petrichorslines

Di dunia ini, mungkin ada ratusan bahkan ribuan manusia bernama Alex. Baik perempuan maupun laki-laki. Dan dari ribuan kemungkinan itu, aku tidak menyangka bahwa yang berdiri berhadapan denganku saat ini adalah Alex yang ini, Alexander Novanda, ayah Jevander Novanda- kekasihku. Aku menatapnya dengan pandangan ketidakmengertian akan banyak hal. Aku tidak mengerti kenapa dia memilih Florist kecil di pinggiran kota dari banyaknya Florist besar di Ibu Kota sana? Aku tidak mengerti kenapa dia memilih mengambil bunganya sendiri daripada menggunakan jasa pengiriman yang tidak akan membuatnya repot menempuh jarak puluhan kilometer? Aku tidak mengerti kenapa dia sejak tadi menatapku dengan senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya? Segala ketidakmengertianku itu membuatku kepalaku pusing dan perutku mual.

“Bunga saya sudah siap?” Pak Alex bertanya padaku dengan nada suaranya yang rendah. Itu adalah kalimat yang keluar dari mulutnya setelah sekian detik kami bertatapan tanpa suara.

“Oh...” Aku terperanjat, buru-buru mengambil bunga yang sudah aku rangkai sedemikian cantiknya. Bunga Sweat Pea berwarna ungu dan putih yang memiliki makna perpisahan- sesuai pesanan. Aku mengayunkan bunga itu pada Pak Alex dan menunggunya untuk menyambut bunga itu. Namun yang terjadi, pria berusia sekitar 40 tahunan itu tidak kunjung menyambut bunga yang dipesannya.

“Untuk kamu saja,” katanya masih dengan suara rendahnya yang khas.

“Maaf, maksudnya gimana ya, Pak?”

“Bunga itu untuk kamu, karena sebentar lagi kamu akan berpisah dengan anak saya.”

Seakan tersambar petir di siang bolong, hatiku mencelos. Luka-luka di dalam sana yang belum sepenuhnya sembuh seakan ditaburi ratusan bulir garam hingga membuatnya begitu perih. Tapi luka-luka itu juga seakan sebagai pengingat untukku bahwa aku tidak akan membiarkan pria di depanku ini untuk menabur lebih banyak garam dan membuatku hatiku semakin terluka. Lalu dengan senyum yang mengembang tenang, aku meletakkan bunga itu di atas counter, begitu dekat dengan Pak Alex.

“Maaf, saya gak suka Sweat Pea, Pak. Saya lebih suka bunga Peony. Bapak tau apa arti bunganya?”

“Penghilang rasa sakit. Atau bisa juga diartikan sebagai kebahagiaan,” sambarku cepat pada pertanyaanku sendiri, tanpa menunggu anggukan atau gelengan kepala Pak Alex. “Saya dan Jevan adalah dua orang yang saling menyembuhkan dan sumber kebahagiaan bagi masing-masing dari kami.”

Jawabanku membuat senyum Pak Alex luntur. Wajah tegasnya kian kentara saat senyum itu tidak lagi menunggangi wajahnya. Meskipun Pak Alex tetap nampak tenang, tapi aku yakin sekali bahwa dia gusar. Dia pasti menganggap aku wanita lemah yang bisa dia intimidasi dengan power yang dia miliki itu. Tapi aku adalah Adzkiya, luka-lukaku di masa lalu menjadikan aku pribadi yang tidak akan gentar dengan gertakan macam ini. Apa lagi, sejak pertama kali aku mengiyakan ajakan Jevan untuk memulai hubungan kami, aku sudah mengira-ngira respon macam apa yang akah ayahnya berikan. Dan apa yang terjadi hari ini adalah apa yang sudah aku bayangkan sejak setahun lalu.

“Adzkiya Judith Hartoni, tinggal dan dibesarkan di sebuah panti asuhan kumuh di kota kecil bernama Ayu Laga. Tumbuh tanpa bimbingan seorang ayah dan kasih sayang seorang ibu. Pendidikan hanya sampai tingkat menengah atas karena tidak sanggup berkuliah. Membuka toko bunga kecil ini dengan pinjaman bank. Ditinggalkan oleh dokter Garend karena dirasa tidak mengumpuni untuk menjadi istri seorang dokter, dan sekarang kamu bermimpi untuk mendampingi anak saya? Jevander Novanda pewaris tunggal Novanda Group? Kembali ke kenyataan, Nona Adzkiya.” Rentetan kalimat itu bak anak panah yang menghujam dadaku ribuan kali. Kedua tanganku yang terkulai di sisi tubuh mengepal kuat. Aku juga bisa merasakan telapak kakiku berkeringat karena terlalu marah. Tapi otakku berkali-kali memaksaku untuk tersenyum, agar setidaknya orang yang sedang aku hadapi ini tidak merasa menang.

“Setidaknya saya tahu, panti asuhan kumuh tempat saya tumbuh yang anda sebutkan tadi adalah sebuah tempat yang jauh lebih hangat dari pada rumah mewah yang Jevan tinggali.” Aku menjawab mantap, tanpa keraguan sama sekali dalam suaraku.

Rasanya, aku dan Pak Alex seperti dua orang yang sedang bermain catur. Aku tidak akan membiarkan dia mengambil semua bidak caturku satu-persatu. Sebaliknya, aku akan berusaha membuatnya pulang dengan malu setelah menyaksikan bidak terakhir pada sisi papan caturnya tumbang.

“Saya memang tumbuh tanpa tahu kasih sayang kedua orang tua saya, tapi saya tau cara mengasihi dengan benar. Mungkin itu juga yang membuat Jevan ingin saya berada di sisinya.” Lima bidak catur Pak Alex aku ambil sekaligus.

“Pak, jika Bapak melakukan ini pada saya karena rasa sayang Pak Alex pada Jevan, boleh saya beritahu kalau cara ini salah?” Lima bidak lainnya jatuh ke tanganku tanpa perlawanan.

“Jevan ingin dengan saya, Pak. Seribu kalipun saya coba menghindar dari dia, dia selalu kembali pada saya. Sejak awal, saya tahu kalau Pak Alex gak akan pernah merestui hubungan saya dan Jevan, itu juga yang menjadi alasan kenapa saya selalu menolak ajakan Jevan yang ribuan kali itu juga untuk bertemu dengan Bapak.” Tidak banyak bidak yang tersisa pada sisi papan catur Pak Alex dan dia hanya menatapnya pasrah.

“Jadi, jika Bapak ingin saya berpisah dengan Jevan, temui dia dan bukan saya. Mungkin Bapak bisa dengar dari mulut anak Bapak sendiri bagaimana keputusan yang akan dia ambil. Jika dia ingin berpisah dengan saya, saya tidak akan keberatan. Namun jika dia ingin bersama saya, saya akan tetap bersamanya, Pak. Dan saya meminta maaf untuk itu.”

Checkmate

Aku memenangkan pertandingan catur itu.

**

Aku di apartemen, Sayang, kenapa?

Jawaban Jevan dari sambungan telepon itu cukup untuk membuatku memberi tahu pada supir taksi, yang baru saja aku naiki dari terminal bus, kemana aku harus pergi. Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit sampai aku tiba di depan pintu apartemen Jevan yang terletak di pusat Ibu Kota itu.

Jevan menatapku bingung saat mendapati diriku berdiri di depan pintu apartemennya. Dia langsung menarikku masuk dan menanyakan aku dari mana dan bersama siapa.

“Aku sendirian, tadi abis ngecek bahan-bahan buat florist di toko deket sini. Jadi aku mampir,” bohongku.

“Kenapa gak ngabarin aku? Aku bisa nemenin kamu.”

“Kamu kan kerja. Peluk aku dong, Van, aku capek banget.”

Aku bisa menangkap raut wajah heran Jevan yang langsung dia usir itu ketika menarikku ke dalam dekapannya. Wajar saja dia heran, aku tidak pernah bersikap semanja ini padanya. Selain itu, kedatanganku ke apartemennya saja sudah pasti cukup untuk membuatnya heran- karena aku selalu menolak ketika dia mengajakku kesini.

“Aku nginep di sini boleh, ya? Mau pulang ke Ayu Laga capek banget. Aku nginep semalem aja.” Aku berucap sedikit tidak jelas karena aku membenamkan wajahku pada dadanya yang hangat. Aku berusaha mencari kenyamanan yang selalu bisa aku temukan di dada Jevan yang bidang ini. Perasaanku saat ini sedang kacau, asal kamu tahu saja. Segala keberanianku melawan Pak Alex tadi menguras seluruh energiku hingga aku harus datang jauh-jauh untuk menemui Jevan dan merecharge energiku seperti ini.

“Boleh, dong, Sayang. Aku seneng banget malah kalau kamu mau nginep disini. Jangankan semalem, selamanya juga boleh,” balas Jevan yang diberi tambahan dengan sebuah kecupan sayang di pucuk kepalaku.

Aku melonggarkan pelukan dan mendongak untuk menatap wajah kekasihku itu. “Van, tidur yuk? Tapi peluk aku, ya?”

Raut wajah heran yang tadi sudah diusir Jevan datang kembali. Dia menatapku dengan kedua alis yang menyatu.

“Ki, ini beneran kamu?”

“Iya, ini aku.”

Jevan diam. Matanya mengamatiku dengan lamat.

“Ini aku, Van.”

“Tapi Adzkiya yang aku kenal gak pernah izinin aku untuk meluk dia waktu tidur loh?”

“Adzkiya yang itu udah pergi, yang sekarang ada di depan kamu ini Adzkiya versi baru.”

Jevan tidak menjawab lagi karena aku membungkamnya dengan kelembutan bibirku. Membuatnya dengan begitu ringan membawaku ke kamarnya dan merebahkan tubuhku di atas ranjangnya yang nyaman. Adegan selanjutnya akan aku serahkan saja pada kalian bagaimana kalian akan melanjutkannya.

Aku hanya ingin meberitahu bahwa Adzkiya yang dulu, yang takut untuk menunjukkan hubungannya dan Jevan pada dunia, telah mati. Kini, yang ada hanyalah Adzkiya yang akan memamerkan dengan bangga bahwa Jevander Novanda adalah miliknya.

Selain kemacetan, udara pengap dan keramaiannya yang seakan sulit diurai, ada banyak hal lagi yang bisa aku sebutkan untuk membuatmu ikut bersamaku membenci kota ini. Kota yang konon katanya menjadi sumber kehidupan ini justru menjadi kota yang membunuh jiwaku bertahun-tahun lalu. Kematian yang tidak disadari banyak orang- karena kata mereka, tidak ada darah dalam kematian itu. Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak ingin menginjakan kakiku di sini lagi, seberapapun Papi ataupun keluarga besarnya memintaku pulang. Tapi peringatakan kematian nenekku adalah perkara lain. Nenekku, kesayanganku, satu-satunya rumahku yang sudah dirampas Tuhan empat tahun lalu. Bagaimana bisa aku mengabaikan kabar Mbak Diana, personal assistant papiku, mengenai kabar itu? Bagaimana bisa aku tetap berkeras kepala bahkan setelah tiga tahun tidak ikut merayakan peringatan kematian nenekku?

