Goodbye, heartbreak.
Jevander's Pov
Goodbye heartbreak, goodbye home Goodbye dive bar I used to go I gotta get out Out of this goodbye town Goodbye happy, hello regret Hello, all the things I wished I said I'm going down Down in this goodbye town Where am I supposed to go
Aku penasaran, apa yang ada pada benak Aaron Lewis saat menyanyikan lagu ini? Apakah dia merasakan sakit luar biasa macam yang aku rasakan? Merasakankah dia kegundahan yang menumpuk macam aku begini? Aku juga penasaran, apakah town yang dia bayangkan kala menyanyikan lagu ini adalah negara seindah Ayu Laga? Apakah town yang ada pada liriknya itu juga menyimpan sejuta kenangan seperti Ayu Laga menyimpan ceritaku dan Adzkiya pada tiap tetes embun paginya?
Lirik lagu Goodbye Town terus mengalun pelan di telingaku saat derap langkah patah-patah aku paksakan di lorong Ayu Laga yang kosong. Sebuah tas jinjing tidak terlalu berat kubawa di tangan kananku. Tas yang sejak tadi ingin direbut oleh Juan untuk dibawa saja olehnya— takut aku masih belum terlalu kuat untuk hal remeh semacam ini katanya. Tidakkah Juan tahu bahwa kawannya ini telah lama memanggul beban yang beratnya berkali lipat dari pada tas jinjing berisi pakaiannya ini, di pundaknya? Atau mungkinkah Juan justru tahu hal itu hingga dia ingin sedikit mengurangi beban kawannya ini? Entahlah, yang kutahu, dia setia menemani aku selama lebih dari dua minggu pengobatanku di John Medical hingga aku diperbolehkan pulang hari ini. Luka-luka ditubuhku telah mengering, bahkan beberapa telah mengelupas dan hilang tanpa meninggalkan jejak.
Namun aku, kawan-kawanku, dan kamu pasti tahu, bahwa ada luka pada diriku yang tidak akan pernah sembuh— selamanya. Luka yang sebentar lagi kian menganga karena aku akan bertemu dengan gadis itu, yabg mungkin untuk terakhir kalinya. Karena setelah aku meninggalkan kota yang sudah seperti rumah untuk aku dan Adzkiya ini, sebisa mungkin aku tidak akan pernah kembali. Kueratkan genggaman tangan kiriku pada ponsel yang masih setia memutar suara Aaron Lewis. Ponsel yang juga menyimpan semua pesan Adzkiya sejak pertama kali aku bertukar pesan dengannya hingga pesan terakhirnya yang kubaca begitu saja tanpa balasan. Pesan yang berisi usaha-usahanya untuk membuat aku ingat tentang kami. Pesan yang tiap kali aku membacanya selalu mengundang butir air mataku untuk menetes, air mata yang membuatku sadar bahwa sedalam itu lah perasaan yang aku miliki untuk gadis yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menjadi milikku karena kejamnya takdir itu.
Suara Aaron Lewis digantikan oleh suara Johnny Stimson menyanyikan lagunya yang berjudul Flower saat aku tiba di halaman rumah sakit. Lagu dengan nada sendu itu seakan menjadi lagu pengiring saat mataku tanpa sengaja bersirobok dengan manik milik Adzkiya. Gadis itu, dia berdiri di antara kawan-kawanku, mengenakan hoodie abu-abu milikku. Dari tempatku berdiri, melalui angin yang berhembus lembut, aku bisa mencium aroma wewangian familiar yang berasal dari tubuh Adzkiya. Aroma parfumku. Nampaknya Adzkiya sengaja menyemprotkan banyak-banyak pada hoodie yang dikenakannya, mungkin dengan tujuan agar aku bisa mengingatnya. Gadis itu, gadis yang paling kusayangi itu masih berusaha membuatku ingat.
Tahukah dia, Tuhan, bahwa dia melakukan hal yang sia-sia untuk sandiwaraku yang kejam ini? Tahukah dia, Tuhan, bahwa dia adalah hal yang tidak mungkin aku lupakan bahkan ketika aku tanpa sengaja menghancurkan kepalaku dan membuat otakku terburai?
