petrichorslines

Kamu tau siapa yang menjadi bajingan disini?

Bukan kamu, Nu.

Tapi kembalimu.

Fikirku, hadirmu akan membawa angin kemenangan.

Nyatanya kamu datang seraya merengkuh tubuh asing yang tak aku kenal sebelumnya.

Ragamu memang kembali,

tapi bagiku kamu pergi lebih jauh lagi,

karena cintamu bukan aku lagi.

Sebuah mobil Honda Civic Type R berwarna putih memasuki area parkir sebuah Sekolah Menengah Atas di selatan Jakarta. Seorang laki-laki berusia kepala tiga keluar dari mobil tersebut, tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lantas menyapa dua kawannya yang telah dulu tiba.

“Gio mana?” tanyanya seraya merapikan dasi.

“Barusan gue telfon, lagi jalan kesini katanya,” jawab seorang laki-laki lainnya yang tampil baik dengan kemeja putih yang digulung sampai siku.

Si pengemudi Civic hanya mengangguk mengerti. Tidak lama berselang, sebuah suara muncul dari balik punggungnya.

“Om Van! Om Yo! Om Jaen!”

Ketiganya menoleh bersamaan. Tersenyum ke arah laki-laki remaja yang memanggil nama mereka.

“Kita kemana?” tanya si pengendara Civic— Jevander— pada keponakannya.

Sergio menunjuk suatu arah dengan dagunya lalu berucap malas, “Ruang BK. Nanti kalau Pak Sapto ngomel, dengerin aja ya, Om. Kayaknya beliau juga udah capek ngomelin aku.”

“Oke,” balas Jaenandra santai diiringi kekehan pelan.

Ketiga Om yang mewakili ayah Sergio itu berjalan mengikuti keponakan mereka membelah koridor sekolah. Beberapa kali mereka menyapa guru yang berpapasan dengan mereka secara sopan. Juga beberapa siswa seusia Sergio yang menatap takjub pada mereka. Memang, meskipun usia ketiga om Sergio sudah hampir memasuki kepala empat, tapi ketampanan mereka justru semakin menjadi. Jangan lupakan aura mereka yang semakin memnonjol karena seluruh barang yang menempel pada tubuh mereka adalah segala sesuatu yang mahal.

Di ujung koridor, Sergio dan ketiga omnya berbelok untuk menuju ruang Bimbingan Konseling sekolah. Setelah mengetuk pintu dua kali, Sergio membimbing ketiga omnya untuk masuk ke dalam, bertemu dengan Pak Sapto yang sudah siap sedia di meja kerjanya.

“Selamat Siang, Pak Sapto. Saya Jaenandra, ayah Sergio.”

“Saya Jevan, ayah Sergio. Dan ini....”

“Saya Markio, ayah Sergio.”

Pak Sapto menatap ketiganya dengan bingung. Ada senyum terpaksa yang menghiasi wajah Guru Bimbingan Konseling yang sudah cukup sepuh itu.

“Ayah Sergio... ada empat, termasuk dengan Pak Raechan?”

“Sahabat ayah saya, Pak. Semuanya, sudah seperti ayah saya sendiri.” Sergio mencoba menjelaskan.

Raut kebingungan Pak Sapto luntur, berganti dengan anggukan samar. “Oh, ya, ya, silakan duduk bapak-bapak semua.”

Pak Sapto mempersilakan ketiga om Sergio untuk duduk di sofa bersamanya. Lantas guru Sergio itu menjelaskan duduk perkara dan alasan kenapa beliau harus memanggil wali Sergio untuk datang ke sekolah.

“Saya yakin sekali Sergio ini anak yang baik, karena prestasinya di kelas pun menjadi yang nomor satu. Tapi betul, keresahannya tentang anak-anak nakal di sekolah harus mulai dikurangi. Karena kekerasan bukan jawaban, Pak. Saya juga khawatir dengan keselamatan Sergio sendiri kalau terus-menerus melibatkan diri dalam bahaya,” ucap Pak Sapto penuh penekanan. Ditatapnya satu-persatu ketiga om Sergio yang mendengarkan dengan seksama.

“Iya, Pak, saya paham. Mungkin ini juga salah kami karena sejak kecil Sergio kami jejali dengan film-film pahlawan. Jadi besarnya ya begini, Pak... Bawaannya mau menegakkan keadilan.” Jevan membalas ucapan Pak Sapto dengan nada murung yang dibuat-buat. Wajah om Sergio yang paling tampan itu dipaksa untuk menampilkan rasa bersalah yang kentara.

“Betul, Pak. Kami benar-benar menyesal dengan apa yang terjadi.” Jaenandra menyambung dengan nada suara yang sama dengan yang Jevan buat. “Nanti akan kami nasehati Sergio atas perlakuannya ini ya, Pak.”

Sungguh, Sergio mati-matian menahan tawanya. Ingatannya kembali pada beberapa bulan lalu saat papanya bertemu dengan Pak Redika, wali kelas Sergio, dengan masalah yang sama. Papanya itu melakukan persis yang seperti om-omnya sedang lakukan. Pura-pura memelas, merasa bersalah, dan merenungi perbuatan Sergio. Padahal mereka semua tahu, bahwa apa yang Sergio lakukan selalu beralasan dan demi kebaikan.

“Ya sudah, hari ini Sergio pulang saja dulu. Nanti masuk lagi hari Senin, ya. Walaupun apa yang Sergio lakukan itu baik, tetap ada konsekuensinya.” Pak Sapto berkata lagi setelah menghembuskan nafas panjang yang terdengar lelah.

Setelah berpamitan dengan Pak Sapto, Sergio diantar ketiga Omnya untuk ke kelas mengambil tasnya. Ketika itulah, Sergio mendengar bisikan dari kawan-kawannya yang memuji ketiga laki-laki dewasa yang menunggui Sergio di luar kelas.

“Gio, kenalin dong ke sepupu lo itu. Kerja dimana tuh? Ganteng banget padaan.”

“Gio, itu kakak lo?”

“Gio, cakep banget yang pake jas item.”

Dan beberapa bisikan genit lain yang Sergio bungkam dengan, “Itu ayah gue.”

“Gio mau pulang sama siapa, Nak?” Jevan bertanya kala mereka telah kembali membelah koridor sekolah untuk menuju area parkir.

Sergio tampak berfikir sebentar sampai tanpa sadar langkahnya memelan.

“Anaknya Raechan tuh ye, disuruh milih balik sama siapa aja mikirnya ampe begitu. Giliran nonjok orang gak pake mikir lagi.” Jaenandra berkomentar pelan.

“Persis bapaknya,” timpal Markio.

“Dulu kan, hampir aja bapaknya jadi kriminal karena balas dendam ke orang yang mukulin gue.” Jevan mengenang kejadian lebih dari lima belas tahun lalu itu dengan senyum mengembang. “Darah Leenandarnya kentel bener emang si Gio.”

“Aku pulang sama Om Kiyo aja deh. Mau makan siang pakai masakannya Tante El.”

“Wah kalau itu sih, Om juga mau, Gio.” Jaenandra menyambar penuh semangat. Membayangkan menu rumahan hasil olahan istri Markio itu membuat mulutnya berair.

“Yaudah, ke rumah aja, yuk, semua.” Markio merangkul Sergio menuju mobil. Namun sesaat sebelum anak Raechan itu memasukkan tubuhnya ke dalam mobil Markio, dia mendengar om Jevannya berkata lagi,

“Gio, kamu kan diskors nih tiga hari. Ikut Om sama Tante Kiya ke Malang aja mau gak? Liburan kita.”

“Mau dong!” Sergio berucap semangat.

Jevan mengangkat jempolnya ke udara lalu masuk ke mobilnya. Jaenandra hanya terkekeh melihat kelakuan dua orang itu dan ikut masuk ke mobil pribadinya. Sementara di dalam mobil Markio, Sergio mengantupkan kedua tangannya dan mendoakan semua omnya, termasuk Juan yang sedang ada urusan, agar selalu diberi kebahagiaan.

Melbourne International Airport, Bandara kedua tersibuk di Australia. Terletak berdekatan dengan pinggiran kota Tullamarine yang berjarak 23 KM dari pusat Kota Melbourne. Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan taxi.

Jevan melirik ke arah gadis yang duduk bersebelahan dengannya di bangku penumpang taxi yang mereka naiki dari hotel tempat mereka menginap. Gadis itu tidak banyak bicara sejak tadi, hanya menatap ke arah luar, melalui jendela yang sedikit terbuka— atau lebih tepatnya sengaja dibuka oleh gadis itu.

Ada beberapa pertanyaan menggantung di benak Jevan kala manik matanya masih menangkap figur gadis itu.

Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?

Kemana dia pergi?

Apakah orang tuanya menelfonnya untuk menanyakan kabar anak gadis mereka? Atau, apakah justru ayah Jevan yang menghubungi gadis itu untuk mencari tahu kelanjutan hubungan Jevan dengannya?

“Kalau Adzkiya tau kamu liatin saya kayak gitu, dia bisa salah faham.” Jevan tersentak saat tiba-tiba saja suara Kenari membuyarkan pikirannya. Buru-buru pria itu mengalihkan wajah ke arah lain. “Kenapa sih? Ada yang mau kamu omongin ke saya?”

Jevan hanya menggeleng, lantas membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka selama sisa perjalanan. Dibacanya lagi pesan dari kekasihnya yang dia biarkan menggantung tanpa jawaban. Sedikit rasa bersalah terselip di benak Jevan karena justru Adzkiya yang menanyakan keadaan Kenari. Jevan merasa terlalu mengabaikan gadis yang sebetulnya berperan begitu besar pada jalan kehidupannya itu.

Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?

Kemana dia pergi?

Pertanyaan itu terus terulang di kepalanya hingga Jevan dan Kenari tiba di Melbourne International Airport. Ketika taxi yang mereka kendarai memasuki area Bandara, dengan segera, Jevan membayar biaya argo taxi dan menuju bagasi mobil untuk mengeluarkan koper miliknya sekaligus milik Kenari.

“Kamu masuk duluan aja, ya? Saya masih nunggu Adzkiya, nanti kita ketemu di dalem.” Jevan memberi usul yang langsung disetujui oleh Kenari.

“Oke, saya mau coba liat-liat di dalem ada makanan yang saya pengen atau enggak. Kalau gak ada, saya langsung ke lounge, nanti saya kabarin deh, ya.”

Usai menemukan persetujuan, Kenari bergerak cepat membawa kopernya menuju check in counter, sementara Jevan mencari tempat untuknya, agar bisa menunggu kedatangan kekasihnya dengan nyaman. Pikirannya berkelana lagi, memikirkan Adzkiya dan Kenari secara bergantian. Sebetulnya, tujuan Jevan mengirim Kenari untuk melakukan check in terlebih dahulu karena dia belum mau Kenari bertemu dengan Adzkiya. Dia tahu Kenari adalah gadis yang baik, tapi sulit baginya untuk mempercayakan segalanya pada gadis itu. Jevan merasa harus melindungi Adzkiya dari segala hal yang berkaitan dengan papanya. Jevan tidak ingin Adzkiya terluka lagi. Pandangannya lurus terarah pada langit lepas seraya berdoa agar apa yang sedang dia usahakan ini mendapat amin dari Tuhannya. Semoga dia melakukan hal yang benar dan tidak menyakiti siapapun lagi.

Adzkiya muncul sepuluh menit kemudian, berlari ke arah Jevan diikuti Sagara di belakangnya. Sebuah pelukan langsung Adzkiya berikan pada Jevan, yang sudah secara otomatis membuka kedua lengannya, pada detik pertama manik matanya menangkap kedatangan gadis kesayangannya itu.

“Gak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Adzkiya kala pelukan mereka telah terlepas.

“Kamu. Kamu, Ki, yang ketinggalan.” Jevan menjawab dengan gerutuan kesal— kesal karena harus meninggalkan Adzkiya di kota yang cukup jauh dari Jakarta ini.

Kekehan Sagara terdengar dari balik punggung Adzkiya. “Nanti kalau semuanya udah baik-baik aja, lo jemput lagi dia kesini ya, Jev.”

Jevan ikut terkekeh. Dibelainya pipi Adzkiya dengan ibu jarinya. Kedua matanya juga masih menatap Adzkiya penuh rasa cinta. “Pasti, Bang. Pasti gue bakal bawa dia balik ke Ayu Laga lagi. Secepatnya.”

Senyum Adzkiya terulas tulus mendengar penuturan Jevan, namun tidak ada suara apapun yang keluar dari bibir ranumnya.

“Kamu baik-baik ya disini, jaga kesehatan.” Suara Jevan berubah dalam, seperti menahan sesuatu. “Aku bakal coba beresin semua masalah di Jakarta. Papa, Kenari, perjodohan aku dan Kenari, semuanya, aku bakal beresin satu-satu. Setelah itu, setelah semuanya baik-baik aja, aku jemput kamu.”

Adzkiya masih membiarkan Jevan terus bicara.

“Aku janji gak akan lama. Tunggu aku, ya. Jangan kemana-kemana.”

“Aku gak pernah kemana-kemana. Kan kemarin kamu yang pura-pura lupa.”

Jevan tertawa keras lagi, menyebabkan beberapa orang yang sedang berlalu-lalang menoleh ke arah mereka. Mungkin penasaran, mungkin juga terganggu. Tapi biar lah, Jevan sama sekali tidak perduli. Yang diperdulikannya hanya gadisnya yang tengah ia rengkuh pinggangnya ini.

“Tapi gak papa deh, kata The Weekend kan everytime you try to forget who I am, I'll be right there to remind you again.

Adzkiya mengerutkan hidungnya membuat Jevan gemas setengah mati.

“Aku pengen cium kamu sekarang, tapi di sini rame, nanti kamu malu.”

“Kenapa harus malu? This is Australia, bro, they won't care.” Adzkiya memajukan wajah, mengalungkan lengannya di leher kekasihnya itu.

“Tapi ada Bang Saga di sini,” bisik Jevan pelan sekali.

“Ah, kamu lama,” ucap Adzkiya sesaat sebelum mendaratkan kecupannya di pipi kanan Jevan. “Baik-baik juga di Jakarta ya, salam buat anak-anak.”

Mereka berpelukan sekali lagi. Lebih lama dari yang sebelumnya. Setelah selesai, Jevan memberikan sebuah paper bag untuk Adzkiya.

“Ini hoodie aku dan album foto kado valentine kamu. Jangan pernah lagi balikin mereka ke aku, ya.”

Adzkiya tersenyum seraya mengangguk. Tangannya menyambut paper bag itu.

“Kenari udah check in duluan, ya?”

“Iya, udah. Tadi katanya mau makan dulu, laper,” jelas Jevan sedikit berbohong.

“Yaudah aku titip ini aja deh buat dia, ya.” Adzkiya memberikan sebuah box berwarna merah maroon yang langsung diterima Jevan. “Tolong kasih ke Kenari.”

“Ini apa?”

“Ucapan terimakasih.”

Jevan tidak berkomentar lagi. Laki-laki itu hanya memberi kecupan di pelipis Adzkiya lalu berpamitan kepada Sagara. Setelah itu, Jevan masuk ke area check in tanpa menoleh lagi. Jevan tahu benar, jika sekali lagi dia menatap Adzkiya dari balik kaca pembatas, semuanya akan semakin berat.

Di lounge, Jevan menyerahkan pemberian Adzkiya pada Kenari yang menyambutnya dengan begitu bahagia. Mata gadis itu berbinar seraya menatap kotak berhias pita hitam di pangkuannya. Setelah puas mengambil beberapa foto dengan poselnya, Kenari lantas membuka penutup kotak tersebut dan mendapati sebuah buku berjudul Conversation on Love dan sebuah surat.

Jari-jari lentiknya membuka lipatan surat dan matanya menyusuri tiap kata yang tertulis di sana.

Kenari...

Saya banyak dengar tentang kamu dari Jevan. Maaf, bukan bermaksud apa-apa, hanya saja Jevan merasa harus menjelaskan segalanya pada saya.

Kenari, saya sungguh-sungguh berterimakasih atas kebaikan kamu. Terimakasih telah membawa Jevan pada saya hingga kami bisa menyelesaikan segala kesalah fahaman. Kamu sungguh berjasa besar.

Kenari, dari cerita Jevan, saya menyimpulkan bahwa kamu adalah seseorang yang begitu menghargai cinta. Maka saya ingin memberi kamu buku ini sebagai ucapan terimakasih. Buku ini membahas tentang cinta secara menyeluruh. Semoga kamu menyukainya.

Sekali lagi, terimakasih.

Semoga selalu berbahagia.

Salam,

Adzkiya.

Kenari melirik Jevan yang tengah sibuk dengan ponselnya. Seulas senyum tulus terlukis pada rupa ayu gadis itu. Selama ini, dia merasa Adzkiya begitu beruntung memiliki Jevan dalam hidupnya. Tapi melalui surat ini, Kenari tau bahwa Jevan juga begitu beruntung memiliki seorang gadis bernama Adzkiya— yang selalu dia sebut namanya dengan senyuman di bibirnya itu.