Maka disini lah aku, berdiri menatap sibuknya Ibu Kota dari lantai lima hotel tempatku menginap. Tunggu, aku bahkan tidak perlu menjelaskan, kan, kenapa aku lebih memilih menginap di hotel dari pada pulang ke rumahku sendiri?

Acara peringatan nenek akan dimulai pukul enam sore, di rumahku yang berjarak 45 menit dari hotel ini. Jika sekarang pukul lima sore, maka aku memiliki waktu bersiap-siap sebentar sebelum berangkat. Aku berpindah dari pinggir jendela menuju meja rias, menatap diriku pada cermin yang menampakkan wajahku yang lesu. Wajah yang harus kupoles sedikit agar tidak terlihat begitu buruk, juga sedikit sentuhan pemerah bibir agar tidak terlihat pucat. Selesai dengan urusanku, aku memutuskan untuk turun ke lobby hotel dan meminta seorang staff hotel untuk mencarikanku taksi.

Aku tiba di rumah Papi, yang sebetulnya juga rumahku, pada pukul enam kurang dua menit. Aku menatap rumah itu dengan pandangan aneh, mungkin sekarang kedua alisku telah bertemu di tengah pangkal hidung karena dahiku mengerut. Kenapa rumah ini sepi sekali? batinku dalam hati. Berusaha mengabaikan keanehan itu, aku melangkah masuk dan mendengar percapakan beberapa orang dari arah ruang makan. Kok cuma segini yang dateng? batinku lagi.

“Oh, itu anakku sudah datang. Halo, Nak!” Papi menyapaku dengan ramah saat dia akhirnya menyadari kedatanganku. Wajahku pasti sangat tidak ramah sekarang ketika akhirnya aku bisa melihat dengan kepalaku sendiri bahwa di rumah ini, rumah yang katanya akan menjadi lokasi peringatan kematian nenekku, justru hanya diisi oleh Papi dan dua orang lain yang duduk bersebrangan dengannya. Aku tidak bisa melihat wajah mereka berdua karena posisi mereka memunggungiku.

“Sira, sini,” panggil Papi lagi saat aku tidak kunjung mendekat. Entah perasaanku saja atau bagaimana, tapi sosok laki-laki yang duduk memunggungiku itu tiba-tiba langsung tegang, aku bisa melihat perubahan pada gesture tubuhnya.

“Oh ini ya yang namanya Sira? Cantik sekali, mari, Nak, duduk.” Wanita yang duduk di sebelah laki-laki yang tegang tadi menoleh padaku dan tersenyum manis. Ternyata, wanita itu seusia dengan Papi. “Tante mau kenalkan kamu ke anak Tante, Sagata namanya.”

Dari jauh, aku merasa seperti mendengar suara guntur. Seingatku, di luar sedang tidak hujan, tapi mengapa aku merasakan hawa dingin yang seakan menusuk-nusuk kulitku hingga aku menggigil? Perlu beberapa detik bagiku untuk menenangkan jatungku yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Butuh detik yang lebih lama bagi otakku untuk mengolah informasi yang baru aku dengar itu.

Sagata? Apakah dia Sagata yang sama dengan yang aku kenal?

Ketika otakku berkerja keras untuk memahami keadaan, tanpa sengaja aku justru menemukan puzzle tentang pesan dari Sagata semalam yang berbunyi, “Gue juga ada urusan di Jakarta, tapi gak bisa nemuin lo soalnya gue sama Mama”. Jadi ini? Ini urusan yang Sagata maksud?

“Sira, kok malah bengong? Sini, duduk.” Suara Papi menarikku ke kenyataan, membuatku perlahan berjalan mendekat dan duduk di samping Papi, tepat di depan Sagata. Laki-laki itu tampak berusaha tidak menatapku, dia justru sibuk memandangi piringnya yang kosong.

“Mana peringatan kematian Oma? Kenapa sepi?”

“Tidak ada acara itu, Sira, hari ini....”

“Ini makan malam untuk kamu dan Sagata, Nak Sira.” Wanita di sebelah Sagata menyambar ucapan Papi. Sungguh, impresiku terhadap ibu Sagata itu semakin tidak baik.

Guntur di kejauhan makin terdengar di telingaku. Aku tidak tahu, itu benar-benar guntur atau justru kemarahan yang coba aku pendam. Kedua tanganku sudah mengepal kuat, rasanya aku bisa meruntuhkan rumah ini sekarang juga- tentu saja jika tidak memikirkan harga diriku sendiri.

“Saya mau datang ke sini karena Mbak Dina bilang ini acara peringatan kematian Oma, kalau ternyata hanya sekedar makan malam tidak jelas, saya permisi.” Aku bangkit berdiri, tidak lagi mau terlibat dalam skenario norak yang dibuat oleh Papi. Amarahku sudah tinggal mencuat menjadi tindakan kasar yang akan sangat mungkin aku sesali di kemudian hari dan sebelum itu semua terjadi, aku memilih untuk pergi sejauh-jauhnya dari ruang makan sialan itu. Aku mendengar Papi memanggilku beberapa kali kemudian disusul suara nyaring sepatu pantofel yang bertabrakan dengan lantai marmer ruang tamuku yang lengang.

“Sira, hey, wait.” Itu suara Sagata. “Sebentar dulu, Sira, tunggu.”

Aku tak mengindahkan panggilan itu dan terus melaju hingga hampir sampai di pintu gerbang rumah saat akhirnya Sagata berhasil mengejar langkahku dan meraih sebelah tanganku. Dia menarikku pelan agar berbalik dan tepat saat wajah kami bertatapan, sebelah tanganku yang bebas menampar wajah tampannya. “Satu, dont you dare to touch me. Dua, gak usah ikut campur urusan gue dengan sok mengejar gue seperti ini, Sagata. You are not a hero and I don't want to be saved by you!” Lihat, sudah kubilang, kan, kemarahanku hanya akan mencuat menjadi perbuatan kasar seperti ini?

Sagata terkesiap mendengar bentakanku, tapi laki-laki itu tidak juga melepaskan lenganku dari genggamannya. “Lo mau kemana? Gue anter,” katanya pelan.

“Bukan urusan lo, lepas!” Aku membentaknya lagi, meskipun tidak menghasilkan apa-apa. Kami bertatap-tatapan cukup lama setelah itu. Mengabaikan tatapan dari satpam rumahku yang sepertinya bingung harus berekasi seperti apa.

“Sagata, gue mohon lepasin gue,” rintihku pada akhirnya. Saat kemarahanku mereda, kesedihan dan rasa malu mengambil alih diriku. Aku sedih karena Papi menjadikan alasan sebesar peringatan kematian nenekku demi makan malam tidak penting ini. Dan aku malu, aku malu pada Sagata yang melihat betapa bodohnya aku datang ke tempat ini dengan iming-iming dari Papiku yang sialan itu. Sungguh, yang aku inginkan saat ini hanya menenggelamkan diriku di lautan lepas jika bisa.

“Gue anter ya, Sira.”

“Lo tau gak, Ga, siapa orang yang paling gue benci di dunia ini?”

Sagata menggeleng.

“Gue benci Papi dan orang-orang seperti Papi. Mama lo, keluarga Satrio yang ngajak lo makan malem, dan semua keluarga terkutuk di dunia ini yang menggabungkan urusan bisnis dan perjodohan menjijikkan macam ini demi harta. Dan sekarang, ngeliat lo disini, lo keliatan seperti bagian mereka. So please, let me go, gue gak mau liat lo lagi.” Ucapanku membuat genggamannya pada lenganku mengendur. “Gue kira setelah semua obrolan kita, setelah buku dan gelang itu, lo punya keberanian buat keluar dari semua belenggu ini. Tapi ternyata enggak, lo masih sama aja, dan itu bikin gue geli.”

Mataku menatap lurus ke arah mata Sagata. Mungkin dia bisa melihat kebencian dalam kedua mataku yang menatapnya nyalang karena sekarang aku bisa merasakan lenganku telah terbebas sepenuhnya dari genggamannya.

Good bye, Sagata.” Itu adalah ucapan terakhirku sebelum aku menghilang menaiki sebuah taksi dan meninggalkan Sagata yang mematung di halaman rumahku selama beberapa saat.

Kali ini, aku benar-benar berharap bahwa aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

“Perlu aku bilang gak ke mereka kalau aku lagi sama kamu?”

Jevan tersenyum dengan sebelah sudut bibir lebih tinggi dari yang lain, menatapku yang tengah berada dalam dekapannya dan sedang sibuk membalas pesan Klarisa yang berusaha membujukku untuk bertemu.

Aku memukul dada kekasihku itu dengan gemas. Mungkin sekarang wajahku sudah terlihat jengkel setengah mati, tapi sayangnya hal itu tidak akan mempengaruhi Jevan yang memang senang sekali menggangguku. “Gak usah aneh-aneh deh,” jawabku singkat.

“Kamu bilang apa jadinya ke mantan calon adik ipar kamu itu?” Lihat, kan? Dia bahkan masih bisa mengajukan pertanyaan yang membuat bibirku semakin cemberut.

“Aku iya-in, aku kangen sama dia. Sama temen-temen kamu yang lain juga.”

“Aneh ya,” gumam Jevan pelan, membuat aku menatapnya menuntut penjelasan lebih dari sekadar aneh yanya yang tidak jelas arahnya itu.

“Kamu tuh deket sama temen-temen aku, tapi selalu takut kalau aku kenalin ke mereka sebagai pacar aku,” jelas Jevan pada akhirnya.

“Ketemu sama mereka sebagai Adzkiya mantan calon kakak ipar Klarisa dan ketemu sama mereka sebagai Adzkiya pacar kamu itu dua hal yang berbeda, Jevander.”

“Apanya yang beda? Menurut aku sama aja, kamu sama-sama Adzkiya, gadis cantik dari Ayu Laga. Gak ada bedanya.”

Aku memilih diam. Pembahasan macam ini hanya akan mengantarkan aku dan Jevander pada jurang kekesalan yang biasanya berakhir tidak baik. Dia akan berdiri tegak untuk apa yang diyakininya dan aku akan sekeras kepala itu mempertahankan keyakinanku. Ujungnya, kami berdua akan menatap satu sama lain dengan sejuta kejengkelan di kepala kami masing-masing. Karena itu, aku memilih untuk tidak membahas permasalahan ini, lagi.

