeh, tangan kecilnya mengambil suapan selanjutnya. “Kata Mama, Om Pan halus abicin, bial gak cakit. Gio gak mau om Pan cakit.”

Juan dan Raechan hanya menyaksikan adegan itu dengan keadaan hati yang aneh. Sergio terus menyuapi Jevander dengan suapan kecil dan kawan mereka itu terus setia membuka mulutnya tiap kali suapan Sergio datang. Mereka tampak serasi meskipun raut muka mereka berdua berbanding terbalik. Sergio mempertontonkan wajah polos dan antusias khas anak-anak, sedangkan Jevander, wajah laki-laki itu tersenyum, namun penuh luka di baliknya. Kedua mata Jevander berair, nampak bisa tumpah kapan saja. Bibirnya bergetar kala menguyah. Dadanya naik turun mengatur nafas, berusaha mati-matian agar tidak ada air mata yang turun di depan Sergio.

Hati Raechan sakit.

Begitu pula hati Juan.

Tolong jangan tanyakan keadaan hati Jevander.

Semua makanan yang masuk ke mulutnya seperti benda tajam yang mengoyak kerongkongannya. Tiap kali Jevander menelan nasi yang disuapkan Sergio, rasanya seperti menelan silet, paku dan entah apapun itu. Tatapan polos Sergio membuat semuanya justru semakin sakit. Lelehan air mata turun melintasi pipi Jevander yang kurus. Dia tidak sanggup lagi menahannya.

“Om Pan kok nangis?” Sergio meletakkan sendok pada kotak makanan. Jari tangannya yang mungil menyentuh sisi wajah Jevander dan mengusir pergi tetesan air mata menyedihkan itu. “Om Pan mau pelmen?”

Jevander menggeleng, ditangkupnya jari-jari mungil Sergio yang masih setia menyentuh sisi wajahnya. “Om Pan mau peluk Gio aja boleh?”

Si kecil mengangguk, menabrakkan tubuhnya pada tubuh Jevander yang kian hari kian kurus. Tetesan air mata Jevander makin deras. Dipeluknya erat-erat tubuh kecil Sergio untuk menemukan ketenangan.

“Nanti Om makan pelmen ya bial gak sedih lagi,” bisik Sergio pada omnya yang hanya mengangguk lemah.

Andai aja sedihnya Om bisa ilang dengan makan permen, om pasti beli seribu permen untuk Om makan, Gio, Jevander berbisik lirih di dalam hatinya dengan pilu.

Jevander's Pov

Goodbye heartbreak, goodbye home Goodbye dive bar I used to go I gotta get out Out of this goodbye town Goodbye happy, hello regret Hello, all the things I wished I said I'm going down Down in this goodbye town Where am I supposed to go

Aku penasaran, apa yang ada pada benak Aaron Lewis saat menyanyikan lagu ini? Apakah dia merasakan sakit luar biasa macam yang aku rasakan? Merasakankah dia kegundahan yang menumpuk macam aku begini? Aku juga penasaran, apakah town yang dia bayangkan kala menyanyikan lagu ini adalah negara seindah Ayu Laga? Apakah town yang ada pada liriknya itu juga menyimpan sejuta kenangan seperti Ayu Laga menyimpan ceritaku dan Adzkiya pada tiap tetes embun paginya?

Lirik lagu Goodbye Town terus mengalun pelan di telingaku saat derap langkah patah-patah aku paksakan di lorong Ayu Laga yang kosong. Sebuah tas jinjing tidak terlalu berat kubawa di tangan kananku. Tas yang sejak tadi ingin direbut oleh Juan untuk dibawa saja olehnya— takut aku masih belum terlalu kuat untuk hal remeh semacam ini katanya. Tidakkah Juan tahu bahwa kawannya ini telah lama memanggul beban yang beratnya berkali lipat dari pada tas jinjing berisi pakaiannya ini, di pundaknya? Atau mungkinkah Juan justru tahu hal itu hingga dia ingin sedikit mengurangi beban kawannya ini? Entahlah, yang kutahu, dia setia menemani aku selama lebih dari dua minggu pengobatanku di John Medical hingga aku diperbolehkan pulang hari ini. Luka-luka ditubuhku telah mengering, bahkan beberapa telah mengelupas dan hilang tanpa meninggalkan jejak.

Namun aku, kawan-kawanku, dan kamu pasti tahu, bahwa ada luka pada diriku yang tidak akan pernah sembuh— selamanya. Luka yang sebentar lagi kian menganga karena aku akan bertemu dengan gadis itu, yabg mungkin untuk terakhir kalinya. Karena setelah aku meninggalkan kota yang sudah seperti rumah untuk aku dan Adzkiya ini, sebisa mungkin aku tidak akan pernah kembali. Kueratkan genggaman tangan kiriku pada ponsel yang masih setia memutar suara Aaron Lewis. Ponsel yang juga menyimpan semua pesan Adzkiya sejak pertama kali aku bertukar pesan dengannya hingga pesan terakhirnya yang kubaca begitu saja tanpa balasan. Pesan yang berisi usaha-usahanya untuk membuat aku ingat tentang kami. Pesan yang tiap kali aku membacanya selalu mengundang butir air mataku untuk menetes, air mata yang membuatku sadar bahwa sedalam itu lah perasaan yang aku miliki untuk gadis yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menjadi milikku karena kejamnya takdir itu.

Suara Aaron Lewis digantikan oleh suara Johnny Stimson menyanyikan lagunya yang berjudul Flower saat aku tiba di halaman rumah sakit. Lagu dengan nada sendu itu seakan menjadi lagu pengiring saat mataku tanpa sengaja bersirobok dengan manik milik Adzkiya. Gadis itu, dia berdiri di antara kawan-kawanku, mengenakan hoodie abu-abu milikku. Dari tempatku berdiri, melalui angin yang berhembus lembut, aku bisa mencium aroma wewangian familiar yang berasal dari tubuh Adzkiya. Aroma parfumku. Nampaknya Adzkiya sengaja menyemprotkan banyak-banyak pada hoodie yang dikenakannya, mungkin dengan tujuan agar aku bisa mengingatnya. Gadis itu, gadis yang paling kusayangi itu masih berusaha membuatku ingat.

Tahukah dia, Tuhan, bahwa dia melakukan hal yang sia-sia untuk sandiwaraku yang kejam ini? Tahukah dia, Tuhan, bahwa dia adalah hal yang tidak mungkin aku lupakan bahkan ketika aku tanpa sengaja menghancurkan kepalaku dan membuat otakku terburai?

Berusaha mengabaikan Adzkiya, aku melepas benda kecil yang tadi menyumpal telingaku dan membuat suara Johnny Stimson hilang dari pendengaranku. Aku berjalan mendekat pada Bang Garend yang terlihat tampan dalam balutan jas dokternya untuk berpamitan. Kupeluk dia dan aku mengucapkan banyak terimakasih atas segala bentuk perawatannya selama ini. Tidak lupa aku berterima kasih juga pada Bang Juwan. Kak Vivian dan Kak Valen tidak ada di sana jadi aku hanya menitipkan salam. Sebuah bingkisan kecil Bang Juwan ulurkan padaku sebagai balasan dari salam itu, kado kecil untuk kesembuhanku katanya. Aku menerimanya lalu berjalan ke arah mobil Juan tanpa menoleh sama sekali. Berusaha untuk tidak menatap manik mata sendu itu lagi.

Kawan-kawanku yang lain juga masuk ke mobilnya masing-masing tanpa mengatakan sepatah katapun untuk Adzkiya.

“Gue aja yang nyetir ya, Wan?” tawarku pada Juan yang dibalasnya dengan gelengan pelan.

“Gue aja,” katanya tegas. “Lo yakin gak mau nyapa Kak Kiya buat terakhir kalinya, Jep?”

“Lebih baik kayak gini.”

“Yaudah, masuk gih.”

Aku menurut, masuk ke dalam mobil Juan dan menatapnya yang mulai menyalakan mesin mobil. Tidak kutengok lagi bangunan megah John Medical. Tidak berani lebih tepatnya. Aku takut air mata sialan yang terus menetes tiap malam di ranjang rawatku akan menetes lagi bahkan sebelum mobil Juan bergerak untuk menjauhi Ayu Laga.

“Kita jalan, ya.” Juan berkata pelan, seiring kakinya yang mulai menginjak gas dan menyebabkan roda-roda mobilnya bergerak pelan.

Iring-iringan mobil Juan dan mobil kawan-kawanku yang lain mulai menjelajahi jalanan bebatuan di antara puluhan hektar kebun teh. Jalanan yang sama dengan yang aku pijaki kala aku menggendong Adzkiya di punggungku malam itu. Setelah melewati jalanan berbatu, mobil kami berbelok ke jalanan utama. Tolong jangan ingatkan aku ada toko bunga apa di sana, karena tanpa kalian ingatkan sekalipun, mataku sudah lebih dulu tertaut pada jendela kaca Kiya Florist. Tempat dimana aku biasa menatap Adzkiya dari luar toko.

Tuhan, bisakah aku merelakan semua ini sesuai dengan rencanaku? Bisakah aku benar-benar mengabaikan Adzkiya yang terluka karena sikap acuhku itu?

Tapi engaku yang paling tahu, kan, Tuhanku? Bahwa aku melakukan ini semua demi kebaiakannya. Demi keamanannya. Demi dia.

Aku bukan sengaja menyakiti gadis baik itu, Tuhan. Bahkan tidak pernah terbesit sama sekalipun untuk melakukannya.

Maka jika ini adalah memang sebenar-benarnya jalan dari Engkau untuk kami berpisah, maka tolong permudah Adzkiya untuk merelakan aku dan tolong teguhkan hatiku untuk tidak mendambakan dirinya terus-menerus.

Tolong kami, Tuhan. Aku mohon.

“Lo istirahat aja, Jep. Nanti kalau udah sampe Jakarta gue bangunin.”

Aku menutup mataku tanpa menjawab Juan. Entahlah, aku merasa bahwa jika mulutku mengelurkan suara, air mata akan ikut bersamanya. Maka aku memilih menutup mulutku rapat-rapat dan hanya melakukan apa saja yang Juan suruh.

Ketika aku merasa kami sudah memasuki jalan TOL, aku mendengar sebuah lagu yang mengalun merdu dari pemutar musik di mobil Juan. Kali ini lagu milik Coldplay berjudul Let Somebody Go. Aku tidak tahu Juan memilih lagu ini secara acak atau sengaja, tapi aku bisa meresapi tiap bait dalam lagu ini.

