petrichorslines

Saat kecil dulu, ketika ditanya oleh Ibu Panti, hal apa yang paling aku takuti, aku akan menjawab dengan lantang bahwa hal yang paling aku takuti adalah hantu. Hantu apa saja, hantu yang mungkin saja ada di belakangku saat aku berjalan di lorong gedung tua panti asuhan tempatku tinggal, atau bisa saja jenis hantu yang merangkak keluar dari kolong ranjangku dengan mata melotot. Lalu, saat akhirnya aku berangsur-angsur tumbuh dewasa, aku menyadari bahwa ada banyak sekali hal yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu itu. Saat aku dewasa, aku mulai sadar bahwa aku lebih takut ditinggalkan oleh orang yang berarti dalam hidupku dari pada berpapasan dengan hantu koridor. Aku juga sadar bahwa lebih menakutkan untuk dilupakan oleh orang yang aku cintai daripada mendapati ada hantu di kolong ranjangku.

Dan benar saja, tubuhku sekarang gemetar. Seluruh bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Keringat deras mengaliri kening hingga jatuh membentur lantai menimbulkan bunyi yang terasa nyaring di telingaku yang tidak berfungsi. Aku takut. Aku ketakutan. Ponsel di tangan kananku masih menyala, menampilkan pesan dari Klarisa yang masuk beberapa menit lalu.

“Kak, Jevan sadar. Tapi waktu aku bilang mau telfon Kak Kiya, dia nahan aku dan bilang ngapain lo telfon Kak Kiya? Harusnya lo telfon Elen, Ca. Setelah dicek sama Kak Garend, ternyata Jevan kena Amnesia Retrograde dimana beberapa ingatannya hilang. Jevan gak inget kalau Kak Kiya sekarang pacar dia, dia gak inget aku sama Jaenan udah nikah, dia bahkan gak tau siapa Gio. Aku gak tau harus gimana, aku ngabarin Kak Kiya supaya nanti waktu Kak Kiya kesini, Kakak gak kaget liat keadaan Jevan.”

Aku takut. Sekali lagi aku bilang, aku takut. Harus apa aku sekarang? Pergi ke rumah sakit untuk melihat sendiri keadaan Jevan dan membuktikan perkataan Klarisa? Atau sebaiknya aku diam saja di rumah agar terhindar dari sakit hati jikalau yang dikatakan Klarisa adalah benar? Otak dan batinku berperang, argumen ini dan itu berkemelut di otakku. Lalu akhirnya, batinku menang. Aku memutuskan untuk berlari ke John Medical tanpa memperdulikan bahwa sebelah sepatuku terlepas dan entah tertinggal dimana, menyebabkan aku berjalan tertatih-tatih menuju ruang rawat Jevan dengan keadaan kaki yang terluka akibat bergesekan dengan rerumputan dan mungkin saja ilalang tajam.

Ketika aku masuk ke ruangan berbau obat pekat itu, tidak ada sapaan ramah sama sekali. Semua orang menunduk dalam-dalam, seakan enggan membanjiri aku dengan tatapan kasihan. Mengabaikan itu semua, kupaksakan kakiku yang pincang berjalan terus ke dalam, mendekat pada ranjang dan menatap Jevan yang menatapku bingung. Kami bersirobok pandang selama beberapa detik. Bibirku terkunci rapat. Hatiku menjerit memohon agar Jevan menyambutku selayaknya ia yang biasanya. Aku berdoa pada Tuhan bahwa apa yang dikatakan Klarisa adalah gurauan semata. Namu sial, bahkan setelah sekain detik terbuang tanpa arti, wajah Jevan tetap datar saat menatapku. Bibirnya yang pucat itu hanya berkata lirih, “Kok Kak Adzkiya tau gue dirawat? Dikasih tau Bang Garend, ya?”

Lucu. Lucu sekali. Semesta dan takdir tidak pernah kehabisan akal untuk bercanda denganku. Rasanya, tidak ada habisnya guraun yang terus takdir lontarkan pada aku yang sudah seperti raga kosong tanpa nyawa ini. Setelah ini apa lagi? SETELAH INI APA LAGI?

“Kak, kok diem aja?” Jevan bertanya lagi, masih dengan suara lemah.

Aku tidak kunjung menjawab, bibirku bergetar. Luka menganga pada hatiku seakan dikucuri perasaan jeruk limau hingga rasa nyerinya begitu gila. Aku mencoba menatap ke semua orang yang ada disana dengan padangan kaburku. Tapi mereka semua seperti manekin bisu yang enggan bicara. Tidak ada satu pasang matapun yang memberi aku kekuatan. Juga tidak ada sepatah katapum dari mulut mereka yang memberiku kekuatan.

Pada akhirnya, aku hanya memiliki diriku sendiri. Diriku yang sudah melalui banyak hal menyakitkan hingga akhirnya merasa terbiasa. Aku harus menguatkan diriku sendiri. Karena itu, buru-buru kukontrol diriku, kusesap kembali air mata yang hendak turun dan kuusap yang sudah terlanjur tumpah. Aku menatap Jevan dengan pandangan tenang dan berkata, “Iya, tadi dikabarin Garend. Jadi pas anter bunga, gue mampir buat jenguk. Gimana keadaan lo sekarang, Jev?”

Jev

Aku tidak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu semenjak kami bersama— karena dia bilang panggilan itu adalah panggilan dari seluruh kawan-kawannya dan aku bukanlah kawannya. Dia selalu bilang, aku adalah kekasihnya, masa depannya, wanita spesial yang akan menemani sisa umurnya. Tapi lihatlah semuanya sekarang, di mata Jevan, aku bukanlah siapa-siapa lagi yang artinya aku tidak bisa lagi memanggilnya dengan sebuatan Van.

“Baik, Kak. Cuma agak sakit-sakit aja nih, kayaknya Papa mukulinnya kekencengan. Tapi gue lupa deh, gue dipukul karena berulah apa lagi, ya?”

God, he doesnt even remember who made him like this and he doesnt remember the reason behind all of this. Entah harus bersyukur atau mentertawakan diri, aku merasa lega saja bahwa bukan hanya posisiku yang terhapus dari ingatannya.

Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Kuku-kuku jariku memutih seolah tidak ada darah yang mengaliri pergelangan tanganku sangking kencangnya tanganku mengepal. Aku tidak pernah tahu bahwa berusaha kuat akan semenyakitkan ini. Karena sekuat apapun aku berusaha menegarkan diri, ada bagian dari diriku yang hancur berkeping-keping jika aku lebih lama berada disini. Air mata yang tadi sudah kusesap habis kembali ke dalam tubuh melalui pori-poriku, kembali menggenang di pelupuk mata dan siapa memperlakukan diriku dengan kembali luruh.

Karena itu, dengan cepat aku berbalik. Membelakangi Jevan yang masih menatapku datar. “Yaudah, gue balik ke florist deh. Bye, semua.”

Kuseret kakiku yang penuh luka gores keluar dari ruangan Jevan. Tidak ada satupun dari mereka yang menahanku atau setidaknya mengantarkan aku keluar. Semuanya diam. Bahkan sampai aku, seorang diri, melewati lorong-lorong panjang, tidak ada satupun dari mereka yang menyusulku. Air mata sialan itu akhirnya luruh lagi, aku jatuh terduduk di sisi lorong yang sepi. Membungkam bibirku dengan kedua tangan agar eranganku tidak mengganggu siapapun. Aku hancur. Sungguh, aku hancur. Kepercayaan diriku untuk menghadapi Pak Alex bahkan luruh. Biarlah sekarang Pak Alex mentertawakan aku jika dia tahu keadaan anaknya. Aku rasa, Pak Alex justru akan senang dengan keadaan Jevan sekarang. Laki-laki kejam itu tidak perlu lagi susah payah berusaha memisahkan aku dan Jevan karena takdir telah melakukan tugas itu untuknya. Pak Alex akan bersukacita di atas hancurnya satu-satunya kebahagiaanku. Bisa apa aku sekarang, Tuhan?

Lorong panjang John Medical saat itu menjadi satu-satunya saksi betapa pedihnya erangan yang mati-matian aku tahan.

Pagi di Ayu Laga selalu sama. Kabut, udara dingin, suara gemercik dari air terjun nun jauh di perbukitan. Semuanya selalu sama. Orang-orang di Ayu Laga terbiasa memulai kegiatan mereka pada pukul sembilan pagi, saat kabut mulai menipis dan udara dingin perlahan digerus sinar hangat mentari. Di antara pertengkaran udara dingin dan hangat mentari itu, aku berjalan di atas rerumputan basah dengan berjalan kaki, menuju satu-satunya rumah sakit di kota tempatku tinggal ini. Di tangan kiriku, aku menenteng keranjang rotan berisi beberapa tangkai bunga segar yang aku ambil dari florist. Sementara di tangan kiriku aku membawa sebuah paper bag berukuran cukup besar yang berisi makanan dan beberapa buah-buahan potong siap makan, yang sengaja aku siapkan untuk Klarisa dan Juan. Tiga orang petugas kebersihan menyambut kedatanganku dengan senyum. Mereka tidak lagi menanyakan tujuan kedatanganku karena mereka telah terbiasa melihat aku berkeliaran di John Medical sepagi ini— seringnya untuk mengantar pesanan bunga. Setelah membalas senyum ketiganya, aku berlalu membelah koridor rumah sakit yang lengang. Menuju sebuah ruangan dimana aku akan menghabiskan sisa hariku.

“Pagi, Sayang.” Aku menyapa Jevan yang masih terbaring tanpa daya di atas ranjang. Matanya masih menutup rapat seakan enggan menatap dunia yang telah berlaku begitu keji padanya.

Kuletakkan beberapa tangkai bunga yang aku bawa ke atas nakas, tepat di sebelah ranjang Jevan. Aku kemudian duduk di kursi yang setia berada di sisi ranjang. “Aku bawa bunga buat kamu, tapi karena kamu gak pernah tau bunga kesukaan kamu apa, jadi aku bawain aja bunga kesukaan mama kamu.”

Aku bermonolog lagi, menceritakan tentang bagaimana dia bisa sampai disini. Aku ceritakan padanya bahwa Markio sempat kebingungan untuk meyakinkan pihak Lagom Hospital akan mengizinkannya memindahkan Jevan ke rumah sakit yang dianggap kecil ini. Aku ceritakan bahwa Jaenandra dan Raechan sempat kembali menangis ketika mereka harus kembali ke Jakarta dan meninggalkan Jevan disini.

“Kamu harus liat semerah apa mata Raechan, Van. Temen kamu itu, yang kamu bilang temen yang bangsatnya sama kaya kamu, dia nangis di pelukan Kayana.” Aku berbicara sembari menciumi tangannya yang pucat. “Oh iya, kemarin Gio juga ikut kesini. Dia manggilin nama kamu terus. Om Pan, Om Pan, gitu.”

Mata Jevan memang tertutup, tapi aku meyakinkan diriku bahwa Jevan pasti bisa mendengarku. Aku yakin sekali bahwa dalam keadaan lemahnya ini, orang yang begitu aku sayangi ini tengah berjuang untuk hidupnya. Aku mendongak saat aku merasakan dorongan panas memenuhi mataku yang sepertinya mulai memerah. Kutahan mati-matian air mata sialan itu agar tidak kembali menggenang. Sudah cukup, sudah cukup Jevan mendengar tangisanku.

“Van, waktu itu kamu bilang kan, kamu takut kalau weekend ini gak bisa ke Ayu Laga? But look where you are now, kamu udah di Ayu Laga, padahal ini masih weekday.” Aku memaksakan tawa, berusaha mengalahkan suara mesin menyebalkan yang selalu mengingatkanku tentang betapa parahnya keadaan Jevan. “Laras nanti katanya mau kesini, dia mau marahin kamu karena gak masuk kantor.”