“Nanti malem aku gak pulang ke Ayu Laga, ya? Aku tidur disini.” Aku berkata sembari memainkan rambut depannya yang entah kenapa sudah mulai memanjang lagi. Rasanya baru beberapa hari lalu aku menemaninya memangkas rambut hitamnya ini hingga rapi.

Jevan nampaknya sadar aku sedang tidak ingin melanjutkan perdebatan dan memilih untuk membahas hal lain, maka dia menjawab ucapanku barusan dengan, “Disini sampe Jumat aja sekalian mau gak? Nanti hari Jumat, sepulang kerja, aku bisa anter kamu. Kan sekalian Sabtu dan Minggunya aku habisin di Ayu Laga kayak biasanya. Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke resepsionis hotel kalau aku extend booking sampai Jumat.”

Won't you get bored spending these days with me? Dari mulai hari ini sampai minggu kamu bakal liat muka aku terus loh? Biasanya kan kamu ketemu aku weekend doang.”

I will never get bored to stare at your face just like you adore these flowers in your shop eventho you see them everyday, Adzkiya.”

Sepercik kebahagian di dalam dadaku menguar hingga aku dapat merasakan kedua pipiku memanas. Aku cukup yakin, saat ini, semburat merah pasti telah samar-samar muncul di kedua pipiku yang menurut Jevan seputih susu yang dia minum tiap pagi. Sial, aku tidak bisa menyembunyikannya.

“Cie, pipinya merah, salting ya?” tanya Jevan sebelum dia berakhir menciumi kedua pipiku bergantian tanpa henti.

Tuhan, kini aku benar-benar faham kenapa seseorang yang sedang mendekap dan menciumiku ini adalah laki-laki yang berhasil menaklukan banyak wanita. Tutur kata dan perlakuannya benar-benar membuat gadis manapun bisa seakan dibawa ke langit ke tujuh olehnya. Semuanya semakin sempurna karena Engkau dengan baiknya memberi Jevan wajah yang bak dipahat oleh seniman nomor satu di khayangan. Aku rasa, tidak akan ada satupun gadis yang mampu menolak semua pesona yang Engkau letakkan pada satu raga itu, Tuhan. Termasuk aku.

“Yaudah aku disini sampai Jumat. Aku kabarin Lucia dulu untuk jaga Kiya Florist selama aku disini,” ucapku setelah Jevan membebaskan aku dari bombardir ciumannya.

**

Restoran yang Klarisa pilih untuk makan malam kali ini adalah sebuah restoran keluarga dengan menu unggulan seafood. Saat aku tiba- yang tentu saja bersama Jevan tapi aku memintanya masuk 15 menit lagi dan menunggu di parkiran terlebih dahulu- aku duduk di sebuah kursi kosong di antara Klarisa dan Juan. Di sebelah kanan Juan adalah Kayana dan Raechan, sementara si kecil Sergio berada di pangkuan ibunya. Lalu di sisi meja satu lagi diisi oleh Jaenandra, Jelena dan Markio, serta satu kursi kosong yang nanti akan diisi oleh Jevan.

Kami berbincang sebentar dan saling menanyakan kabar. Jelena memberi kabar yang begitu membahagiakan karena ternyata wanita cantik itu telah berbadan dua. Kandungnnya berumur enam minggu dan dia terlihat begitu sehat, tidak seperti Vivian yang harus mengalami morning sickness sampai usia kehamilannya menginjak 10 minggu. Aku bersyukur dan mendoakan kesehatannya dalam hati. Jevan muncul saat obrolan kami telah berubah memabahas si kecil Sergio.

“Oy, Jev, telat lo. Dari mana aja?” Jaenandra yang paling dulu menyapa Jevan.

Sorry tadi balik ke rumah dulu ganti baju, males gue masa mau makan-makan harus pake jas. Kayak lagi business dinner aja.” Jawaban Jevan yang terdengar meyakinkan itu membuatku terkekeh. Bagaimana bisa dia berkata bohong seperti itu dengan wajah datar dan tanpa senyum mencurigakan sama sekali? Padahal seharian ini dia bersamaku, mulai dari menjemputku di terminal bus hingga menemaniku menjalani pemeriksaan gigi bersama dokter yang dimaksudkan Markio. Lalu apa katanya tadi? Pulang dari kantor? Cih, dia bahkan tidak menginjak lantai kantornya sedikitpun seharian ini.

“Wan, gantian dong duduk disitunya, gue mau main sama Gio.”

Tanpa argumen tidak penting, Juan langsung berdiri dari duduknya dan menyilakan Jevan untuk duduk. Si laki-laki yang merampas kursi itu langsung meletakkan bokongnya dan menyapa si kecil Sergio. Mereka bermain dan tertawa sebentar sebelum akhirnya pesanan kami tiba. Semua orang langsung sibuk dengan piring masing-masing, terutama Kayana yang harus membagi fokusnya pada Sergio. Di antara kesibukan kawan-kawannya itulah Jevan meletakkan tangan kirinya di atas pahaku-katanya itu adalah sebuah bentuk kepemilikan. Suasana menjadi hening karena masing-masing dari kami fokus pada menu di atas meja. Mungkin sekitar 20 menit hingga akhirnya kami selesai makan dan mulai berbincang lagi. Kali ini, lengan Jevan tidak lagi diletakkan di atas pahaku. Tangan kirinya telah terselip di antara jari jemariku dan dia menggenggamnya dengan hangat- tentu saja kami melakukannya di balik meja.

“Bentar lagi kan ultah lo, mau dirayain dimana? Kita udah gak di umur saling surprise, kan?” Juan bertanya sembari menatap Jevan.

“Makan-makan aja, tapi jangan di tanggal 23nya ya? Di tanggal 24 atau 25 aja.”

“Kenapa?” Klarisa bertanya menyelidik.

I want to celebrate my birthday with someone special di tanggal 23nya, just both of us, gak papa, kan?” Jevan menjawab dengan begitu tenang sementara hatiku sudah berdegup tidak karuan. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang aneh, kan?

“Siapa emang?” Klarisa makin penasaran.

“Hmm...” Jevan hanya bergumam dan aku meliriknya yang tersenyum jahil, sungguh hatiku seakan ingin meledak. “Sama... A...”

Genggaman tanganku pada Jevan semakin erat, memberi kode padanya agar tidak mengatakan sesuatu di luar nalar, apa lagi sampai menyebut namaku.

“A.....aahhhh, pada penasaran ya?”

Jawaban Jevan membuat kawan-kawannya kesal, bahkan Jaenandra sampai melemparinya dengan tisu.

“Gue mau ke makam Mama, mau rayain berdua sama Mama.”

Perasaan gugupku berubah menjadi kekesalan. Sungguh, laki-laki ini benar-benar gemar sekali membuatku jengkel. Tapi setidaknya aku lega, dia tidak mengatakan apapun mengenai aku yang akan pergi bersamanya ke makam ibunya.

“Kalau soal dokter Ketty gimana Jev? Kapan lo mau ketemu dia?”

Aku merasakan elusan di di punggung tanganku yang Jevan lakukan dengan ibu jarinya sebelum dia menjawab, “Gak jadi deh, Kak, gue masih pengen begini aja.”

“Lo yakin? Coba aja dulu Jev, kali aja cocok,” sambar Jaenandra.

“Yakin, nanti aja kalau gue udah nemu cewek yang pas dan cewek itu udah siap, gue bakal kenalin dia ke kalian.” Jevan menjawab mantap, sementara aku hanya diam mendengarkan.

“Yaudah, kapanpun itu, kalau lo udah nemu cewek yang mau lo ajak serius bawa aja ke studio. Kita pasti welcome ke dia kok.”

Malam itu, entah kenapa, aku merasakan sedikit keberanian untuk muncul di depan mereka sebagai kekasih Jevan. Tapi aku masih butuh lebih banyak keberanian lagi.

Third Person's Pov

“Sejak kapan lo suka baca buku?”

“Hah?” Sagata mengalihkan tatapan dari lembaran buku kepada Jaenard yang baru saja meletakkan bokongnya di sofa kosong di sebelahnya. Laki-laki itu meletakkan buku dengan sampul warna putih di atas meja kemudian menjawab, “Iseng doang kok ini.”

Jaenard mengintip judul yang menyembul pada cover yang tadi dibaca sahabatnya itu lalu terkekeh pelan. “The Courage To Be Disliked... Widih mau belajar hidup bebas lo? Emang bisa anak yang iya-iya aja kayak lo hidup bebas?”

Sagata mendengus dan meninju pelan bahu Jaenard. “Gak support amat jadi temen.”

Kali ini tawa Jaenard lebih kencang lagi. Wajah Sagata yang bersungut-sungut sebal menjadi pemandangan yang apik baginya. “Bukan gak support, realistis aja, selama ini lo tau apa sih, Ga, selain hidup ngikutin garis yang udah Mama lo bikin?”

Sagata terdiam, tidak sanggup membalas ucapan sahabat karibnya itu. Serentatan kata yang diucapkan dengan nada datar itu berisi fakta yang seakan menampar keras kedua pipi Sagata hingga kebas. Membuatnya merasa dilucuti, malu sampai mati.

“Lo kerja keras dari jaman kuliah dulu, nilai lo harus selalu bagus, harus lulus tepat waktu, harus mimpin hotel punya keluarga lo. Lo selalu jadi apa yang Mama lo mau, Ga. Apapun. Semua perintahnya lo ikutin. Itu semua lo lakuin karena menurut lo, dengan begitu, Mama lo bakal sayang sama lo kan?”

Sagata makin diam. Kepalanya menunduk dan pandangannya tertaut pada sepasang sapatunya yang bergesekan gelisah.

“Terus ngeliat lo baca buku dengan judul kayak gitu.... looks so weird, hahaha.”

Bagi sebagian orang, perlakuan Jaenard barusan bisa diartikan sebagai tindakan keji. Ucapannya terlalu tajam dan bahkan mengusik ruang pribadi seseorang. Tapi bagi Sagata, tidak ada satupun kesalahan dalam ucapan Jaenard. Semuanya benar, terlampau benar sampai dia sendiripun tidak sanggup menyanggahnya. Diambilnya lagi dan dibolak-baliknya buku pemberian dari seorang gadis yang saat ini sedang berada di Bali itu. Sagata menimbang-nimbang, masih haruskah dia melanjutkan untuk membaca buku itu? Sagata mulai ragu, karena seperti yang Jaenard katakan, bisakah dia hidup bebas bahkan setelah membaca buku ini hingga habis?

“Kadang gue kasian liat lo sama Dama. Kalian terlalu kerja keras untuk sesuatu yang seharusnya kalian bisa terima tanpa ngelakuin apa-apa.”