We had a kind of love, I thought that it would never end Oh my lover, oh my other, oh my friend

Benar, aku juga tidak pernah berfikir bahwa kisahku dan Adzkiya akan berakhir seperti ini.

We talked around in circles, and we talked around and then I loved you to the moon and back again

Benar, aku mencintai Adzkiya seperti itu.

You gave everything this golden glow Now turn off all the stars 'cause this I know That it hurts like so To let somebody go

Ya, melepaskan seseorang memang semenyakitkan ini. Sakit, sakit sekali.

Aair mata yang kutahan, meloloskan diri. Suara Christ Martin dan Selena Gomez seakan menusuk-nusuk relung kalbuku lewat tiap lirik yang mereka lantunkan. Mataku masih terpejam, namun air mata meleleh membasahi pipiku lagi dan lagi.

Dari sekian lirik yang menyakitkan itu, ada satu bait yang paling nenyakitiku, yaitu...

Now, without you, what on earth am I to do?

Karena benar, tanpa Adzkiya, aku tidak tahu harus apa.

**

Adzkiya's Pov

Hoodie abu-abu miliknya.

Parfum miliknya.

Aku telah memadukan keduanya.

Tapi laki-laki itu sama sekali tidak menganggap aku ada. Mengabaikan. Berlalu begitu saja memasuki mobil kawannya. Dari pada dilupakan, aku lebih merasa dijauhi oleh Jevan. Jevanku. Jevan yang rasanya sulit sekali untuk aku gapai sekarang ini. Air mataku rasanya telah kering, karena saat nelihatnya pergipun aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tidak ada air mata lagi yang menetes membahasahi kedua pipiku yang dulu gemar diciumi oleh kekasihku.

“Kak, aku anter pulang, ya?” Ucapan Juwan menarik aku dari kegundahanku, menyadarkan aku bahwa iring-iringan Jevan dan kawan-kawannya telah lenyap di tikungan jalan.

“Gak usah, Wu. Kakak jalan aja.”

Maka di sinilah aku sekarang, di jalan berbatu yang sama dengan yang aku lewati bersama Jevan malam itu. Saat Jevan menggedongku di punggungnya yang kekar. Jalanan ini juga yang selalu Jevan lalui dengan mobil hitamnya tiap akhir pekan.

Aku ingin sekali bertanya pada bebatuan di bawah kakiku ini, akankah mereka merindui roda mobil Jevan sebagaimana aku akan merindui pengendaranya di setiap hari-hariku? Akankah mereka bertanya-tanya kenapa roda-roda itu tidak lagi datang? Akankah mereka seperti aku yang menyimpan sejuta pertanyaan di kepalaku?

Setelah ini, aku harus apa, ya? Akhir pekan akan aku isi dengan apa, ya? Tiap pagi aku harus menanti kabar dari siapa, ya? Dan sejuta pertanyaan lainnya hingga kepalaku pusing.

Langkah kaki yang kuambil pelan-pelan ternyata tetap cepat mengantarkan aku ke depan halaman rumahku. Aku disapa oleh beberapa orang yang selama ini selalu menjagaku, yang diketuai oleh Pak Erick.

“Mbak Kiya,” sapanya pelan. “Kami mau pamit.”

“Pamit?” tanyaku seraya mendekati mereka.

“Tadi Mas Jaenandra telfon saya, katanya Pak Alex telah menarik mundur orang-orang suruhannya, jadi Mas Jaenandra bilang keadaan sudah aman. Mbak Kiya gak perlu takut lagi ada di kota ini. Tapi saya gak tau, Mbak, saya gak tau harus senang atau sedih sama kenyataan ini.” Pak Erick menunduk dalam, sama sekali tidak menatapku. “Entah kenapa, saya merasa lebih baik saya terus menjaga Mbak Kiya dari orang-orang itu atas suruhan Mas Jevan dari pada harus seperti ini. Saya...”

“Gak papa, Pak Erick,” potongku cepat. “Kita berdoa aja semoga keadaan Jevan cepat membaik.”

Angin berhembus dari perbukitan, membawa udara basah yang menambah kesenduan suasana.

“Makasih selama ini sudah menjaga saya, maaf kalau selama ini saya kurang memperlakukan Pak Erick dan yang lainnya dengan baik.” Aku memaksakan senyum, meskipun aku tahu itu bahkan tampak palsu bagi siapapun. “Selamat jalan, semoga sampai di Jakarta dengan selamat.”

Pak Erick mengangkat mukanya dan balas menatapku. Laki-laki yang selalu mengenakan setelan jas serba hitam itu mengulurkan tangannya dan kubalas dalam sedetik.

“Saya senang pernah ada disini untuk melindungi Kak Kiya, baik-baik ya, Mbak. Jangan segan hubungi saya dan kawan-kawan saya jika butuh apa-apa.”

Setelah itu, aku melepas mereka pergi. Beriring-iringan menaiki tiga mobil besar yang menggerung seram.

Selesai, semuanya telah selesai.

Beginikah akhir kisahku?

Saat kecil dulu, ketika ditanya oleh Ibu Panti, hal apa yang paling aku takuti, aku akan menjawab dengan lantang bahwa hal yang paling aku takuti adalah hantu. Hantu apa saja, hantu yang mungkin saja ada di belakangku saat aku berjalan di lorong gedung tua panti asuhan tempatku tinggal, atau bisa saja jenis hantu yang merangkak keluar dari kolong ranjangku dengan mata melotot. Lalu, saat akhirnya aku berangsur-angsur tumbuh dewasa, aku menyadari bahwa ada banyak sekali hal yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu itu. Saat aku dewasa, aku mulai sadar bahwa aku lebih takut ditinggalkan oleh orang yang berarti dalam hidupku dari pada berpapasan dengan hantu koridor. Aku juga sadar bahwa lebih menakutkan untuk dilupakan oleh orang yang aku cintai daripada mendapati ada hantu di kolong ranjangku.

Dan benar saja, tubuhku sekarang gemetar. Seluruh bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Keringat deras mengaliri kening hingga jatuh membentur lantai menimbulkan bunyi yang terasa nyaring di telingaku yang tidak berfungsi. Aku takut. Aku ketakutan. Ponsel di tangan kananku masih menyala, menampilkan pesan dari Klarisa yang masuk beberapa menit lalu.

“Kak, Jevan sadar. Tapi waktu aku bilang mau telfon Kak Kiya, dia nahan aku dan bilang ngapain lo telfon Kak Kiya? Harusnya lo telfon Elen, Ca. Setelah dicek sama Kak Garend, ternyata Jevan kena Amnesia Retrograde dimana beberapa ingatannya hilang. Jevan gak inget kalau Kak Kiya sekarang pacar dia, dia gak inget aku sama Jaenan udah nikah, dia bahkan gak tau siapa Gio. Aku gak tau harus gimana, aku ngabarin Kak Kiya supaya nanti waktu Kak Kiya kesini, Kakak gak kaget liat keadaan Jevan.”

Aku takut. Sekali lagi aku bilang, aku takut. Harus apa aku sekarang? Pergi ke rumah sakit untuk melihat sendiri keadaan Jevan dan membuktikan perkataan Klarisa? Atau sebaiknya aku diam saja di rumah agar terhindar dari sakit hati jikalau yang dikatakan Klarisa adalah benar? Otak dan batinku berperang, argumen ini dan itu berkemelut di otakku. Lalu akhirnya, batinku menang. Aku memutuskan untuk berlari ke John Medical tanpa memperdulikan bahwa sebelah sepatuku terlepas dan entah tertinggal dimana, menyebabkan aku berjalan tertatih-tatih menuju ruang rawat Jevan dengan keadaan kaki yang terluka akibat bergesekan dengan rerumputan dan mungkin saja ilalang tajam.

Ketika aku masuk ke ruangan berbau obat pekat itu, tidak ada sapaan ramah sama sekali. Semua orang menunduk dalam-dalam, seakan enggan membanjiri aku dengan tatapan kasihan. Mengabaikan itu semua, kupaksakan kakiku yang pincang berjalan terus ke dalam, mendekat pada ranjang dan menatap Jevan yang menatapku bingung. Kami bersirobok pandang selama beberapa detik. Bibirku terkunci rapat. Hatiku menjerit memohon agar Jevan menyambutku selayaknya ia yang biasanya. Aku berdoa pada Tuhan bahwa apa yang dikatakan Klarisa adalah gurauan semata. Namu sial, bahkan setelah sekain detik terbuang tanpa arti, wajah Jevan tetap datar saat menatapku. Bibirnya yang pucat itu hanya berkata lirih, “Kok Kak Adzkiya tau gue dirawat? Dikasih tau Bang Garend, ya?”

Lucu. Lucu sekali. Semesta dan takdir tidak pernah kehabisan akal untuk bercanda denganku. Rasanya, tidak ada habisnya guraun yang terus takdir lontarkan pada aku yang sudah seperti raga kosong tanpa nyawa ini. Setelah ini apa lagi? SETELAH INI APA LAGI?

“Kak, kok diem aja?” Jevan bertanya lagi, masih dengan suara lemah.

Aku tidak kunjung menjawab, bibirku bergetar. Luka menganga pada hatiku seakan dikucuri perasaan jeruk limau hingga rasa nyerinya begitu gila. Aku mencoba menatap ke semua orang yang ada disana dengan padangan kaburku. Tapi mereka semua seperti manekin bisu yang enggan bicara. Tidak ada satu pasang matapun yang memberi aku kekuatan. Juga tidak ada sepatah katapum dari mulut mereka yang memberiku kekuatan.

Pada akhirnya, aku hanya memiliki diriku sendiri. Diriku yang sudah melalui banyak hal menyakitkan hingga akhirnya merasa terbiasa. Aku harus menguatkan diriku sendiri. Karena itu, buru-buru kukontrol diriku, kusesap kembali air mata yang hendak turun dan kuusap yang sudah terlanjur tumpah. Aku menatap Jevan dengan pandangan tenang dan berkata, “Iya, tadi dikabarin Garend. Jadi pas anter bunga, gue mampir buat jenguk. Gimana keadaan lo sekarang, Jev?”