Kutatap wajah Jevan yang masih penuh luka— meskipun beberapa mulai mengering. Aku menyentuh luka-luka itu sambil terus memohon pada Tuhan agar Ia berbaik hati untuk memberi Jevan lebih banyak waktu untuk bersamaku. Saat kusentuh pipinya yang pucat, aku teringat bahwa kedua pipi itu sering menjadi sasaranku ketika Jevan sedang bersikap menyebalkan. Biasanya, aku akan menggigit kedua pipi menggemaskan itu kala Jevan terus menggangguku dengan keisengannya yang seakan tidak ada habisnya. Tanganku turun, menyentuh bahunya yang bidang, tempat aku biasanya mendaratkan kecupan-kecupanku saat dia usai mandi— karena di sanalah Jevan menyimpan aroma terbaiknya.

Menyakitkan, segalanya terasa menyakitkan saat aku tidak lagi bisa melakukan apa yang selalu kami lakukan seperti hari-hari lalu. Aku rindu Jevan, aku rindu Jevanku. Aku rindu dia yang selalu mengirimkan foto-foto dirinya setiap pagi atau kapanpun saat dia mau. Aku rindu dia yang selalu menelfonku tanpa henti saat aku tidak kunjung membalas pesannya.

Sekarang kenapa Jevanku jadi seperti ini? Jangankan untuk mengangguku, menggerakkan tangannya saja dia tidak mampu. Jevanku baik-baik saja tiga malam lalu. Kenapa bajingan-bajingan itu merenggut Jevanku dengan cara seperti ini?

“Van, mau sampai kapan tidurnya?” tanyaku pelan, tentu saja tidak akan mendapat jawaban. Tapi aku ingin bertanya saja. Barangkali dengan begitu, Tuhan akan iba.

Tanpa aku sadari, air mata yang sudah aku tahan mati-matian tetap luruh juga. Membasahi kedua pipiku yang semakin kurus karena belum ada sebutir nasipun yang masuk ke perutku sejak detik pertama aku mengetahui keadaan Jevan.

Van, aku nangis, loh. Kamu gak mau usap air mata aku? Katanya kamu benci liat aku nangis, sekarang kok diem aja? Ayo, Van, gerakin tangan kamu, usap air mata aku.

Batinku menjerit-jerit mengulang kalimat itu. Meskipun di ruangan ini tetap sunyi karena tenggorokanku terlalu sakit, akibat terlalu banyak menangis, untuk bisa kuajak bekerjasana mengeluarkan suara.

Suara ketukan pintu membuat aku buru-buru mengusap air mata dan memaksakan senyum. Menyambut Klarisa dan Juan yang masuk ke ruangan diikuti Garend dan Juwan di belakang mereka.

“Pagi, Kak.” Klarisa berjalan ke arahku dan memelukku singkat kemudian meletakkan sebuah speaker kecil di atas nakas.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Terapi musik untuk Jevan, Ki.” Garend menyambar pertanyaanku. “Mudah-mudahan setelah ini ada perkembangan baik, kita tunggu sama-sama, ya?”

Aku hanya mengangguk. Terlalu lemah untuk berkata lebih banyak.

“Aku udah nambahin lagu kesukaan Jevan kalau lagi kumpul sama kita-kita di playlist ini, Kak Kiya tolong tambahin lagu-lagu yang sering Kak Kiya dengerin waktu lagi sama Jevan juga, ya.”

Hanya perlu sepersekian detik bagiku untuk menambahkan satu lagu yang selalu aku dengarkan bersama Jevan. Lagu yang Jevan bilang adalah penggambaran aku dan dia. Lagu yang seakan mewakili kami.

Rewrite The Stars milik Zac Efron dan Zendaya.

Lagu tentang keyakinan Jevan akan hubungan kami dan tentang keyakinanku yang terhalang realita untuk bersamanya. Jevan selalu meneriakkan lirik So who can stop me if I decide that you are my destiny? Dan aku akan membalasnya dengan meneriakkan lirik But there are mountains and there are doors that we can't walk through. Penggambaran yang sempurna, bukan?

Air mata menghalangi pandanganku lagi. Tanganku gemetar kala mengembalikkan ponsel Klarisa kepada pemiliknya. Dayaku tidak ada, kekuatanku lenyap. Aku butuh Jevan. Aku butuh dekapannya yang senantiasa melengkapi aku. Aku butuh kalimatnya yang selalu menenangkan. Aku butuh segalanya tentang Jevan, Jevanku.

Bau obat-obatan dan bunyi berbagai alat seakan menggebrak seluruh indra dalam diriku yang bekerja setengah hati. Seluruh dinding ruangan yang dicat putih semakin mengaburkan pandanganku yang telah terhalang air mata yang menumpuk di pelupuk mata. Lututku seakan enggan diajak bekerja sama untuk mendekat pada ranjang dimana ada seseorang yang begitu aku cintai terbaring di sana. Seluruh persendianku terasa nyeri, rasanya aku tidak mampu lagi menopang tubuhku jika tidak dengan bantuan Jaenandra yang sejak tadi setia memegangiku. Pipiku memerah karena aku berkali-kali menampar pipiku guna meyakinkan diri bahwa apa yang aku hadapi sekarang bukanlah mimpi. Di sudut ruangan, samar-samar, aku mendengar isakan tangis yang begitu pilu. Aku yakin suara itu berasal dari kawan-kawan Jevan yang sudah tidak perlu lagi aku jelaskan betapa dekatnya mereka.

Jaenandra membimbingku untuk duduk di sisi ranjang, begitu dekat dengan Jevan hingga aku bisa menyentuh lengannya yang penuh luka. Lewat mata yang masih juga kabur, aku pandangi seluruh bagian tubuh orang yang aku sayangi itu. Keningnya diberi perban, hidungnya diberi alat bantu pernafasan, dadanya dipasangi berbagi alat untuk mengecek keadaannya, bahkan ujung jarinya pun diberi alat penjepit yang aku tidak tahu apa gunanya. Separah ini kah keadaan Jevan hingga sekujur tubuhnya diberi alat bantu? Apa yang sudah Babi-Babi sialan itu hantamkan pada tubuh laki-laki berhati lembut ini?

“Van...” Bibirku bergetar kala mengucapkan nama itu. Aku ingin mengucapkan lebih banyak kalimat tapi tenggorokanku seakan tercekat hingga yang keluar hanyalah udara tanpa suara.

Aku punya banyak teman yang bekerja di rumah sakit. Bahkan sahabat karibku adalah seorang pemilik rumah sakit di kota kecil tempatku tinggal. Aku pernah berbulan-bulan berada di rumah sakit ketika aku menemani Sagara pengobatan, aku pernah mengencani seorang dokter, aku juga menyediakan jasa pesan-antar bunga ke rumah sakit yang bernama John Medical. Tapi jangan salah sangka ya, semua hal itu bukan alasan bagiku untuk menyukai rumah sakit, kan? Apa lagi yang harus aku hadapi adalah hal sepedih ini.

Dengan gemetar tanganku menyentuh lengan Jevan yang terkulai lemah di sisi tubuhnya. Aku menyentuhnya pelan sekali, seakan lengan kekar ini berubah menjadi sesuatu yang begitu mudah hancur. Kuelus pelan lengan itu, seperti yang selalu aku lakukan kala hanya ada kami berdua di rumahku. Bedanya, tangan kekar ini tidak lagi mampu menggenggam jari-jariku yang saat ini sedingin es.

“Van, yang kuat, ya? Kak Kiya ada disini. Anak-anak yang lain juga ada disini, nemenin lo. Nanti kalau lo bangun, kita beli mainan buat Gio, ya? Soalnya sekarang Gio lagi dititipin ke neneknya karena Papa sama Mamanya mau jagain lo.”

Aku mendengar bisikan Jaenandra di telinga Jevan yang laki-laki itu ucapkan di sela isak tangisnya yang tertahan. Jaenandra bahkan tidak ragu untuk mengelus pelan kepala Jevan dengan penuh perasaan sayang.

“Kalian boleh pergi, saya sudah ada disini.”

Suara itu terdengar seiring dengan suara ketukan pantofel yang bertemu dengan ubin putih rumah sakit. Parfum dari si pemilik suara langsung menggilas aroma obat pekat yang sebelumnya menguasai ruangan. Semua mata langsung terarah kepada si pemilik yang suara yang tampak gagah dalam balutan jas lengkap. Jangan lupakan jam dengan harga ratusan jusa yang melingkar di tangan kirinya.

“Terutama kamu, saya harap kamu bisa pergi dari sini.” Suara itu terdengar lagi, menusuk langsung ke arahku. “Saya gak perlu suruh orang saya untuk menyeret kamu dari sini, kan?” tanyanya dengan suara sama sekali jauh dari kesan ramah karena aku tidak beranjak dari kursiku.

Why should I, tho?

“Kalian dengar saya, kan?” Laki-laki itu berucap lagi saat tidak ada satupun dari kamu yang mengidahkan entah itu permintaan atau perintahnya.

“Saya akan tetap disini,” ucapku tegas, tentu tanpa memandang orang itu. “Entah saya mendapat izin atau tidak, saya akan tetap ada disini, bersama Jevan, menjaga Jevan.”

Come on, saya papanya. Saya ada disini dan saya juga yang dia butuhkan.”

Decihan tidak hanya terdengar dari bibirku saat Pak Alex mengucpkan kalimat itu tanpa rasa malu sama sekali. Seolah bukan dialah orang yang mengirim Jevan ke ruangan ini.

“Justru karena ada Bapak disini, saya semakin punya alasan untuk menjaga Jevan. Saya tidak akan menitipkan seekor kelinci yang terluka pada seekor harimau yang lapar.”

Entah bagaimana raut wajah Pak Alex mendengar ucapan lancangku, aku sungguh tidak perduli. Keadaan Jevan yang belum juga sadarkan diri bahkan setelah serangkaian perawatan mengambil alih hampir seluruh fokusku.

“Kalau kamu tidak juga mau keluar...”

“Saya rasa memang Om Alex yang harus pergi dari sini.”

Suara Juan tidak keras, tapi penekanannya cukup untuk membuat Pak Alex diam. Ketika aku melirik untuk melihat ekspresi ayah kandung Jevan itu, aku bisa melihat wajah Pak Alex mengeras. Tatapan matannya tajam terarah pada Juan yang juga menatapnya nyalang. Aku belum pernah melihat Juan seperti ini sebelumnya. Kawan Jevan yang paling mungil itu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan untuk berada di hadapan Pak Alex.

“Om mungkin tahu seberapa besar kami menghormati Om karena selama ini Om Alex baik pada kami, tapi untuk hari ini saja, saya mohon izinkan saya mengusir Om Alex dari sini.” Tidak ada nada takut dalam suara Juan. Matanya pun bahkan tidak berkedip. “Yang Jevan sekarang butuhkan itu Kak Adzkiya, bukan Om.”

“Juan...”

“Butuh berapa lama lagi ya, Om, suapaya Om Alex bisa paham kalau apa yang Om lakukan selama ini bisa membahayakan nyawa Jevan? Butuh berapa banyak lagi tulang yang patah sampai Om bisa paham kalau apa yang Om lakukan ini salah?!” Juan membentak Alexander dengan suaranya yanga lantang. Dari tempatku duduk, aku bisa merasakan kemarahan terpendam yang sudah Juan pendam entah sejak kapan.

“Wan...” Markio berusaha menengahi.

“Om selalu ninggalin Jevan setelah puas mukulin dia, tapi Om gak pernah tau seberapa susah anak Om itu buat ngobatin luka-lukanya! Om gak pernah ada di sana! Om gak pernah tau kalau Jaenan dan Raechan harus ganti-gantian gendong Jevan di punggungnya karena Jevan gak kuat lagi untuk jalan karena kakinya hampir Om patahin! Om gak pernah tau seberapa sering Kak Kiyo ngecek kotak p3k di mobilnya supaya dia bisa selalu standby untuk kasih pertolongan pertama ke luka-luka Jevan. Om gak pernah tau seberapa susah buat Kak Aya, Ica dan Elen belajar masak pakai resep yang ditinggalin Mamanya Jevan supaya Jevan mau makan lagi setelah rahangnya Om buat bengkok! Om gak pernah tau, kan? Karena Om selalu ninggalin dia tanpa pernah tau gimana cara dia keluar dari semua rasa sakitnya!”