Sagata melirik adiknya, Dama, yang tertidur di sofa panjang yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Adik yang lebih muda tiga tahun darinya itu juga merasakan apa yang dia rasakan. Persis seperti yang Jaenard katakan. Bedanya, Dama tidak menjadi boneka perjanjian bisnis mama mereka- karena Sagata lebih dulu mengambil semua peran itu. Dia tidak ingin adiknya lebih menderita kalau harus melakukan pertemuan-pertemuan menjijikkan demi keperluan bisnis kotor. Adiknya itu sudah memiliki seorang gadis yang dikencaninya sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Maka dari itu, Sagata berpikir biarlah dia yang bertemu dengan gadis-gadis dari keluarga kaya yang diincar mamanya.

Sagata, laki-laki itu selalu bilang “I have no time for that shit” atau “Gue gak mau lagi dateng ke pertemuan bisnis menjijikkan kaya gitu.” Namun pada akhirnya, dia akan tetap datang. Karena dia terlalu takut kalau mamanya akan lebih membencinya jika dia membangkang. Perasaan takut dibenci mamanya mengalahkan segala rasa malas dan rasa jijik untuk bertemu orang-orang penting itu. Karena sejujurnya, di dalam hatinya, Sagata sedikit bersyukur ibu kandungnya itu masih mengganggap dia sebagai boneka bisnis. Itu sedikit lebih baik, daripada dianggap tidak ada sama sekali.

**

Dari tempatnya berdiri, Sira bisa melihat seorang staff untuk pemotretannya hari ini berlarian sambil memanggil namanya. Saat orang itu telah berdiri di dekatnya dan mengatakan sesuatu, kedua tangan Sira mengepal menahan marah. Tidak, dia tidak marah pada orang itu, tapi dia marah pada seseorang yang mengirim orang itu untuk mendatanginya- seseorang yang kini duduk bersebrangan dengannya di salah satu restoran di pinggir pantai Bali yang indah.

“Saya sudah bilang, jangan pernah cari dimana keberadaan saya.” Sira berucap lirih tanpa memandang pria berjas abu-abu gelap yang duduk di hadapannya. Aroma air laut masih tercium dari tempatnya duduk. Sira juga masih bisa melihat beberapa staff yang menunggunya di pinggir pantai.

“Tidak sopan berkata seperti itu kepada Papi kamu, Sira.”

Sira berdecih, memutar bola matanya malas.

“Pulang, sudah tiga tahun kamu tidak pulang.”

Sira menggeleng dan memandang sosok itu dengan remeh. “Pulang dan menjadi alat bisnis Anda lagi? Terimakasih banyak untuk tawaran menjijikkanya.”

Anuraga— Papi Saera menyesap winenya dengan santai. Sira sendiri tidak mengerti kenapa laki-laki yang dari sel spermanya membawa Sira ke dunia itu, memilih untuk meminum wine di tengah terik pulai Bali seperti ini. Anuraga menatap anak gadisnya yang memberinya tatapan nyalang itu. “Di depan mayat Oma kamu, kamu sudah memaafkan saya.”

“Ya... Saya memang sudah memaafkan Anda, tapi saya tidak akan pernah melupakan apa yang telah Anda lakukan.”

Sira berdiri dari duduknya dan mengenakan kembali topi pantainya. “Oma selalu mengajarkan saya untuk menjadi orang baik, bukan bodoh.” Ada jeda sebelum Sira kembali berkata, “dan kembali ke rumah Anda adalah tindakan bodoh. Oma gak akan suka kalau saya bertindak sebodoh itu.”

Bersamaan dengan angin laut yang berhembus sekali lagi, Sira berlalu dari hadapan ayah kandungnya. Dia kembali ke pantai dengan terburu-buru. Tentu saja diikuti oleh tatapan Anuraga. Sira bisa merasakan tatapan itu, tapi dia berusaha mati-matian untuk mengabaikannya. Dia terlalu benci fakta bahwa orang yang baru ditemuinya itu adalah seseorang yang ikut serta dalam keajaiban yang membuatnya terlahir di dunia ini. Dia membenci fakta bahwa ada darah orang itu dalam dirinya. Dan dia benci menyadari bahwa bahkan nama belakangnya diambil dari nama lali-laki itu.

Anuraga, Sira sangat membencinya. Itulah kenapa dia lebih senang memperkenalkan diri dengan Sira Kielh saja, tanpa Anuraga di belakangnya.

“Mbak Sira, sudah bisa dimulai lagi? Sunsetnya lagi cantik-cantiknya nih.” Seorang wanita yang menjadi fotografernya hari ini bertanya sopan menyambut kedatangannya.

“Bisa-bisa, saya touch up sebentar ya.” Jawab Sira ramah, seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik lalu. “Oh iya, Mbak Rara, selagi saya touch up boleh tolong fotoin sunsetnya dulu gak? Buat dimasukin ke blog nanti, hehehe.”

“Boleh banget, Mbak.”

Sira tersenyum dan mengangguk lalu berbalik untuk mencari pouch make upnya. Namun tanpa sadar, matanya menatap ke arah dimana Papinya tadi duduk. Dan laki-laki itu sudah tidak berada disana.

Sira's Pov

“Padahal lo gak perlu repot-repot untuk anterin gue, gue bisa naik travel atau kereta.”

You better be grateful dari pada ngomel gitu.”

“Ya gue kan gak mau hutang budi aja.”

Siang ini, Sagata tampil lebih santai dari biasanya. Tidak ada kemeja fit to body beserta dasi dan jas seperti yang selalu dia kenakan ketika mengantar sarapan untukku di pagi hari. Hari ini, dia hanya mengenakan kaus berwarna hitam yang dimasukkan kedalam celana jeans yang juga berwarna senada. Dari pada mengantarku ke Bandara, pemilik AIM HOTEL ini terlihat lebih cocok untuk mengantarkan aku ke pemakaman.

Sebenarnya aku juga tidak mengerti kenapa secara tiba-tiba, laki-laki judes ini menyambutku di lobby hotel dan menawarkan diri untuk mengantarkanku ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

“Barang lo gak ada yang ketinggalan kan?”

“Mudah-mudahan.”

I won't tell you tho kalaupun ada.”

“Dasar, owner gila,” jawabku malas karena tidak habis fikir dengan sikapnya yang terkadang menyebalkan itu.

Di depan Terminal Keberangkatan, aku berdiri berhadap-hadapan dengan Sagata. Dia tampak ingin kembali mengatakan sesuatu tapi berusaha menahannya. Lalu karena dia tidak kunjung mengatakan apapun selama beberapa detik, aku memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak yang sejak tadi berada di tas ransel yang kugendong.

“Buat lo.” Tanganku terulur untuk menyerahkan kotak itu pada Sagata. Sayangnya, laki-laki dengan pakaian serba hitam itu hanya menatap kotak yang kuulurkan dalam diam. Hingga aku harus bersuara lagi agar dia segera menyambut hadiah kecil itu. “Ambil, ini buat lo.”

Perlahan, Sagata meraih kotak berwarna biru muda itu lalu membukanya. Di dalamnya berisi sebuah buku dengan judul The Courage To Be Disliked dan sebuah gelang bertuliskan Be Brave di salah satu sisi luarnya.

Dia menatapku yang jika boleh kuterjemahkan artinya dengan, ini apaan?

“Buku itu harus lo baca setelah lo selesaiin Loving the Wounded Soul, isinya bagus, gue udah baca. Kalau gelang itu.... sesuai dengan tulisan disitunya, be brave. Gue harap, lo mulai berani, berani dalam hal apa aja yang menurut lo baik. Contohnya... lo harus mulai berani untuk bilang enggak, ke siapa pun, termasuk ke Mama lo.” Dia masih diam, membiarkan aku menyelesaikan kalimatku yang sudah terdengar seperti motivator ini. “Berani untuk bilang enggak, gak akan bikin lo jadi orang jahat kok.”

Aku tidak akan pernah melupakan tatapan mata Sagata di siang yang panas itu. Tatapan mata yang mampu mengalahkan teriknya matahari yang seakan membakar kulitku meskipun kami berdiri di tempat yang dinaungi atap. Tatapan mata yang membuat Sagata tampak seperti manusia yang baru saja diberi nyawa tambahan untuk melangsungkan hidupnya.

“Makasih, gue gak nyangka ternyata lo sebaik ini. Karena jujur aja, awalnya gue kira...” jawabnya polos dan membuatku tertawa mendengarnya.

“Lo kira gue brengsek banget, kan? Gak papa, a good friend will always start by I thought she was such a bad bitch, kan?” potongku cepat di sela sisa tawa yang masih tersisa.

Sagata ikut terkekeh mengiyakan.

“Yaudah, gue berangkat ya. Lo ati-ati baliknya, jangan ngebut. Makasih udah nyetirin gue dari Bandung sampe sini. Good bye, Sagata.”

See you again, Sira.”

Dua kata perpisahan yang memiliki makna yang jauh berbeda. Aku mengucapkan kata selamat tinggal dengan harapan aku tidak akan pernah bertemu dengan Sagata lagi. Sementara laki-laki itu mengucapkan sampai bertemu lagi, mungkin dengan harapan suatu saat semesta akan membantunya untuk bertatap muka denganku lagi.

Masih di depan Terminal Keberangkatan di siang yang panas itu, aku bisa melihat Sagata mengangguk sembari tersenyum dan aku memutuskan untuk menjadikan senyuman itu sebagai pemandangan terakhir yang aku lihat sebelum benar-benar masuk ke dalam Terminal Keberangkatan.

Selesai melakukan check in, aku langsung menuju terminal sesuai yang tertera pada boarding pass yang aku genggam di tangan kanan. Saat tanpa sengaja aku melewati sebuah rumah makan cepat saji yang bertuliskan Marugame Udon di atasnya, ingatanku kembali pada saat dimana aku dan Sagata duduk berhadap-hadapan dan menyantap makanan kami di Paris Van Java.

Saat tidak sengaja melintasi toko buku bertuliskan Periplus, aku teringat pada Sagata yang masih ingin membaca lebih banyak buku dan mendiskusiknnya denganku.

Dan saat akhirnya aku tiba di boarding lounge, aku seperti disadarkan bahwa setelah ini aku akan kembali ke kehidupan normalku dimana hanya ada diriku sendiri, sesekali Keycia masuk ke dalamnya. Aku disadarkan pada kenyataan bahwa Sagata hanyalah salah satu orang yang kukenal tanpa sengaja dan akan segera terlupakan seiring berjalannya waktu.

Lagi, keheningan itu merampas kesadaranku dengan paksa. Ramainnya Bandara Soekarno-Hatta siang itu bahkan tidak mampu menarikku kembali dari kesepian yang sudah bertahun-tahun terpatri di jiwaku ini.

