Scars.
Bau obat-obatan dan bunyi berbagai alat seakan menggebrak seluruh indra dalam diriku yang bekerja setengah hati. Seluruh dinding ruangan yang dicat putih semakin mengaburkan pandanganku yang telah terhalang air mata yang menumpuk di pelupuk mata. Lututku seakan enggan diajak bekerja sama untuk mendekat pada ranjang dimana ada seseorang yang begitu aku cintai terbaring di sana. Seluruh persendianku terasa nyeri, rasanya aku tidak mampu lagi menopang tubuhku jika tidak dengan bantuan Jaenandra yang sejak tadi setia memegangiku. Pipiku memerah karena aku berkali-kali menampar pipiku guna meyakinkan diri bahwa apa yang aku hadapi sekarang bukanlah mimpi. Di sudut ruangan, samar-samar, aku mendengar isakan tangis yang begitu pilu. Aku yakin suara itu berasal dari kawan-kawan Jevan yang sudah tidak perlu lagi aku jelaskan betapa dekatnya mereka.
Jaenandra membimbingku untuk duduk di sisi ranjang, begitu dekat dengan Jevan hingga aku bisa menyentuh lengannya yang penuh luka. Lewat mata yang masih juga kabur, aku pandangi seluruh bagian tubuh orang yang aku sayangi itu. Keningnya diberi perban, hidungnya diberi alat bantu pernafasan, dadanya dipasangi berbagi alat untuk mengecek keadaannya, bahkan ujung jarinya pun diberi alat penjepit yang aku tidak tahu apa gunanya. Separah ini kah keadaan Jevan hingga sekujur tubuhnya diberi alat bantu? Apa yang sudah Babi-Babi sialan itu hantamkan pada tubuh laki-laki berhati lembut ini?
“Van...” Bibirku bergetar kala mengucapkan nama itu. Aku ingin mengucapkan lebih banyak kalimat tapi tenggorokanku seakan tercekat hingga yang keluar hanyalah udara tanpa suara.
Aku punya banyak teman yang bekerja di rumah sakit. Bahkan sahabat karibku adalah seorang pemilik rumah sakit di kota kecil tempatku tinggal. Aku pernah berbulan-bulan berada di rumah sakit ketika aku menemani Sagara pengobatan, aku pernah mengencani seorang dokter, aku juga menyediakan jasa pesan-antar bunga ke rumah sakit yang bernama John Medical. Tapi jangan salah sangka ya, semua hal itu bukan alasan bagiku untuk menyukai rumah sakit, kan? Apa lagi yang harus aku hadapi adalah hal sepedih ini.
Dengan gemetar tanganku menyentuh lengan Jevan yang terkulai lemah di sisi tubuhnya. Aku menyentuhnya pelan sekali, seakan lengan kekar ini berubah menjadi sesuatu yang begitu mudah hancur. Kuelus pelan lengan itu, seperti yang selalu aku lakukan kala hanya ada kami berdua di rumahku. Bedanya, tangan kekar ini tidak lagi mampu menggenggam jari-jariku yang saat ini sedingin es.
“Van, yang kuat, ya? Kak Kiya ada disini. Anak-anak yang lain juga ada disini, nemenin lo. Nanti kalau lo bangun, kita beli mainan buat Gio, ya? Soalnya sekarang Gio lagi dititipin ke neneknya karena Papa sama Mamanya mau jagain lo.”
Aku mendengar bisikan Jaenandra di telinga Jevan yang laki-laki itu ucapkan di sela isak tangisnya yang tertahan. Jaenandra bahkan tidak ragu untuk mengelus pelan kepala Jevan dengan penuh perasaan sayang.
“Kalian boleh pergi, saya sudah ada disini.”
Suara itu terdengar seiring dengan suara ketukan pantofel yang bertemu dengan ubin putih rumah sakit. Parfum dari si pemilik suara langsung menggilas aroma obat pekat yang sebelumnya menguasai ruangan. Semua mata langsung terarah kepada si pemilik yang suara yang tampak gagah dalam balutan jas lengkap. Jangan lupakan jam dengan harga ratusan jusa yang melingkar di tangan kirinya.
“Terutama kamu, saya harap kamu bisa pergi dari sini.” Suara itu terdengar lagi, menusuk langsung ke arahku. “Saya gak perlu suruh orang saya untuk menyeret kamu dari sini, kan?” tanyanya dengan suara sama sekali jauh dari kesan ramah karena aku tidak beranjak dari kursiku.
Why should I, tho?
“Kalian dengar saya, kan?” Laki-laki itu berucap lagi saat tidak ada satupun dari kamu yang mengidahkan entah itu permintaan atau perintahnya.
“Saya akan tetap disini,” ucapku tegas, tentu tanpa memandang orang itu. “Entah saya mendapat izin atau tidak, saya akan tetap ada disini, bersama Jevan, menjaga Jevan.”
“Come on, saya papanya. Saya ada disini dan saya juga yang dia butuhkan.”
Decihan tidak hanya terdengar dari bibirku saat Pak Alex mengucpkan kalimat itu tanpa rasa malu sama sekali. Seolah bukan dialah orang yang mengirim Jevan ke ruangan ini.