Jev

Aku tidak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu semenjak kami bersama— karena dia bilang panggilan itu adalah panggilan dari seluruh kawan-kawannya dan aku bukanlah kawannya. Dia selalu bilang, aku adalah kekasihnya, masa depannya, wanita spesial yang akan menemani sisa umurnya. Tapi lihatlah semuanya sekarang, di mata Jevan, aku bukanlah siapa-siapa lagi yang artinya aku tidak bisa lagi memanggilnya dengan sebuatan Van.

“Baik, Kak. Cuma agak sakit-sakit aja nih, kayaknya Papa mukulinnya kekencengan. Tapi gue lupa deh, gue dipukul karena berulah apa lagi, ya?”

God, he doesnt even remember who made him like this and he doesnt remember the reason behind all of this. Entah harus bersyukur atau mentertawakan diri, aku merasa lega saja bahwa bukan hanya posisiku yang terhapus dari ingatannya.

Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Kuku-kuku jariku memutih seolah tidak ada darah yang mengaliri pergelangan tanganku sangking kencangnya tanganku mengepal. Aku tidak pernah tahu bahwa berusaha kuat akan semenyakitkan ini. Karena sekuat apapun aku berusaha menegarkan diri, ada bagian dari diriku yang hancur berkeping-keping jika aku lebih lama berada disini. Air mata yang tadi sudah kusesap habis kembali ke dalam tubuh melalui pori-poriku, kembali menggenang di pelupuk mata dan siapa memperlakukan diriku dengan kembali luruh.

Karena itu, dengan cepat aku berbalik. Membelakangi Jevan yang masih menatapku datar. “Yaudah, gue balik ke florist deh. Bye, semua.”

Kuseret kakiku yang penuh luka gores keluar dari ruangan Jevan. Tidak ada satupun dari mereka yang menahanku atau setidaknya mengantarkan aku keluar. Semuanya diam. Bahkan sampai aku, seorang diri, melewati lorong-lorong panjang, tidak ada satupun dari mereka yang menyusulku. Air mata sialan itu akhirnya luruh lagi, aku jatuh terduduk di sisi lorong yang sepi. Membungkam bibirku dengan kedua tangan agar eranganku tidak mengganggu siapapun. Aku hancur. Sungguh, aku hancur. Kepercayaan diriku untuk menghadapi Pak Alex bahkan luruh. Biarlah sekarang Pak Alex mentertawakan aku jika dia tahu keadaan anaknya. Aku rasa, Pak Alex justru akan senang dengan keadaan Jevan sekarang. Laki-laki kejam itu tidak perlu lagi susah payah berusaha memisahkan aku dan Jevan karena takdir telah melakukan tugas itu untuknya. Pak Alex akan bersukacita di atas hancurnya satu-satunya kebahagiaanku. Bisa apa aku sekarang, Tuhan?

Lorong panjang John Medical saat itu menjadi satu-satunya saksi betapa pedihnya erangan yang mati-matian aku tahan.

Pagi di Ayu Laga selalu sama. Kabut, udara dingin, suara gemercik dari air terjun nun jauh di perbukitan. Semuanya selalu sama. Orang-orang di Ayu Laga terbiasa memulai kegiatan mereka pada pukul sembilan pagi, saat kabut mulai menipis dan udara dingin perlahan digerus sinar hangat mentari. Di antara pertengkaran udara dingin dan hangat mentari itu, aku berjalan di atas rerumputan basah dengan berjalan kaki, menuju satu-satunya rumah sakit di kota tempatku tinggal ini. Di tangan kiriku, aku menenteng keranjang rotan berisi beberapa tangkai bunga segar yang aku ambil dari florist. Sementara di tangan kiriku aku membawa sebuah paper bag berukuran cukup besar yang berisi makanan dan beberapa buah-buahan potong siap makan, yang sengaja aku siapkan untuk Klarisa dan Juan. Tiga orang petugas kebersihan menyambut kedatanganku dengan senyum. Mereka tidak lagi menanyakan tujuan kedatanganku karena mereka telah terbiasa melihat aku berkeliaran di John Medical sepagi ini— seringnya untuk mengantar pesanan bunga. Setelah membalas senyum ketiganya, aku berlalu membelah koridor rumah sakit yang lengang. Menuju sebuah ruangan dimana aku akan menghabiskan sisa hariku.

“Pagi, Sayang.” Aku menyapa Jevan yang masih terbaring tanpa daya di atas ranjang. Matanya masih menutup rapat seakan enggan menatap dunia yang telah berlaku begitu keji padanya.

Kuletakkan beberapa tangkai bunga yang aku bawa ke atas nakas, tepat di sebelah ranjang Jevan. Aku kemudian duduk di kursi yang setia berada di sisi ranjang. “Aku bawa bunga buat kamu, tapi karena kamu gak pernah tau bunga kesukaan kamu apa, jadi aku bawain aja bunga kesukaan mama kamu.”

Aku bermonolog lagi, menceritakan tentang bagaimana dia bisa sampai disini. Aku ceritakan padanya bahwa Markio sempat kebingungan untuk meyakinkan pihak Lagom Hospital akan mengizinkannya memindahkan Jevan ke rumah sakit yang dianggap kecil ini. Aku ceritakan bahwa Jaenandra dan Raechan sempat kembali menangis ketika mereka harus kembali ke Jakarta dan meninggalkan Jevan disini.

“Kamu harus liat semerah apa mata Raechan, Van. Temen kamu itu, yang kamu bilang temen yang bangsatnya sama kaya kamu, dia nangis di pelukan Kayana.” Aku berbicara sembari menciumi tangannya yang pucat. “Oh iya, kemarin Gio juga ikut kesini. Dia manggilin nama kamu terus. Om Pan, Om Pan, gitu.”

Mata Jevan memang tertutup, tapi aku meyakinkan diriku bahwa Jevan pasti bisa mendengarku. Aku yakin sekali bahwa dalam keadaan lemahnya ini, orang yang begitu aku sayangi ini tengah berjuang untuk hidupnya. Aku mendongak saat aku merasakan dorongan panas memenuhi mataku yang sepertinya mulai memerah. Kutahan mati-matian air mata sialan itu agar tidak kembali menggenang. Sudah cukup, sudah cukup Jevan mendengar tangisanku.

“Van, waktu itu kamu bilang kan, kamu takut kalau weekend ini gak bisa ke Ayu Laga? But look where you are now, kamu udah di Ayu Laga, padahal ini masih weekday.” Aku memaksakan tawa, berusaha mengalahkan suara mesin menyebalkan yang selalu mengingatkanku tentang betapa parahnya keadaan Jevan. “Laras nanti katanya mau kesini, dia mau marahin kamu karena gak masuk kantor.”

Kutatap wajah Jevan yang masih penuh luka— meskipun beberapa mulai mengering. Aku menyentuh luka-luka itu sambil terus memohon pada Tuhan agar Ia berbaik hati untuk memberi Jevan lebih banyak waktu untuk bersamaku. Saat kusentuh pipinya yang pucat, aku teringat bahwa kedua pipi itu sering menjadi sasaranku ketika Jevan sedang bersikap menyebalkan. Biasanya, aku akan menggigit kedua pipi menggemaskan itu kala Jevan terus menggangguku dengan keisengannya yang seakan tidak ada habisnya. Tanganku turun, menyentuh bahunya yang bidang, tempat aku biasanya mendaratkan kecupan-kecupanku saat dia usai mandi— karena di sanalah Jevan menyimpan aroma terbaiknya.

Menyakitkan, segalanya terasa menyakitkan saat aku tidak lagi bisa melakukan apa yang selalu kami lakukan seperti hari-hari lalu. Aku rindu Jevan, aku rindu Jevanku. Aku rindu dia yang selalu mengirimkan foto-foto dirinya setiap pagi atau kapanpun saat dia mau. Aku rindu dia yang selalu menelfonku tanpa henti saat aku tidak kunjung membalas pesannya.

Sekarang kenapa Jevanku jadi seperti ini? Jangankan untuk mengangguku, menggerakkan tangannya saja dia tidak mampu. Jevanku baik-baik saja tiga malam lalu. Kenapa bajingan-bajingan itu merenggut Jevanku dengan cara seperti ini?

“Van, mau sampai kapan tidurnya?” tanyaku pelan, tentu saja tidak akan mendapat jawaban. Tapi aku ingin bertanya saja. Barangkali dengan begitu, Tuhan akan iba.

Tanpa aku sadari, air mata yang sudah aku tahan mati-matian tetap luruh juga. Membasahi kedua pipiku yang semakin kurus karena belum ada sebutir nasipun yang masuk ke perutku sejak detik pertama aku mengetahui keadaan Jevan.

Van, aku nangis, loh. Kamu gak mau usap air mata aku? Katanya kamu benci liat aku nangis, sekarang kok diem aja? Ayo, Van, gerakin tangan kamu, usap air mata aku.

Batinku menjerit-jerit mengulang kalimat itu. Meskipun di ruangan ini tetap sunyi karena tenggorokanku terlalu sakit, akibat terlalu banyak menangis, untuk bisa kuajak bekerjasana mengeluarkan suara.

Suara ketukan pintu membuat aku buru-buru mengusap air mata dan memaksakan senyum. Menyambut Klarisa dan Juan yang masuk ke ruangan diikuti Garend dan Juwan di belakang mereka.

“Pagi, Kak.” Klarisa berjalan ke arahku dan memelukku singkat kemudian meletakkan sebuah speaker kecil di atas nakas.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Terapi musik untuk Jevan, Ki.” Garend menyambar pertanyaanku. “Mudah-mudahan setelah ini ada perkembangan baik, kita tunggu sama-sama, ya?”

Aku hanya mengangguk. Terlalu lemah untuk berkata lebih banyak.

“Aku udah nambahin lagu kesukaan Jevan kalau lagi kumpul sama kita-kita di playlist ini, Kak Kiya tolong tambahin lagu-lagu yang sering Kak Kiya dengerin waktu lagi sama Jevan juga, ya.”

Hanya perlu sepersekian detik bagiku untuk menambahkan satu lagu yang selalu aku dengarkan bersama Jevan. Lagu yang Jevan bilang adalah penggambaran aku dan dia. Lagu yang seakan mewakili kami.

Rewrite The Stars milik Zac Efron dan Zendaya.

Lagu tentang keyakinan Jevan akan hubungan kami dan tentang keyakinanku yang terhalang realita untuk bersamanya. Jevan selalu meneriakkan lirik So who can stop me if I decide that you are my destiny? Dan aku akan membalasnya dengan meneriakkan lirik But there are mountains and there are doors that we can't walk through. Penggambaran yang sempurna, bukan?