Lagi, aku akan menjadikan alam Indonesia sebagai penghiburan yang sebetulnya tidak benar-benar menghibur.

Lagi, aku akan menjadikan kegiatan menulis blog sebagai senjata untuk membunuh waktu.

Lagi, aku akan menggunakan pekerjaan sebagai dalih pengalihan kesendirian.

Dan sebaliknya, aku berharap kado kecil yang aku persiapkan untuk Sagata sejak tadi malam itu dapat sedikit mengubah hidupnya. Aku sangat berharap dia tidak lagi menjadi anak yang bodoh dan selalu mengiyakan apapun keinginan orang tuanya. Aku berharap, laki-laki dengan tingkat kepekaan sangat minim itu setidaknya bisa peka dengan luka batinnya sendiri. Karena sungguh, aku benar-benar melihat diriku yang dulu pada dirinya. Dan aku mengasihaninya.

Karena hidup dengan cara seperti itu, menyakitkan.

Jadi semoga saja, meskipun dia tidak bisa seberani aku untuk membebaskan diri dan pergi rumah, setidaknya dia bisa cukup berani untuk membebaskan diri dari belenggu orang tuanya.

Sudah seperti ritual mingguan, tidak pernah sekalipun aku tidak menemui seorang gadis di kota kecil bernama Ayu Laga setiap akhir pekan. Kadang-kadang, sembari mengendarai mobil hitamku menembus panjangnya jalan TOL, aku sering sekali bertanya kepada diriku sendiri, apa ya yang sudah gadis itu lakukan padaku hingga aku rela menembus puluhan kilometer untuk menemuinya di saat aku bisa saja bersantai di apartemenku setelah seharian bekerja? Lalu saat melihat senyumnya dan merasakan kehangatan pekukannya ketika menyambutku di muka pintu, aku seakan disadarkan. Rumah akan tetap menjadi rumah, sejauh apapun jarak yang harus aku tempuh.

Waktu kedatanganku selalu sama, sekitar pukul enam sore hingga tujuh malam. Adzkiya telah menghafal hal itu di luar kepalanya hingga gadis kesayanganku itupun menyesuaikan jam tutup toko bunganya agar ketika aku sampai, dia sudah lebih dulu berada di rumah untuk menyambutku. Oh, tentu jangan lupakan waktu satu jam yang gadis itu habiskan untuk sibuk di dapur memasak makanan apapun yang sedang ingin aku makan- yang telah ditanyakannya pada malam sebelum kedatanganku.

See, jarak bajingan itu setara dengan semua kenikmatan yang aku dapatkan setibanya aku di Ayu Laga, kan? Sekarang aku berharap, aku dan kamu sama-sama mengerti kenapa aku rela membawa diriku melalui jarak yang begitu jauh untuk menjumpai gadis kesayanganku.

“Minum apa, Van?” Aroma wangi sabun dan lotion memanjakan cuping hidungku tatkala Adzkiya membawa dirinya yang segar usai mandi untuk duduk di sebelahku.

Aku menyambutnya dengan senyum dan meletakkan gelasku di meja. Dengan gerakan yang natural, aku meletakkan sebelah lengaku di atas pangkuannya dan Adzkiya langsung mengelus-elus lenganku itu. Gadis kesayanganku ini pernah bilang di suatu malam berbulan-bulan lalu bahwa dia menyukai bagaimana otot-ototku terasa kencang di bawah kulitku yang katanya sehalus sutra. Maka, setiap kali sedang bersamanya, aku selalu berusaha mengenakan kaus ataupun kemeja dengan lengan pendek. Agar gadis kesayanganku itu bisa mengelus lenganku seleluasa mungkin. Meskipun tidak jarang Adzkiya akan mengomel, Van, Ayu Laga tuh dingin, kenapa sih gak mau pake jaket? atau Van, aku gak mau ya harus kerokin kamu kalau kamu masuk angin. Omelan-omelan yang hanya akan berakhir bungkam karena aku mengunci bibirnya dengan milikku.

“Vodka, buat angetin badan.”

Adzkiya hanya mengangguk kemudian meletakkan dagunya di bahuku. “Gimana kantor? Kamu udah jarang marah-marah soal kantor kamu.”

“Semenjak sama kamu, rasanya hidup aku jadi lebih mudah, Ki. Aku udah gak ambil pusing lagi soal kantor, anak-anak juga bingung kenapa sekarang aku keliatan ceria terus di kantor.” Aku berkata jujur namun hanya berakhir membuatnya terkekeh merdu.

Perlahan-lahan namun pasti, alkohol mulai mengambil alih kesadaranaku. Aku merasakan tubuhku seringan kapas, dadaku penuh oleh kebahagiaan, dan bahkan aku merasa bahwa malam ini Ayu Laga terasa lebih tenang dan nyaman. Belaian tangan Adzkiya pada lenganku makin membuatku ke awang-awang.

“Kamu udah minum berapa banyak? Kok udah tipsy gitu?” Adzkiya tampaknya sadar bahwa sekarang aku berada di ambang kesadaran dan tidak.

Aku tidak menjawab, aku hanya membawanya ke pelukanku yang hangat. Kami berakhir berbaring di atas sofanya yang lembut, tentu saja sambil berpelukan. Hal yang tidak pernah bisa aku lakukan ketika kami sudah pindah ke kamarnya untuk tidur. Sudah setahun, tapi Adzkiya sama sekali belum mengizinkan aku untuk tidur sambil memeluknya. Ketika aku merengek kedinginan, dia hanya akan mengeluarkan selimut tebal lain dari dalam lemari dan berkata, tuh pake selimut aja.

“Bulan depan aku ulang tahun, aku boleh minta kado gak?”

Adzkiya tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan anggukannya dalam pelukanku.

“Temenin aku ngerayain ulang tahun di makam Mama, ya?”

Adzkiya mendongak untuk menatapku ketika dia mendengar kalimat itu keluar dengan lancar dari mulutku. Tatapannya seperti.... ketakutan. Tatapan yang selalu dia berikan padaku ketika aku mengajaknya untuk datang ke apartemenku atau menghadiri acara kantor. Adzkiya selalu ketakutan. Adzkiya takut kawan-kawanku akan tahu hubungan kami dan tidak mengetujuinya. Adzkiya takut akan respon ayahku. Adzkiya takut akan banyak hal tentang aku dan dia.

“Tenang aja, gak ada anak-anak kok. Just you and me,” ucapku menenangkan tatapannya yang seakan meminta pertolongan itu.

Setelah yakin dengan apa yang aku ucapakan dan menemukan keseriusan dalam pupil mataku yang tengah menatapnya, Adzkiya mengangguk mengiyakan permintaanku. Membuatku lega. Ini sudah sebuah langkah besar bagi hubungan kami.

“Selain itu, kamu mau kado apa?”

“Lemari.”

“Lemari? Lemari baju? Atau buku?”

“Baju, untuk nyimpen baju-baju aku biar gak usah numpang di lemari baju kamu lagi.”

Adzkiya terkekeh lagi ketika dia akhirnya paham permintaanku. Ya, karena seringnya frekuensi kedatanganku, aku sering meninggalkan pakaianku di rumah Adzkiya. Kaus, kemeja, hoodie, celana santai hingga setelan kerjaku pun tergantung rapi di salah satu ruang di lemari Adzkiya.

“Oke, nanti kita beli lemari buat baju-baju kamu yang udah makan setengah dari lemari aku itu ya,” ucapnya sembari menggesek hidungnya dan hidungku. Membuatku gemas setengah mati.

Cukup basa-basinya, aku tidak tahan lagi. Bibir Adzkiya dan tawanya yang renyah seakan mengundang bibirku untuk mendekat. Maka aku melakukannya, aku satukan bibir berbau alkoholku dengan miliknya yang selalu semanis buah-buahan. Posisi kami saat ini sangat menguntungkan karena Adzkiya tidak akan sanggup menjauh dariku. Membuatku bisa seleluasa mungkin menjelajah bibirnya untuk diriku sendiri. Bibir yang tiap kali aku cecap selalu merespon dengan kelembutan yang sama. Bibir yang membuatku menginginkannya secara tiba-tiba di hari-hariku yang panjang di kantor Ibu Kota.

Lenguhan Adzkiya terdengar kala aku memperdalam ciuman kami hingga dia hampir kehabisan nafas. Jari-jarinya yang lentik memukul-mukul dadaku memberi isyarat agar aku menjauh. Aku menurutinya, memberi sedikit jarak untuknya meraup udara sebanyak yang dia bisa. Sebelum kemudian kembali meraup bibirnya. Semakin lelap Ayu Laga tertidur dalam buaian kabut, semakin dalam pula ciumanku dan Adzkiya.

Adzkiya, Adzkiyaku.

Gadis yang akhirnya membuatku mencintai diriku sendiri.

Gadis yang ketika bersamanya bisa membuatku sadar nilaiku sendiri.

Aku mungkin pernah mencintai Jelena sebegitu dalamnya, tapi ketika bersamanya, aku hanya mencintainya hingga lupa mencintai diriku sendiri.

Namun saat bertemu Adzkiya, aku seperti melihat sosokku dalam dirinya. Hingga ketika aku mencintainya, aku merasa begitu mencintai diriku sendiri.

Dan cinta ini membuatku lebih hidup.

The delivery man is quiting his job, ya?”

Sagata tersentak ketika suara serta keberadaanku muncul secara tiba-tiba di sampingnya yang tengah sibuk memandangi Kota Bandung dari balkon lantai 5 AIM Hotel. Semilir angin menerbangkan rambut bagian depan Sagata yang pagi ini tidak ditata rapi dan diberi pomade seperti hari-hari lain.

Context?“ tanyanya bingung. Kerutan muncul di dahinya yang indah.

“Sarapan gue, bukan lo lagi yang anter.”

“Ahhh, iya, sorry gue ada meeting pagi tadi.”

Aku diam, membiarkan kicau burung mengisi ruang di antara kami. Sebelum beberapa detik kemudian, suara Sagata terdengar lagi, “Is everything okay? Staff hotel ada yang bikin kesalahan lagi gak?”

Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Otakku bekerja untuk membuka lembaran-lembaran ingatan yang aku dapatkan selama tiga hari tinggal di tempat ini. Semuanya baik. Selain dari kelalaian mereka di hari pertama aku menginap disini, mereka tidak pernah melakukan kesalahan apapun lagi. Sarapan selalu diantar tepat waktu, kamar yang dirapikan setiap hari, serta pelayan lain yang mereka siapakan khusus untuk menebus kesalahan mereka di awal.

“Malah bengong lagi, jawab.” Sagata menyenggol lenganku dengan sikunya.