Malam tadi, Alexander, papa Jevan, menghubunginya dan bilang bahwa esok hari Alex akan menjemput mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan lanjut untuk makan siang bersama. Kenari belum mengatakan ya atas usul Alexander itu, karena dia merasa bahwa dia harus mendiskusikannya dengan Jevan terlebih dahulu. Namun setelah menerima surat ini, gadis itu langsung mengambil ponselnya dari saku dan mengirim pesan pada Alexander untuk menginformasikan bahwa setibanya di Jakarta, dia harus menghandiri sebuah acara hingga tidak akan sempat untuk makan siang bersama Alex— yang tentu saja bohong.

Kenari merasa bahwa tidak sepatutnya dia mengisi tempat yang seharusnya diisi oleh Adzkiya.

Suara dengkuran halus terdengar bersahut-sahutan dengan detik jam beker yang setia menunggangi meja kecil di sisi ranjang. Si empunya dengkuran masih terlelap di atas ranjang dan melindungi dirinya dengan selimut tebal guna menghalau udara dingin yang dihembuskan mesin pendingin di salah satu sudut dinding kamar. Kayana mengetuk pintu kamar, dua kali, kemudian membuka pintu tersebut secara perlahan. Ada senyuman tergambar jelas di wajah wanita itu kala melihat posisi tidur si pendengkur handal, yang adalah suaminya. Kayana menyibakkan tirai yang menutupi jendela kamar, membiarkan cahaya matahari menyapa kamarnya yang cukup luas. Tidak lupa, jendela itu juga ia buka, mengharapkan adanya pergantian udara pengap bekas semalam dengan udara segar pagi ini.

“Rae, bangun, udah jam delapan.” Kayana mencoba mendekati suaminya, Raechan, yang nampak sama sekali belum terusik. Digoyangkannya perlahan lengan suaminya itu seraya berkata lagi, “Rae, nanti kamu telat, loh. Kamu ada kelas jam sepuluh, kan?”

Belum ada sahutan. Yang ada justru dengkuran Raechan kian terdengar. Tubuh pria itu juga sama sekali tidak menanggapi panggilannya, bahkan gerakan kecil saja tidak ada. Kayana menyerah, dia meraih ponsel di atas nakas dan mengecek beberapa pesan.

Kay, rapat pagi ini jam sembilan ya. Jangan lupa, Pak Wishnu bisa katanya.

Kay, ruang LPP udah gue beresin. Nanti siang beres rapat sama Pak Wishnu bisa kita pakai buat briefing sama anak-anak.

Kayana mendapat dua pesan dari pengirim yang berbeda. Mengenai rapat, Kayana mendapatkannya dari rekan seangkatannya yang menjabat sebagai ketua divisi General Affair. Sementara yang satu lagi dia dapatkan dari kawannya yang berada pada divisi hardware. Kayana hendak membalas salah satu pesan namun terinterupsi oleh panggilan dari Iren, salah satu kawan baiknya di Lembaga Pusat Perbantuan. Iren berada di satu divisi yang sama dengannya, yaitu divisi acara.

Halo, Kay?” Suara di seberang sana terdengar lantang, berusaha tidak kalah dengan keadaan sekitar yang riuh.

“Hei, Ren. Kenapa? Lo lagi dimana, sih, kok rame banget?” Kayana ikut menaikkan nada suaranya dengan harapan Iren bisa mendengarnya dengan jelas dari sambungan telepon.

“Di

Pada garis rahangmu yang tegas itu, ingin kububuhkan bekas kecupanku.

Pada kedua pipimu yang merona terpoles kemerahan alami, ingin kutitipkan sejumput bekas bibirku.

Pada keningmu yang semulus porselen, ingin pula kutinggalkan bekas-bekas kemesraan kita.

Pada dasarnya, aku meninggalkan bekas-bekas diriku pada apapun yang ada pada tubuhmu.

Aku ingin mereka tahu, bahwa kamu, adalah milikku.

“Jaenan sama Ica katanya mau kesini juga nanti, mau minta maaf secara langsung ke kamu katanya.”

Lengan kekar Jevan melingkari pinggang ramping gadisnya yang tengah sibuk mencincang bawang bombai dengan lihai di atas talenan. Serta dagunya dia letakkan di bahu gadisnya.

Si yang diajak bicara terkekeh pelan, terdengar merdu di telinga Jevan. “Kan kamu udah jelasin semuanya, aku udah maafin mereka juga, Van.”

“Iya, tapi Ica tetep mau minta maaf langsung katanya. You know, mantan calon adik ipar kamu itu, kan, sayang banget sama kamu. Dia hampir sama desperatenya sama aku waktu harus pura-pura jahat sama kamu.”

Adzkiya mengangguk seraya memasukkan potongan bawang bombai ke teflon. Tangannya dengan terampil bergerak-gerak mengaduk bawang bombai agar tidak gosong. Setelahnya, gadis itu memasukkan dua mangkuk nasi yang telah disiapkan, telur, sosis, serta beberapa bumbu tambahan untuk menambah rasa. Tidak lupa, parutan keju di akhir. Jevan suka sekali nasi goreng dengan ekstra keju di atasnya.

“Tolong ambilin piringnya, Sayang.”

Jevan melepaskan pelukannya lantas mengambil dua piring di rak, sesuai yang Adzkiya perintahkan. Dua piring nasi goreng yang nampak lezat mengundang selera makan mereka pada pukul tujuh malam itu. Mereka berdua duduk di meja makan bundar dengan empat kursi— yang tentu saja dua kursi lainnya akan kosong karena Lucia dan Sagara sedang tidak ada di flat.

Jevan memakan nasi gorengnya dengan lahap. Laki-laki itu telah menantikan hidangan ini selama lebih dari lima bulan sejak terakhir kali dia makan. Rasa nasi goreng buatan Adzkiya selalu terasa menyenangkan di lidahnya. Membuatnya mampu mengahbiskan dua piring sekaligus kalau saja Adzkiya tidak memperingatinya untuk tidak memakan terlalu banyak karbohidrat lewat pukul enam sore.

“Kenari udah makan malem belum ya, Van? Aku tiba-tiba kepikiran.” Adzkiya tiba-tiba bertanya di sela suapannya.

“Udah sih, pasti. Kemarin dia cerita kalau dia udah sering solo traveling, jadi kayaknya kita gak harus sekhawatir itu, deh. Lagian dia juga udah besar, udah bisa jaga diri,” jawab Jevan tanpa menatap Adzkiya. Dia masih sibuk dengan nasi goreng di piringnya.

“Aku beneran makasih banget sama dia udah mau bikin perjanjian itu sama kamu sampai akhirnya kamu bisa nemuin aku kayak sekarang, kalau bukan karena dia, mungkin kita masih belum bisa baikan kaya sekarang.”

Jevan menatap Adzkiya yang sudah lebih dulu menatapnya. “Perjanjian itu menguntungkan kita berdua kok, Ki. Mungkin setelah ini dia bakal manfaatin aku buat kebaikan dia, who knows, kan? Jadi kamu gak perlu sekagum itu sama dia, lagian kita juga belum tau dia beneran baik atau enggak.”

“Hus kamu tuh, pikirannya buruk mulu, deh.”

Jevan terkekeh. “Ya gimana ya, Ki, papa aku sendiri aja tega mukulin anaknya sampai mati. Gimana aku mau percaya sama orang lain. Orang baru lagi, aduh, gak dulu, deh.”

Adzkiya hanya memberikan senyumnya sebagai jawaban. Gadis itu memahami keragu-raguan dalam diri Jevan. Karena, ya, dia tahu benar apa yang telah laki-laki kesayangannya itu alami sampai menjadikan dia pribadi yang begitu berhati-hati, terutama pada orang-orang yang baru masuk ke dalam hidupnya.

Btw, Ki, menurut kamu, beneran ada gak sih, orang yang gak percaya pernikahan kayak Kenari gitu?”

“Ada dong, bukannya Juan juga gak mau punya hubungan sama cewek, ya? Mungkin problem mereka sama?”

Jevan tampak ragu sesaat. “Tapi kalau Wawan tuh, dia cuma belum jadiin urusan cewek sebagai prioritas utamanya. Dia mau nata masa depan dulu dan angkat perekonomian keluarganya. Nah, kalau Kenari kan, tinggal nikmatin hidup aja.”