Air mata menghalangi pandanganku lagi. Tanganku gemetar kala mengembalikkan ponsel Klarisa kepada pemiliknya. Dayaku tidak ada, kekuatanku lenyap. Aku butuh Jevan. Aku butuh dekapannya yang senantiasa melengkapi aku. Aku butuh kalimatnya yang selalu menenangkan. Aku butuh segalanya tentang Jevan, Jevanku.

Bau obat-obatan dan bunyi berbagai alat seakan menggebrak seluruh indra dalam diriku yang bekerja setengah hati. Seluruh dinding ruangan yang dicat putih semakin mengaburkan pandanganku yang telah terhalang air mata yang menumpuk di pelupuk mata. Lututku seakan enggan diajak bekerja sama untuk mendekat pada ranjang dimana ada seseorang yang begitu aku cintai terbaring di sana. Seluruh persendianku terasa nyeri, rasanya aku tidak mampu lagi menopang tubuhku jika tidak dengan bantuan Jaenandra yang sejak tadi setia memegangiku. Pipiku memerah karena aku berkali-kali menampar pipiku guna meyakinkan diri bahwa apa yang aku hadapi sekarang bukanlah mimpi. Di sudut ruangan, samar-samar, aku mendengar isakan tangis yang begitu pilu. Aku yakin suara itu berasal dari kawan-kawan Jevan yang sudah tidak perlu lagi aku jelaskan betapa dekatnya mereka.

Jaenandra membimbingku untuk duduk di sisi ranjang, begitu dekat dengan Jevan hingga aku bisa menyentuh lengannya yang penuh luka. Lewat mata yang masih juga kabur, aku pandangi seluruh bagian tubuh orang yang aku sayangi itu. Keningnya diberi perban, hidungnya diberi alat bantu pernafasan, dadanya dipasangi berbagi alat untuk mengecek keadaannya, bahkan ujung jarinya pun diberi alat penjepit yang aku tidak tahu apa gunanya. Separah ini kah keadaan Jevan hingga sekujur tubuhnya diberi alat bantu? Apa yang sudah Babi-Babi sialan itu hantamkan pada tubuh laki-laki berhati lembut ini?

“Van...” Bibirku bergetar kala mengucapkan nama itu. Aku ingin mengucapkan lebih banyak kalimat tapi tenggorokanku seakan tercekat hingga yang keluar hanyalah udara tanpa suara.

Aku punya banyak teman yang bekerja di rumah sakit. Bahkan sahabat karibku adalah seorang pemilik rumah sakit di kota kecil tempatku tinggal. Aku pernah berbulan-bulan berada di rumah sakit ketika aku menemani Sagara pengobatan, aku pernah mengencani seorang dokter, aku juga menyediakan jasa pesan-antar bunga ke rumah sakit yang bernama John Medical. Tapi jangan salah sangka ya, semua hal itu bukan alasan bagiku untuk menyukai rumah sakit, kan? Apa lagi yang harus aku hadapi adalah hal sepedih ini.

Dengan gemetar tanganku menyentuh lengan Jevan yang terkulai lemah di sisi tubuhnya. Aku menyentuhnya pelan sekali, seakan lengan kekar ini berubah menjadi sesuatu yang begitu mudah hancur. Kuelus pelan lengan itu, seperti yang selalu aku lakukan kala hanya ada kami berdua di rumahku. Bedanya, tangan kekar ini tidak lagi mampu menggenggam jari-jariku yang saat ini sedingin es.

“Van, yang kuat, ya? Kak Kiya ada disini. Anak-anak yang lain juga ada disini, nemenin lo. Nanti kalau lo bangun, kita beli mainan buat Gio, ya? Soalnya sekarang Gio lagi dititipin ke neneknya karena Papa sama Mamanya mau jagain lo.”

Aku mendengar bisikan Jaenandra di telinga Jevan yang laki-laki itu ucapkan di sela isak tangisnya yang tertahan. Jaenandra bahkan tidak ragu untuk mengelus pelan kepala Jevan dengan penuh perasaan sayang.

“Kalian boleh pergi, saya sudah ada disini.”

Suara itu terdengar seiring dengan suara ketukan pantofel yang bertemu dengan ubin putih rumah sakit. Parfum dari si pemilik suara langsung menggilas aroma obat pekat yang sebelumnya menguasai ruangan. Semua mata langsung terarah kepada si pemilik yang suara yang tampak gagah dalam balutan jas lengkap. Jangan lupakan jam dengan harga ratusan jusa yang melingkar di tangan kirinya.

“Terutama kamu, saya harap kamu bisa pergi dari sini.” Suara itu terdengar lagi, menusuk langsung ke arahku. “Saya gak perlu suruh orang saya untuk menyeret kamu dari sini, kan?” tanyanya dengan suara sama sekali jauh dari kesan ramah karena aku tidak beranjak dari kursiku.

Why should I, tho?

“Kalian dengar saya, kan?” Laki-laki itu berucap lagi saat tidak ada satupun dari kamu yang mengidahkan entah itu permintaan atau perintahnya.

“Saya akan tetap disini,” ucapku tegas, tentu tanpa memandang orang itu. “Entah saya mendapat izin atau tidak, saya akan tetap ada disini, bersama Jevan, menjaga Jevan.”

Come on, saya papanya. Saya ada disini dan saya juga yang dia butuhkan.”

Decihan tidak hanya terdengar dari bibirku saat Pak Alex mengucpkan kalimat itu tanpa rasa malu sama sekali. Seolah bukan dialah orang yang mengirim Jevan ke ruangan ini.

“Justru karena ada Bapak disini, saya semakin punya alasan untuk menjaga Jevan. Saya tidak akan menitipkan seekor kelinci yang terluka pada seekor harimau yang lapar.”

Entah bagaimana raut wajah Pak Alex mendengar ucapan lancangku, aku sungguh tidak perduli. Keadaan Jevan yang belum juga sadarkan diri bahkan setelah serangkaian perawatan mengambil alih hampir seluruh fokusku.

“Kalau kamu tidak juga mau keluar...”

“Saya rasa memang Om Alex yang harus pergi dari sini.”

Suara Juan tidak keras, tapi penekanannya cukup untuk membuat Pak Alex diam. Ketika aku melirik untuk melihat ekspresi ayah kandung Jevan itu, aku bisa melihat wajah Pak Alex mengeras. Tatapan matannya tajam terarah pada Juan yang juga menatapnya nyalang. Aku belum pernah melihat Juan seperti ini sebelumnya. Kawan Jevan yang paling mungil itu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan untuk berada di hadapan Pak Alex.

“Om mungkin tahu seberapa besar kami menghormati Om karena selama ini Om Alex baik pada kami, tapi untuk hari ini saja, saya mohon izinkan saya mengusir Om Alex dari sini.” Tidak ada nada takut dalam suara Juan. Matanya pun bahkan tidak berkedip. “Yang Jevan sekarang butuhkan itu Kak Adzkiya, bukan Om.”

“Juan...”

“Butuh berapa lama lagi ya, Om, suapaya Om Alex bisa paham kalau apa yang Om lakukan selama ini bisa membahayakan nyawa Jevan? Butuh berapa banyak lagi tulang yang patah sampai Om bisa paham kalau apa yang Om lakukan ini salah?!” Juan membentak Alexander dengan suaranya yanga lantang. Dari tempatku duduk, aku bisa merasakan kemarahan terpendam yang sudah Juan pendam entah sejak kapan.

“Wan...” Markio berusaha menengahi.

“Om selalu ninggalin Jevan setelah puas mukulin dia, tapi Om gak pernah tau seberapa susah anak Om itu buat ngobatin luka-lukanya! Om gak pernah ada di sana! Om gak pernah tau kalau Jaenan dan Raechan harus ganti-gantian gendong Jevan di punggungnya karena Jevan gak kuat lagi untuk jalan karena kakinya hampir Om patahin! Om gak pernah tau seberapa sering Kak Kiyo ngecek kotak p3k di mobilnya supaya dia bisa selalu standby untuk kasih pertolongan pertama ke luka-luka Jevan. Om gak pernah tau seberapa susah buat Kak Aya, Ica dan Elen belajar masak pakai resep yang ditinggalin Mamanya Jevan supaya Jevan mau makan lagi setelah rahangnya Om buat bengkok! Om gak pernah tau, kan? Karena Om selalu ninggalin dia tanpa pernah tau gimana cara dia keluar dari semua rasa sakitnya!”

Setelah mengutarakan semua amarahnya, Juan menjatuhkan kedua lututnya di lantai kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Sambil mendongak, Juan berkata lirih, “Karena itu, saya mohon, Om Alex pergi dari sini. Biarin Jevan istirahat. Anak Om itu hampir mati.”

Air mata membanjiri pipi Juan yang memerah karena amarahnya belum tuntas. Masih sambil mendongak, dia menatap Pak Alex yang memandangnya dingin.

“Saya mohon, Om, kali ini aja, kali ini aja Om bersikap selayaknya seorang ayah.”

Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Pak Alex meninggalkan ruangan. Membuat Juan menghembuskan nafas lega dan terduduk memeluk kedua lututnya. Laki-laki itu, kawan baik Jevan itu menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya. Isak tangis terdengar setelah itu. Tubuh Juan bergetar hebat saat Raechan mendekat padanya yang menepuk bahunya pelan.

Sungguh, aku tidak akan lupa bagaimana tangis Juan hari itu. Tangis yang terdengar paling pilu, bahkan lebih pilu dari tangisku.

Jika kalian mengira aku adalah orang yang paling terpukul atas kejadian ini, maaf, kalian salah.

Juan, Juan adalah orang yang paling menderita akibat semua luka yang tergores jelas di sekujur tubuh Jevan. Karena dia lah yang pertama kali menemukan Jevan terkapar tidak berdaya di depan mobilnya yang terparkir di basement apartemen. Juan yang langsung berlari untuk menemui petugas keamanan apartemen dan meminta rekaman CCTV. Juan pula orang pertama yang menyaksikan bahwa ada lebih dari sepuluh orang keluar dari mobil dengan logo Novanda Group dan memukuli Jevan dengan berbagai jenis benda tumpul yang bahkan tidak sanggup dia sebutkan.

Tuhan, aku tahu engkau menyayangi Jevander. Tapi izinkan dia bersama kami lebih lama dari ini

Entah Tuhan akan mendengar doaku atau tidak.