Setelah mengutarakan semua amarahnya, Juan menjatuhkan kedua lututnya di lantai kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Sambil mendongak, Juan berkata lirih, “Karena itu, saya mohon, Om Alex pergi dari sini. Biarin Jevan istirahat. Anak Om itu hampir mati.”

Air mata membanjiri pipi Juan yang memerah karena amarahnya belum tuntas. Masih sambil mendongak, dia menatap Pak Alex yang memandangnya dingin.

“Saya mohon, Om, kali ini aja, kali ini aja Om bersikap selayaknya seorang ayah.”

Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Pak Alex meninggalkan ruangan. Membuat Juan menghembuskan nafas lega dan terduduk memeluk kedua lututnya. Laki-laki itu, kawan baik Jevan itu menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya. Isak tangis terdengar setelah itu. Tubuh Juan bergetar hebat saat Raechan mendekat padanya yang menepuk bahunya pelan.

Sungguh, aku tidak akan lupa bagaimana tangis Juan hari itu. Tangis yang terdengar paling pilu, bahkan lebih pilu dari tangisku.

Jika kalian mengira aku adalah orang yang paling terpukul atas kejadian ini, maaf, kalian salah.

Juan, Juan adalah orang yang paling menderita akibat semua luka yang tergores jelas di sekujur tubuh Jevan. Karena dia lah yang pertama kali menemukan Jevan terkapar tidak berdaya di depan mobilnya yang terparkir di basement apartemen. Juan yang langsung berlari untuk menemui petugas keamanan apartemen dan meminta rekaman CCTV. Juan pula orang pertama yang menyaksikan bahwa ada lebih dari sepuluh orang keluar dari mobil dengan logo Novanda Group dan memukuli Jevan dengan berbagai jenis benda tumpul yang bahkan tidak sanggup dia sebutkan.

Tuhan, aku tahu engkau menyayangi Jevander. Tapi izinkan dia bersama kami lebih lama dari ini

Entah Tuhan akan mendengar doaku atau tidak.

Masih sama dengan akhir pekan di puluhan hari yang lalu, aku masih terus membelah jalanan ini mulai pukul empat sore. Aku bahkan sampai hafal brosur apa yang tertempel pada tiang jalan di kilometer 74 atau jenis bunga apa yang ada di pinggir jalan kilometer 120. Rutinitasku juga selalu sama, berhenti di area peristirahatan pada kilometer terakhir sebelum gerbang keluar TOL. Aku akan memesan satu cup ice americano untuk menemani sisa perjalananku. Jika keadaan sedang baik, aku bisa menikmati keindahan pemandangan surya yang tergelincir di sisi barat bumi saat aku sudah masuk ke area Ayu Laga, namun jika keadaan sedang gila di jalanan kota, aku biasanya menikmatinya saat baru saja tiba di pintu masuk TOL. Khusus hari ini, aku tidak bisa menikmati momen indah itu karena hujan mengguyur sejak siang tadi.

Mobilku berbelok ke jalanan utama Ayu Laga setelah keluar dari gerbang TOL. Dari perempatan utama, aku bisa melihat Kiya Florist yang di dalamnya berisi seorang gadis yang tampak sibuk menata bunga ke dalam lemari penyimapan. Senyumku mengembang, aku bahkan mengikuti irama dari musik yang sejak tadi hanya aku gunakan sebagai pembunuh keheningan. Perasaan senang ini selalu muncul kala figure gadis cantik itu bisa aku tangkap dengan indra pengelihatanku. Kupacu mobilku menuju toko bunga itu dengan segera, kuparkirkan tepat di depannya dan aku turun untuk menyapa dua orang yang menunggui gadis itu sejak tadi.

“Aman, Pak?” sapaku pada salah seorang dari mereka yang langsung mengangguk sopan saat melihat kehadiranku.

“Aman, Pak Jevan,” jawabnya sembari menjabat tanganku yang kuulurkan. “Mbak Kiya sepertinya sebentar lagi akan pulang.”

“Iya, nanti biar Kiya pulang sama saya aja. Pak Anton bisa begabung sama Pak Erick aja di sekitar rumah Kiya.”

Kedua bodyguard yang aku sewa untuk menjaga kekasihku itu langsung mengangguk paham. Mereka membungkuk hormat sekali lagi kemudian hendak beranjak untuk masuk ke mobil.

“Pak Anton, sebentar,” cegahku. “Ini... tolong bawa mobil saya, ya? Saya jalan kaki aja sama Kiya.” Aku menyerahkan kunci mobilku pada mereka yang tampak ragu untuk menerimanya. Aku bisa melihat mereka berdua saling sikut untuk menerima kunci mobilku.

“Mas... Masa Pak Jevan jalan, kami naik mobil sih, Pak? Kami ikut jalan aja sama Bapak, ya?”

Aku terkekeh pelan dan maju selangkah untuk mendekati Pak Anton. Kutepuk pundaknya pelan dan kuletakkan kunci mobilku di saku dada jas yang dikenakannya. “Udah gak papa, saya butuh waktu ngobrol sama Adzkiya. Dan ini...” Aku memasukkan sesuatu yang lain lagi pada saku jas yang sama— sebuah kartu berwarna hitam. “Ini, nanti sebelum kumpul sama Pak Erick, tolong beli makanan yang bisa kalian makan bersama, ya? Terserah Pak Anton mau beli apa, bebas. Asal jangan mabuk,” gurauku.

Butuh beberapa waktu sampai aku berhasil meyakinkan Pak Anton dan seorang rekannya untuk pergi. Mereka terus mengatakan bahwa sudah tugas mereka mengawal dan melindungi Adzkiya, tapi aku yakinkan bahwa ketika ada aku, mereka bisa sedikit bersantai. Mendengar itu, Pak Anton akhirnya meninggalkan area parkir Kiya Florist, menyisakan aku yang langsung masuk ke dalam toko bunga milik kekasihku.

Sebuah pelukan hangat langsung aku berikan pada gadis yang tampak cantik dalam balutan gaun berwarna biru yang dipadukan dengan sweater rajut dengan warna senada itu. Tanganku melingakari pinggangnya dari belakang, kuletakkan daguku pada bahunya setelah mencium bau rambutnya yang seharum bunga. Adzkiya tidak merasa terkejut sama sekali karena tadi dia sudah melihat aku berbicara di luar.

“Kenapa mobilnya dibawa Pak Anton?” tanyanya.

“Aku mau jalan aja sama kamu.”

Mataku tertutup rapat menikmati elusan yang Adzkiya berikan pada lenganku yang masih setia melingkari pinggangnya. Urat-urat pada tubuhnku seakan langsung mengendur santai kala elusan itu makin lama makin terasa meneduhkan jiwaku yang sedang kacau. Para pujangga itu benar, ketika menemukan orang yang tepat, jantungmu tidak lagi bergedup cepat, mereka justru setenang aliran sungai.

“Kamu gak capek emang? Baru pulang kerja, langsung nyetir kesini, sekarang malah mau jalan lagi ke rumah akunya.”

“Kalau capek nanti minta pijitin kamu lah,” jawabku asal.

Elusan pada lenganku kini berubah pukulan pelan.

“Iya, iya, bercanda. Sensi banget, hamil kamu ya?”

“Ngaco.”

Aku tidak menjawab lagi, kubiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami berdua. Adzkiya kembali sibuk dengan bunga-bunganya di lemari penyimpanan sementara aku sibuk menurunkan sweater rajut yang dia kenakan. Adzkiya selalu mengenakan outer ketika gaun yang dia kenakan adalah jenis gaun tanpa lengan, itu juga yang menjadi tujuanku ketika menurunkan sweater rajut yang dia kenakan— agar aku bisa menciumi bahunya yang tetap harum bahkan berjam-jam setelah dia mandi. Aku menyukai bagaimana sensasi ketika bibir atau hidungku bersentuhan dengan kulitnya yang selembut sutra. Ditambah lagi area bahu dan leher Adzkiya adalah bagian tubuh yang menyimpan aroma terbaik. Adzkiya tidak nampak risih sama sekali kala aku mendaratkan kecupan-kecupan kecil pada bahunya, dia hanya sesekali terkekeh karena merasa kegelian.

“Aku harap kamu gak lupa kita lagi di florist ya, Jevan.” Adzkiya memperingatiku ketika tanpa sadar bibirku telah mendarat begitu saja pada sisi lehernya, nyaris meninggalkan jejak disana.

Let's go home, then.” Aku membenarkan posisi sweater rajut Adzkiya, menunggunya selesai dengan urusannya dan mengajaknya berjalan menjauh dari Kiya Florist setelah mematikan lampu dan mengunci pintu toko.

Kami berdua berjalan menyusuri jalanan berbatu yang membelah puluhan hektar kebun teh, sambil bergandengan tangan tentu saja. Sebuah hal yang selalu aku inginkan tapi baru kali ini bisa aku wujudkan. Dulu, sebelum hubungan kami akhirnya diketahui semua orang, Adzkiya selalu menolak tiap kali aku ingin berjalan bersamanya di kota kecil ini. Dia selalu takut ada yang melihat kami. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang perlu kami takutkan, kecuali Papa.

Papa yang membuat malamku kembali susah tidur. Papa yang membuat pikiranku berkelana memikirkan keselamatan gadisku dan kawan-kawanku bahkan ketika aku ada di tengah rapat penting. Papa yang membuat aku tidak nafsu makan bahkan ketika perutku melilit menuntut makanan masuk.

Jalan berbatu yang selalu dihina Juan sebagai jalanan setan ini masih jauh lebih baik dari pada perjalananku dengan Adzkiya yang terkesan ditaburi ribuan duri tajam. Jalanan itu membuat kakiku juga kaki Adzkiya luka-luka dan berdarah-darah. Jalanan itu membuatku takut bahwa salah satu dari kami pada akhirnya enggan melanjutkan perjalanan dan menyerah.

“Kita sampai kapan ya, Van, kayak gini?”

Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya. “Kamu takut ya?”

“Aku nggak takut sama Papa kamu, tapi aku takut kamu kepikiran masalah ini sampai sakit.”

Jalanan Ayu Laga tidak memiliki penerangan hingga aku tidak bisa memeriksa ekspresi wajah Adzkiya saat itu. Tapi dari suaranya, aku bisa menangkap kekhawatiran yang kentara.

“Aku pernah ngadepin Papa yang gak izinin aku untuk main musik, aku berkali-kali dipukulin karena ngeyel main musik diem-diem, so this isn't my first time Jangan khawatir.” Aku memaksakan senyum meskipun sepertinya Adzkiya juga tidak bisa membaca raut mukaku sebagaimana aku gagal membaca raut wajahnya.

“Aku capek, Van.”

Otot-otot yang tadi sempat mengendur kembali menegang. Manik mataku bergerak-gerak gelisah. Ucapan Adzkiya selayaknya petir yang terdengar menakutkan di tengah tenangnya malam. Buru-buru aku menghentikan langkah dan memegang kedua bahunya agar dia menatapku. Kini, dengan sedikit cahaya dari bulan dan bintang-bintang yang menyaksikan kami dari atas sana, aku bisa melihat wajah Adzkiya yang terlihat letih.

“Kamu beneran capek?” tanyaku memastikan, seolah tidak percaya kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir ranumnya.

“Iya, aku capek, Van. Aku capek.” Adzkiya menjawab dengan yakin.

Keyakinan dalam suaranya seakan meruntuhkan segala kepercayaan diriku untuk menghadapi Papa. Sekarang aku harus apa jika gadis yang aku perjuangkan malah menyerah seperti ini?

“Ki, liat aku, jangan capek dulu ya? Aku mohon. Aku tau semua ini berat, tapi aku ada untuk kamu. Kita yakinin Papa aku bareng-bareng ya...”

Ucapanku tidak selesai karena Adzkiya lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibirku. Kecupan itu tidak berlangsung lama, bahkan kurang dari satu menit. Setelahnya, sebelah tangan Adzkiya menunjuk area desa Ayu Laga dan dia berkata lirih, “Aku capek harus jalan kesana, Van. Kaki aku pegel.”