“Iya, baik-baik aja kok semuanya. Tenang aja, reviewnya nanti gue bagus-bagusin.”

Tawa Sagata terdengar, “Thanks, btw....“

Dering ponsel menginterupsi Sagata sehingga dia memberi isyarat padaku untuk mengangkat panggilan itu lebih dulu. Tanpa melihat nama yang tertera di layar, aku mendekatkan ponsel pada telinga.

Kapan kamu pulang? Mau sampai kapan kamu main-main sama kehidupanmu? Berhenti jadi anak tidak berguna.” Panggilan itu tidak berada dalam speaker mode, tetapi karena aku berdiri cukup dekat dengan Sagata, aku cukup yakin dia bisa mendengarnya.

Bip

Panggilan itu dimatikan secara sepihak, olehku tentu saja.

I'll go back to my room, enjoy your day, Mr. Sagata.”

Aku memutuskan untuk kembali ke kamar karena terlalu memalukan untuk tetap berdiri di sebalah Sagata yang tanpa sengaja mendengar keruhnya hubunganku dengan sosok yang baru saja meneleponku itu. Tidak, aku sama sekali tidak berusaha untuk membangun image di mana aku adalah seorang puteri cantik yang lahir di keluarga baik-baik. Aku hanya kurang menyukai perasaan dimana aku merasa dilucuti tentang kehidupanku oleh orang asing, tidak terkecuali oleh Sagata yang sebenarnya juga memiliki masalah yang sama denganku-memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua kami.

Do you want to go somewhere?“

Langkah yang aku ambil dengan buru-buru terhenti seketika saat suara Sagata terdengar lagi, tanpa perlu membalikkan badan, aku tahu benar saat ini dia sedang menatapku dari tempatnya berdiri. Tatapan itu menghunus punggungku yang menjadi pemandangannya.

Aku melonggarkan tenggorokan kemudian menjawab dengan setenang mungkin, “No, thanks.“

“Anggep aja ini balas budi gue, buat malam itu,” katanya lagi, membuat aku akhirnya berbalik untuk menatapnya.

**

“Lo yakin bisa naik motor?”

Pria setinggi 180cm itu memandangi motor yang telah kami sewa dengan ragu. “Terakhir kali gue bawa motor sih waktu SMA, kayaknya masih bisa.”

“Yaudah gue aja yang bawa!” seruku tidak sabar. Matahari sudah mulai naik tepat di atas ubun-ubunku, aku benar-benar malas jika harus berdiri di bawah terik matahari seperti ini hanya untuk berdebat soal motor.

“Lo bisa?” Dia memandangku ragu, namun ada kekaguman dalam tatapan matanya yang jernih.

“Di bali gue selalu motoran.”

“Yaudah, gih lo yang depan,” jawabnya riang.

Seharusnya, aku tidak perlu terkejut dengan respon Sagata yang seperti ini, karena impresiku sejak awal terhadapnya juga tidak begitu baik. Tapi tetap saja, bukankah seharusnya dia harus sedikit lebih berbasa-basi untuk tetap menawarkan dirinya yang akan mengendarai motor sewaan ini? Dasar cowok gak peka, makiku dalam hati.

Tidak mau membuang waktu lebih lama, aku berakhir mengendarai sepeda motor yang telah kami sewa untuk sampai ke puncak salah satu tempat wisata di Kota Bandung itu, namanya Tebing Keraton. Menurut Sagata, tempat ini sangat cocok untuk keadaan hatiku yang sedang buruk hingga dia mengajakku untuk datang ke tempat ini bersamanya. Jaraknya dari AIM Hotel sekitar dua jam perjalanan yang tentu saja diiringi dengan kemacetan. Sedangkan jarak dari area parkir mobil hingga sampai ke puncak hanya sepuluh menit. Setelah sampai, Sagata membayar tiket masuk dan menggiringku untuk berjalan ke area puncak Tebing Keraton. Dari atas sini, aku bisa melihat sisi lain dari Kota Bandung. Bukan gedung-gedung tinggi, namun hijaunya pepohonan yang sangat memanjakan mata. Udaranya terasa sejuk dan bersih. Suasanya juga tenang, tenang sekali.

Tanpa sadar, aku menghembuskan nafas panjang. Melonggarkan dada yang sejak tadi sesak. Bukan hanya tadi lebih tepatnya, tapi rasa sesak ini sudah ada sejak lama. Lama sekali.

Such a beautiful place.”

I've told you, rugi tadi kalau lo gak mau gue ajak kesini,” ucap Sagata pelan didampingi dengan senyuman sombong tentu saja. “HAAAAHHHHH, life sucks, seharusnya lebih banyak tempat kayak gini untuk hilangin stress.”

Beautiful place belongs to something beautiful, beautiful memories, not painful.” Mataku masih sibuk berpendar menjelajah Tebing Keraton. “Kasihan banget alam seindah ini kalau cuma jadi penampungan rasa sedih.”

Di dalam hatiku, ada sesuatu yang bertentangan dengan perkataanku barusan. Aku merasa bersalah karena turut menjadikan alam Indonesia yang indah ini sebagai penampungan dan pelarian diriku dari pahitnya kehidupan.

Your parents.... Did they do the same to you?“ Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Sagata setelah mungkin dia berusaha menahannya.

Aku enggan menjawab pertanyaan itu dan justru melempar pertanyaan lain padanya. “Lo benci gak sih sama orang tua lo atas apa yang udah mereka lakuin ke lo?”

“Gue gak bisa benci sama Mama,” jawab Sagata pelan.

“Lo bisa, tapi lo gak mau.”

Dari ekor mataku, aku bisa melihat Sagata memiringkan tubuhnya untuk sepenuhnya menatap figurku.

“Gue pernah baca satu buku, judulnya Loving the Wounded Soul, di buku itu penulisnya bilang, tidak sedikit anak yang berusaha mencintai orang tua mereka karena perasaan bersalah yang ditanamkan oleh masyarakat, norma budaya, dan agama. Lo gak benar-benar mencintai mereka, lo cuma takut dianggap jahat sama semesta kalau lo benci sama mereka.”

It sad but it's true, hahahaha.” Tawa Sagata menggema, menyelinap masuk di antara ranting-ranting pohon yang membuat mereka juga bisa merasakan kepedihan dalam tawa itu.

Btw, pulang dari sini temenin gue ke Gramedia Merdeka ya? Yang di depan BIP.”

“Ngapain?”

“Beli buku yang lo baca itu.”

“Oh, eh tapi boleh gak kita ke Gramedia yang ada di PVJ aja?”

“Kenapa emangnya?”

“Gue pengen makan udon, hehehe”

“Hahahah dasar.”

Siang itu, tawaku dan Sagata mengalun bersatu. Tanpa ada kepedihan di dalamnya.

Gaun hitam selutut dan heels dengan warna senada akan jauh lebih cantik digunakan untuk makan malam di sebuah restoran ternama daripada digunakan untuk berlari-larian di lorong rumah sakit semalam ini. Namun Jelena tidak perduli, dia bahkan mengabaikan kakinya yang terluka karena dipaksa untuk terus berlari dengan heels setinggi tujuh centimeter. Dipikirannya hanya ada Jevan dan pesan paling mengerikan yang dia terima satu jam lalu. Bunyi hentakan heels yang bertabrakan dengan lantai marmer rumah sakit memekakkan telinga Jelena yang sejak tadi tidak berfungsi dengan baik. Telinganya berdengung. Kepalanya pusing. Pikirannya kacau. Dia mengutuk alam semesta dan seisinya atas semua ini. Derai air mata membanjiri wajah Jelena dan merusak make up yang telah dipoles dengan elok. Sungguh, siapapun yang melihat gadis itu akan merasa iba.

Kaki jenjang Jelena berhenti di sebuah ruangan serba putih. Dari balik kaca yang terpasang di pintu, gadis cantik dalam balutan dress hitam itu dapat melihat potrait paling menakutkan seumur hidupnya. Kain putih menutupi tubuh yang telah kaku, tubuh yang terlalu familar bagi Jelena-bahkan tanpa membuka kain itu saja, Jelena tahu siapa yang terbaring di sana. Getaran pada kedua tangan Jelena makin parah, lututnya lemas. Seluruh engsel pada tubuhnya seakan rontok hingga gadis itu tidak dapat menopang tubuhnya lagi.

Seorang suster keluar dari ruangan itu, menatap Jelena yang tampak kacau. Dengan hati-hati, suster itu mendekat, membimbing Jelena untuk masuk ke ruangan. Jelena tidak pernah menyukai rumah sakit, sama seperti ayahnya. Dan mulai hari ini, gadis itu akan lebih membenci tempat ini.

“Mbak mau lihat keadaan korban?”

Korban. Bahkan suster ini tidak mengatakan kata pasien. Kata yang mungkin sedikit lebih bisa menenangkan perasaan Jelena yang nyaris hancur.

Dalam gerakan samar, Jelena mengangguk, maka suster itu membuka kain putih yang menutupi tubuh kaku itu. Tepat saat kain terbuka, Jelena jatuh terduduk. Kakinya tidak lagi mampu menopang tubuhnya yang lemas. Air mata makin deras membanjiri pipinya. Erangannya tertahan telapak tangan yang dia gunakan untuk membungkam mulutnya sendiri. Jelena hancur. Jelena lebur bersama tertutupnya kedua mata Jevan yang tidak akan pernah mampu terbuka lagi.

Laki-laki itu, laki-laki yang akan Jelena cintai sampai mati justru mati membawa cintanya yang belum sempat dia utarakan. Laki-laki itu, laki-laki yang selama ini mengisi hari-harinya telah dirampas paksa oleh kejamnya garis hidup. Sebelah tangan Jelena yang bebas memukul-mukul dadanya yang sesak. Hancur, dunia Jelena hancur.

“Jevan....” Rintihan itu baru terdengar setelah lebih dari 30 menit Jelena terpuruk dalam kepedihannya. Dengan sisa tenaga yang tidak begitu banyak, gadis itu merangkak mendekat pada ranjang. Di atas kedua lututnya yang seakan tidak bertulang, Jelena berlutut di sisi ranjang. Tangannya menyentuh wajah Jevan yang penuh luka. Jelena menyentuh mata yang selama ini menatapnya dengan tatapan memuja. Jelena menyentuh hidung tinggi Jevan yang selama ini selalu laki-laki itu gesekkan pada pipi kanannya dengan gurauan. Jelena menyentuh bibir Jevan yang selama ini selalu mengeluarkan kalimat-kalimat rayuan. Tapi semuanya kini tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

“Jevan...” Jelena buru-buru menyatukan kedua tangannya, matanya menutup rapat. Dia pernah dengar, rumah sakit lebih banyak mendengar doa tulus dari pada rumah ibadah manapun. Dia ingin mencobanya juga, barangkali Tuhan akan berbaik hati padanya kali ini. “Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi aku butuh dia, Tuhan.”