Masih sama dengan akhir pekan di puluhan hari yang lalu, aku masih terus membelah jalanan ini mulai pukul empat sore. Aku bahkan sampai hafal brosur apa yang tertempel pada tiang jalan di kilometer 74 atau jenis bunga apa yang ada di pinggir jalan kilometer 120. Rutinitasku juga selalu sama, berhenti di area peristirahatan pada kilometer terakhir sebelum gerbang keluar TOL. Aku akan memesan satu cup ice americano untuk menemani sisa perjalananku. Jika keadaan sedang baik, aku bisa menikmati keindahan pemandangan surya yang tergelincir di sisi barat bumi saat aku sudah masuk ke area Ayu Laga, namun jika keadaan sedang gila di jalanan kota, aku biasanya menikmatinya saat baru saja tiba di pintu masuk TOL. Khusus hari ini, aku tidak bisa menikmati momen indah itu karena hujan mengguyur sejak siang tadi.

Mobilku berbelok ke jalanan utama Ayu Laga setelah keluar dari gerbang TOL. Dari perempatan utama, aku bisa melihat Kiya Florist yang di dalamnya berisi seorang gadis yang tampak sibuk menata bunga ke dalam lemari penyimapan. Senyumku mengembang, aku bahkan mengikuti irama dari musik yang sejak tadi hanya aku gunakan sebagai pembunuh keheningan. Perasaan senang ini selalu muncul kala figure gadis cantik itu bisa aku tangkap dengan indra pengelihatanku. Kupacu mobilku menuju toko bunga itu dengan segera, kuparkirkan tepat di depannya dan aku turun untuk menyapa dua orang yang menunggui gadis itu sejak tadi.

“Aman, Pak?” sapaku pada salah seorang dari mereka yang langsung mengangguk sopan saat melihat kehadiranku.

“Aman, Pak Jevan,” jawabnya sembari menjabat tanganku yang kuulurkan. “Mbak Kiya sepertinya sebentar lagi akan pulang.”

“Iya, nanti biar Kiya pulang sama saya aja. Pak Anton bisa begabung sama Pak Erick aja di sekitar rumah Kiya.”

Kedua bodyguard yang aku sewa untuk menjaga kekasihku itu langsung mengangguk paham. Mereka membungkuk hormat sekali lagi kemudian hendak beranjak untuk masuk ke mobil.

“Pak Anton, sebentar,” cegahku. “Ini... tolong bawa mobil saya, ya? Saya jalan kaki aja sama Kiya.” Aku menyerahkan kunci mobilku pada mereka yang tampak ragu untuk menerimanya. Aku bisa melihat mereka berdua saling sikut untuk menerima kunci mobilku.

“Mas... Masa Pak Jevan jalan, kami naik mobil sih, Pak? Kami ikut jalan aja sama Bapak, ya?”

Aku terkekeh pelan dan maju selangkah untuk mendekati Pak Anton. Kutepuk pundaknya pelan dan kuletakkan kunci mobilku di saku dada jas yang dikenakannya. “Udah gak papa, saya butuh waktu ngobrol sama Adzkiya. Dan ini...” Aku memasukkan sesuatu yang lain lagi pada saku jas yang sama— sebuah kartu berwarna hitam. “Ini, nanti sebelum kumpul sama Pak Erick, tolong beli makanan yang bisa kalian makan bersama, ya? Terserah Pak Anton mau beli apa, bebas. Asal jangan mabuk,” gurauku.

Butuh beberapa waktu sampai aku berhasil meyakinkan Pak Anton dan seorang rekannya untuk pergi. Mereka terus mengatakan bahwa sudah tugas mereka mengawal dan melindungi Adzkiya, tapi aku yakinkan bahwa ketika ada aku, mereka bisa sedikit bersantai. Mendengar itu, Pak Anton akhirnya meninggalkan area parkir Kiya Florist, menyisakan aku yang langsung masuk ke dalam toko bunga milik kekasihku.

Sebuah pelukan hangat langsung aku berikan pada gadis yang tampak cantik dalam balutan gaun berwarna biru yang dipadukan dengan sweater rajut dengan warna senada itu. Tanganku melingakari pinggangnya dari belakang, kuletakkan daguku pada bahunya setelah mencium bau rambutnya yang seharum bunga. Adzkiya tidak merasa terkejut sama sekali karena tadi dia sudah melihat aku berbicara di luar.

“Kenapa mobilnya dibawa Pak Anton?” tanyanya.

“Aku mau jalan aja sama kamu.”

Mataku tertutup rapat menikmati elusan yang Adzkiya berikan pada lenganku yang masih setia melingkari pinggangnya. Urat-urat pada tubuhnku seakan langsung mengendur santai kala elusan itu makin lama makin terasa meneduhkan jiwaku yang sedang kacau. Para pujangga itu benar, ketika menemukan orang yang tepat, jantungmu tidak lagi bergedup cepat, mereka justru setenang aliran sungai.

“Kamu gak capek emang? Baru pulang kerja, langsung nyetir kesini, sekarang malah mau jalan lagi ke rumah akunya.”

“Kalau capek nanti minta pijitin kamu lah,” jawabku asal.

Elusan pada lenganku kini berubah pukulan pelan.

“Iya, iya, bercanda. Sensi banget, hamil kamu ya?”

“Ngaco.”

Aku tidak menjawab lagi, kubiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami berdua. Adzkiya kembali sibuk dengan bunga-bunganya di lemari penyimpanan sementara aku sibuk menurunkan sweater rajut yang dia kenakan. Adzkiya selalu mengenakan outer ketika gaun yang dia kenakan adalah jenis gaun tanpa lengan, itu juga yang menjadi tujuanku ketika menurunkan sweater rajut yang dia kenakan— agar aku bisa menciumi bahunya yang tetap harum bahkan berjam-jam setelah dia mandi. Aku menyukai bagaimana sensasi ketika bibir atau hidungku bersentuhan dengan kulitnya yang selembut sutra. Ditambah lagi area bahu dan leher Adzkiya adalah bagian tubuh yang menyimpan aroma terbaik. Adzkiya tidak nampak risih sama sekali kala aku mendaratkan kecupan-kecupan kecil pada bahunya, dia hanya sesekali terkekeh karena merasa kegelian.

“Aku harap kamu gak lupa kita lagi di florist ya, Jevan.” Adzkiya memperingatiku ketika tanpa sadar bibirku telah mendarat begitu saja pada sisi lehernya, nyaris meninggalkan jejak disana.

Let's go home, then.” Aku membenarkan posisi sweater rajut Adzkiya, menunggunya selesai dengan urusannya dan mengajaknya berjalan menjauh dari Kiya Florist setelah mematikan lampu dan mengunci pintu toko.

Kami berdua berjalan menyusuri jalanan berbatu yang membelah puluhan hektar kebun teh, sambil bergandengan tangan tentu saja. Sebuah hal yang selalu aku inginkan tapi baru kali ini bisa aku wujudkan. Dulu, sebelum hubungan kami akhirnya diketahui semua orang, Adzkiya selalu menolak tiap kali aku ingin berjalan bersamanya di kota kecil ini. Dia selalu takut ada yang melihat kami. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang perlu kami takutkan, kecuali Papa.

Papa yang membuat malamku kembali susah tidur. Papa yang membuat pikiranku berkelana memikirkan keselamatan gadisku dan kawan-kawanku bahkan ketika aku ada di tengah rapat penting. Papa yang membuat aku tidak nafsu makan bahkan ketika perutku melilit menuntut makanan masuk.

Jalan berbatu yang selalu dihina Juan sebagai jalanan setan ini masih jauh lebih baik dari pada perjalananku dengan Adzkiya yang terkesan ditaburi ribuan duri tajam. Jalanan itu membuat kakiku juga kaki Adzkiya luka-luka dan berdarah-darah. Jalanan itu membuatku takut bahwa salah satu dari kami pada akhirnya enggan melanjutkan perjalanan dan menyerah.

“Kita sampai kapan ya, Van, kayak gini?”

Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya. “Kamu takut ya?”

“Aku nggak takut sama Papa kamu, tapi aku takut kamu kepikiran masalah ini sampai sakit.”

Jalanan Ayu Laga tidak memiliki penerangan hingga aku tidak bisa memeriksa ekspresi wajah Adzkiya saat itu. Tapi dari suaranya, aku bisa menangkap kekhawatiran yang kentara.

“Aku pernah ngadepin Papa yang gak izinin aku untuk main musik, aku berkali-kali dipukulin karena ngeyel main musik diem-diem, so this isn't my first time Jangan khawatir.” Aku memaksakan senyum meskipun sepertinya Adzkiya juga tidak bisa membaca raut mukaku sebagaimana aku gagal membaca raut wajahnya.

“Aku capek, Van.”

Otot-otot yang tadi sempat mengendur kembali menegang. Manik mataku bergerak-gerak gelisah. Ucapan Adzkiya selayaknya petir yang terdengar menakutkan di tengah tenangnya malam. Buru-buru aku menghentikan langkah dan memegang kedua bahunya agar dia menatapku. Kini, dengan sedikit cahaya dari bulan dan bintang-bintang yang menyaksikan kami dari atas sana, aku bisa melihat wajah Adzkiya yang terlihat letih.

“Kamu beneran capek?” tanyaku memastikan, seolah tidak percaya kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir ranumnya.

“Iya, aku capek, Van. Aku capek.” Adzkiya menjawab dengan yakin.

Keyakinan dalam suaranya seakan meruntuhkan segala kepercayaan diriku untuk menghadapi Papa. Sekarang aku harus apa jika gadis yang aku perjuangkan malah menyerah seperti ini?

“Ki, liat aku, jangan capek dulu ya? Aku mohon. Aku tau semua ini berat, tapi aku ada untuk kamu. Kita yakinin Papa aku bareng-bareng ya...”

Ucapanku tidak selesai karena Adzkiya lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibirku. Kecupan itu tidak berlangsung lama, bahkan kurang dari satu menit. Setelahnya, sebelah tangan Adzkiya menunjuk area desa Ayu Laga dan dia berkata lirih, “Aku capek harus jalan kesana, Van. Kaki aku pegel.”

Sungguh, saat itu aku seakan ditertawakan semesta. Bahkan bulan yang tadi menyinari kami dengan cahayanya langsung bersembunyi di balik awan karena aku rasa dia tidak sanggup menahan tawanya. Suara katak dan jangkring bersahut-sahutan seolah menggunjing kebodohanku.

Sial.

