Cardigan

Selama aku hidup, aku mengenal dua jenis laki-laki. Yang pertama, laki-laki tampan yang tidak tahu bahwa dirinya tampan, macam Jaenandra. Yang kedua, laki-laki tampan yang sangat tahu dirinya tampan dan membanggakannya, macam Raechan. Tapi hari ini, rasanya aku perlu menambahkan satu jenis lagi dalam daftar itu. Laki-laki macam Sagara, atau aku harusnya memanggilnya Bang Sagara karena usianya lima tahun di atasku. Bang Sagara adalah satu sosok laki-laki tampan yang tahu dirinya tampan tetapi tidak membanggakannya, dia hanya merasa bahwa harus berperilaku baik agar wajah tampannnya tidak tercemar. Begini, bagaimana bisa seseorang mempunyai wajah dan sikap setampan itu menyatu dalam satu raga? Rasa-rasanya, Bang Sagara ada tipikal manusia yang akan tetap menjadi pusat perhatian bahkan ketika dia tidak berusaha mencari perhatian itu.

Wah, baru kali ini aku benar-benar merasa takjub dengan seseorang. Sejak aku datang tadi, yang tentu saja bersama Bang Garend dan Bang Juwan serta pasangan mereka masing-masing, Bang Sagara tidak henti-hentinya menawarkan padaku berbagai makanan yang tersedia serta juga terus mengajakku bicara. Tutur katanya halus, sikapnya santun, dan dia juga tipikal yang menyenangkan. Setiap perbincangan selalu ditimpalinya dengan sesuai porsi, tidak kurang dan tidak berlebihan. Tunggu, aku terdengar seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta, ya? Maaf.

Aku, Bang Sagara dan Bang Joni duduk di kursi yang agak jauh dari yang lainnya karena kami merokok. Kami tidak ingin membahayakan kandungan Kak Vivian serta kesehatan empat orang lain yang hidup bersih dari nakotin. Empat orang yang aku maksudkan adalah Bang Garend, Bang Juwan, Bang Tendra dan Si Suster cantik, Kak Valen. Tapi dari jarak ini kami semua masih bisa bercakap-cakap dengan baik.

“Eh itu Kiya sama Lucia, hai!” Kak Vivian berseru semangat saat mendapati dua gadis datang dengan senyum mengembang.

Bang Sagara langsung berdiri dan menepuk bahuku dan bahu Bang Joni sebagai bentuk berpamitan karena dia harus menyambut dua orang yang baru saja datang itu.

Mataku tertaut pada salah satu dari mereka, yang tentu saja kekasihku. Dia mengenakan baju yang aku pilihkan, tapi tunggu, ini tidak sesuai dugaanku. Tadi, aku memilihkan jenis pakaian ini agar dia tidak tampak mencolok dalam balutan gaun. Tapi kenapa yang dipakainya saat ini justru membuatnya berkali lipat lebih cantik? Jeans hitam pilihanku membungkus kaki jenjangnya dengan begitu pas hingga kedua kaki itu terlihat begitu cantik. Kaus putih dan cardigan berwarna pink pastel itu juga justru membuat kulitnya yang seputih susu tampak semakin mengkilap. Wah, sepertinya aku salah langkah. Aku yakin sekali, setiap pasang mata di tempat ini justru bisa melihat betapa cantiknya Adzkiya dalam balutan pakaian sederhana itu.

Bego, aku memaki diriku sendiri.

“Hai, Ki,” Bang Sagara menyambut Adzkiya, KEKASIHKU, dengan sebuah pelukan hangat. Untung saja jarak dudukku agak jauh dari mereka hingga aku bisa mengumpat pelan.

“Kenapa, Jev?” Bang Joni mungkin menangkap sedikit umpatanku namun tidak jelas hingga dia harus menanyakannya padaku.

“Ah enggak, Bang, ini kok tumben Ayu Laga panas,” bohongku sembari sok mengibas-ngibaskan kaus putih yang aku kenakan. Ya, aku memang sengaja mengenakan kaus dengan warna yang sama dengan KEKASIHKU. Tidak ada yang memprotes, kan?

“Ini buat lo, welcome home, Sagata.” Suara Adzkiya dengan sopan menembus telingaku yang memang selalu terpasang untuk mendengar suaranya.

Bang Sagara menyambut bunga itu dengan riang kemudian beralih memeluk Kak Lucia, sahabat Adzkiya, yang pasti lah juga mengenal Bang Sagara.