Jelena mengulang kalimat itu ribuan kali, tanpa henti, membuat suster yang sejak tadi berdiri di belakangnya merasa begitu iba dan memutuskan keluar dari ruangan karena tidak sanggup lagi menyaksikan adegan menyedihkan itu.

“Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi...”

Ucapan Jelena terhenti sesaat ketika seseorang nenarik tubuhnya dan membawanya dalam rengkuhan orang itu.

“El, udah,” bisik orang itu begitu pelan.

“Tuhan, aku mohon, kembalikan dia Tuhan. Aku tau engkau lebih menyayanginya, tapi aku butuh dia, Tuhan.” Jelena mengacuhkan suara itu, dia kembali merapalkan permohonan pada Tuhannya yang belum mendengar doa-doa itu.

“ELEN UDAH!” Jaenandra-seseorang yang merengkuh Jelena terpaksa berteriak, berusaha membuat sahabatnya sadar. “UDAH EL, GUE MOHON!”

“Gue mau ikut Jevan, Jaen. Gue.....” Tubuh Jelena luruh dalam dekapan Jaenandra. Gadis itu jatuh pingsan dan tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.


Gaun hitam yang sama.

Sepatu heels yang sama.

Bahkan dengan riasan wajah yang sama.

Jelena melangkah lunglai di koridor sebuah apartemen mewah di tengah kota. Tangannya menggenggam tulip putih segar. Berbanding terbalik dengan keadaan gadis itu yang tampak layu. Saat Jelena membuka pintu apartemen, hanya ruangan gelap yang menyapa. Apartemen ini selalu tampak kosong, tapi hari ini, kekosongannya terasa begitu berbeda.

“Hai, Jev.” Jelena berkata lirih, meletakkan bunga tulip yang dia bawa di atas meja.

Sorry gue baru dateng sekarang,” ucapnya lagi entah pada siapa.

Jelena menyalakan lampu, membuat seisi ruangan tampak jelas dalam pandangannya. Di sofa, Jelena bisa melihat beberapa kaus Jevan yang tergeletak sembarangan. Kaus-kaus itu adalah kaus kotor yang sepertinya belum sempat laki-laki itu bereskan sebelum pergi. Jelena berusaha mengabaikan semua kaus itu, karena Jelena tahu jika dia mendekat, dia akan mencium aroma parfum laki-laki yang dirindukannya dari kaus-kaus itu.

Gadis itu memilih untuk membuka pintu kamar Jevan dan menyalakan lampu. Ruangan ini jauh lebih kacau, ada begitu banyak barang di atas ranjang. Jas, dasi, kemeja hitam, beberapa kaus yang tampak masih terlipat rapi juga beberapa jaket yang laki-laki itu miliki. Semuanya terhampar di atas ranjang bersprei abu-abu tua kesayangan Jevan. Jelena memilih duduk di sisi ranjang, tidak tahan untuk tidak meraih salah satu jaket Jevan yang paling sering laki-laki itu gunakan. Jaket berwarna hitam itu berada pada dekapan Jelena dalam sekejap. Diciumnya jaket itu lamat-lamat. Air mata kembali menuruni pipi gadis cantik itu.

“Jev... Gue kangen.”

Tidak ada jawaban.

“Jev, gue kangen.”

Masih belum ada jawaban.

“Gue harus...” Jelena menghentikan kalimatnya karena dia merasa kerongkongannya tercekat. “Gue harus gimana kalau gak ada lo, Jev?” ucap Jelena dengan susah payah.

Namun tetap saja, tidak akan pernah ada yang menjawab pertanyaan itu. Karena satu-satunya yang bisa menjawabnya telah terkubur bersama harapan-harapan yang Jelena dan Jevan miliki tentang masa depan mereka.

Kalung yang melingkari leher Jelena terasa begitu sadis menyayat-nyayat gadis malang itu. Kalung cantik yang seharusnya Jevan pakaikan pada leher jenjang Jelena jusru diserahkan oleh seorang polisi yang menangani kasus kecelakaan itu. Kalung yang harusnya menjadi awal dari hubungan keduanya justru menjadi kado perpisahan yang menyakitkan.

Jelena merintih, mengadu entah pada siapa. Kepergian Jevan yang begitu tiba-tiba membuat jiwanya seakan pergi bersama laki-laki itu. Jelena butuh penguat, tapi bahkan jika seluruh alam semesta bergotong royong membantunya pun, tidak akan memberikan pengaruh apapun. Karena hanya Jevan yang dia mau. Hanya Jevander Novanda dalam keadaan utuh yang dia mau.

Pada malam ketujuh itu, pada malam dimana seluruh sahabatnya tengah memanjatkan doa di makam Jevan, Jelena terlelap dalam kamar Jevan dengan memeluk jaketnya. Berharap bahwa malam ini, laki-laki itu akan muncul dalam mimpinya.

Pagi hari di kota kecil bernama Ayu Laga selalu terasa sama. Kicau burung, embun yang menumpuk hingga membuat daun merunduk, dan tentu saja jangan lupakan hembusan angin basah yang membuat setiap penghuni kota kecil itu ingin meringkuk saja di atas ranjang berselimut tebal. Setiap pagi, selalu sama, seperti sudah menjadi template kehidupan masyarakatnya. Kegiatan di Ayu Laga biasanya baru dimulai pukul delapan pagi, menunggu kabut menipis hingga sinar matahari menyapa dengan hangat. Saat itu lah, perlahan-lahan Ayu Laga baru mulai terasa hidup. Beberapa orang dewasa pergi ke kebun ataupun ke toko-toko milik mereka, lalu anak-anak berbondong-bondong menuju sekolah. Di Ayu Laga, sekolah baru dimulai pukul sembilan pagi.

Suara alarm yang berbunyi nyaring membuat senyum Vivian melebar. Dia membayangkan anak kembarnya pasti sedang menggeliat malas sambil merutuki pagi yang terlalu cepat datang-setidaknya menurut mereka. Selang beberapa menit, suara keras alarm kedua menyusul. Kali ini Vivian berharap bunyi-bunyian yang memekakkan telinga itu bisa merampas rasa kantuk kedua anaknya hingga bisa membuat mereka segera membuka mata dan turun untuk sarapan.

Vivian tengah sibuk menata tiga piring nasi goreng dan tiga gelas susu putih hangat saat akhirnya perempuan berusia 40 tahun itu mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Anaknya yang lebih dulu dikeluarkan dokter dari rahimnya-Cakrawala-berjalan mendekat dengan sebelah mata masih tertutup. Cakrawala memberi pelukan kepada ibunya dan memberi kecupan di pipi kanan wanita paling dicintainya itu. Selang semenit, saudara kembar Cakrawala, Amartha, muncul dengan keadaan lebih rapi. Anak laki-laki yang gemar mengenakan hoodie berwarna hijau mint itu tampak sudah membasuh wajahnya dan menyisir rambutnya dengan tangan.

“Pagi Bunda,” sapa Amartha seraya mencium pelipis ibunya. Dia lalu duduk di sebelah Cakrawala dan menyikut lengan kembarannya itu, mengirimkan signal.

Cakrawala mendelik, dia kesal dengan kembarannya karena tidak sabaran.

“Bunda, katanya Caka mau ngomong sesuatu sama Bunda.”

Mata Cakrawala semakin mendelik tatkala kalimat itu keluar dari bibir Amartha. Jika boleh, dia ingin sekali menendang Amartha hingga terjungkal dari kursi.

“Ngomong apa, Nak?” Sang ibu bertanya lembut, menatap ke arah anaknya yang bergerak-gerak gelisah.

“Itu... anu...” Cakrawala gelagapan, tenggorokannya seakan kering hingga dia dengan tergesa-gesa meminum susu yang telah disiapkan ibunya.

Vivian hanya menatap anakya itu dengan tatapan teduh. Menunggu dengan sabar. Bahkan sendok dan garpunya sudah dia letakkan kembali di atas piring. Ruangan menjadi senyap seketika, Cakrawala melirik Amartha dengan tatapan yang bisa diartikan awas lo abis ini. Yang ditatap hanya mengangkat bahu acuh, dia tidak takut dengan ancaman yang diberikan oleh Cakrawla, sudah biasa batinnya.

Cakrawala menarik nafas panjang lalu berkata, “Bundabolehgakkalaukitagakmasukkedokteran?”

Amartha bengong, Vivian bingung. Kalimat yang diucapkan Cakrawala barusan hanya terdengar seperti suara nyamuk yang tidak jelas. Tidak tertangkap dengan baik oleh pendengaran mereka.

“Nak, kamu ngomong apa?” Sebelah tangan Vivian berusaha menggapai jemari Cakrawala yang ketika sudah tersentuh terasa sangat dingin. Dia heran, apa kiranya yang mengganggu anaknya ini? Biasanya, kedua anaknya selalu bisa mengekspresikan diri atau berdiskusi dengannya dengan begitu santai, karena sejak kecil Vivian dan suaminya telah menerapkan kegiatan bercakap-cakap di sore hari hingga kedua anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang terbuka dengan ayah dan ibunya. Lalu ada hal apa hingga membuat Cakrawala segugup ini?

“Lo gugup banget kayak mau nembak cewek aja sih, Ka,” komentar Amartha.

“Berisik,” desis Cakrawala.

“Arthaaaa,” tegur Vivian begitu pelan, membuat si tampan Amartha cengengesan.

“Maaf, Bunda.”

“Ayo sekarang Caka mau ngomong apa, Nak?” Fokus Vivian kembali pada putranya yang terlihat mulai tenang setelah mendapat usapan tangan dari sang ibu. Bahu tegang Cakrawala mengendur. Tangannya tidak lagi sedingin tadi. Detakan jangtungnya juga sudah terasa normal. Bahkan senyuman mulai bisa terlihat di wajah Cakrawala yang tadi pucat pasi.

“Bunda, boleh gak kalau aku sama Artha gak ambil kuliah kedokteran?”

Vivian terkekeh, tangannya yang tadi memegang jemari Cakrawala kini beralih ke rambutnya, mengacaknya lembut. “Caka, Ayah sama Bunda gak pernah kan maksa kalian untuk jadi dokter seperti Ayah dan Bunda?”