Sungguh, saat itu aku seakan ditertawakan semesta. Bahkan bulan yang tadi menyinari kami dengan cahayanya langsung bersembunyi di balik awan karena aku rasa dia tidak sanggup menahan tawanya. Suara katak dan jangkring bersahut-sahutan seolah menggunjing kebodohanku.

Sial.

Tidak bisakah mereka memahamiku yang begitu ketakutan akan satu kata capek ini?

Aku tersenyum lagi pada Adzkiya yang menatapku dengan tatapan mengiba. “Aku gendong mau?”

Raut wajah Adzkiya langsung kembali sumringah. Gadis yang tadi mengadu sudah lelah itu bahkan meloncat-loncat pelan sembari meunggu aku melepaskan jas dan berjongkok di depannya.

“Naik,” pintaku yang langsung diturutinya. Aku mengangkat tubuh Adzkiya di punggungku. Membawanya kembali menjelajahi jalanan berbatu di Ayu Laga.

Ya, begini saja, Ki. Bahkan jika kamu lelah akan perjalanan ini, aku bisa menggendongmu. Asal kamu tidak menyerah akan kita. Karena jika tidak dengan kamu, aku tidak mau dengan siapa-siapa lagi bisikku pada diriku sendiri malam itu.

A wise man said, never mess up with a quiet person or you will regret it.

And this is what that wise man means.

Aku duduk di atas karpet berbulu di ruang studio pribadi milikku sementara kawan-kawanku yang lain duduk di atas sofa. Mereka semua menatapku intens, kecuali Klarisa dan Juan yang menatapku dengan tampang kita harus gimana nih?

Jaenandra, kawanku yang cukup pendiam di antara yang lain, menatapku paling nyalang, dari tatapan itu aku bisa melihat kemarahan yang luar biasa besar. Jaenandra, kawanku yang sering menarik dirinya dari peradaban itu adalah sosok yang paling tidak ingin terlibat masalah, tapi sekali dia berada di situasi yang membuatnya marah maka tidak seorangpun berani mendekat. Termasuk aku, atau bahkan Kak Kiyo yang usianya setahun lebih tua dari kami.

Sebuah ponsel dengan layar menyala menampilkan fotoku dan Adzkiya, diletakkan dengan sengaja oleh laki-laki itu di atas meja di depanku. Seolah dengan sengaja menamparkan fakta bahwa aku ketahuan. Jika sudah begini, aku hanya menundukkan wajah, mengakui kesalahan dan meminta maaf. Toh faktanya, aku memang benar menyembunyikan hubunganku dengan Adzkiya, kan?

Explain.” Suara berat Jaenandra memecah keheningan. Tubuhku seakan disetrum dengan kekuatan sekian watt hingga kaku saat mendengar suara itu. “Jelasin ke kita kenapa lo sembunyiin ini dari kita, Jev.”

Sekian menit aku biarkan terlewat begitu saja. Membiarkan keheningan menguasai studioku yang biasanya selalu ramai. Kawan-kawanku juga seakan enggan untuk memecah keheningan itu.

“Adzkiya yang gak mau gue kenalin ke kalian,” kataku pada akhirnya tanpa menatap kawan-kawanku yang rasanya masih setia memandangi aku. “Kata Adzkiya, gue dan dia banyak bedanya. Umur, latar belakang, dan lo semua juga pasti tau ada apa di antara dia dan Bang Garend dulu. Jadi dia bilang, dia bingung harus memperkenalkan diri ke kalian sebagai pacar gue tuh gimana.”

“Mau gimanapun status dia, dia tetep Kak Adzkiya yang kita kenal, Jev,” potong Raechan.

Aku mengamini ucapan Raechan. “Gue tau, gue juga udah bilang gitu ke dia. Tapi dia tetep ngerasa bingung untuk muncul di depan kalian sebagai pacar gue and because I do love her so much, I just respect her decission to not let you guys know. Maaf, gue tau gue salah.”

Hembusan nafas Jaeandra terdengar. Aku masih belum mengangkat wajahku untuk menatap mereka. Tapi kurasakan seseorang bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku. “Gue sebenernya gak masalah soal hubungan backstreet lo, tapi gue kesel banget tau lo ngadepin semuanya sendirian tanpa cerita sama kita. Gue tau semuanya, Jev. Gue tau soal Om Alex yang nyari Kak Kiya, gue tau PA lo sempet dipecat Om Alex, gue bahkan tau Wawan diikutin ke kosan sampe harus nginep di rumah gue kemarin.”

“Jaen, lo...” Wawan kaget, begitu juga aku.

“Gue juga beberapa hari ini diikutin, Wan.” Jaenandra menjawab dengan tenang. “Jadi gue suruh orang gue buat gantian ngikutin mereka dan akhirnya gue tau semuanya.”

“Jadi foto tadi, orang lo juga yang fotoin?”

Sorry, gue sama sekali gak bermaksud buat nguntit lo, Jev.” Jaenandra menepuk bahuku sekali lagi. “Kemarin waktu gue sama Ica ke Ayu Laga, orang gue bilang kalau orang suruhan Om Alex jalan ke arah Ayu Laga juga. Gue kira mereka ikutin gue, tapi ternyata mereka ke Ayu Laga buat ngawasin lo, Jev. Jadi gue suruh orang gue buat ikutin lo, gue takut lo diapa-apain dan dari situ lah asal muasal gue jadi tau hubungan lo sama Kak Kiya.”

Aku mengangkat muka untuk menatap Jaenandra yang duduk di sampingku. Gurat-gurat kekhawatiran muncul di wajahnya yang tampan. “Gue ngumpulin kalian disini bukan untuk nyidang Jevan, tapi untuk cari jalan keluar dari masalah ini.”

Helaan nafas lega terdengar dari sana-sini. Nampaknya kawan-kawanku juga merasakan kelegaan yang aku rasakan kala Jaenandra mengucapkan kalimatnya yang barusan.

“Huh lega gue, gue kira bakal ada tonjok-tonjokan lagi.” Kak Kiyo menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mungkin saat ada ketegangan tadi, kawanku itu sampai lupa melenturkan otot-ototnya yang ikut tegang.

“Oke back to the topic, sekarang kita harus gimana buat ngadepin Om Alex? Kita gak bisa diem terus, gue rasa setelah ini satu-persatu dari kalian bakal diikutin juga.” Intonasi suara Jaenandra berubah serius.

Aku terbawa suasana. Otakku langsung berfikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku tidak akan membiarkan ketidaksetujuan Papa akan hubunganku dan Adzkiya mengusik kawan-kawanku yang lain, yang bahkan tidak tahu menahu dengan hubungan kami. Sangking kerasnya aku berfikir, aku merasa kepalaku mulai pening, aku tidak kunjung mendapatkan jalan keluar untuk masalahku ini. Power Papa terlalu besar dan lebih dari itu semua, Papa tidak akan segan ataupun merasa bersalah untuk mengacaukan apapun yang dia rasa menghalanginya. Aku harus berhati-hati mengambil langkah agar tidak menjadi boomerang.

“Gini deh, pertama, kita harus pastiin Kak Kiya aman.” Juan menyuarakan usulnya lebih dulu. “Kayak yang gue bilang ke lo tadi Jep, Kak Kiya disana sendirian. Mungkin kita bisa pake cara Jaenan, kita kirim orang juga buat jagain Kak Kiya disana. Lo punya duit kan buat bayar gituan?”

Aku menyunggingkan senyum atas pertanyaan Juan. “Mau sewa sepuluh orang juga gue bisa.”

“Lo aneh deh, Wan, nanyanya. Lo lupa emang temen lo ini penerus tunggal Novanda Group?” Ejek Raechan membuat suasana serius ini sedikit mencair.

“Oh iya-ya.” Juan manggut-manggut. “Ya pokoknya gitu deh ya, kita harus pastiin Kak Kiya gak diapa-apain.”

“Oke nanti gue cari....” Ucapanku terpotong karena interupsi dari dering ponselku sendiri, nama Adzkiya tertera di sana membuatku memamerkannya pada kawan-kawanku. “Cewek gue telfon, bentar ya.”

Aku mengangkat panggilan itu diiringu suara rusuh dari kawan-kawanku yang merasa geli atas sikapku. “Halo, Sayang.”

Di seberang sana suara Adzkiya terdengar begitu pelan menyahut sapaanku. “Van, aku takut.”

Hatiku seakan di remas. Keringat membanjiri tubuhku secara tiba-tiba. Perasaan tidak enak menarik fikiranku dari dunia luar.

“Sayang, hei, kenapa?”

Aku takut,” desis Adzkiya lagi, suaranya gemetar. “Ada orang dateng kesini dan acak-acak Kiya Florsit, Van.”

“ANJING!”

Setelahnya yang terdengar hanya suara tangisan dan isakan pilu. Kepalaku mendidih, kepalan tanganku menguat seiring dengan tangisan Adzkiya yang makin menyayat perasaanku. Sungguh, aku seakan bisa menikam siapa saja yang melakukan ini pada gadis kesayanganku. Bibirku bergetar menahan marah, kerongkonganku seakan tercekat hingga aku bahkan sulit sekali untuk mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan Adzkiya.

Sekuat tenaga aku berusaha mengembalikan kesadaranku. Kemarahan ini harus aku padamkan agar aku bisa berfikir setidaknya sedikit jernih. “Aku kesana ya, kamu jangan takut. Aku bakal telfon Bang Uwu buat jemput kamu ke Kiya Florist. Kamu tenang ya, Sayang, aku kesana.” Aku mengucpakan rentetan kalimat itu dengan beberapa kali jeda karena rasanya bibirku kelu.

Setelah menutup panggilan itu, kawan-kawanku langsung mempertanyakan ada apa. Aku menjelaskan situasinya. Wajah mereka merah padam oleh amarah. Sama sepertiku.

“Kita kesana,” ucap Juan cepat tapi Kak Kiyo langsung menahan tangannya.

“Jangan, gue yakin orang-orang suruhan Papa lo ada di sekitar sini, Jev. Kalau kita semua kesana, bakal ketauan. Mending gini, Jevan, lo bawa mobil gue buat ke Ayu Laga. Gue yakin mereka bakal ngira kalau itu gue yang keluar dari area perumahan ini dan lo tetep di dalem sini. Jadi mereka gak akan ikutin lo ke Ayu Laga.”

Aku mengangguk cepat, meraih kunci mobil yang Kak Kiyo ulurkan. “Tolong telfon Bang Uwu untuk jemput Kiya di toko ya,” ucapku sebelum berlalu secepat kilat.

Benar saja, di gerbang perumahan aku bisa melihat sebuah mobil terpakir di sana. Mobil yang begitu familiar karena ada logo Novanda Group pada salah satu sisi kaca depan mobil itu. Pasti itu suruhan Papa. Anjing, mereka memang anjing. Aku memacu mobilku dengan kecepatan penuh, berharap jarak Jakarta ke Ayu Laga bisa aku tempuh kurang dari empat jam. Gadisku tengah menunggu aku, empat jam pastilah terasa terlalu lama untuknya. Tuhan, tolong buat jalanan lengang, aku ingin segera menemui gadisku. Pikiranku benar-benar kalut saat ini. Aku menbayangkan betapa ketakutannya Adzkiya melihat toko bunga kesayangannya dihancurkan oleh entah siapa. Aku benar-benar berharap aku tidak akan menemukan luka sekecil apapun pada tubuh kekasihku itu. Karena jika aku menemukannya, aku akan mencari pelakunya dan memukulinya hingga menemui ajal. Tanpa pikir panjang tentu saja.

Aku tiba di Ayu Laga pukul enam sore. Aku tidak sempat mengecek keadaan Kiya Florist karena tadi Bang Juwan sudah mengabarkan bahwa dia telah membawa Adzkiya ke rumah. Setibanya aku di sana, Adzkiya langsung bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam dekapanku. Aku masih bisa merasakan tubuhnya yang gemetar karena takut. Dia sudah tidak lagi menangis tapi aku sempat melihat sirat ketakutannya yang kentara. Aku mengabaikan tatapan bingung Bang Juwan dan Kak Valen ketika mereka melihat Adzkiya langsung memelukku.

“Jev, tadi....”