Tidak bisakah mereka memahamiku yang begitu ketakutan akan satu kata capek ini?

Aku tersenyum lagi pada Adzkiya yang menatapku dengan tatapan mengiba. “Aku gendong mau?”

Raut wajah Adzkiya langsung kembali sumringah. Gadis yang tadi mengadu sudah lelah itu bahkan meloncat-loncat pelan sembari meunggu aku melepaskan jas dan berjongkok di depannya.

“Naik,” pintaku yang langsung diturutinya. Aku mengangkat tubuh Adzkiya di punggungku. Membawanya kembali menjelajahi jalanan berbatu di Ayu Laga.

Ya, begini saja, Ki. Bahkan jika kamu lelah akan perjalanan ini, aku bisa menggendongmu. Asal kamu tidak menyerah akan kita. Karena jika tidak dengan kamu, aku tidak mau dengan siapa-siapa lagi bisikku pada diriku sendiri malam itu.

A wise man said, never mess up with a quiet person or you will regret it.

And this is what that wise man means.

Aku duduk di atas karpet berbulu di ruang studio pribadi milikku sementara kawan-kawanku yang lain duduk di atas sofa. Mereka semua menatapku intens, kecuali Klarisa dan Juan yang menatapku dengan tampang kita harus gimana nih?

Jaenandra, kawanku yang cukup pendiam di antara yang lain, menatapku paling nyalang, dari tatapan itu aku bisa melihat kemarahan yang luar biasa besar. Jaenandra, kawanku yang sering menarik dirinya dari peradaban itu adalah sosok yang paling tidak ingin terlibat masalah, tapi sekali dia berada di situasi yang membuatnya marah maka tidak seorangpun berani mendekat. Termasuk aku, atau bahkan Kak Kiyo yang usianya setahun lebih tua dari kami.

Sebuah ponsel dengan layar menyala menampilkan fotoku dan Adzkiya, diletakkan dengan sengaja oleh laki-laki itu di atas meja di depanku. Seolah dengan sengaja menamparkan fakta bahwa aku ketahuan. Jika sudah begini, aku hanya menundukkan wajah, mengakui kesalahan dan meminta maaf. Toh faktanya, aku memang benar menyembunyikan hubunganku dengan Adzkiya, kan?

Explain.” Suara berat Jaenandra memecah keheningan. Tubuhku seakan disetrum dengan kekuatan sekian watt hingga kaku saat mendengar suara itu. “Jelasin ke kita kenapa lo sembunyiin ini dari kita, Jev.”

Sekian menit aku biarkan terlewat begitu saja. Membiarkan keheningan menguasai studioku yang biasanya selalu ramai. Kawan-kawanku juga seakan enggan untuk memecah keheningan itu.

“Adzkiya yang gak mau gue kenalin ke kalian,” kataku pada akhirnya tanpa menatap kawan-kawanku yang rasanya masih setia memandangi aku. “Kata Adzkiya, gue dan dia banyak bedanya. Umur, latar belakang, dan lo semua juga pasti tau ada apa di antara dia dan Bang Garend dulu. Jadi dia bilang, dia bingung harus memperkenalkan diri ke kalian sebagai pacar gue tuh gimana.”

“Mau gimanapun status dia, dia tetep Kak Adzkiya yang kita kenal, Jev,” potong Raechan.

Aku mengamini ucapan Raechan. “Gue tau, gue juga udah bilang gitu ke dia. Tapi dia tetep ngerasa bingung untuk muncul di depan kalian sebagai pacar gue and because I do love her so much, I just respect her decission to not let you guys know. Maaf, gue tau gue salah.”

Hembusan nafas Jaeandra terdengar. Aku masih belum mengangkat wajahku untuk menatap mereka. Tapi kurasakan seseorang bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku. “Gue sebenernya gak masalah soal hubungan backstreet lo, tapi gue kesel banget tau lo ngadepin semuanya sendirian tanpa cerita sama kita. Gue tau semuanya, Jev. Gue tau soal Om Alex yang nyari Kak Kiya, gue tau PA lo sempet dipecat Om Alex, gue bahkan tau Wawan diikutin ke kosan sampe harus nginep di rumah gue kemarin.”

“Jaen, lo...” Wawan kaget, begitu juga aku.

“Gue juga beberapa hari ini diikutin, Wan.” Jaenandra menjawab dengan tenang. “Jadi gue suruh orang gue buat gantian ngikutin mereka dan akhirnya gue tau semuanya.”

“Jadi foto tadi, orang lo juga yang fotoin?”

Sorry, gue sama sekali gak bermaksud buat nguntit lo, Jev.” Jaenandra menepuk bahuku sekali lagi. “Kemarin waktu gue sama Ica ke Ayu Laga, orang gue bilang kalau orang suruhan Om Alex jalan ke arah Ayu Laga juga. Gue kira mereka ikutin gue, tapi ternyata mereka ke Ayu Laga buat ngawasin lo, Jev. Jadi gue suruh orang gue buat ikutin lo, gue takut lo diapa-apain dan dari situ lah asal muasal gue jadi tau hubungan lo sama Kak Kiya.”

Aku mengangkat muka untuk menatap Jaenandra yang duduk di sampingku. Gurat-gurat kekhawatiran muncul di wajahnya yang tampan. “Gue ngumpulin kalian disini bukan untuk nyidang Jevan, tapi untuk cari jalan keluar dari masalah ini.”

Helaan nafas lega terdengar dari sana-sini. Nampaknya kawan-kawanku juga merasakan kelegaan yang aku rasakan kala Jaenandra mengucapkan kalimatnya yang barusan.

“Huh lega gue, gue kira bakal ada tonjok-tonjokan lagi.” Kak Kiyo menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mungkin saat ada ketegangan tadi, kawanku itu sampai lupa melenturkan otot-ototnya yang ikut tegang.

“Oke back to the topic, sekarang kita harus gimana buat ngadepin Om Alex? Kita gak bisa diem terus, gue rasa setelah ini satu-persatu dari kalian bakal diikutin juga.” Intonasi suara Jaenandra berubah serius.

Aku terbawa suasana. Otakku langsung berfikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku tidak akan membiarkan ketidaksetujuan Papa akan hubunganku dan Adzkiya mengusik kawan-kawanku yang lain, yang bahkan tidak tahu menahu dengan hubungan kami. Sangking kerasnya aku berfikir, aku merasa kepalaku mulai pening, aku tidak kunjung mendapatkan jalan keluar untuk masalahku ini. Power Papa terlalu besar dan lebih dari itu semua, Papa tidak akan segan ataupun merasa bersalah untuk mengacaukan apapun yang dia rasa menghalanginya. Aku harus berhati-hati mengambil langkah agar tidak menjadi boomerang.

“Gini deh, pertama, kita harus pastiin Kak Kiya aman.” Juan menyuarakan usulnya lebih dulu. “Kayak yang gue bilang ke lo tadi Jep, Kak Kiya disana sendirian. Mungkin kita bisa pake cara Jaenan, kita kirim orang juga buat jagain Kak Kiya disana. Lo punya duit kan buat bayar gituan?”

Aku menyunggingkan senyum atas pertanyaan Juan. “Mau sewa sepuluh orang juga gue bisa.”

“Lo aneh deh, Wan, nanyanya. Lo lupa emang temen lo ini penerus tunggal Novanda Group?” Ejek Raechan membuat suasana serius ini sedikit mencair.

“Oh iya-ya.” Juan manggut-manggut. “Ya pokoknya gitu deh ya, kita harus pastiin Kak Kiya gak diapa-apain.”

“Oke nanti gue cari....” Ucapanku terpotong karena interupsi dari dering ponselku sendiri, nama Adzkiya tertera di sana membuatku memamerkannya pada kawan-kawanku. “Cewek gue telfon, bentar ya.”

Aku mengangkat panggilan itu diiringu suara rusuh dari kawan-kawanku yang merasa geli atas sikapku. “Halo, Sayang.”

Di seberang sana suara Adzkiya terdengar begitu pelan menyahut sapaanku. “Van, aku takut.”

Hatiku seakan di remas. Keringat membanjiri tubuhku secara tiba-tiba. Perasaan tidak enak menarik fikiranku dari dunia luar.

“Sayang, hei, kenapa?”

Aku takut,” desis Adzkiya lagi, suaranya gemetar. “Ada orang dateng kesini dan acak-acak Kiya Florsit, Van.”

“ANJING!”

Setelahnya yang terdengar hanya suara tangisan dan isakan pilu. Kepalaku mendidih, kepalan tanganku menguat seiring dengan tangisan Adzkiya yang makin menyayat perasaanku. Sungguh, aku seakan bisa menikam siapa saja yang melakukan ini pada gadis kesayanganku. Bibirku bergetar menahan marah, kerongkonganku seakan tercekat hingga aku bahkan sulit sekali untuk mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan Adzkiya.

Sekuat tenaga aku berusaha mengembalikan kesadaranku. Kemarahan ini harus aku padamkan agar aku bisa berfikir setidaknya sedikit jernih. “Aku kesana ya, kamu jangan takut. Aku bakal telfon Bang Uwu buat jemput kamu ke Kiya Florist. Kamu tenang ya, Sayang, aku kesana.” Aku mengucpakan rentetan kalimat itu dengan beberapa kali jeda karena rasanya bibirku kelu.

Setelah menutup panggilan itu, kawan-kawanku langsung mempertanyakan ada apa. Aku menjelaskan situasinya. Wajah mereka merah padam oleh amarah. Sama sepertiku.

“Kita kesana,” ucap Juan cepat tapi Kak Kiyo langsung menahan tangannya.

“Jangan, gue yakin orang-orang suruhan Papa lo ada di sekitar sini, Jev. Kalau kita semua kesana, bakal ketauan. Mending gini, Jevan, lo bawa mobil gue buat ke Ayu Laga. Gue yakin mereka bakal ngira kalau itu gue yang keluar dari area perumahan ini dan lo tetep di dalem sini. Jadi mereka gak akan ikutin lo ke Ayu Laga.”

Aku mengangguk cepat, meraih kunci mobil yang Kak Kiyo ulurkan. “Tolong telfon Bang Uwu untuk jemput Kiya di toko ya,” ucapku sebelum berlalu secepat kilat.