Berusaha mengabaikan Adzkiya, aku melepas benda kecil yang tadi menyumpal telingaku dan membuat suara Johnny Stimson hilang dari pendengaranku. Aku berjalan mendekat pada Bang Garend yang terlihat tampan dalam balutan jas dokternya untuk berpamitan. Kupeluk dia dan aku mengucapkan banyak terimakasih atas segala bentuk perawatannya selama ini. Tidak lupa aku berterima kasih juga pada Bang Juwan. Kak Vivian dan Kak Valen tidak ada di sana jadi aku hanya menitipkan salam. Sebuah bingkisan kecil Bang Juwan ulurkan padaku sebagai balasan dari salam itu, kado kecil untuk kesembuhanku katanya. Aku menerimanya lalu berjalan ke arah mobil Juan tanpa menoleh sama sekali. Berusaha untuk tidak menatap manik mata sendu itu lagi.
Kawan-kawanku yang lain juga masuk ke mobilnya masing-masing tanpa mengatakan sepatah katapun untuk Adzkiya.
“Gue aja yang nyetir ya, Wan?” tawarku pada Juan yang dibalasnya dengan gelengan pelan.
“Gue aja,” katanya tegas. “Lo yakin gak mau nyapa Kak Kiya buat terakhir kalinya, Jep?”
“Lebih baik kayak gini.”
“Yaudah, masuk gih.”
Aku menurut, masuk ke dalam mobil Juan dan menatapnya yang mulai menyalakan mesin mobil. Tidak kutengok lagi bangunan megah John Medical. Tidak berani lebih tepatnya. Aku takut air mata sialan yang terus menetes tiap malam di ranjang rawatku akan menetes lagi bahkan sebelum mobil Juan bergerak untuk menjauhi Ayu Laga.
“Kita jalan, ya.” Juan berkata pelan, seiring kakinya yang mulai menginjak gas dan menyebabkan roda-roda mobilnya bergerak pelan.
Iring-iringan mobil Juan dan mobil kawan-kawanku yang lain mulai menjelajahi jalanan bebatuan di antara puluhan hektar kebun teh. Jalanan yang sama dengan yang aku pijaki kala aku menggendong Adzkiya di punggungku malam itu. Setelah melewati jalanan berbatu, mobil kami berbelok ke jalanan utama. Tolong jangan ingatkan aku ada toko bunga apa di sana, karena tanpa kalian ingatkan sekalipun, mataku sudah lebih dulu tertaut pada jendela kaca Kiya Florist. Tempat dimana aku biasa menatap Adzkiya dari luar toko.
Tuhan, bisakah aku merelakan semua ini sesuai dengan rencanaku? Bisakah aku benar-benar mengabaikan Adzkiya yang terluka karena sikap acuhku itu?
Tapi engaku yang paling tahu, kan, Tuhanku? Bahwa aku melakukan ini semua demi kebaiakannya. Demi keamanannya. Demi dia.
Aku bukan sengaja menyakiti gadis baik itu, Tuhan. Bahkan tidak pernah terbesit sama sekalipun untuk melakukannya.
Maka jika ini adalah memang sebenar-benarnya jalan dari Engkau untuk kami berpisah, maka tolong permudah Adzkiya untuk merelakan aku dan tolong teguhkan hatiku untuk tidak mendambakan dirinya terus-menerus.
Tolong kami, Tuhan. Aku mohon.
“Lo istirahat aja, Jep. Nanti kalau udah sampe Jakarta gue bangunin.”
Aku menutup mataku tanpa menjawab Juan. Entahlah, aku merasa bahwa jika mulutku mengelurkan suara, air mata akan ikut bersamanya. Maka aku memilih menutup mulutku rapat-rapat dan hanya melakukan apa saja yang Juan suruh.
Ketika aku merasa kami sudah memasuki jalan TOL, aku mendengar sebuah lagu yang mengalun merdu dari pemutar musik di mobil Juan. Kali ini lagu milik Coldplay berjudul Let Somebody Go. Aku tidak tahu Juan memilih lagu ini secara acak atau sengaja, tapi aku bisa meresapi tiap bait dalam lagu ini.
We had a kind of love, I thought that it would never end Oh my lover, oh my other, oh my friend
Benar, aku juga tidak pernah berfikir bahwa kisahku dan Adzkiya akan berakhir seperti ini.
We talked around in circles, and we talked around and then I loved you to the moon and back again
Benar, aku mencintai Adzkiya seperti itu.
You gave everything this golden glow Now turn off all the stars 'cause this I know That it hurts like so To let somebody go
Ya, melepaskan seseorang memang semenyakitkan ini. Sakit, sakit sekali.