Aku menempelkan telunjukku di bibir sebagai isyarat agar Bang Juwan tidak melanjutkan ucapannya. “Nanti aja, Bang, it makes her afraid.”

Lalu aku kembali kepada Adzkiyaku, mengelus punggungnya dengan begitu lembut, berharap dia bisa tenang. Meskipun aku sendiri belum bisa menetralkan detak jatungku.

“Aku disini, jangan takut ya.”

Karena kalau kamu gak disini, aku yang takut, Ki, tambahku dalam hati.

Selama aku hidup, aku mengenal dua jenis laki-laki. Yang pertama, laki-laki tampan yang tidak tahu bahwa dirinya tampan, macam Jaenandra. Yang kedua, laki-laki tampan yang sangat tahu dirinya tampan dan membanggakannya, macam Raechan. Tapi hari ini, rasanya aku perlu menambahkan satu jenis lagi dalam daftar itu. Laki-laki macam Sagara, atau aku harusnya memanggilnya Bang Sagara karena usianya lima tahun di atasku. Bang Sagara adalah satu sosok laki-laki tampan yang tahu dirinya tampan tetapi tidak membanggakannya, dia hanya merasa bahwa harus berperilaku baik agar wajah tampannnya tidak tercemar. Begini, bagaimana bisa seseorang mempunyai wajah dan sikap setampan itu menyatu dalam satu raga? Rasa-rasanya, Bang Sagara ada tipikal manusia yang akan tetap menjadi pusat perhatian bahkan ketika dia tidak berusaha mencari perhatian itu.

Wah, baru kali ini aku benar-benar merasa takjub dengan seseorang. Sejak aku datang tadi, yang tentu saja bersama Bang Garend dan Bang Juwan serta pasangan mereka masing-masing, Bang Sagara tidak henti-hentinya menawarkan padaku berbagai makanan yang tersedia serta juga terus mengajakku bicara. Tutur katanya halus, sikapnya santun, dan dia juga tipikal yang menyenangkan. Setiap perbincangan selalu ditimpalinya dengan sesuai porsi, tidak kurang dan tidak berlebihan. Tunggu, aku terdengar seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta, ya? Maaf.

Aku, Bang Sagara dan Bang Joni duduk di kursi yang agak jauh dari yang lainnya karena kami merokok. Kami tidak ingin membahayakan kandungan Kak Vivian serta kesehatan empat orang lain yang hidup bersih dari nakotin. Empat orang yang aku maksudkan adalah Bang Garend, Bang Juwan, Bang Tendra dan Si Suster cantik, Kak Valen. Tapi dari jarak ini kami semua masih bisa bercakap-cakap dengan baik.

“Eh itu Kiya sama Lucia, hai!” Kak Vivian berseru semangat saat mendapati dua gadis datang dengan senyum mengembang.

Bang Sagara langsung berdiri dan menepuk bahuku dan bahu Bang Joni sebagai bentuk berpamitan karena dia harus menyambut dua orang yang baru saja datang itu.

Mataku tertaut pada salah satu dari mereka, yang tentu saja kekasihku. Dia mengenakan baju yang aku pilihkan, tapi tunggu, ini tidak sesuai dugaanku. Tadi, aku memilihkan jenis pakaian ini agar dia tidak tampak mencolok dalam balutan gaun. Tapi kenapa yang dipakainya saat ini justru membuatnya berkali lipat lebih cantik? Jeans hitam pilihanku membungkus kaki jenjangnya dengan begitu pas hingga kedua kaki itu terlihat begitu cantik. Kaus putih dan cardigan berwarna pink pastel itu juga justru membuat kulitnya yang seputih susu tampak semakin mengkilap. Wah, sepertinya aku salah langkah. Aku yakin sekali, setiap pasang mata di tempat ini justru bisa melihat betapa cantiknya Adzkiya dalam balutan pakaian sederhana itu.

Bego, aku memaki diriku sendiri.

“Hai, Ki,” Bang Sagara menyambut Adzkiya, KEKASIHKU, dengan sebuah pelukan hangat. Untung saja jarak dudukku agak jauh dari mereka hingga aku bisa mengumpat pelan.

“Kenapa, Jev?” Bang Joni mungkin menangkap sedikit umpatanku namun tidak jelas hingga dia harus menanyakannya padaku.

“Ah enggak, Bang, ini kok tumben Ayu Laga panas,” bohongku sembari sok mengibas-ngibaskan kaus putih yang aku kenakan. Ya, aku memang sengaja mengenakan kaus dengan warna yang sama dengan KEKASIHKU. Tidak ada yang memprotes, kan?

“Ini buat lo, welcome home, Sagata.” Suara Adzkiya dengan sopan menembus telingaku yang memang selalu terpasang untuk mendengar suaranya.

Bang Sagara menyambut bunga itu dengan riang kemudian beralih memeluk Kak Lucia, sahabat Adzkiya, yang pasti lah juga mengenal Bang Sagara.

“Kalau yang ini... untuk Ibu Hamil yang cantik ini.” Adzkiya memberikan setangkai bunga mawar putih pada Kak Vivian yang langsung kegirangan. Melihat mereka, aku seperti melihat diriku dan Kak Kiyo di masa lalu. Mereka adalah versi perempuan dari aku dan Kak Kiyo, dua orang yang pernah berusaha untuk satu cinta yang sama dan memutuskan untuk berdamai dengan keadaan.

“Makasih, Kiya. Kamu cantik banget malem ini, cardigannya beli dimana? Aku mau.” See, bahkan dari mata seorang wanita secantik Kak Vivian pun, KEKASIHKU itu nampak cantik, kan?

“Ah kamu bisa aja, eh hai Valen, ini buat kamu juga ada dong.” Adzkiya memberi setangkai bunga lain pada kekasih Bang Juwan.

Oke, kali ini aku tinggal melihat Adzkiya menyapa satu persatu dari kami yang lebih dulu tiba. Untung saja, selain memeluk Bang Juwan- yang sudah seperti adiknya sendiri, Adzkiya hanya melakukan tos dengan laki-laki yang lain.

“Loh, ada Jevan juga, dari kapan di Ayu Laga?” Aku mendecih saat menyadari akulah orang terakhir yang dia sapa. Dan apa katanya tadi? Sejak kapan aku di Ayu Laga? Cih, aku bahkan telah memeluknya berjam-jam di rumahnya tadi.

“Aku baru sore tadi kok, Kak.” Aku menjawab dengan memaksakan senyum yang sepolos mungkin. Berusaha mengikuti actingnya yang sudah seperti bingan film profesional itu.

“Adzkiya udah kenal Jevan?” Bang Sagara melayangkan pertanyaan sembari meletakkan dua gelas ke hadapan Adzkiya dan Kak Lucia.

Aku memaksakan senyumku lagi dan menyesap rokokku sebentar sebelum menjawab, “Udah, Bang, dulu gue sering nemenin Ica ambil pesenan bunga ke Kiya Florist.”

“Ah, iya, iya, tadi Garend udah bilang juga ya kalau lo sahabat adiknya, jadi wajar aja kalian udah saling kenal.”

Aku hanya mengangguk masih tetap sambil tersenyum. Rasanya aku sudah seperti orang dungu yang terus tersenyum entah untuk apa.

“Mau gabung kesana gak, Jev?” Bang Joni membuang potong rokoknya ke asbak dan menatapku.

“Boleh,” kataku sembari melakukan hal yang sama dengannya.

Kami berdua berjalan mendekat ke arah meja perjamuan utama dan aku buru-buru mengambil tempat tepat di sebelah Adzkiya yang kebetulan kosong. Sambil berharap tidak ada yang menyadarinya.

“Ki, aku bakal buka cafe di deket florist kamu loh.”

Aku? Kamu?

Ini satu hal yang membuat aku sering terkaget-kaget berada di Ayu Laga, karena beberaa penduduk disini masih saja menggunakan panggilan aku dan kamu. Sementara bagiku, aku dan kamu hanya digunakan ketika ada di suatu situasi yang “intim”.

“Oh, ya? Wih seru dong nanti kita bisa sering ketemu. Kapan grand openingnya?”

Aku melirik Adzkiya dengan muka masam. Mungkin sekarang wajahku sudah sama masamnya dengan buah strawberry yang tersedia di atas meja.

“Masih lama sih kayaknya, aku baru mau mulai decor interiornya.”

“Nanti kabarin ya, Sa, biar gue sama Vivian mampir.” Bang Garend ikut nimbrung.

“Pasti, nanti ada special discount deh buat yang bawa pasangan.”

“Yah kasian dong Kiya gak dapet diskonnya.” Bang Tendra berkomentar sambil memasang wajah menyebalkan pada Adzkiya, membuat yang lain terkekeh.

“Kurang ajar ya, dokter Tendra,” timpal Adzkiya sok merajuk.

Aku sewot lagi. Jangan protes ya! Coba posisikan diri kalian sebagai aku. Aku duduk disini, aku adalah kekasih Adzkiya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau jadi aku, kalian akan sama sewotnya.

Aku menyikut lengan Adzkiya karena jengkel tidak diperhatikan. Dia paham, kemudian menelusupkan tangannya ke bawah meja dan mengelus-elus lenganku. Oke, setidaknya aku merasa lebih baik. Sisa malam itu berjalan lancar karena elusan Adzkiya. Rasanya, dengan elusan Adzkiya ini, aku merasa bahwa aku bisa menaklukan dunia. Terimakasih.

Aroma cat menguar memenuhi keseluruhan mobilku yang terpakir di sebuah resta area pada kilometer terakhir sebelum aku memasuki wilayah Ayu Laga. Dengan penerangan seadanya, yang berasal dari lampu mobil di atas kepalaku, aku mengamat-amati gambar terakhir yang coba aku warnai sebaik mungkin. Aku berusaha memastikan tidak ada warna yang keluar dari pola dan hasil karyaku ini akan menjadi sesuatu yang bisa aku banggakan di depan si gadis yang akan menerimanya. Lumayan lah, bisikku pada diri sendiri, merasa mawas diri karena sedari kecil aku juga tidak pernah memenangkan lomba mewarnai apa lagi melukis. Selesai dengan urusanku itu, aku merenggangkan badan sebentar kemudian kembali mengendarai mobilku untuk menembus pekatnya malam. Sekarang pukul sebelas malas, keadaan jalanan sudah begitu sepi. Dari lampu penerangan jalan, aku bahkan bisa melihat kabut tipis menyelimuti Ayu Laga pada jam-jam selarut ini.

Aku tiba di tempat tujuanku dua puluh menit kemudian. Tanganku sibuk mengaduk-aduk dashboard berusaha menemukan kunci candangan rumah milik kekasihku. Untung saja tidak butuh waktu lama, aku melesat untuk keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah sambil menenteng sebuah paper bag berwarna cokelat muda. Rumah dengan design minimalis ini tidak kalah sepinya dengan jalanan Ayu Laga. Aku rasa, si pemilik rumah, alias kekasihku, telah terlelap dalam buaian suara jangkrik dan katak di luaran sana. Maka aku mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun agar si cantik yang aku sayangi itu tidak terusik. Paper bag yang kutenteng sejak tadi ku letakkan di atas meja ruang tamu, sementara tubuhku terus bergerak menuju sebuah kamar yang lampunya telah padam.

Senyumku mengembang kala kudapati kesayanganku benar saja sudah terlelap. Selimut hangat melindunginya dari dingin, tapi samar-samar, dengan sedikit cahaya dari lampu taman, aku bisa melihat gadis itu mengenakan hoodieku yang diambilnya saat datang ke hunianku di pusat kota. Aku menggeser kursi kayu untuk duduk di sisi ranjangnya. Mataku menyusuri wajahnya yang ayu dan tampak damai. Ingin sekali aku cium keningnya, hidungnya, bibirnya, tapi kutahan karena kedamaian tidurnya lebih penting dari pada keinginanku itu.