“Tapi dari cerita kamu kan, dia udah jelasin alasannya, Van. Dia gak suka sama pernikahan yang gak berdasar sama cinta. Maybe she treasures love as it is, jadi dia gak mau menjalani pernikahan yang gak berdasar cinta. Dan dia sadar betul, kalau cinta aja juga gak akan cukup untuk keluarganya. Jadi dia memilih untuk hidup sendiri aja, lagian, dia udah punya seluruh aspek itu hidup sendiri. Kepercayaan diri, kemampuan diri untuk ngerawat dirinya sendiri, pemberani, dan tentu aja karena dia punya banyak nominal di dompetnya.”

Jevan menghentikan acara makan malamnya dan meletakkan sendok di piring. Dia sepenuhnya memberi atensi pada Adzkiya.

“Dulu, waktu aku pisah sama Garend, aku udah gak mau jatuh cinta lagi. Ribet, nyakitin, bikin pusing. Tapi kamu malah dateng ke hidup aku and here were are now. Hubungan yang aku jalanin sama kamu beneran ribet, nyakitin, dan bikin pusing, but you worth all the pain.”

“Berarti ada kemungkinan Kenari berubah pikiran, dong?”

Adzkiya mengangguk. Gadis itu mendorong piringnya menjauh. Percakapan ini jauh lebih menarik dari pada nasi goreng yang Jevan pilih sebagai menu makan malam mereka. “Iya, apa lagi kalau laki-laki yang dateng ke hidupnya modelannya kayak kamu.”

“Kayak aku?” tanya Jevan tidak mengerti.

“Kamu tau gak, Van, kenapa cowok brengsek kayak kamu malah lebih berbahaya dari pada cowok baik-baik?”

Jevan memberi Adzkiya gelengan pelan sebagai jawaban.

Cause a bad boy, who played with many girl, know exactly how to treat a girl. Dan sialnya, cewek-cewek juga cenderung lebih mudah jatuh hati sama cowok-cowok modelan begitu.”

Tawa renyah Jevan memenuhi ruangan. Laki-laki itu ikut mendorong piringnya menjauh, kemudian meletakkan kedua sikunya di atas meja dan menopang wajahya dengan kedua telapak tangan. “Jadi itu alasan kamu jatuh cinta sama aku, Adzkiya?”

“Mungkin? Tapi aku akuin sih, di antara temen-temen kamu yang lain, pesona kamu dan Raechan tuh yang paling susah dihindarin.”

“Oh ya?” Jevan makin tertarik dengan pembicaraan malam ini.

“Heem.” Adzkiya menjawab dengan mantap. “Terbukti kan, kamu sama Raechan yang mantannya paling banyak?”

“Tapi kita berdua udah sama-sama nemuin pelabuhan terakhir kita sekarang.”

“Ya, ya, Raechan sih udah ya. Udah punya Gio juga sekarang. Gak tau nih kalau kamu, masih kabur-kaburan lagi atau enggak abis ini. Aku sih malu ya kalau jadi kamu.”

“Oh ngeledek terus ya...” Jevan bangkit dari kursinya, hendak menyergap Adzkiya. Tapi gadis itu bergerak lebih cepat, Adzkiya telah melesat ke sisi meja yang lain. Lantas mereka berkejaran sambil tertawa-tawa di flat yang hanya diisi oleh mereka berdua.

Kebahagian memenuhi ruangan yang cukup luas itu. Mengisi ruang-ruang kosong yang tercipta di hati mereka selama lima bulan terakhir.

Namun ada satu hal yang mengganjal....

Sama seperti Adzkiya, Kenari juga bisa saja berubah fikiran jika laki-laki yang masuk ke hidupnya adalah laki-laki seperti...

Jevander.

Bulan Maret di Melbourne terasa sama seperti hari-hari biasa di Ayu Laga. Suhu tertingginya hanya mencapai 20 derajat sedangkan suhu terendahnya bisa sampai 10 derajat. Tidak membutuhkan pakaian tebal seperti padding jacket, cukup pakaian hangat yang dapat menghalau hawa dingin merasuki badan. Seperti sweater, hoodie, leather jacket, dan coat. Hari ini, Adzkiya memilih coat berwarna beige untuk melapisi kemeja putih yang dia padukan dengan jeans berwarna deep blue. Sepatu kets putih dan sling bag hitam melengkapi penampilannya.

Adzkiya melirik jam tangan yang melingkar di lengannya, pukul lima sore. Pagi tadi pesawat Jevan take off pada pukul tujuh, jika diakumulasi, waktu penerbangan dan transitnya adalah sepuluh jam, maka seharusnya sebentar lagi laki-laki yang ditunggu Adzkiya itu akan tiba di Bandara Melbourne. Gadis itu kembali menyibukkan diri dengan kelas yang sedang dia ikuti, guna membunuh waktu. Toh, masih butuh waktu bagi Jevan untuk tiba ke daerah tempat Adzkiya tinggal, bagian timur Victoria.

Kelas Adzkiya hari ini selesai pukul enam sore waktu setempat, usai membereskan barang bawaan serta bunga yang baru saja dia rangkai, gadis itu keluar dari gedung Floral Art School Australia dan menyusuri jalur pedestrian. Pandangannya menunduk, menghitung tiap langkah yang dia ambil. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas...

Hitungannya terhenti. Sepatu sport dengan merk Adidas berwarna hitam menghentikan langkah kaki Adzkiya. Aroma parfum yang begitu Adzkiya kenali langsung memenuhi indra penciumannya. Adzkiya belum berani mendongak, matanya masih tertaut pada sepatu hitam yang menahan langkahnya.

“Sepatu aku lebih menarik ya dari pada muka aku?”

Suara ini...

Suara yang sudah Adzkiya tunggu...

“Aku gak nyangka ternyata aku beneran gak dapet welcoming hug.”

Protesan ini...

Protesan khas Jevander Novanda.

Perlahan, Adzkiya menggerekkan kepalanya. Ditangkapnya pemandangan mulai dari skinny jeans hitam yang dipadukan dengan kaus putih dengan gambar kucing di bagian depan. Adzkiya juga menyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini menenteng hoodie berwarna abu-abu tua di tangan kanananya. Gadis itu menikmati waktu yang dia habiskan sampai akhirnya wajah tampan Jevan bisa dia tangkap dengan kornea matanya.

Wajah tampan itu...

Wajah yang Adzkiya begitu ingin lihat selama berbulan-bulan ini.

“Halo, Adzkiya. Aku disini loh?????” Jevan menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Adzkiya karena gadis itu hanya memandanginya sejak tadi.

“Kamu beneran kesini ternyata,” ucap Adzkiya pelan lalu kembali bejalan.

Di tiap langkah yang Adzkiya ambil, gadis itu berusaha menghapus keinginannya untuk langsung memeluk Jevan. Di kepalanya, Adzkiya terus mengulang peringatan dari Sagara dan Lucia untuk tidak langsung luluh dengan kehadiran Jevan yang nyata seperti ini. Adzkiya harus mencari distraksi, dia tidak boleh terlalu lama menatap mata Jevan karena yang timbul dari kegiatan itu hanyalah dirinya yang kembali menggila akan seorang Jevander Novanda.

“Gak dapet pelukan aja udah cukup buruk, sekarang kamu malah ninggalin aku gitu aja, Adzkiya Judith Hartoni?” Suara Jevan terdengar samar-samar karena laki-laki itu sudah tertinggal di belakang.

Jarak mereka semakin jauh, lantas Jevan mengambil langkah lebar untuk menyusul Adzkiya. Ditariknya siku gadis itu pelan. “Aku gak bisa ya diginiin, ikut aku.”

Jevan menyelipkan jari-jemarinya di antara milik Adzkiya lalu mengenggamnya dengan lembut. Dibimbingnya gadis itu melalui jalur pedestrian sampai mereka tiba di sebuah hotel mewah yang jaraknya tidak begitu jauh.

“Sekarang boleh aku bicara?” Jevan duduk menumpu di salah satu lututnya dan berhadapan dengan Adzkiya yang duduk di sofa. “Aku bakal jelasin semuanya sama kamu sebelum meminta maaf dengan benar. Boleh, ya?”

Adzkiya mengangguk. Sikap Jevan membuatnya lupa dengan peringatan kedua sahabatnya. Laki-laki itu lantas mencium kedua tangannya lembut sebelum akhirnya menjelaskan segalanya dengan rinci. Jevan menceritakan alasannya pura-pura lupa akan Adzkiya. Jevan menceritakan bagaimana kawan-kawannya tidak setuju dengan idenya itu tapi dia tetap memaksa demi kebaikan Adzkiya. Jevan menceritakan bagaimana dia menangis di pelukan si kecil Sergio karena merasa begitu merindui Adzkiya. Jevan menceritakan tentang dia yang ingin langsung terbang ke Australia setelah membaca surat yang Adzkiya tinggalkan namun terhalang karena papanya menyuruh bawahannya untuk pergi ke Ayu Laga membuntutinya. Jevan menceritakan kalau setelah mendengar kabar dari laras itu, dia langsung pergi ke rumah Garend agar papanya tahu bahwa tujuan dia ke Ayu Laga adalah mengunjungi Garend. Jevan juga menceritakan bagaimana akhirnya dia bisa berada disini, lengkap dengan cerita tentang Kenari.