Benar saja, di gerbang perumahan aku bisa melihat sebuah mobil terpakir di sana. Mobil yang begitu familiar karena ada logo Novanda Group pada salah satu sisi kaca depan mobil itu. Pasti itu suruhan Papa. Anjing, mereka memang anjing. Aku memacu mobilku dengan kecepatan penuh, berharap jarak Jakarta ke Ayu Laga bisa aku tempuh kurang dari empat jam. Gadisku tengah menunggu aku, empat jam pastilah terasa terlalu lama untuknya. Tuhan, tolong buat jalanan lengang, aku ingin segera menemui gadisku. Pikiranku benar-benar kalut saat ini. Aku menbayangkan betapa ketakutannya Adzkiya melihat toko bunga kesayangannya dihancurkan oleh entah siapa. Aku benar-benar berharap aku tidak akan menemukan luka sekecil apapun pada tubuh kekasihku itu. Karena jika aku menemukannya, aku akan mencari pelakunya dan memukulinya hingga menemui ajal. Tanpa pikir panjang tentu saja.

Aku tiba di Ayu Laga pukul enam sore. Aku tidak sempat mengecek keadaan Kiya Florist karena tadi Bang Juwan sudah mengabarkan bahwa dia telah membawa Adzkiya ke rumah. Setibanya aku di sana, Adzkiya langsung bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam dekapanku. Aku masih bisa merasakan tubuhnya yang gemetar karena takut. Dia sudah tidak lagi menangis tapi aku sempat melihat sirat ketakutannya yang kentara. Aku mengabaikan tatapan bingung Bang Juwan dan Kak Valen ketika mereka melihat Adzkiya langsung memelukku.

“Jev, tadi....”

Aku menempelkan telunjukku di bibir sebagai isyarat agar Bang Juwan tidak melanjutkan ucapannya. “Nanti aja, Bang, it makes her afraid.”

Lalu aku kembali kepada Adzkiyaku, mengelus punggungnya dengan begitu lembut, berharap dia bisa tenang. Meskipun aku sendiri belum bisa menetralkan detak jatungku.

“Aku disini, jangan takut ya.”

Karena kalau kamu gak disini, aku yang takut, Ki, tambahku dalam hati.

Selama aku hidup, aku mengenal dua jenis laki-laki. Yang pertama, laki-laki tampan yang tidak tahu bahwa dirinya tampan, macam Jaenandra. Yang kedua, laki-laki tampan yang sangat tahu dirinya tampan dan membanggakannya, macam Raechan. Tapi hari ini, rasanya aku perlu menambahkan satu jenis lagi dalam daftar itu. Laki-laki macam Sagara, atau aku harusnya memanggilnya Bang Sagara karena usianya lima tahun di atasku. Bang Sagara adalah satu sosok laki-laki tampan yang tahu dirinya tampan tetapi tidak membanggakannya, dia hanya merasa bahwa harus berperilaku baik agar wajah tampannnya tidak tercemar. Begini, bagaimana bisa seseorang mempunyai wajah dan sikap setampan itu menyatu dalam satu raga? Rasa-rasanya, Bang Sagara ada tipikal manusia yang akan tetap menjadi pusat perhatian bahkan ketika dia tidak berusaha mencari perhatian itu.

Wah, baru kali ini aku benar-benar merasa takjub dengan seseorang. Sejak aku datang tadi, yang tentu saja bersama Bang Garend dan Bang Juwan serta pasangan mereka masing-masing, Bang Sagara tidak henti-hentinya menawarkan padaku berbagai makanan yang tersedia serta juga terus mengajakku bicara. Tutur katanya halus, sikapnya santun, dan dia juga tipikal yang menyenangkan. Setiap perbincangan selalu ditimpalinya dengan sesuai porsi, tidak kurang dan tidak berlebihan. Tunggu, aku terdengar seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta, ya? Maaf.

Aku, Bang Sagara dan Bang Joni duduk di kursi yang agak jauh dari yang lainnya karena kami merokok. Kami tidak ingin membahayakan kandungan Kak Vivian serta kesehatan empat orang lain yang hidup bersih dari nakotin. Empat orang yang aku maksudkan adalah Bang Garend, Bang Juwan, Bang Tendra dan Si Suster cantik, Kak Valen. Tapi dari jarak ini kami semua masih bisa bercakap-cakap dengan baik.

“Eh itu Kiya sama Lucia, hai!” Kak Vivian berseru semangat saat mendapati dua gadis datang dengan senyum mengembang.

Bang Sagara langsung berdiri dan menepuk bahuku dan bahu Bang Joni sebagai bentuk berpamitan karena dia harus menyambut dua orang yang baru saja datang itu.

Mataku tertaut pada salah satu dari mereka, yang tentu saja kekasihku. Dia mengenakan baju yang aku pilihkan, tapi tunggu, ini tidak sesuai dugaanku. Tadi, aku memilihkan jenis pakaian ini agar dia tidak tampak mencolok dalam balutan gaun. Tapi kenapa yang dipakainya saat ini justru membuatnya berkali lipat lebih cantik? Jeans hitam pilihanku membungkus kaki jenjangnya dengan begitu pas hingga kedua kaki itu terlihat begitu cantik. Kaus putih dan cardigan berwarna pink pastel itu juga justru membuat kulitnya yang seputih susu tampak semakin mengkilap. Wah, sepertinya aku salah langkah. Aku yakin sekali, setiap pasang mata di tempat ini justru bisa melihat betapa cantiknya Adzkiya dalam balutan pakaian sederhana itu.

Bego, aku memaki diriku sendiri.

“Hai, Ki,” Bang Sagara menyambut Adzkiya, KEKASIHKU, dengan sebuah pelukan hangat. Untung saja jarak dudukku agak jauh dari mereka hingga aku bisa mengumpat pelan.

“Kenapa, Jev?” Bang Joni mungkin menangkap sedikit umpatanku namun tidak jelas hingga dia harus menanyakannya padaku.

“Ah enggak, Bang, ini kok tumben Ayu Laga panas,” bohongku sembari sok mengibas-ngibaskan kaus putih yang aku kenakan. Ya, aku memang sengaja mengenakan kaus dengan warna yang sama dengan KEKASIHKU. Tidak ada yang memprotes, kan?

“Ini buat lo, welcome home, Sagata.” Suara Adzkiya dengan sopan menembus telingaku yang memang selalu terpasang untuk mendengar suaranya.

Bang Sagara menyambut bunga itu dengan riang kemudian beralih memeluk Kak Lucia, sahabat Adzkiya, yang pasti lah juga mengenal Bang Sagara.

“Kalau yang ini... untuk Ibu Hamil yang cantik ini.” Adzkiya memberikan setangkai bunga mawar putih pada Kak Vivian yang langsung kegirangan. Melihat mereka, aku seperti melihat diriku dan Kak Kiyo di masa lalu. Mereka adalah versi perempuan dari aku dan Kak Kiyo, dua orang yang pernah berusaha untuk satu cinta yang sama dan memutuskan untuk berdamai dengan keadaan.

“Makasih, Kiya. Kamu cantik banget malem ini, cardigannya beli dimana? Aku mau.” See, bahkan dari mata seorang wanita secantik Kak Vivian pun, KEKASIHKU itu nampak cantik, kan?

“Ah kamu bisa aja, eh hai Valen, ini buat kamu juga ada dong.” Adzkiya memberi setangkai bunga lain pada kekasih Bang Juwan.

Oke, kali ini aku tinggal melihat Adzkiya menyapa satu persatu dari kami yang lebih dulu tiba. Untung saja, selain memeluk Bang Juwan- yang sudah seperti adiknya sendiri, Adzkiya hanya melakukan tos dengan laki-laki yang lain.

“Loh, ada Jevan juga, dari kapan di Ayu Laga?” Aku mendecih saat menyadari akulah orang terakhir yang dia sapa. Dan apa katanya tadi? Sejak kapan aku di Ayu Laga? Cih, aku bahkan telah memeluknya berjam-jam di rumahnya tadi.

“Aku baru sore tadi kok, Kak.” Aku menjawab dengan memaksakan senyum yang sepolos mungkin. Berusaha mengikuti actingnya yang sudah seperti bingan film profesional itu.

“Adzkiya udah kenal Jevan?” Bang Sagara melayangkan pertanyaan sembari meletakkan dua gelas ke hadapan Adzkiya dan Kak Lucia.

Aku memaksakan senyumku lagi dan menyesap rokokku sebentar sebelum menjawab, “Udah, Bang, dulu gue sering nemenin Ica ambil pesenan bunga ke Kiya Florist.”

“Ah, iya, iya, tadi Garend udah bilang juga ya kalau lo sahabat adiknya, jadi wajar aja kalian udah saling kenal.”

Aku hanya mengangguk masih tetap sambil tersenyum. Rasanya aku sudah seperti orang dungu yang terus tersenyum entah untuk apa.

“Mau gabung kesana gak, Jev?” Bang Joni membuang potong rokoknya ke asbak dan menatapku.

“Boleh,” kataku sembari melakukan hal yang sama dengannya.

Kami berdua berjalan mendekat ke arah meja perjamuan utama dan aku buru-buru mengambil tempat tepat di sebelah Adzkiya yang kebetulan kosong. Sambil berharap tidak ada yang menyadarinya.

“Ki, aku bakal buka cafe di deket florist kamu loh.”

Aku? Kamu?

Ini satu hal yang membuat aku sering terkaget-kaget berada di Ayu Laga, karena beberaa penduduk disini masih saja menggunakan panggilan aku dan kamu. Sementara bagiku, aku dan kamu hanya digunakan ketika ada di suatu situasi yang “intim”.

“Oh, ya? Wih seru dong nanti kita bisa sering ketemu. Kapan grand openingnya?”

Aku melirik Adzkiya dengan muka masam. Mungkin sekarang wajahku sudah sama masamnya dengan buah strawberry yang tersedia di atas meja.

“Masih lama sih kayaknya, aku baru mau mulai decor interiornya.”

“Nanti kabarin ya, Sa, biar gue sama Vivian mampir.” Bang Garend ikut nimbrung.

“Pasti, nanti ada special discount deh buat yang bawa pasangan.”

“Yah kasian dong Kiya gak dapet diskonnya.” Bang Tendra berkomentar sambil memasang wajah menyebalkan pada Adzkiya, membuat yang lain terkekeh.

“Kurang ajar ya, dokter Tendra,” timpal Adzkiya sok merajuk.

Aku sewot lagi. Jangan protes ya! Coba posisikan diri kalian sebagai aku. Aku duduk disini, aku adalah kekasih Adzkiya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau jadi aku, kalian akan sama sewotnya.