Aair mata yang kutahan, meloloskan diri. Suara Christ Martin dan Selena Gomez seakan menusuk-nusuk relung kalbuku lewat tiap lirik yang mereka lantunkan. Mataku masih terpejam, namun air mata meleleh membasahi pipiku lagi dan lagi.
Dari sekian lirik yang menyakitkan itu, ada satu bait yang paling nenyakitiku, yaitu...
Now, without you, what on earth am I to do?
Karena benar, tanpa Adzkiya, aku tidak tahu harus apa.
**
Adzkiya's Pov
Hoodie abu-abu miliknya.
Parfum miliknya.
Aku telah memadukan keduanya.
Tapi laki-laki itu sama sekali tidak menganggap aku ada. Mengabaikan. Berlalu begitu saja memasuki mobil kawannya. Dari pada dilupakan, aku lebih merasa dijauhi oleh Jevan. Jevanku. Jevan yang rasanya sulit sekali untuk aku gapai sekarang ini. Air mataku rasanya telah kering, karena saat nelihatnya pergipun aku hanya bisa menghela nafas panjang. Tidak ada air mata lagi yang menetes membahasahi kedua pipiku yang dulu gemar diciumi oleh kekasihku.
“Kak, aku anter pulang, ya?” Ucapan Juwan menarik aku dari kegundahanku, menyadarkan aku bahwa iring-iringan Jevan dan kawan-kawannya telah lenyap di tikungan jalan.
“Gak usah, Wu. Kakak jalan aja.”
Maka di sinilah aku sekarang, di jalan berbatu yang sama dengan yang aku lewati bersama Jevan malam itu. Saat Jevan menggedongku di punggungnya yang kekar. Jalanan ini juga yang selalu Jevan lalui dengan mobil hitamnya tiap akhir pekan.
Aku ingin sekali bertanya pada bebatuan di bawah kakiku ini, akankah mereka merindui roda mobil Jevan sebagaimana aku akan merindui pengendaranya di setiap hari-hariku? Akankah mereka bertanya-tanya kenapa roda-roda itu tidak lagi datang? Akankah mereka seperti aku yang menyimpan sejuta pertanyaan di kepalaku?
Setelah ini, aku harus apa, ya? Akhir pekan akan aku isi dengan apa, ya? Tiap pagi aku harus menanti kabar dari siapa, ya? Dan sejuta pertanyaan lainnya hingga kepalaku pusing.
Langkah kaki yang kuambil pelan-pelan ternyata tetap cepat mengantarkan aku ke depan halaman rumahku. Aku disapa oleh beberapa orang yang selama ini selalu menjagaku, yang diketuai oleh Pak Erick.
“Mbak Kiya,” sapanya pelan. “Kami mau pamit.”
“Pamit?” tanyaku seraya mendekati mereka.
“Tadi Mas Jaenandra telfon saya, katanya Pak Alex telah menarik mundur orang-orang suruhannya, jadi Mas Jaenandra bilang keadaan sudah aman. Mbak Kiya gak perlu takut lagi ada di kota ini. Tapi saya gak tau, Mbak, saya gak tau harus senang atau sedih sama kenyataan ini.” Pak Erick menunduk dalam, sama sekali tidak menatapku. “Entah kenapa, saya merasa lebih baik saya terus menjaga Mbak Kiya dari orang-orang itu atas suruhan Mas Jevan dari pada harus seperti ini. Saya...”
“Gak papa, Pak Erick,” potongku cepat. “Kita berdoa aja semoga keadaan Jevan cepat membaik.”
Angin berhembus dari perbukitan, membawa udara basah yang menambah kesenduan suasana.
“Makasih selama ini sudah menjaga saya, maaf kalau selama ini saya kurang memperlakukan Pak Erick dan yang lainnya dengan baik.” Aku memaksakan senyum, meskipun aku tahu itu bahkan tampak palsu bagi siapapun. “Selamat jalan, semoga sampai di Jakarta dengan selamat.”
Pak Erick mengangkat mukanya dan balas menatapku. Laki-laki yang selalu mengenakan setelan jas serba hitam itu mengulurkan tangannya dan kubalas dalam sedetik.
“Saya senang pernah ada disini untuk melindungi Kak Kiya, baik-baik ya, Mbak. Jangan segan hubungi saya dan kawan-kawan saya jika butuh apa-apa.”
Setelah itu, aku melepas mereka pergi. Beriring-iringan menaiki tiga mobil besar yang menggerung seram.
Selesai, semuanya telah selesai.
Beginikah akhir kisahku?