“Jadi tolong, jangan cuekin aku lagi. Aku minta maaf.”

Jevan mengeluarkan jurus andalannya. Wajahnya dia buat sememelas mungkin, bibirnya mengerucut gemas, kedua tangannya masih setia mengenggam jari-jemari Adzkiya. “Aku bahkan tadi di pesawat gak tidur sama sekali, aku kepikiran kamu.”

“Sini.” Adzkiya menghela Jevan untuk duduk di sofa bersamanya. “Kamu beneran udah sadar sekarang kalau apa yang kamu lakuin kemarin tuh salah dan nyakitin aku banget?”

Jevan mengangguk dengan semangat lalu berkata, “Aku sadar, Ki, aku nyakitin kamu banget. Temen-temen aku juga tiap hari marahin aku dan suruh aku balik ke kamu. Rasanya aku hampir gak bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai kamu kenapa-kenapa karena aku yang pengecut ini malah lari dari masalah kita.”

Adzkiya melepaskan sebelah tangannya dari genggaman Jevan. Dielusnya sebelah pipi Jevan dengan lembut. “Aku udah maafin kamu, tapi kalau sekali lagi kamu pergi dari aku, aku beneran gak akan nungguin kamu lagi ya, Van.”

Elusan Adzkiya membuat Jevan memejamkan mata. Elusan ini akhirnya laki-laki itu rasakan kembali. Jevan begitu menikmatinya.

“Aku gak akan kemana-kemana lagi.” Hari ini, Jevan tidak hanya berjanji pada gadis cantik di sampingnya. Hari ini, Jevan juga berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah lagi pergi dari sisi Adzkiya. Sudah cukup lima bulan kemarin dia terjerembab pada lubang kerinduan yang menjijikkan. Dia tidak ingin lagi berada di sana. Dia ingin bersama Adzkiya, selamanya.

“Kenari dimana sekarang?” tanya Adzkiya.

“Jalan-jalan mungkin, aku gak tau.”

“Van, kamu kesini sama dia. Kita bisa ketemu atas bantuan dia. Mau gimana juga, itu artinya kamu punya tanggung jawab atas dia. Gih telfon, tanya dia ada dimana. Pastiin dia baik-baik aja.”

Jevan menggeleng. “Let's talk only about us. Aku kesini buat kamu, buat jelasin semuanya dan minta maaf sama kamu.”

You already did.”

Let's move to another step, then.” Jevan menghela Adzkiya untuk duduk di pangkuannya lantas melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Adzkiya. “I do really miss you, Ki. So bad.”

Setelahnya, yang terdengar dalam kamar hotel kelas atas itu hanyalah suara dua bibir yang beradu. Menciptakan irama merdu bagi keduanya. Gelombang cinta dan gelenyar panas mereka salurkan melalui elusan pada figur masing-masing. Selang beberapa menit, bibir Jevan berpindah ke leher Adzkiya. Posisi Adzkiya yang berada di pangkuannya memberi Jevan keuntungan karena leher gadis itu lebih mudah terjangkau olehnya. Tangan Jevan juga sudah menanggalkan coat yang dikenakan Adzkiya, menyisakan kemeja putihnya saja. Kemeja yang menurut Jevan sangat menganggu— karena harus membuka kancingnya satu-persatu. Sayang, saat jemarinya hendak meraih kancing pertama, sebuah panggilan masuk ke ponselnya yang berada di saku celana. Getaran karena panggilan itu mengangetkan Adzkiya dan membuatnya langsung menarik diri.

“Biarin aja,” ujar Jevan seraya mengambil ponsel itu dari saku dan melemparkannya asal. Persetan dengan siapapun nama yang muncul sebagai penelepon, Jevan sungguh tidak perduli. Yang diperlukannya hanyalah dia ingin cepat-cepat menanggalkan kemeja putih Adzkiya karena hari ini untuk pertama kalinya Adzkiya memberinya izin bertindak lebih jauh dari sekedar ciuman di bibir.

Namun berbeda dengan gadis itu, matanya tertaut pada layar ponsel dan mendapati nama si penelepon adalah....

Kenari Ruth Elega.

Gadis yang berjasa dalam hidupnya karena telah membawa Jevan ke dalam pelukannya seperti ini.

“Angkat dulu, Van,” pinta Adzkiya pelan.

“Gak usah lah, biarin aja.”

“Angkat, siapa tau penting.”

Jevan mengacak rambutnya frustasi. Diambilnya ponselnya dengan malas dan langsung menyentuh layar untuk menerima panggilan dari Kenari itu.

“Halo?”

Van, saya nyusul kesana, ya? Kita lupa foto berdua, nanti papa kamu curiga lagi.”

Dalam posisi ini, Adzkiya bisa mendengar suara ramah gadis di sebrang sana meskipun Jevan tidak menyalakan speaker mode.

Boleh gak, Van? Kok kamu diem aja? Halo, Van?

Van...

Bukan Jev.

Australia, sebuah negara yang letaknya ribuan kilometer dari Ayu Laga. Membutuhkan lebih dari enam jam penerbangan untuk tiba disini. Memilik ambience yang mirip dengan Ayu Laga di beberapa wilayahnya, sementara wilayah yang lain adalah bentuk yang lebih baik dari Jakarta. Selama beberapa hari di sini, Adzkiya cukup menikmati segala hal yang wilayah ini tawarkan. Keberadaan Lucia dan Sagara juga membatunya untuk sedikit demi sedikit menata hidupnya di sini.

Hari ini, Lucia disibukkan dengan pengurusan berkas-berkas untuk program masternya. Gadis itu telah meninggalkan flat yang mereka sewa sejak pukul sembilan pagi. Sementara si tampan Sagara baru menggeliat di kasurnya saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Lantas pria itu buru-buru mandi dan memakan sehelai roti tawar yang diolesi selai cokelat. Setelahnya, dia terburu-buru dia mengajak Adzkiya mengelilingi Melbourne. Tujuan pertama mereka adalah Royal Botanic Gardens. Sagara hendak mengambil beberapa foto dengan tema alam yang akan dia pajang di dinding cafenya kelak. Mereka berdua menyusuri jalan setapak yang dikelilingi rerumputan hijau. Sagara sibuk mencari objek untuk diabadaikan melalui lensanya sementara Adzkiya mengabadikan semuanya melalui manik mata coklat miliknya.

Butuh waktu sekitar satu jam sampai Sagara merasa puas. Lantas laki-laki itu mengajak Adzkiya untuk duduk di pinggir danau beralaskan sehelai kain putih yang dia bawa dari flat. Mereka berdua duduk bersebelahan, menatap tenangnya air danau yang memantulkan kembali cahaya matahari. Siang itu matahari cukup terik, tapi cuaca hari ini cukup dingin. Adzkiya menarik rapat cardigan yang dia kenakan untuk menghalau udara dingin.

“Jevan udah kontak lo lagi, Ki?”

Pertanyaan sama yang dilayangkan oleh dua orang berbeda. Pagi tadi, Lucia telah menanyakan hal yang sama.

“Belum, atau mungkin dia gak akan pernah hubungin gue lagi.”

Sagara meletakkan kameranya ke dalam tas kemudian berucap pelan. “Lo capek gak nunggu Jevan?”

Adzkiya menggeleng. “Gue pernah bertahun-tahun nunggu keluarga yang mau adopsi gue dari panti asuhan, gue pernah nunggu lo berbulan-bulan buat sadar, gue pernah nunggu Garend selama dua tahun sampai dia kembali ke Ayu Laga. Ini bukan pertama kali gue menunggu sesuatu, Ga.”

Senyum getir menghiasi wajah gadis itu kala ia mengenang masa lalunya. “Sayangnya, semua hal yang gue tunggu itu gak menghasilkan sesuatu yang baik.”

“Dan lo berharap kali ini hasilnya akan baik?”

Ada hening yang panjang saat pertanyaan itu terlontar dari bibir Sagara. Adzkiya tidak kunjung memberi jawaban dan hanya membiarkan danau tenang di depan sana merampas fokusnya.

Sebetulnya, Adzkiya juga heran kenapa Tuhan selalu menyuruhnya untuk menunggu dan bersabar. Dalam hal apapun. Seolah tidak cukup waktu yang telah dia buang cuma-cuma selama ini. Selalu saja, selalu saja ada sesuatu yang harus Adzkiya tunggu.