“Justru karena ada Bapak disini, saya semakin punya alasan untuk menjaga Jevan. Saya tidak akan menitipkan seekor kelinci yang terluka pada seekor harimau yang lapar.”
Entah bagaimana raut wajah Pak Alex mendengar ucapan lancangku, aku sungguh tidak perduli. Keadaan Jevan yang belum juga sadarkan diri bahkan setelah serangkaian perawatan mengambil alih hampir seluruh fokusku.
“Kalau kamu tidak juga mau keluar...”
“Saya rasa memang Om Alex yang harus pergi dari sini.”
Suara Juan tidak keras, tapi penekanannya cukup untuk membuat Pak Alex diam. Ketika aku melirik untuk melihat ekspresi ayah kandung Jevan itu, aku bisa melihat wajah Pak Alex mengeras. Tatapan matannya tajam terarah pada Juan yang juga menatapnya nyalang. Aku belum pernah melihat Juan seperti ini sebelumnya. Kawan Jevan yang paling mungil itu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan untuk berada di hadapan Pak Alex.
“Om mungkin tahu seberapa besar kami menghormati Om karena selama ini Om Alex baik pada kami, tapi untuk hari ini saja, saya mohon izinkan saya mengusir Om Alex dari sini.” Tidak ada nada takut dalam suara Juan. Matanya pun bahkan tidak berkedip. “Yang Jevan sekarang butuhkan itu Kak Adzkiya, bukan Om.”
“Juan...”
“Butuh berapa lama lagi ya, Om, suapaya Om Alex bisa paham kalau apa yang Om lakukan selama ini bisa membahayakan nyawa Jevan? Butuh berapa banyak lagi tulang yang patah sampai Om bisa paham kalau apa yang Om lakukan ini salah?!” Juan membentak Alexander dengan suaranya yanga lantang. Dari tempatku duduk, aku bisa merasakan kemarahan terpendam yang sudah Juan pendam entah sejak kapan.
“Wan...” Markio berusaha menengahi.
“Om selalu ninggalin Jevan setelah puas mukulin dia, tapi Om gak pernah tau seberapa susah anak Om itu buat ngobatin luka-lukanya! Om gak pernah ada di sana! Om gak pernah tau kalau Jaenan dan Raechan harus ganti-gantian gendong Jevan di punggungnya karena Jevan gak kuat lagi untuk jalan karena kakinya hampir Om patahin! Om gak pernah tau seberapa sering Kak Kiyo ngecek kotak p3k di mobilnya supaya dia bisa selalu standby untuk kasih pertolongan pertama ke luka-luka Jevan. Om gak pernah tau seberapa susah buat Kak Aya, Ica dan Elen belajar masak pakai resep yang ditinggalin Mamanya Jevan supaya Jevan mau makan lagi setelah rahangnya Om buat bengkok! Om gak pernah tau, kan? Karena Om selalu ninggalin dia tanpa pernah tau gimana cara dia keluar dari semua rasa sakitnya!”
Setelah mengutarakan semua amarahnya, Juan menjatuhkan kedua lututnya di lantai kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Sambil mendongak, Juan berkata lirih, “Karena itu, saya mohon, Om Alex pergi dari sini. Biarin Jevan istirahat. Anak Om itu hampir mati.”
Air mata membanjiri pipi Juan yang memerah karena amarahnya belum tuntas. Masih sambil mendongak, dia menatap Pak Alex yang memandangnya dingin.
“Saya mohon, Om, kali ini aja, kali ini aja Om bersikap selayaknya seorang ayah.”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Pak Alex meninggalkan ruangan. Membuat Juan menghembuskan nafas lega dan terduduk memeluk kedua lututnya. Laki-laki itu, kawan baik Jevan itu menenggelamkan wajahnya pada kedua lututnya. Isak tangis terdengar setelah itu. Tubuh Juan bergetar hebat saat Raechan mendekat padanya yang menepuk bahunya pelan.
Sungguh, aku tidak akan lupa bagaimana tangis Juan hari itu. Tangis yang terdengar paling pilu, bahkan lebih pilu dari tangisku.
Jika kalian mengira aku adalah orang yang paling terpukul atas kejadian ini, maaf, kalian salah.
Juan, Juan adalah orang yang paling menderita akibat semua luka yang tergores jelas di sekujur tubuh Jevan. Karena dia lah yang pertama kali menemukan Jevan terkapar tidak berdaya di depan mobilnya yang terparkir di basement apartemen. Juan yang langsung berlari untuk menemui petugas keamanan apartemen dan meminta rekaman CCTV. Juan pula orang pertama yang menyaksikan bahwa ada lebih dari sepuluh orang keluar dari mobil dengan logo Novanda Group dan memukuli Jevan dengan berbagai jenis benda tumpul yang bahkan tidak sanggup dia sebutkan.
Tuhan, aku tahu engkau menyayangi Jevander. Tapi izinkan dia bersama kami lebih lama dari ini
Entah Tuhan akan mendengar doaku atau tidak.