Sayup-sayup di luar sana aku mendengar daun saling bergesakkan, meninmbulkan bunyi yang bisa terdengar seram bagi siapapun yang penakut. Tapi aku tidak terganggu sama sekali akan hal itu. Ada ketakutan yang lebih besar dalam diriku yang aku coba tutupi dengan sikapku yang kupaksakan terlihat seperti biasanya. Ketakutan yang tiba-tiba bertambah besar saat aku menatap wajah Adzkiya. Aku takut, takut sekali, aku takut tidak bisa menatap wajah ini lagi. Silakan panggil aku pengecut, pecundang, atau panggilan lain yang menggambarkan lelaki bodoh dan lemah. Tapi sungguh, aku benar-benar ketakutan saat ini. Aku sadar betul seberapa besar kekuatan ayahku. Menyingkirkan Adzkiya dengan cara paling burukpun aku rasa dia mampu melakukannya. Karena itu aku takut. Sekali lagi aku ulangi, aku ketakutan.

Tubuhku menggigil. Aku seperti seekor kancil yang sedang diintai pemburu dari segala penjuru. Aku merasa kecil. Aku merasa dungu. Ayahku bisa berubah menjadi pemburu paling bengis untuk mendapatkan kancil itu. Harus lari kemana aku?

Aku tidak bisa membayangkan akan sehancur apa aku nanti jika Adzkiya dirampas paksa atau dituding kasar untuk pergi dari hidupku yang mulai membaik ini. Tapi bukan itu, bukan itu yang paling menakutiku. Aku jauh lebih takut membayangkan akan sehancur apa hidup Adzkiya nanti. Kehilangan sudah seperti hal paling traumatis dalam hidupnya. Dia sudah kehilangan ibunya, dia sudah kehilangan ayahnya, dia bahkan dua kali merasa kehilangan seseorang yang begitu dia cintai. Tuhan, apa jadinya dia nanti jika ayahku benar-benar memukulnya mundur? Apa jadinya nanti jika dia harus kehilangan seseorang lagi?

Sanggupkah aku melihat air mata kembali menuruni pipinya yang selalu kuciumi itu, Tuhan? Bisakah aku menahan diriku untuk tidak memaki siapapun yang membuat senyum manisnya itu hilang, Tuhan? Sanggupkah aku? Bisakah aku?

Malam makin larut, pikiranku makin kalut. Aku meraih sebalah tangan Adzkiya untuk aku ciumi dengan sayang. Aroma tangannya seharum bunga-bunga yang selalu dia genggam setiap hari. Seakan bunga-bunga indah itu dengan senang hati membagi harumnya pada si perangkai.

“Bertahan buat aku ya, Ki? Aku tau jalan kita gak bakal mudah, dari awal juga udah kayak gitu. Tapi aku mohon, kuatin hati kamu, demi kita.” Aku berbisik sepelan mungkin, bahkan lebih pelan dari helaan nafasnya yang teratur. “Ki, if we can't stop the wave, we can learn how to surf, kan? Aku bakal yakinin Papa, aku bakal coba segala cara supaya Papa gak usik kamu lagi dan kasih restunya buat kita. Tapi aku gak tau ombak itu akan surut atau justru bertambah besar, aku takut untuk mengira-ngira, Ki. Makanya aku butuh kamu, jangan kemana-kemana ya, Ki? Sebesar apapun ombaknya, aku mohon jangan lepasin tangan aku. Aku takut aku gak sekuat itu untuk laluin ombaknya sendirian.”

Kuciumi lagi tangan Adzkiya yang berbau harum itu. Aku rasa air mataku membasahi telapak tangannya. Untung saja, gadis kesayanganku itu sama sekali nampak tidak terganggu. Maka itu, aku kembalikan tangannya yang harum ke sisi tubuhnya. Aku memutuskan untuk hanya memandanginya dalam diam Satu jam, dua jam, hampir tiga jam aku pandangi dia hingga samar-sama aku mendengar kokok ayam yang entah berasal dari mana. Kulirik jam yang tergantung di salah satu sisi dinding kamar Adzkiya. Pukul empat pagi, aku harus segera kembali ke Jakarta. Kucium kening Adzkiya untuk berpamitan. Kucium lama sekali keningnya. Aku harap, tanpa suara apapun yang keluar dari bibirku, Adzkiya bisa merasakan sebesar apa cintaku padanya. Sayang, gerakanku yang sudah selembut mungkin itu tetap membangunkan si gadis kecintaanku, dia menggeliat dan membuka matanya.

“Jevan?” tanyanya dengan suara serak.

“Sssttt, maaf, aku bangunin kamu ya?” Aku berusaha menahan tubuhnya yang sudah hendak bangun. “Gak usah bangun, Sayang, lanjut bobo lagi aja ya. Aku udah mau jalan ke Jakarta lagi.”

“Sekarang jam berapa?”

“Jam empat.”

“Kamu di sini dari kapan?”

“Jam dua belas kurang,” ucapku sembari mengelus pipinya lembut. “Happy valentine, Sayang.”

Adzkiya memandangiku. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus bahuku yang masih dibalut pakaian kerja. “Kamu bahkan gak ganti baju.”

“Iya, pulang kerja aku langsung kesini. I dont want this special day lewat gitu aja, jadi aku usahain dateng nemuin kamu.”

“Padahal setiap hari juga sama spesialnya, Van.”

I know.” Tanganku berganti merapikan rambutnya yang jatuh menutupi dahi. “Yaudah aku pulang, ya? Kamu tidur lagi aja, nanti aku kabarin kalau udah di kantor.”

Kucium kening Adzkiya lagi, namun tidak selama tadi. Setelah mendapat anggukan darinya, aku melangkah keluar rumah. Memasuki mobilku dan kembali membelah jalanan lengang menuju Ibu Kota. Yang ku tahu, pagi buta itu Adzkiya kembali tidur.

Tapi nyatanya,

Gadis kesayanganku itu bangun dari ranjangnya bermaksud untuk mengintip aku yang berlalu pergi. Namun perhatiannya justru jatuh pada paper bag yang aku tinggalkan di meja ruang tamu. Adzkiya membukanya, mengambil sebuah buku jurnal yang covernya sudah aku lukis sebaik yang aku bisa.

Lukisan bunga Peony berwarna merah muda, berjumlah empat belas. Juga lukisan daun, berjumlah dua. Lukisan yang aku harap dia akan menangkap makna dibaliknya, 14-2, 14 Februari, valentine day.

Tangan lentik Adzkiya membuka jurnal itu, mendapati banyak sekali potret dirinya. Juga puluhan puisi yang aku tulis di tiap sisi yang bersebalahan dengan fotonya. Tidak lupa bunga-bunga kering yang aku gunakan untuk mempercantik jurnal tentangnya itu. Laras, asistenku, bilang bahwa sebaiknya aku memberi sesuatu yang bisa Adzkiya ingat selamanya dari pada memberinya sesuatu yang bisa dia simpan selamanya. Tapi aku memutuskan untuk memberi Adzkiya keduanya, kenangan dalam bentuk yang dia bisa ingat dan simpan, selamanya.

Di pagi buta itu, aku tidak tahu kalau jurnal yang kurangkai sedemikian rupa itu ditetesi air mata tanpa sengaja. Untungnya, air mata itu adalah air mata kebahagian. Air mata yang bulirnya terlihat seperti kristal.

Di pagi buta itu, aku tidak tahu bahwa Adzkiya mengatupkan kedua tangannya dan memohon pada Tuhan agar diberi seribu hari valentine lagi bermasaku.

Di dunia ini, mungkin ada ratusan bahkan ribuan manusia bernama Alex. Baik perempuan maupun laki-laki. Dan dari ribuan kemungkinan itu, aku tidak menyangka bahwa yang berdiri berhadapan denganku saat ini adalah Alex yang ini, Alexander Novanda, ayah Jevander Novanda- kekasihku. Aku menatapnya dengan pandangan ketidakmengertian akan banyak hal. Aku tidak mengerti kenapa dia memilih Florist kecil di pinggiran kota dari banyaknya Florist besar di Ibu Kota sana? Aku tidak mengerti kenapa dia memilih mengambil bunganya sendiri daripada menggunakan jasa pengiriman yang tidak akan membuatnya repot menempuh jarak puluhan kilometer? Aku tidak mengerti kenapa dia sejak tadi menatapku dengan senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya? Segala ketidakmengertianku itu membuatku kepalaku pusing dan perutku mual.

“Bunga saya sudah siap?” Pak Alex bertanya padaku dengan nada suaranya yang rendah. Itu adalah kalimat yang keluar dari mulutnya setelah sekian detik kami bertatapan tanpa suara.

“Oh...” Aku terperanjat, buru-buru mengambil bunga yang sudah aku rangkai sedemikian cantiknya. Bunga Sweat Pea berwarna ungu dan putih yang memiliki makna perpisahan- sesuai pesanan. Aku mengayunkan bunga itu pada Pak Alex dan menunggunya untuk menyambut bunga itu. Namun yang terjadi, pria berusia sekitar 40 tahunan itu tidak kunjung menyambut bunga yang dipesannya.

“Untuk kamu saja,” katanya masih dengan suara rendahnya yang khas.

“Maaf, maksudnya gimana ya, Pak?”

“Bunga itu untuk kamu, karena sebentar lagi kamu akan berpisah dengan anak saya.”

Seakan tersambar petir di siang bolong, hatiku mencelos. Luka-luka di dalam sana yang belum sepenuhnya sembuh seakan ditaburi ratusan bulir garam hingga membuatnya begitu perih. Tapi luka-luka itu juga seakan sebagai pengingat untukku bahwa aku tidak akan membiarkan pria di depanku ini untuk menabur lebih banyak garam dan membuatku hatiku semakin terluka. Lalu dengan senyum yang mengembang tenang, aku meletakkan bunga itu di atas counter, begitu dekat dengan Pak Alex.

“Maaf, saya gak suka Sweat Pea, Pak. Saya lebih suka bunga Peony. Bapak tau apa arti bunganya?”

“Penghilang rasa sakit. Atau bisa juga diartikan sebagai kebahagiaan,” sambarku cepat pada pertanyaanku sendiri, tanpa menunggu anggukan atau gelengan kepala Pak Alex. “Saya dan Jevan adalah dua orang yang saling menyembuhkan dan sumber kebahagiaan bagi masing-masing dari kami.”

Jawabanku membuat senyum Pak Alex luntur. Wajah tegasnya kian kentara saat senyum itu tidak lagi menunggangi wajahnya. Meskipun Pak Alex tetap nampak tenang, tapi aku yakin sekali bahwa dia gusar. Dia pasti menganggap aku wanita lemah yang bisa dia intimidasi dengan power yang dia miliki itu. Tapi aku adalah Adzkiya, luka-lukaku di masa lalu menjadikan aku pribadi yang tidak akan gentar dengan gertakan macam ini. Apa lagi, sejak pertama kali aku mengiyakan ajakan Jevan untuk memulai hubungan kami, aku sudah mengira-ngira respon macam apa yang akah ayahnya berikan. Dan apa yang terjadi hari ini adalah apa yang sudah aku bayangkan sejak setahun lalu.

“Adzkiya Judith Hartoni, tinggal dan dibesarkan di sebuah panti asuhan kumuh di kota kecil bernama Ayu Laga. Tumbuh tanpa bimbingan seorang ayah dan kasih sayang seorang ibu. Pendidikan hanya sampai tingkat menengah atas karena tidak sanggup berkuliah. Membuka toko bunga kecil ini dengan pinjaman bank. Ditinggalkan oleh dokter Garend karena dirasa tidak mengumpuni untuk menjadi istri seorang dokter, dan sekarang kamu bermimpi untuk mendampingi anak saya? Jevander Novanda pewaris tunggal Novanda Group? Kembali ke kenyataan, Nona Adzkiya.” Rentetan kalimat itu bak anak panah yang menghujam dadaku ribuan kali. Kedua tanganku yang terkulai di sisi tubuh mengepal kuat. Aku juga bisa merasakan telapak kakiku berkeringat karena terlalu marah. Tapi otakku berkali-kali memaksaku untuk tersenyum, agar setidaknya orang yang sedang aku hadapi ini tidak merasa menang.

“Setidaknya saya tahu, panti asuhan kumuh tempat saya tumbuh yang anda sebutkan tadi adalah sebuah tempat yang jauh lebih hangat dari pada rumah mewah yang Jevan tinggali.” Aku menjawab mantap, tanpa keraguan sama sekali dalam suaraku.