“Ki?” Sagara menyenggol pelan lengan Adzkiya dengan sikunya.

“Hm?” Adzkiya terkesiap, memanggil kembali kesadarannya yang sempat hilang. “Ya... kalau itu gak terdengar serakah, gue berharap penantian gue kali ini kasih akhir yang bahagia.”

“Jevan spesial ya, Ki?” tanya Sagara lagi.

Ada gelengan samar yang Adzkiya berikan tanpa mampu ditangkap Sagara. “Gak ada yang spesial dari dia, Ga. Dan gak ada juga perlakuan spesial yang gue kasih ke dia. Selama ini, setiap kali ada di suatu hubungan, gue selalu berusaha memberikan diri gue yang seutuhnya untuk pasangan gue itu. Ke lo, ke Garend, termasuk ke Jevan, gue selalu berlaku sama. Dengan harapan, pasangan gue juga bisa memberikan seutuhnya diri mereka ke gue. Dan Jevan....”

Sagara menolehkan wajah untuk menatap Adzkiya yang sempat ragu-ragu menlanjutkan ucapanya. Dielusnya bahu sahabat yang pernah menjadi kekasihnya itu.

“Jevan kenapa?”

“Jevan memberi lebih dari yang gue harapkan. Gue cuma berharap dia bisa memberi gue seutuhnya dia, tapi dia memberi gue lebih dari itu. Jevan... dia selalu nemuin gue ke Ayu Laga setiap weekend padahal lo tau jarak dari Jakarta ke Ayu Laga sejauh apa. He was such a player back then but when he is with me, he is just a soft boy who respect all the boundaries that I set for him. Anak itu, anak itu baru 23 tahun waktu dateng ke gue dengan muka lusuhnya karena perempuan yang dia cintai memilih orang lain yang adalah sahabatnya sendiri. Waktu itu, gue seperti melihat diri gue sendiri waktu Garend lebih memilih Vivian. Dan entah gimana, kita justru jadi dua orang yang saling menyembuhkan dari luka yang sama.”

Elusan pada bahu Adzkiya berhenti. Sagara menyentuh kedua bahu Adzkiya dan membuat gadis itu berhadapan dengannya.

“Dan lo berharap kalian gak akan mengulang luka yang sama gitu, ya? Karena sakit ya, Ki, ngebayangin masa depan yang gak ada Jevannya? Sakit ya, Ki, ngerasain luka baru dari orang yang dulu pernah buat lo sembuh?”

Adzkiya tidak menjawab. Cahaya yang dipancarkan matanya meredup dan genangan air menumpuk di pelupuk matanya. Adzkiya menggigit bibirnya kuat-kuat.

“Gue cuma pengen bisa ngejalanin hubungan yang selayaknya sama Jevan, Ga. Is that something too big to ask?

Sagara menggeleng, dihalaunya air mata yang sudah membasahi pipi Adzkiya. “Lo perempuan paling baik dan sabar yang pernah gue temuin. You deserve all the love in this world, Ki. Tunggu sebentar lagi ya, sabar sebentar lagi, mungkin Jevan sekarang juga lagi berusaha untuk menemukan diri lo di dirinya lagi. Kita tunggu sama-sama, ya?”

Siang itu, di bawah langit Kota Melbourne Adzkiya menumpahkan tangisnya dalam pelukan Sagara.

Sama seperti makan malam kelas atas pada umumnya. Dari pada keakraban dan keselarasan, perjamuan jenis ini hanyalah mengutamakan kesopanan dan tata krama di atas segalanya. Di sini, tidak akan ditemukan suara sendok yang beradu dengan piring, apa lagi obrolan hangat di sela-sela makan malam. Mulut seluruh tamu hanya akan disibukkan dengan kunyahan tanpa suara untuk menyantap hidangan dengan porsi mini yang penyajiannya dibuat sangat mewah. Oh, tentu jangan lupakan setelan jas dan gaun mewah yang dianggap paling pantas digunakan untuk menghadiri jamuan ini.

Setelah acara yang membosankan itu, baru lah ada sedikit kelegaan yang diberikan. Biasanya, para tetua akan duduk bersama sambil minum teh di ruang keluarga, ditemani musik klasik dari piringan hitam. Sedangkan yang muda-muda biasanya akan mencari kesibukan yang lain. Jika mereka yang dipertemukan dalam jamuan ini saling tertarik untuk mendalami satu sama lain, mereka akan berbincang entah di taman belakang atau di gazebo dekat dengan kolam renang. Namun jika tidak merasa tertarik untuk saling mengenal— Jevan masuk dalam kelompok ini— biasanya mereka akan mencari kegiatan sendiri-sendiri yang tidak bersinggungan.

Karena itu, Jevan sebenarnya tidak mengerti dengan fikiran para tetua dalam dunia bisnis ini. Mereka seakan memberi kebebasan pada anak mereka untuk menentukan pada siapa hatinya akan berlabuh. Mereka tidak pernah memaksa anak mereka untuk langsung merasa cocok dengan calon pasangan yang diperkenalkan melalui acara perjamuan itu. Tapi, anehnya, mereka juga seperti tidak kehabisan akal dan cara untuk terus mencarikan pasangan untuk anak mereka, yang tentunya sama-sama dari kalangan atas.

Sama seperti ayahnya, entah sudah berapa gadis dari keluarga berbeda yang coba laki-laki itu coba kenalkan kepada Jevan.

Sasha dari keluarga Atmajaya.

Rania dari keluarga Atmojo.

Kalya dari keluarga Handaru.

Clara dari keluarga Yosasono.

Dan yang paling terakhir, Angelica dari keluarga Wisnujaya.

Selain yang disebutkan, sebetulnya masih banyak lagi. Tapi Jevan tidak lagi ingat, sebab dia memang tidak pernah tertarik.

Malam ini, usai makan malam, Jevan memilih untuk duduk di atas ayunan besi yang ada di taman belakang milik keluarga Elega. Menikmati angin malam yang menyapu lembut rambutnya yang mulai memanjang. Sebatang rokok Jevan gunakan sebagai kawan. Biasanya, Jevan akan menjauh dari para tetua dan gadis yang dijodohkan dengannya dengan duduk di halaman belakang seperti ini. Namun malam ini sedikit berbeda, dia duduk di sana justru untuk menunggu anak bungsu keluarga Elega— gadis yang dijodohkan dengannya.

“Mau?” Gadis bernama Kenari itu meletakkan bokongnya di sisi ayunan yang kosong sembari menawarkan anggur Shine Muscat yang sudah dicuci bersih.

Jevan mengambil satu buah tanpa canggung. “Saya harus matiin rokok saya atau gak usah?”

“Santai aja,” jawab gadis itu. “Jadi cewek itu dimana sekarang?” Kenari bertanya tanpa tendeng aling-aling. Matanya menatap lurus ke arah kolam ikan yang diterangi lampu taman.

Jevan memberi jeda sebelum menjawab, matanya ikut kemana Kenari sedang menatap. “Kamu yakin sekali sepertinya kalau saya punya seseorang yang saya cintai.”

“Jevander Novanda, dengan pengikut lebih dari dua ratus ribu tapi cuma punya satu foto yang dia unggah. A faceless girl holding white lily. I thought that is the girl, am I right?

Jevan mengambil sebuah anggur lagi dari keranjang rotan. “Does my father asked you to do this?

“Apa maksudnya? Ayah kamu suruh saya mata-matain kamu gitu?”

Kind of?

Kenari terkekeh, keras sekali, keranjang rotan yang dipegangnya sampai hampir tergelincir dari tangannya yang lentik. Butuh beberapa waktu sampai gadis itu mampu menguasai dirinya dan berhenti dari kekehannya.

“Jevan, saya gak tahu ya, ayah kamu udah melakukan hal buruk apa ke kamu. Tapi tuduhan kamu tadi benar-benar membuat saya geli,” ujar Kenari.

“Saya udah bilang ke kamu, mari lakukan hal ini sama-sama sebagai bentuk win-win solution. Saya udah capek hampir tiap minggu harus ikut acara seperti ini. Saya mau berhenti dan satu-satunya cara adalah dengan pura-pura tertarik kepada laki-laki yang dijodohkan dengan saya.”

Kenari menolehkan wajahnya untuk menatap Jevan dari samping. Cahaya lampu taman bisa membantu Kenari mengenali keseluruhan wajah tampan Jevan. Gadis itu lantas terkekeh lagi karena Jevan tidak kunjung memberinya jawaban.