“Kalau yang ini... untuk Ibu Hamil yang cantik ini.” Adzkiya memberikan setangkai bunga mawar putih pada Kak Vivian yang langsung kegirangan. Melihat mereka, aku seperti melihat diriku dan Kak Kiyo di masa lalu. Mereka adalah versi perempuan dari aku dan Kak Kiyo, dua orang yang pernah berusaha untuk satu cinta yang sama dan memutuskan untuk berdamai dengan keadaan.

“Makasih, Kiya. Kamu cantik banget malem ini, cardigannya beli dimana? Aku mau.” See, bahkan dari mata seorang wanita secantik Kak Vivian pun, KEKASIHKU itu nampak cantik, kan?

“Ah kamu bisa aja, eh hai Valen, ini buat kamu juga ada dong.” Adzkiya memberi setangkai bunga lain pada kekasih Bang Juwan.

Oke, kali ini aku tinggal melihat Adzkiya menyapa satu persatu dari kami yang lebih dulu tiba. Untung saja, selain memeluk Bang Juwan- yang sudah seperti adiknya sendiri, Adzkiya hanya melakukan tos dengan laki-laki yang lain.

“Loh, ada Jevan juga, dari kapan di Ayu Laga?” Aku mendecih saat menyadari akulah orang terakhir yang dia sapa. Dan apa katanya tadi? Sejak kapan aku di Ayu Laga? Cih, aku bahkan telah memeluknya berjam-jam di rumahnya tadi.

“Aku baru sore tadi kok, Kak.” Aku menjawab dengan memaksakan senyum yang sepolos mungkin. Berusaha mengikuti actingnya yang sudah seperti bingan film profesional itu.

“Adzkiya udah kenal Jevan?” Bang Sagara melayangkan pertanyaan sembari meletakkan dua gelas ke hadapan Adzkiya dan Kak Lucia.

Aku memaksakan senyumku lagi dan menyesap rokokku sebentar sebelum menjawab, “Udah, Bang, dulu gue sering nemenin Ica ambil pesenan bunga ke Kiya Florist.”

“Ah, iya, iya, tadi Garend udah bilang juga ya kalau lo sahabat adiknya, jadi wajar aja kalian udah saling kenal.”

Aku hanya mengangguk masih tetap sambil tersenyum. Rasanya aku sudah seperti orang dungu yang terus tersenyum entah untuk apa.

“Mau gabung kesana gak, Jev?” Bang Joni membuang potong rokoknya ke asbak dan menatapku.

“Boleh,” kataku sembari melakukan hal yang sama dengannya.

Kami berdua berjalan mendekat ke arah meja perjamuan utama dan aku buru-buru mengambil tempat tepat di sebelah Adzkiya yang kebetulan kosong. Sambil berharap tidak ada yang menyadarinya.

“Ki, aku bakal buka cafe di deket florist kamu loh.”

Aku? Kamu?

Ini satu hal yang membuat aku sering terkaget-kaget berada di Ayu Laga, karena beberaa penduduk disini masih saja menggunakan panggilan aku dan kamu. Sementara bagiku, aku dan kamu hanya digunakan ketika ada di suatu situasi yang “intim”.

“Oh, ya? Wih seru dong nanti kita bisa sering ketemu. Kapan grand openingnya?”

Aku melirik Adzkiya dengan muka masam. Mungkin sekarang wajahku sudah sama masamnya dengan buah strawberry yang tersedia di atas meja.

“Masih lama sih kayaknya, aku baru mau mulai decor interiornya.”

“Nanti kabarin ya, Sa, biar gue sama Vivian mampir.” Bang Garend ikut nimbrung.

“Pasti, nanti ada special discount deh buat yang bawa pasangan.”

“Yah kasian dong Kiya gak dapet diskonnya.” Bang Tendra berkomentar sambil memasang wajah menyebalkan pada Adzkiya, membuat yang lain terkekeh.

“Kurang ajar ya, dokter Tendra,” timpal Adzkiya sok merajuk.

Aku sewot lagi. Jangan protes ya! Coba posisikan diri kalian sebagai aku. Aku duduk disini, aku adalah kekasih Adzkiya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau jadi aku, kalian akan sama sewotnya.

Aku menyikut lengan Adzkiya karena jengkel tidak diperhatikan. Dia paham, kemudian menelusupkan tangannya ke bawah meja dan mengelus-elus lenganku. Oke, setidaknya aku merasa lebih baik. Sisa malam itu berjalan lancar karena elusan Adzkiya. Rasanya, dengan elusan Adzkiya ini, aku merasa bahwa aku bisa menaklukan dunia. Terimakasih.