Rasanya, aku dan Pak Alex seperti dua orang yang sedang bermain catur. Aku tidak akan membiarkan dia mengambil semua bidak caturku satu-persatu. Sebaliknya, aku akan berusaha membuatnya pulang dengan malu setelah menyaksikan bidak terakhir pada sisi papan caturnya tumbang.

“Saya memang tumbuh tanpa tahu kasih sayang kedua orang tua saya, tapi saya tau cara mengasihi dengan benar. Mungkin itu juga yang membuat Jevan ingin saya berada di sisinya.” Lima bidak catur Pak Alex aku ambil sekaligus.

“Pak, jika Bapak melakukan ini pada saya karena rasa sayang Pak Alex pada Jevan, boleh saya beritahu kalau cara ini salah?” Lima bidak lainnya jatuh ke tanganku tanpa perlawanan.

“Jevan ingin dengan saya, Pak. Seribu kalipun saya coba menghindar dari dia, dia selalu kembali pada saya. Sejak awal, saya tahu kalau Pak Alex gak akan pernah merestui hubungan saya dan Jevan, itu juga yang menjadi alasan kenapa saya selalu menolak ajakan Jevan yang ribuan kali itu juga untuk bertemu dengan Bapak.” Tidak banyak bidak yang tersisa pada sisi papan catur Pak Alex dan dia hanya menatapnya pasrah.

“Jadi, jika Bapak ingin saya berpisah dengan Jevan, temui dia dan bukan saya. Mungkin Bapak bisa dengar dari mulut anak Bapak sendiri bagaimana keputusan yang akan dia ambil. Jika dia ingin berpisah dengan saya, saya tidak akan keberatan. Namun jika dia ingin bersama saya, saya akan tetap bersamanya, Pak. Dan saya meminta maaf untuk itu.”

Checkmate

Aku memenangkan pertandingan catur itu.

**

Aku di apartemen, Sayang, kenapa?

Jawaban Jevan dari sambungan telepon itu cukup untuk membuatku memberi tahu pada supir taksi, yang baru saja aku naiki dari terminal bus, kemana aku harus pergi. Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit sampai aku tiba di depan pintu apartemen Jevan yang terletak di pusat Ibu Kota itu.

Jevan menatapku bingung saat mendapati diriku berdiri di depan pintu apartemennya. Dia langsung menarikku masuk dan menanyakan aku dari mana dan bersama siapa.

“Aku sendirian, tadi abis ngecek bahan-bahan buat florist di toko deket sini. Jadi aku mampir,” bohongku.

“Kenapa gak ngabarin aku? Aku bisa nemenin kamu.”

“Kamu kan kerja. Peluk aku dong, Van, aku capek banget.”

Aku bisa menangkap raut wajah heran Jevan yang langsung dia usir itu ketika menarikku ke dalam dekapannya. Wajar saja dia heran, aku tidak pernah bersikap semanja ini padanya. Selain itu, kedatanganku ke apartemennya saja sudah pasti cukup untuk membuatnya heran- karena aku selalu menolak ketika dia mengajakku kesini.

“Aku nginep di sini boleh, ya? Mau pulang ke Ayu Laga capek banget. Aku nginep semalem aja.” Aku berucap sedikit tidak jelas karena aku membenamkan wajahku pada dadanya yang hangat. Aku berusaha mencari kenyamanan yang selalu bisa aku temukan di dada Jevan yang bidang ini. Perasaanku saat ini sedang kacau, asal kamu tahu saja. Segala keberanianku melawan Pak Alex tadi menguras seluruh energiku hingga aku harus datang jauh-jauh untuk menemui Jevan dan merecharge energiku seperti ini.

“Boleh, dong, Sayang. Aku seneng banget malah kalau kamu mau nginep disini. Jangankan semalem, selamanya juga boleh,” balas Jevan yang diberi tambahan dengan sebuah kecupan sayang di pucuk kepalaku.

Aku melonggarkan pelukan dan mendongak untuk menatap wajah kekasihku itu. “Van, tidur yuk? Tapi peluk aku, ya?”

Raut wajah heran yang tadi sudah diusir Jevan datang kembali. Dia menatapku dengan kedua alis yang menyatu.

“Ki, ini beneran kamu?”

“Iya, ini aku.”

Jevan diam. Matanya mengamatiku dengan lamat.

“Ini aku, Van.”

“Tapi Adzkiya yang aku kenal gak pernah izinin aku untuk meluk dia waktu tidur loh?”

“Adzkiya yang itu udah pergi, yang sekarang ada di depan kamu ini Adzkiya versi baru.”

Jevan tidak menjawab lagi karena aku membungkamnya dengan kelembutan bibirku. Membuatnya dengan begitu ringan membawaku ke kamarnya dan merebahkan tubuhku di atas ranjangnya yang nyaman. Adegan selanjutnya akan aku serahkan saja pada kalian bagaimana kalian akan melanjutkannya.

Aku hanya ingin meberitahu bahwa Adzkiya yang dulu, yang takut untuk menunjukkan hubungannya dan Jevan pada dunia, telah mati. Kini, yang ada hanyalah Adzkiya yang akan memamerkan dengan bangga bahwa Jevander Novanda adalah miliknya.

Selain kemacetan, udara pengap dan keramaiannya yang seakan sulit diurai, ada banyak hal lagi yang bisa aku sebutkan untuk membuatmu ikut bersamaku membenci kota ini. Kota yang konon katanya menjadi sumber kehidupan ini justru menjadi kota yang membunuh jiwaku bertahun-tahun lalu. Kematian yang tidak disadari banyak orang- karena kata mereka, tidak ada darah dalam kematian itu. Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak ingin menginjakan kakiku di sini lagi, seberapapun Papi ataupun keluarga besarnya memintaku pulang. Tapi peringatakan kematian nenekku adalah perkara lain. Nenekku, kesayanganku, satu-satunya rumahku yang sudah dirampas Tuhan empat tahun lalu. Bagaimana bisa aku mengabaikan kabar Mbak Diana, personal assistant papiku, mengenai kabar itu? Bagaimana bisa aku tetap berkeras kepala bahkan setelah tiga tahun tidak ikut merayakan peringatan kematian nenekku?

Maka disini lah aku, berdiri menatap sibuknya Ibu Kota dari lantai lima hotel tempatku menginap. Tunggu, aku bahkan tidak perlu menjelaskan, kan, kenapa aku lebih memilih menginap di hotel dari pada pulang ke rumahku sendiri?

Acara peringatan nenek akan dimulai pukul enam sore, di rumahku yang berjarak 45 menit dari hotel ini. Jika sekarang pukul lima sore, maka aku memiliki waktu bersiap-siap sebentar sebelum berangkat. Aku berpindah dari pinggir jendela menuju meja rias, menatap diriku pada cermin yang menampakkan wajahku yang lesu. Wajah yang harus kupoles sedikit agar tidak terlihat begitu buruk, juga sedikit sentuhan pemerah bibir agar tidak terlihat pucat. Selesai dengan urusanku, aku memutuskan untuk turun ke lobby hotel dan meminta seorang staff hotel untuk mencarikanku taksi.

Aku tiba di rumah Papi, yang sebetulnya juga rumahku, pada pukul enam kurang dua menit. Aku menatap rumah itu dengan pandangan aneh, mungkin sekarang kedua alisku telah bertemu di tengah pangkal hidung karena dahiku mengerut. Kenapa rumah ini sepi sekali? batinku dalam hati. Berusaha mengabaikan keanehan itu, aku melangkah masuk dan mendengar percapakan beberapa orang dari arah ruang makan. Kok cuma segini yang dateng? batinku lagi.

“Oh, itu anakku sudah datang. Halo, Nak!” Papi menyapaku dengan ramah saat dia akhirnya menyadari kedatanganku. Wajahku pasti sangat tidak ramah sekarang ketika akhirnya aku bisa melihat dengan kepalaku sendiri bahwa di rumah ini, rumah yang katanya akan menjadi lokasi peringatan kematian nenekku, justru hanya diisi oleh Papi dan dua orang lain yang duduk bersebrangan dengannya. Aku tidak bisa melihat wajah mereka berdua karena posisi mereka memunggungiku.

“Sira, sini,” panggil Papi lagi saat aku tidak kunjung mendekat. Entah perasaanku saja atau bagaimana, tapi sosok laki-laki yang duduk memunggungiku itu tiba-tiba langsung tegang, aku bisa melihat perubahan pada gesture tubuhnya.

“Oh ini ya yang namanya Sira? Cantik sekali, mari, Nak, duduk.” Wanita yang duduk di sebelah laki-laki yang tegang tadi menoleh padaku dan tersenyum manis. Ternyata, wanita itu seusia dengan Papi. “Tante mau kenalkan kamu ke anak Tante, Sagata namanya.”

Dari jauh, aku merasa seperti mendengar suara guntur. Seingatku, di luar sedang tidak hujan, tapi mengapa aku merasakan hawa dingin yang seakan menusuk-nusuk kulitku hingga aku menggigil? Perlu beberapa detik bagiku untuk menenangkan jatungku yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Butuh detik yang lebih lama bagi otakku untuk mengolah informasi yang baru aku dengar itu.

Sagata? Apakah dia Sagata yang sama dengan yang aku kenal?

Ketika otakku berkerja keras untuk memahami keadaan, tanpa sengaja aku justru menemukan puzzle tentang pesan dari Sagata semalam yang berbunyi, “Gue juga ada urusan di Jakarta, tapi gak bisa nemuin lo soalnya gue sama Mama”. Jadi ini? Ini urusan yang Sagata maksud?

“Sira, kok malah bengong? Sini, duduk.” Suara Papi menarikku ke kenyataan, membuatku perlahan berjalan mendekat dan duduk di samping Papi, tepat di depan Sagata. Laki-laki itu tampak berusaha tidak menatapku, dia justru sibuk memandangi piringnya yang kosong.

“Mana peringatan kematian Oma? Kenapa sepi?”

“Tidak ada acara itu, Sira, hari ini....”

“Ini makan malam untuk kamu dan Sagata, Nak Sira.” Wanita di sebelah Sagata menyambar ucapan Papi. Sungguh, impresiku terhadap ibu Sagata itu semakin tidak baik.

Guntur di kejauhan makin terdengar di telingaku. Aku tidak tahu, itu benar-benar guntur atau justru kemarahan yang coba aku pendam. Kedua tanganku sudah mengepal kuat, rasanya aku bisa meruntuhkan rumah ini sekarang juga- tentu saja jika tidak memikirkan harga diriku sendiri.

“Saya mau datang ke sini karena Mbak Dina bilang ini acara peringatan kematian Oma, kalau ternyata hanya sekedar makan malam tidak jelas, saya permisi.” Aku bangkit berdiri, tidak lagi mau terlibat dalam skenario norak yang dibuat oleh Papi. Amarahku sudah tinggal mencuat menjadi tindakan kasar yang akan sangat mungkin aku sesali di kemudian hari dan sebelum itu semua terjadi, aku memilih untuk pergi sejauh-jauhnya dari ruang makan sialan itu. Aku mendengar Papi memanggilku beberapa kali kemudian disusul suara nyaring sepatu pantofel yang bertabrakan dengan lantai marmer ruang tamuku yang lengang.

“Sira, hey, wait.” Itu suara Sagata. “Sebentar dulu, Sira, tunggu.”

Aku tak mengindahkan panggilan itu dan terus melaju hingga hampir sampai di pintu gerbang rumah saat akhirnya Sagata berhasil mengejar langkahku dan meraih sebelah tanganku. Dia menarikku pelan agar berbalik dan tepat saat wajah kami bertatapan, sebelah tanganku yang bebas menampar wajah tampannya. “Satu, dont you dare to touch me. Dua, gak usah ikut campur urusan gue dengan sok mengejar gue seperti ini, Sagata. You are not a hero and I don't want to be saved by you!” Lihat, sudah kubilang, kan, kemarahanku hanya akan mencuat menjadi perbuatan kasar seperti ini?

Sagata terkesiap mendengar bentakanku, tapi laki-laki itu tidak juga melepaskan lenganku dari genggamannya. “Lo mau kemana? Gue anter,” katanya pelan.