“Ya gak pernah sih, Bun. Tapi aneh gak sih kalau Ayah, Bunda, Om Uwu, Tante Valen, semuanya kerja di rumah sakit, tapi aku sama Artha malah milih jurusan yang gak ada hubungannya sama dunia kesehatan sama sekali?” Setelah hilang rasa gugupnya, jiwa Cakrawala yang gemar berdiskusi dengan kedua orang tua dan kembarannya telah kembali. Anak yang sedang beranjak dewasa itu sibuk berbicara sampai lupa menyentuh nasi gorengnya. “Nanti apa kata orang-orang di John Medical pas tau kalau anak Ayah sama Bunda malah gak nerusin jejak orang tuanya?”

“Apa pentingnya ngurusin omongan orang, Anakku?” Vivian tersenyum lembut sekali lagi. “Yang penting buat Ayah dan Bunda adalah kebahagiaan dan kenyamanan kalian. Kalian mau sekolah dokter, Ayah sama Bunda akan dukung sepenuhnya, tapi kalau kalian mau ambil jurusan yang lain, Ayah dan Bunda juga akan tetep dukung. Yang penting kalian bisa tanggung jawab sama pilihan kalian sendiri.”

Hati Cakrawala dan Amartha menghangat. Selaras dengan kabut di luar sana yang menipis. Cahaya matahari yang tadi terhalang kini telah menapakkan kegagahannya. Mengetuk pintu rumah-rumah penduduk, memberi tahu bahwa Ayu Laga harus mulai bergerak.

“Jadi gak papa ya, Bun, kalau aku sama Artha gak masuk kedokteran?”

“Gak papa, Nak. Pilih jurusan yang kalian mau, supaya kalian juga gak terbebani waktu menjalaninya.”

Cakrawala melirik Amartha yang sudah lebih dulu menatapnya. Tawa keduanya keluar bersamaaan. Kebahagiaan memenuhi ruang makan keluarga kecil milik Garend Abumi Adetama itu. Vivian tersenyum lebih lebar saat kini dia bisa melihat kedua anaknya tidak lagi segugup tadi. Cakrawala dan Amartha mulai menyantap nasi goreng yang sudah dingin, tapi tak apa, bagi mereka nasi goreng pagi itu justru terasa berkali-kali lipat lebih nikmat.

Cakrawala dan Amartha tahu benar, kelonggaran dan dukungan yang ayah dan ibunya berikan adalah berkah yang tidak semua anak bisa mendapatkannya. Cakrawala pernah dengar bahwa 80% anak-anak yang masuk kedokteran adalah paksaan dari orang tua mereka yang memang memiliki profesi tersebut, sementara Amartha pernah melihat banyak anak di kampung kakeknya yang harus putus sekolah karena orang tuanya belum mampu mebiayai mereka. Jadi, apa yang ayah dan ibunya berikan pada mereka amat sangat patut disyukuri. Dukungan moral dan finansial, nikmat Tuhan mana lagi yang mereka dustakan?

“Emang Caka sama Artha mau ambil jurusan apa?”

Cakrawala meletakkan sendoknya untuk kembali menatap ibunya. “Aku mau ambil Hubungan Internasional, boleh kan, Bun?”

Vivian mengangguk semangat, dua jempolnya terangkat. “Keren anak Bunda, boleh dong.” Wanita itu lalu mengalihkan tatapannya pada Amartha. “Kalau Artha?”

“Aku... Kalau boleh, aku mau ambil istirahat satu tahun dulu, Bunda.”

“Dih, mau ngapain lo?” Cakrawala menyahut lebih dulu. Penasaran karena selama ini Amartha tidak pernah mengatakan apapun mengenai hal itu padanya.

“Boleh Bunda tau alasannya, Nak?”

“Aku mau bantu anak-anak di desa Kakek, Bun. Aku mau ikut kegiatan volunteer Indonesia Mengajar, jai tenaga pengajar, boleh?”

Vivian berdiri dan berjalan mendekati Amartha yang menatap ibunya bingung. Lalu wanita yang tampak anggun dalam balutan gaun rumahan berwarna putih tulang itu menarik anaknya untuk dia rengkuh ke dalam pelukannya yang hangat. Kedua tangan Vivian melingkari tubuh Amartha dengan begitu erat, seolah enggan melepaskan. Air matanya luruh, membasahi hoodie kesayangan Amartha.

“Bunda, Bunda kenapa?” Cakrawala ikut berdiri saat menyadari ibunya banjir air mata.

Vivian menggeleng, perlahan melepas pelukannya akan Amartha. Saat mata mereka bertatapan, Vivian mencium kening Amartha dengan sayang.

“Bunda senang sekali mendengar keinginan kamu, Nak. Mulia, mulia sekali hati kamu. Ayah pasti senang sekali kalau dengar ini.”

Mendengar itu, Amartha menabrakkan tubuhnya ke dalam dekapan wanita yang telah melahirkannya itu. Pelukan ibunya selalu hangat, selalu bisa mengalahkan udara dingin Ayu Laga yang terkadang kejam.

“Bunda juga bangga dengan jurusan kuliah yang Caka ambil, HI itu sulit, kita lewati sama-sama ya, Nak. Ayah sama Bunda janji akan selalu ada untuk temani perjuangan kamu.”

Cakrawala tersenyum, dia ikut memeluk ibunya meskipun harus menumpuk tubuh Amartha yang lebih dulu mendekap ibu mereka.

Pagi itu, sekali lagi, Cakrawala dan Amartha bersyukur lahir dari rahim seorang Vivian Sayu Adipura. Dalam hati mereka, mereka juga berterimakasih pada Vivian karena telah memilih Garend Abumi Adetama sebagai ayah mereka hingga keluarga ini terasa utuh dan penuh kasih. Pelukan mereka makin erat, seerat Ayu Laga memeluk jiwa mereka.

Dari pada makan malam bersama keluarga terpandang seperti ini, aku jauh lebih menyukai menyantap satu cup mie instan yang bisa aku seduh di ruangan kerjaku. Di sana, aku bisa bebas makan sembari menaikkan sebelah kaki dan menikmati series di salah satu aplikasi berbayar. Sungguh berbanding terbalik dengan suasana canggung yang tercipta di ruangan pengap dengan hidangan makanan yang tersaji rapi di sebuah meja besar di hadapanku saat ini.

Keluarga Om Satrio— kawan baik Mama— mencoba untuk membawaku masuk ke dalam obrolan keluarga mereka sebelum akhirnya mempersilahkan aku dan seorang gadis— yang menawarkan dirinya untuk datang ke acara tidak penting ini— menyantap makanan kami.

“Sagata suka udang, kan? Mau nambah?”

Aku hanya menggeleng pelan dan mengucapkan kata terimakasih untuk membalas tawaran anak tertua dari keluarga Satrio, yang sudah merias wajahnya sedemikian rupa itu.

“Akhir-akhir ini, Sagata lebih suka makan cumi-cumi dari pada udang, sepertinya seleranya berubah.” Sira menyahut dari kursinya, membuat anak Om Satrio menatapnya malas.

“Oh ya? Ah.. oke.. lain kali kita pesan lebih banyak cumi-cumi dari pada udang.”

“Apa masih perlu lain kali?” tanya Sira pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya di sisi piring sebelum menopang wajahnya dengan sebelah tangan. “Sepertinya, kalau untuk membicarakan bisnis bisa di jam kerja aja ya? Gak perlu makan malam seperti ini.”

Om Satrio yang duduk di ujung meja berdeham, menandakan ketidaknyamanan. Dari ujung mata, aku bisa melihatnya menarik-narik dasi yang melingkar gagah di lehernya. Suasana semakin canggung.

“Apa salahnya dengan pembicaraan bisnis di sela-sela makan malam?” tanya anak Om Satrio.

“Tentu tidak ada yang salah. Tapi setau saya, bisnis tidak akan pernah berhasil jika dicampuri dengan urusan pribadi.” Nada suara Sira sangat tenang, dia tidak menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, tapi entah kenapa itu justru membuat lawan bicaranya menjadi tidak berkutik.

Terbukti, anak Om Satrio langsung menoleh pada ayahnya seolah meminta bantuan. Om Satrio nampak menangkap signal dari anaknya dan kemudian dia bersuara, “Tidak ada urusan pribadi kok disini, hahaha, pure hanya bisnis.” Tawanya canggung, terkesan dipaksakan.

“Ah, baguslah kalau begitu, saya senang mendengarnya. Kalau begitu, lain kali saya tidak lagi perlu mendampingi Sagata untuk acara makan malam dengan niat terselubung seperti ini.” Kalimat itu seperti gong penutup dari makan malam menyesakkan yang diakhiri dengan ditandangatanganinya berkas kerja sama antara perusahaan Mama dan perusahaan Om Satrio.

Dan tentunya, tanpa ada “perjodohan” di dalamnya.

**

“Lo sering ya ikut business dinner kayak tadi?”

Sebelum mengantarnya kembali ke AIM hotel, aku membawa Sira untuk membeli makanan kecil di supermarket yang berada tidak jauh dari hotel. Entah kenapa, hari ini, kata lo keluar begitu saja dari mulutku ketika berbicara dengannya. Mungkin karena kami sedikit lebih... dekat?

Sira menyesap ice cremnya sebelum menjawab, “Enggak, cuma pernah nonton di drama-drama aja kejadian kayak tadi. Terus gue praktekin aja deh apa yang gue tonton.” Sira juga menggunakan kata gue begitu saja, aku mengira dia merasakan hak yang sama denganku.

“Hmm.”

“Lo sering disuruh ikut acara kayak gitu?”

“Enggak, cuma beberapa kali aja.”

“Oh.”

Hening. Hanya ada suara deru kendaraan yang lalu lalang. Sira kembali asyik dengan ice cream di tangannya yang sudah sisa setengah. Cairan lengket dari makanan manis itu terlihat mengotori tangan kanan Sira. Gadis itu tampak tidak terganggu sama sekali, fokusnya masih tetap pada setengah ice cream yang tersisa.

“Thanks ya?”

Sira menatapku barang sebentar sebelum kembali menatap ice creamnya. “Santai aja, I've told you, that was just my way to have some fun.”

Aku menatap Sira yang kini menatap kosong ice cream di tangannya. Dia tidak lagi menyesap ice cream dengan rasa vanilla yang awalnya dia nikmati dengan begitu antusias. Ada yang berbeda dari gadis itu sesaat setelah dia mengatakan kalimat that was just my way to have some fun. Tatapan kosong, tanpa selera. Namun masih sama seperti tatapannya saat kami di Starbucks waktu itu, aku sama sekali tidak bisa mengartikan tatapan itu.

Gadis ini....

Gadis yang terlihat begitu ramai kehidupannya sebagai seorang travel blogger bisa tiba-tiba terdiam hanya karena sebuah kalimat yang berhubungan dengan kata “fun”.

Bukankah kata itu adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan kehidupannya?

Bukankah hidupnya menyenangkan?

Tapi kenapa tatapan matanya justru terlihat begitu kosong?