“Saya sudah bilang, cara ini akan menyelamatkan kamu dan saya. Kita bisa pura-pura bersama di depan orang tua kita sementara di belakang mereka kita bisa terus mencintai seseorang di luaran sana. Dengan begitu kita gak perlu lagi ikut acara seperti ini, Jevander.” Kenari berucap penuh keyakinan. Berharap kali ini Jevan akan mau mendengarkannya dengan baik dan memberi respon yang baik pula.

“Kasih tahu saya untuk siapa kamu melakukan ini baru nanti saya akan kasih tau siapa perempuan yang saya cintai.”

“Oke,” Kenari berucap lugas. Dikeluarkannya ponsel dari saku jas yang melapisi gaun malamnya. Gadis itu nampak memilih satu di antara ribuan foto di ponselnya. “Ini, saya melakukan ini semua untuk dia.”

Jevan menerima ponsel yang diulurkan Kenari, dipandanginya sosok yang ada pada layar. Lantas dahinya mengerut, dia menoleh pada Kenari. “Ini, kan, foto kamu sendiri?”

Kenari mengangguk seraya mengulas senyum. “Ya, seseorang yang saya cintai sampai saya harus melakukan sandiwara ini adalah diri saya sendiri. Saya gak ingin lagi menyiksa diri saya.”

“Saya gak ngerti.”

“Saya anak bungsu di rumah ini. Kedua kakak saya sudah menikah dan semuanya menikah karena urusan bisnis. Gak ada satupun dari mereka yang hidup bahagia atas pernikahan mereka. Saya gak mau menyiksa diri saya dalam pernikahan macam itu. Lebih dari semuanya, sebenarnya saya gak ingin menikah. Saya gak percaya sama pernikahan.”

Jevan diam. Membiarkan suara gemercik kolam dan suara gadis ini memenuhi rungunya.

“Semua laki-laki yang ayah saya kenalkan pada saya, they do believe on marriage, padahal mereka semua sadar kalau pernikahan mereka gak berdasar pada cinta. Saya muak, saya gak suka sama hal itu.”

“Lalu kenapa saya? Kenapa kamu memilih saya untuk melakukan kepura-puraan ini?” tanya Jevander pada akhirnya setelah paham duduk permasalahan yang Kenari alami.

“Karena di antara mereka semua, kamu satu-satunya laki-laki yang ingin memberi tahu dunia bahwa kamu punya perempuan yang kamu cintai. Kalau bukan karena ayah kamu, saya yakin, kamu pasti sudah menikahi gadis itu, kan?”

Tanpa sadar, Jevander mengangguk.

“Karena itu saya memilih kamu, Jevander. Kita bisa sama-sama menyelamatkan diri dan gak terjebak sama perjodohan konyol ini.”

Ucapan Kenari terasa seperti aliran sungai yang menawarkan ribuan liter air di tengah hidup Jevan yang bak gurun pasir. Segala kalimat yang bergulir dari bibir ranum gadis itu terdengar seperti bisikan dsri surga yang menawarkan kebahagiaan untuk hidup Jevan yang seperti berada di neraka dunia. Laki-laki itu tergoda sekali untuk ikut dalam permainan yang Kenari cipatakan.

Jika difikir lagi, gadis itu ada benarnya. Jika ayahnya melihat Jevan bersama seorang gadis pilihannya, tidak akan lagi ada acara perjodohan macam ini. Jevan bisa mencuri waktu untuk menemui Adzkiya dengan bantuan Kenari. Dan dengan begitu, Jevan juga membantu Kenari menyelamatkan hidupnya.

Win-win solution

“Saya bisa percaya kamu, kan?”

“Seratus persen, saya bersumpah atas nama Tuhan saya, saya gak akan khianatin kamu.”

Mereka bertatapan dalam. Jevan sedang mencari kebohongan di mata Kenari dan untung sekali laki-laki itu hanya menemukan kejujuran. Sudahlah, mungkin gadis ini memang jujur. Mungkin gadis ini sama lelahnya dengan dirinya.

“Oke.”

Senyum Kenari merekah. Gadis itu hampir menjerit kegirangan tapi dia menahan diri. Dilahapnya sebuah lagi anggur Shine Muscat dari keranjang rotan.

“Sekarang tolong ceritakan pada saya, siapa gadis beruntung itu.”

Kali ini Jevan yang mengulas senyum. Bahkan dengan memikirkan gadisnya saja sudah membuatnya bahagia. “Namanya Adzkiya, dia sekarang ada di Australia untuk ambil florist course.”

“Wah, dia mau buka toko bunga sendiri?”

“Dia sudah punya toko bunga. Dia pergi kesana untuk menemani sahabatnya mengambil program master sekaligus mengambil course itu. Tapi sebenarnya dia...”

Ucapan Jevan menggantung di udara. Dia ragu, harus kah dia bercerita sedetail itu pada Kenari yang tengah menatapnya dengan tatapan berbinar itu?

“Dia kenapa? Dia pergi kesana karena kamu, ya? Atau karena ayah kamu?”

“Dia kesana untuk menenangkan diri. Dan saya belum bisa menyusulnya karena ayah saya.” Jevan menjawab seadanya. Dia belum berani terlalu terbuka meskipun dia sudah merasa bahwa Kenari adalah gadis yang baik.

Mungkin cukup sebatas ini dulu saja, batinnya.

“Ayah kamu tahu Adzkiya ada disana?”

Jevan menggeleng..

Good, kalau gitu kamu bisa pakai saya untuk menemui pacarmu. Bilang saja kita mau liburan berdua, di sana kamu bisa menemui Adzkiya. Gimana?”

“Kamu serius?”

“Tentu saja. Mau assistant saya saja yang urus semuanya?”

“Biar Laras saja yang urus, assistant saya.”

Keduanya tersenyum sambil saling berpadangan. Angin malam membelai lembut rambut mereka serta membawa pergi segala keresahan yang selama ini mereka rasakan. Ketenangan menghinggapi keduanya. Menyisakan kelegaan luar biasa atas baiknya takdir yang tiba-tiba menyapa.

Malam ini, nampaknya mereka akan tidur nyenyak setelah sekian lama tidak merasakannya.

“Oke, kalau gitu, selamat malam, Jevander. Saya pamit ke kamar.”

Sebuah kecupan mendarat di pipi kanan Jevander. Membuat laki-laki itu sedikit berjingkat.

“Ayah kita ada di balkon lantai dua, mereka melihat ke arah kita sejak tadi. Maaf, ini hanya penyempurnaan sandiwara.”

Kenari berlalu, meninggalkan Jevander yang kembali berteman dengan asap rokok.

Hoodie abu-abu di tanganku tergelincir ke lantai saat kedua tanganku yang selalu dipuji kekar ini, tidak lagi mampu menopangnya. Hoodie abu-abu yang pernah memeluk erat tubuh gadis yang begitu aku cintai itu teronggok di lantai seperti barang sisa yang tidak ada nilainya. Terabaikan olehku yang masih sibuk mencari-cari dimana letak surat yang katanya dikirimkan bersamaan dengan benda itu. Mataku melongok lebih dalam ke dasar kotak paket, tapi tidak kutemukan apapun lagi di sana. Kuambil kembali hoodie abu-abu tuaku, merogoh sakunya dengan harapan bisa menemukan surat dari gadis kecintaanku di sana. Dan benar saja, sepucuk surat yang dutulis di atas kertas berwarna putih itu terlipat rapi di dalam saku.

Buru-buru aku membuka lipatan surat. Mataku bergulir dari atas ke bawah membaca bait kata yang dirangkai dan ditulis oleh tangan gadis yang aku rindukan sentuhannya itu.

Saya kembalikan hoodie kamu. Maaf sempat mencurinya tanpa izin.

Saya pamit ya, Jevander. Saya akan berangkat ke Australia lusa. Semoga kamu selalu bahagia.

Ps. Kunci rumah saya selalu berada di tempat yang sama kalau-kalau kamu tergoda untuk datang.

Aku membolak-balik surat itu berharap menemukan kalimat lain. Namun sayang, nihil, pesan yang Adzkiya sampaikan melalui suratnya hanyalah itu. Sebuah pesan singkat yang memberitahukan mengenai keberangkatannya ke Australia. Sebuah pesan yang aku sudah tahu. Aku butuh lebih dari ini, Adzkiya. Aku butuh surat yang menyatakan betapa kamu masih menunggu aku.

Adzkiya, apakah kamu sudah tidak menunggu kehadiranku lagi? Tidak kah kamu bertanya-tanya tentang aku yang lepas kendali mengatakan bahwa kamu tidak menyukai lemon tea? Tidak kah kamu ingin tahu itu hanya ingatan acakku atau justru aku memang tidak pernah melupakanmu? Adzkiya, haruskah kamu pergi sejauh dan selama ini?