“Bukan urusan lo, lepas!” Aku membentaknya lagi, meskipun tidak menghasilkan apa-apa. Kami bertatap-tatapan cukup lama setelah itu. Mengabaikan tatapan dari satpam rumahku yang sepertinya bingung harus berekasi seperti apa.

“Sagata, gue mohon lepasin gue,” rintihku pada akhirnya. Saat kemarahanku mereda, kesedihan dan rasa malu mengambil alih diriku. Aku sedih karena Papi menjadikan alasan sebesar peringatan kematian nenekku demi makan malam tidak penting ini. Dan aku malu, aku malu pada Sagata yang melihat betapa bodohnya aku datang ke tempat ini dengan iming-iming dari Papiku yang sialan itu. Sungguh, yang aku inginkan saat ini hanya menenggelamkan diriku di lautan lepas jika bisa.

“Gue anter ya, Sira.”

“Lo tau gak, Ga, siapa orang yang paling gue benci di dunia ini?”

Sagata menggeleng.

“Gue benci Papi dan orang-orang seperti Papi. Mama lo, keluarga Satrio yang ngajak lo makan malem, dan semua keluarga terkutuk di dunia ini yang menggabungkan urusan bisnis dan perjodohan menjijikkan macam ini demi harta. Dan sekarang, ngeliat lo disini, lo keliatan seperti bagian mereka. So please, let me go, gue gak mau liat lo lagi.” Ucapanku membuat genggamannya pada lenganku mengendur. “Gue kira setelah semua obrolan kita, setelah buku dan gelang itu, lo punya keberanian buat keluar dari semua belenggu ini. Tapi ternyata enggak, lo masih sama aja, dan itu bikin gue geli.”

Mataku menatap lurus ke arah mata Sagata. Mungkin dia bisa melihat kebencian dalam kedua mataku yang menatapnya nyalang karena sekarang aku bisa merasakan lenganku telah terbebas sepenuhnya dari genggamannya.

Good bye, Sagata.” Itu adalah ucapan terakhirku sebelum aku menghilang menaiki sebuah taksi dan meninggalkan Sagata yang mematung di halaman rumahku selama beberapa saat.

Kali ini, aku benar-benar berharap bahwa aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

“Perlu aku bilang gak ke mereka kalau aku lagi sama kamu?”

Jevan tersenyum dengan sebelah sudut bibir lebih tinggi dari yang lain, menatapku yang tengah berada dalam dekapannya dan sedang sibuk membalas pesan Klarisa yang berusaha membujukku untuk bertemu.

Aku memukul dada kekasihku itu dengan gemas. Mungkin sekarang wajahku sudah terlihat jengkel setengah mati, tapi sayangnya hal itu tidak akan mempengaruhi Jevan yang memang senang sekali menggangguku. “Gak usah aneh-aneh deh,” jawabku singkat.

“Kamu bilang apa jadinya ke mantan calon adik ipar kamu itu?” Lihat, kan? Dia bahkan masih bisa mengajukan pertanyaan yang membuat bibirku semakin cemberut.

“Aku iya-in, aku kangen sama dia. Sama temen-temen kamu yang lain juga.”

“Aneh ya,” gumam Jevan pelan, membuat aku menatapnya menuntut penjelasan lebih dari sekadar aneh yanya yang tidak jelas arahnya itu.

“Kamu tuh deket sama temen-temen aku, tapi selalu takut kalau aku kenalin ke mereka sebagai pacar aku,” jelas Jevan pada akhirnya.

“Ketemu sama mereka sebagai Adzkiya mantan calon kakak ipar Klarisa dan ketemu sama mereka sebagai Adzkiya pacar kamu itu dua hal yang berbeda, Jevander.”

“Apanya yang beda? Menurut aku sama aja, kamu sama-sama Adzkiya, gadis cantik dari Ayu Laga. Gak ada bedanya.”

Aku memilih diam. Pembahasan macam ini hanya akan mengantarkan aku dan Jevander pada jurang kekesalan yang biasanya berakhir tidak baik. Dia akan berdiri tegak untuk apa yang diyakininya dan aku akan sekeras kepala itu mempertahankan keyakinanku. Ujungnya, kami berdua akan menatap satu sama lain dengan sejuta kejengkelan di kepala kami masing-masing. Karena itu, aku memilih untuk tidak membahas permasalahan ini, lagi.

“Nanti malem aku gak pulang ke Ayu Laga, ya? Aku tidur disini.” Aku berkata sembari memainkan rambut depannya yang entah kenapa sudah mulai memanjang lagi. Rasanya baru beberapa hari lalu aku menemaninya memangkas rambut hitamnya ini hingga rapi.

Jevan nampaknya sadar aku sedang tidak ingin melanjutkan perdebatan dan memilih untuk membahas hal lain, maka dia menjawab ucapanku barusan dengan, “Disini sampe Jumat aja sekalian mau gak? Nanti hari Jumat, sepulang kerja, aku bisa anter kamu. Kan sekalian Sabtu dan Minggunya aku habisin di Ayu Laga kayak biasanya. Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke resepsionis hotel kalau aku extend booking sampai Jumat.”

Won't you get bored spending these days with me? Dari mulai hari ini sampai minggu kamu bakal liat muka aku terus loh? Biasanya kan kamu ketemu aku weekend doang.”

I will never get bored to stare at your face just like you adore these flowers in your shop eventho you see them everyday, Adzkiya.”

Sepercik kebahagian di dalam dadaku menguar hingga aku dapat merasakan kedua pipiku memanas. Aku cukup yakin, saat ini, semburat merah pasti telah samar-samar muncul di kedua pipiku yang menurut Jevan seputih susu yang dia minum tiap pagi. Sial, aku tidak bisa menyembunyikannya.

“Cie, pipinya merah, salting ya?” tanya Jevan sebelum dia berakhir menciumi kedua pipiku bergantian tanpa henti.

Tuhan, kini aku benar-benar faham kenapa seseorang yang sedang mendekap dan menciumiku ini adalah laki-laki yang berhasil menaklukan banyak wanita. Tutur kata dan perlakuannya benar-benar membuat gadis manapun bisa seakan dibawa ke langit ke tujuh olehnya. Semuanya semakin sempurna karena Engkau dengan baiknya memberi Jevan wajah yang bak dipahat oleh seniman nomor satu di khayangan. Aku rasa, tidak akan ada satupun gadis yang mampu menolak semua pesona yang Engkau letakkan pada satu raga itu, Tuhan. Termasuk aku.

“Yaudah aku disini sampai Jumat. Aku kabarin Lucia dulu untuk jaga Kiya Florist selama aku disini,” ucapku setelah Jevan membebaskan aku dari bombardir ciumannya.

**

Restoran yang Klarisa pilih untuk makan malam kali ini adalah sebuah restoran keluarga dengan menu unggulan seafood. Saat aku tiba- yang tentu saja bersama Jevan tapi aku memintanya masuk 15 menit lagi dan menunggu di parkiran terlebih dahulu- aku duduk di sebuah kursi kosong di antara Klarisa dan Juan. Di sebelah kanan Juan adalah Kayana dan Raechan, sementara si kecil Sergio berada di pangkuan ibunya. Lalu di sisi meja satu lagi diisi oleh Jaenandra, Jelena dan Markio, serta satu kursi kosong yang nanti akan diisi oleh Jevan.

Kami berbincang sebentar dan saling menanyakan kabar. Jelena memberi kabar yang begitu membahagiakan karena ternyata wanita cantik itu telah berbadan dua. Kandungnnya berumur enam minggu dan dia terlihat begitu sehat, tidak seperti Vivian yang harus mengalami morning sickness sampai usia kehamilannya menginjak 10 minggu. Aku bersyukur dan mendoakan kesehatannya dalam hati. Jevan muncul saat obrolan kami telah berubah memabahas si kecil Sergio.

“Oy, Jev, telat lo. Dari mana aja?” Jaenandra yang paling dulu menyapa Jevan.

Sorry tadi balik ke rumah dulu ganti baju, males gue masa mau makan-makan harus pake jas. Kayak lagi business dinner aja.” Jawaban Jevan yang terdengar meyakinkan itu membuatku terkekeh. Bagaimana bisa dia berkata bohong seperti itu dengan wajah datar dan tanpa senyum mencurigakan sama sekali? Padahal seharian ini dia bersamaku, mulai dari menjemputku di terminal bus hingga menemaniku menjalani pemeriksaan gigi bersama dokter yang dimaksudkan Markio. Lalu apa katanya tadi? Pulang dari kantor? Cih, dia bahkan tidak menginjak lantai kantornya sedikitpun seharian ini.

“Wan, gantian dong duduk disitunya, gue mau main sama Gio.”

Tanpa argumen tidak penting, Juan langsung berdiri dari duduknya dan menyilakan Jevan untuk duduk. Si laki-laki yang merampas kursi itu langsung meletakkan bokongnya dan menyapa si kecil Sergio. Mereka bermain dan tertawa sebentar sebelum akhirnya pesanan kami tiba. Semua orang langsung sibuk dengan piring masing-masing, terutama Kayana yang harus membagi fokusnya pada Sergio. Di antara kesibukan kawan-kawannya itulah Jevan meletakkan tangan kirinya di atas pahaku-katanya itu adalah sebuah bentuk kepemilikan. Suasana menjadi hening karena masing-masing dari kami fokus pada menu di atas meja. Mungkin sekitar 20 menit hingga akhirnya kami selesai makan dan mulai berbincang lagi. Kali ini, lengan Jevan tidak lagi diletakkan di atas pahaku. Tangan kirinya telah terselip di antara jari jemariku dan dia menggenggamnya dengan hangat- tentu saja kami melakukannya di balik meja.

“Bentar lagi kan ultah lo, mau dirayain dimana? Kita udah gak di umur saling surprise, kan?” Juan bertanya sembari menatap Jevan.

“Makan-makan aja, tapi jangan di tanggal 23nya ya? Di tanggal 24 atau 25 aja.”

“Kenapa?” Klarisa bertanya menyelidik.

I want to celebrate my birthday with someone special di tanggal 23nya, just both of us, gak papa, kan?” Jevan menjawab dengan begitu tenang sementara hatiku sudah berdegup tidak karuan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang aneh, kan?

“Siapa emang?” Klarisa makin penasaran.

“Hmm...” Jevan hanya bergumam dan aku meliriknya yang tersenyum jahil, sungguh hatiku seakan ingin meledak. “Sama... A...”

Genggaman tanganku pada Jevan semakin erat, memberi kode padanya agar tidak mengatakan sesuatu di luar nalar, apa lagi sampai menyebut namaku.

“A.....aahhhh, pada penasaran ya?”

Jawaban Jevan membuat kawan-kawannya kesal, bahkan Jaenandra sampai melemparinya dengan tisu.

“Gue mau ke makam Mama, mau rayain berdua sama Mama.”

Perasaan gugupku berubah menjadi kekesalan. Sungguh, laki-laki ini benar-benar gemar sekali membuatku jengkel. Tapi setidaknya aku lega, dia tidak mengatakan apapun mengenai aku yang akan pergi bersamanya ke makam ibunya.

“Kalau soal dokter Ketty gimana Jev? Kapan lo mau ketemu dia?”

Aku merasakan elusan di di punggung tanganku yang Jevan lakukan dengan ibu jarinya sebelum dia menjawab, “Gak jadi deh, Kak, gue masih pengen begini aja.”

“Lo yakin? Coba aja dulu Jev, kali aja cocok,” sambar Jaenandra.

“Yakin, nanti aja kalau gue udah nemu cewek yang pas dan cewek itu udah siap, gue bakal kenalin dia ke kalian.” Jevan menjawab mantap, sementara aku hanya diam mendengarkan.

“Yaudah, kapanpun itu, kalau lo udah nemu cewek yang mau lo ajak serius bawa aja ke studio. Kita pasti welcome ke dia kok.”

Malam itu, entah kenapa, aku merasakan sedikit keberanian untuk muncul di depan mereka sebagai kekasih Jevan. Tapi aku masih butuh lebih banyak keberanian lagi.