Aku menyikut lengan Adzkiya karena jengkel tidak diperhatikan. Dia paham, kemudian menelusupkan tangannya ke bawah meja dan mengelus-elus lenganku. Oke, setidaknya aku merasa lebih baik. Sisa malam itu berjalan lancar karena elusan Adzkiya. Rasanya, dengan elusan Adzkiya ini, aku merasa bahwa aku bisa menaklukan dunia. Terimakasih.

Aroma cat menguar memenuhi keseluruhan mobilku yang terpakir di sebuah resta area pada kilometer terakhir sebelum aku memasuki wilayah Ayu Laga. Dengan penerangan seadanya, yang berasal dari lampu mobil di atas kepalaku, aku mengamat-amati gambar terakhir yang coba aku warnai sebaik mungkin. Aku berusaha memastikan tidak ada warna yang keluar dari pola dan hasil karyaku ini akan menjadi sesuatu yang bisa aku banggakan di depan si gadis yang akan menerimanya. Lumayan lah, bisikku pada diri sendiri, merasa mawas diri karena sedari kecil aku juga tidak pernah memenangkan lomba mewarnai apa lagi melukis. Selesai dengan urusanku itu, aku merenggangkan badan sebentar kemudian kembali mengendarai mobilku untuk menembus pekatnya malam. Sekarang pukul sebelas malas, keadaan jalanan sudah begitu sepi. Dari lampu penerangan jalan, aku bahkan bisa melihat kabut tipis menyelimuti Ayu Laga pada jam-jam selarut ini.

Aku tiba di tempat tujuanku dua puluh menit kemudian. Tanganku sibuk mengaduk-aduk dashboard berusaha menemukan kunci candangan rumah milik kekasihku. Untung saja tidak butuh waktu lama, aku melesat untuk keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah sambil menenteng sebuah paper bag berwarna cokelat muda. Rumah dengan design minimalis ini tidak kalah sepinya dengan jalanan Ayu Laga. Aku rasa, si pemilik rumah, alias kekasihku, telah terlelap dalam buaian suara jangkrik dan katak di luaran sana. Maka aku mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun agar si cantik yang aku sayangi itu tidak terusik. Paper bag yang kutenteng sejak tadi ku letakkan di atas meja ruang tamu, sementara tubuhku terus bergerak menuju sebuah kamar yang lampunya telah padam.

Senyumku mengembang kala kudapati kesayanganku benar saja sudah terlelap. Selimut hangat melindunginya dari dingin, tapi samar-samar, dengan sedikit cahaya dari lampu taman, aku bisa melihat gadis itu mengenakan hoodieku yang diambilnya saat datang ke hunianku di pusat kota. Aku menggeser kursi kayu untuk duduk di sisi ranjangnya. Mataku menyusuri wajahnya yang ayu dan tampak damai. Ingin sekali aku cium keningnya, hidungnya, bibirnya, tapi kutahan karena kedamaian tidurnya lebih penting dari pada keinginanku itu.

Sayup-sayup di luar sana aku mendengar daun saling bergesakkan, meninmbulkan bunyi yang bisa terdengar seram bagi siapapun yang penakut. Tapi aku tidak terganggu sama sekali akan hal itu. Ada ketakutan yang lebih besar dalam diriku yang aku coba tutupi dengan sikapku yang kupaksakan terlihat seperti biasanya. Ketakutan yang tiba-tiba bertambah besar saat aku menatap wajah Adzkiya. Aku takut, takut sekali, aku takut tidak bisa menatap wajah ini lagi. Silakan panggil aku pengecut, pecundang, atau panggilan lain yang menggambarkan lelaki bodoh dan lemah. Tapi sungguh, aku benar-benar ketakutan saat ini. Aku sadar betul seberapa besar kekuatan ayahku. Menyingkirkan Adzkiya dengan cara paling burukpun aku rasa dia mampu melakukannya. Karena itu aku takut. Sekali lagi aku ulangi, aku ketakutan.

Tubuhku menggigil. Aku seperti seekor kancil yang sedang diintai pemburu dari segala penjuru. Aku merasa kecil. Aku merasa dungu. Ayahku bisa berubah menjadi pemburu paling bengis untuk mendapatkan kancil itu. Harus lari kemana aku?

Aku tidak bisa membayangkan akan sehancur apa aku nanti jika Adzkiya dirampas paksa atau dituding kasar untuk pergi dari hidupku yang mulai membaik ini. Tapi bukan itu, bukan itu yang paling menakutiku. Aku jauh lebih takut membayangkan akan sehancur apa hidup Adzkiya nanti. Kehilangan sudah seperti hal paling traumatis dalam hidupnya. Dia sudah kehilangan ibunya, dia sudah kehilangan ayahnya, dia bahkan dua kali merasa kehilangan seseorang yang begitu dia cintai. Tuhan, apa jadinya dia nanti jika ayahku benar-benar memukulnya mundur? Apa jadinya nanti jika dia harus kehilangan seseorang lagi?

Sanggupkah aku melihat air mata kembali menuruni pipinya yang selalu kuciumi itu, Tuhan? Bisakah aku menahan diriku untuk tidak memaki siapapun yang membuat senyum manisnya itu hilang, Tuhan? Sanggupkah aku? Bisakah aku?

Malam makin larut, pikiranku makin kalut. Aku meraih sebalah tangan Adzkiya untuk aku ciumi dengan sayang. Aroma tangannya seharum bunga-bunga yang selalu dia genggam setiap hari. Seakan bunga-bunga indah itu dengan senang hati membagi harumnya pada si perangkai.

“Bertahan buat aku ya, Ki? Aku tau jalan kita gak bakal mudah, dari awal juga udah kayak gitu. Tapi aku mohon, kuatin hati kamu, demi kita.” Aku berbisik sepelan mungkin, bahkan lebih pelan dari helaan nafasnya yang teratur. “Ki, if we can't stop the wave, we can learn how to surf, kan? Aku bakal yakinin Papa, aku bakal coba segala cara supaya Papa gak usik kamu lagi dan kasih restunya buat kita. Tapi aku gak tau ombak itu akan surut atau justru bertambah besar, aku takut untuk mengira-ngira, Ki. Makanya aku butuh kamu, jangan kemana-kemana ya, Ki? Sebesar apapun ombaknya, aku mohon jangan lepasin tangan aku. Aku takut aku gak sekuat itu untuk laluin ombaknya sendirian.”

Kuciumi lagi tangan Adzkiya yang berbau harum itu. Aku rasa air mataku membasahi telapak tangannya. Untung saja, gadis kesayanganku itu sama sekali nampak tidak terganggu. Maka itu, aku kembalikan tangannya yang harum ke sisi tubuhnya. Aku memutuskan untuk hanya memandanginya dalam diam Satu jam, dua jam, hampir tiga jam aku pandangi dia hingga samar-sama aku mendengar kokok ayam yang entah berasal dari mana. Kulirik jam yang tergantung di salah satu sisi dinding kamar Adzkiya. Pukul empat pagi, aku harus segera kembali ke Jakarta. Kucium kening Adzkiya untuk berpamitan. Kucium lama sekali keningnya. Aku harap, tanpa suara apapun yang keluar dari bibirku, Adzkiya bisa merasakan sebesar apa cintaku padanya. Sayang, gerakanku yang sudah selembut mungkin itu tetap membangunkan si gadis kecintaanku, dia menggeliat dan membuka matanya.

“Jevan?” tanyanya dengan suara serak.

“Sssttt, maaf, aku bangunin kamu ya?” Aku berusaha menahan tubuhnya yang sudah hendak bangun. “Gak usah bangun, Sayang, lanjut bobo lagi aja ya. Aku udah mau jalan ke Jakarta lagi.”

“Sekarang jam berapa?”

“Jam empat.”

“Kamu di sini dari kapan?”

“Jam dua belas kurang,” ucapku sembari mengelus pipinya lembut. “Happy valentine, Sayang.”

Adzkiya memandangiku. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus bahuku yang masih dibalut pakaian kerja. “Kamu bahkan gak ganti baju.”

“Iya, pulang kerja aku langsung kesini. I dont want this special day lewat gitu aja, jadi aku usahain dateng nemuin kamu.”

“Padahal setiap hari juga sama spesialnya, Van.”

I know.” Tanganku berganti merapikan rambutnya yang jatuh menutupi dahi. “Yaudah aku pulang, ya? Kamu tidur lagi aja, nanti aku kabarin kalau udah di kantor.”

Kucium kening Adzkiya lagi, namun tidak selama tadi. Setelah mendapat anggukan darinya, aku melangkah keluar rumah. Memasuki mobilku dan kembali membelah jalanan lengang menuju Ibu Kota. Yang ku tahu, pagi buta itu Adzkiya kembali tidur.

Tapi nyatanya,

Gadis kesayanganku itu bangun dari ranjangnya bermaksud untuk mengintip aku yang berlalu pergi. Namun perhatiannya justru jatuh pada paper bag yang aku tinggalkan di meja ruang tamu. Adzkiya membukanya, mengambil sebuah buku jurnal yang covernya sudah aku lukis sebaik yang aku bisa.

Lukisan bunga Peony berwarna merah muda, berjumlah empat belas. Juga lukisan daun, berjumlah dua. Lukisan yang aku harap dia akan menangkap makna dibaliknya, 14-2, 14 Februari, valentine day.

Tangan lentik Adzkiya membuka jurnal itu, mendapati banyak sekali potret dirinya. Juga puluhan puisi yang aku tulis di tiap sisi yang bersebalahan dengan fotonya. Tidak lupa bunga-bunga kering yang aku gunakan untuk mempercantik jurnal tentangnya itu. Laras, asistenku, bilang bahwa sebaiknya aku memberi sesuatu yang bisa Adzkiya ingat selamanya dari pada memberinya sesuatu yang bisa dia simpan selamanya. Tapi aku memutuskan untuk memberi Adzkiya keduanya, kenangan dalam bentuk yang dia bisa ingat dan simpan, selamanya.

Di pagi buta itu, aku tidak tahu kalau jurnal yang kurangkai sedemikian rupa itu ditetesi air mata tanpa sengaja. Untungnya, air mata itu adalah air mata kebahagian. Air mata yang bulirnya terlihat seperti kristal.

Di pagi buta itu, aku tidak tahu bahwa Adzkiya mengatupkan kedua tangannya dan memohon pada Tuhan agar diberi seribu hari valentine lagi bermasaku.