Masih lekat di ingatanku betapa kamu mencoba membuat aku ingat melalui pesan-pesan yang kamu kirimkan ke whatsappku hingga aku harus meminta Klarisa menyuruhmu untuk berhenti melakukannya. Dimana Adzkiyaku yang itu? Apakah kamu benar-benar sudah lelah dengan sandiwara ini? Apakah akhirnya kamu menyerah melawan arus dan memilih untuk terbawa arus air saja? Apakah aku sekejam itu kepadamu sampai aku akhirnya mengambil keputusan sebesar ini, Adzkiya?

Kepalaku berdenyut hingga aku harus memijatnya beberapa kali. Di dalam kepalaku yang sedang berdenyut ini, bisa kudengar otakku berisik sekali. Sebagain dari otakku memerintahkan tubuhku untuk segera berangkat ke Ayu Laga dan menemuimu. Memohon agar kamu tinggal. Lalu sebagian diriku yang lain menahan tubuhku untuk tetap bersandar pada sofa dan memberi alasan bahwa mungkin memang sebaiknya kamu pergi saja. Australia akan jauh lebih aman untukmu dari ada Ayu Laga. Papa tidak akan lagi datang mengganggu kamu. Kamu bisa hidup tenang di sana melalui hari-harimu bersama harumnya bunga.

Tapi...

Sayup-sayup dari kejauhan, kata-kata Om Tama berbisik pelan ke indra dengarku.

Penyesalan adalah neraka dunia, Jevander. Jangan lagi kamu hidup di dalamnya.

Otakku memutar acak memori saat aku tersungkur memeluk makam ibuku sambil meraung kala gadis yang dulu aku cintai akan menjadi milik orang lain. Diingatkannya lagi aku betapa sakitnya berada di situasi itu. Rasanya duniaku luruh, tubuhku terasa seperti seonggok raga tanpa nyawa.

Aku tidak lagi mau ada di sana. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus menemui Adzkiya.

**

Tujuan pertamaku adalah Kiya Florist yang terletak di tepi jalan besar utama Ayu Laga. Setibanya aku di sana, toko itu telah dikelilingi kain berwarna hitam yang menutupi jendela kaca besar, tempat biasa aku memandangi Adzkiya dari luar. Di dekat pintu masuk, tergatung sebuah tag yang menjelaskan bahwa Kiya Florist akan tutup sementara waktu. Sepertinya Adzkiya menutup toko kesayangannya ini lebih cepat dari keberangkatannya agar memiliki waktu untuk bersiap-siap.

Lantas aku menaiki mobilku lagi, mengarahkannya melewati jalan berbatu di antara puluhan hektar kebuh teh untuk sampai ke rumah Adzkiya. Dari luar, hunian itu tampak lengang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Lampu taman bahkan masih menyala pada pukul empat sore begini. Sebentar...

Jangan bilang....

Buru-buru aku melangkah mendekat pada taman kecil di sisi kiri rumah Adzkiya. Memiringkannya untuk mengambil kunci rumah yang selalu Adzkiya letakkan di sana. Kubuka pintu rumah, saat aku masuk, aku disambut lengang, tenang, kosong. Perabotan di rumah ini seluruhnya ditutupi kain hitam. Hanya ada sedikiy cahaya yang masuk melalui gorden jendela yang tersibak.

Tunggu, bukankah gadis kesayanganku itu baru akan berangkat lusa? Kenapa keadaan rumahnya seperti sudah ditinggalkan macam begini? Aku sudah hendak membuat panggilan ke nomor Adzkiya saat mataku tanpa sengaja memandang ke arah lemari kaca di dekat pintu kamar Adzkiya. Aku melihat sebuah album foto yang begitu familiar. Album foto itu, album foto yang aku berikan pada Adzkiya saat hari valentine yang lalu.

Tanganku gemetar kala aku mengambil album foto itu dari rak. Kuusap sampulnya yang menampilkan lukisanku yang seadanya. Aku memilih untuk duduk di sebelah rak kaca. Beralas lantai dingin dan bersandar pada tembok. Di halaman pertama, aku menemukan sepucuk surat dengan warna kertas yang sama dengan yang Adzkiya tinggalkan di hoodieku.

Hai,

if you find this letter after you got your hoodie back, that means I'm already on my flight. Saya sengaja memberi tahu jadwal keberangkatan yang salah pada Laras dan kawan-kawanmu.

Saya berangkat pukul sepuluh pagi tadi, Jevander. Mungkin tepat saat kamu membaca surat saya yang saya letakkan di dalam kantung hoodie. Bukan lusa seperti yang saya bilang. Saya hanya ingin tahu saja bagaimana reaksi kamu atas hal ini.

Ngomong-ngomong, saya tidak tahu juga harus berekasi seperti apa jika kamu membaca surat ini. Karena jika kamu membaca surat ini, artinya kamu berhasil masuk ke rumah saya. Itu artinya kamu tahu dimana tempat saya biasa meletakkan kunci. Itu artinya kamu tidak lupa pada saya, Jevander. Karena dalam surat yang saya kirimkan bersamaan dengan hoodie kamu, saya hanya mengatakan bahwa kunci rumah saya berada di tempat yang biasanya, tanpa memberi tahu dimana letak spesifiknya.

Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika akhirnya saya tahu bahwa kamu pura-pura lupa pada saya. Saya tidak tahu apakah saya harus merasa marah karena kamu membohongi saya atau justru merasa bersyukur dan berterimakasih karena kamu melakukan ini untuk saya. Karena itu saya memutuskan untuk memalsukan hari keberangkatan saya agar saya tidak bertemu kamu sebelum keberangkatan saya.

Jevan, jika sekalipun benar kamu memobohongi saya demi kebaikan saya. Tolong sudahi. Tolong jangan lagi. Jika kamu rasa kamu melakukan ini agar saya aman dan tenang, maaf, saya harus katakan pada kamu bahwa kamu salah. Saya tidak merasa aman. Saya tidak merasa tenang. Because my life without you is scarier, Jevander.

Tapi jika kamu memang mau seperti ini saja, mungkin saya akan belajar menerima.

Maka itu, saya kembalikan semuanya pada kamu. Kamu tahu kemana saya akan tinggal di Australia, karena saya pernah menceritakan seluruh detailnya pada kamu. Kamu tahu dimana akan menemukan saya. Tapi jika kamu memutuskan untuk tidak datang, maka saya anggap mungkin ini sebenar-benarnya akhir dari “kita”.

P.S. Saya sengaja meninggalkan album foto ini untuk kamu. Kamu memberikan album foto ini agar saya bisa mengingat kembali kebersamaan kita dulu. Tapi saya rasa, sekarang justru kamu yang butuh album foto ini, Jevander. Sepertinya kamu yang butuh diingatkan seberapa berartinya hubungan kita dulu. Maka silakan dilihat-lihat, barangkali kamu makin ingat.

Salam,

Adzkiya

Aku meremat kertas surat itu. Entah karena marah, entah karena kecewa, entah karena merasa bodoh atau entah karena apa. Rasanya baru kemarin Adzkiya mengatakan bahwa dia akan berangkat minggu depan dan baru saja dia katakan pada Laras bahwa dia akan berangkat lusa. Lalu apa sekarang? Dia bilang bahwa mungkin saja sekarang dia telah ada di dalam penerbangannya. Itu artinya, saat paket tadi datang, saat dia berkirim pesan dengan Laras, dia telah berada di Bandara?

Lelucon macam apa ini?

Telingaku berdengung. Pundakku merunduk. Kepalaku makin bising.

Baru saja ingin aku fikirkan apa yang harus aku lakukan sebelum keberangkatan Adzkiya tapi nyatanya waktuku lagi-lagi sudah habis. Aku harus apa sekarang? Menyusul Adzkiya? Ya, sepertinya harus begitu. Sesuai yang dia bilang, aku tahu benar kemana dia akan pergi. Maka tidak akan sulit bagiku untuk menemukannya.

Aku lantas mengeluarkan ponsel dari sakuku, mencari jadwal penerbangan dari Jakarta menuju Melbourne. Memilih salah satu penerbangan yang aku anggap memiliki waktu terbaik dan segera mengisi data diri untuk proses pemesana, namun saat itu lah sebuah panggilan masuk dari Laras aku terima.

“Halo, Ras?”

Suara Laras menjawabku dengan lirih dari sebrang sana. “Pak Alex mengirim orang suruhannya untuk menyusul Bapak ke Ayu Laga, hati-hati, Pak.

Oke, tidak akan semudah itu bagiku untuk menyusul Adzkiya ke Australia.