John Medical

Pagi di Ayu Laga selalu sama. Kabut, udara dingin, suara gemercik dari air terjun nun jauh di perbukitan. Semuanya selalu sama. Orang-orang di Ayu Laga terbiasa memulai kegiatan mereka pada pukul sembilan pagi, saat kabut mulai menipis dan udara dingin perlahan digerus sinar hangat mentari. Di antara pertengkaran udara dingin dan hangat mentari itu, aku berjalan di atas rerumputan basah dengan berjalan kaki, menuju satu-satunya rumah sakit di kota tempatku tinggal ini. Di tangan kiriku, aku menenteng keranjang rotan berisi beberapa tangkai bunga segar yang aku ambil dari florist. Sementara di tangan kiriku aku membawa sebuah paper bag berukuran cukup besar yang berisi makanan dan beberapa buah-buahan potong siap makan, yang sengaja aku siapkan untuk Klarisa dan Juan. Tiga orang petugas kebersihan menyambut kedatanganku dengan senyum. Mereka tidak lagi menanyakan tujuan kedatanganku karena mereka telah terbiasa melihat aku berkeliaran di John Medical sepagi ini— seringnya untuk mengantar pesanan bunga. Setelah membalas senyum ketiganya, aku berlalu membelah koridor rumah sakit yang lengang. Menuju sebuah ruangan dimana aku akan menghabiskan sisa hariku.

“Pagi, Sayang.” Aku menyapa Jevan yang masih terbaring tanpa daya di atas ranjang. Matanya masih menutup rapat seakan enggan menatap dunia yang telah berlaku begitu keji padanya.

Kuletakkan beberapa tangkai bunga yang aku bawa ke atas nakas, tepat di sebelah ranjang Jevan. Aku kemudian duduk di kursi yang setia berada di sisi ranjang. “Aku bawa bunga buat kamu, tapi karena kamu gak pernah tau bunga kesukaan kamu apa, jadi aku bawain aja bunga kesukaan mama kamu.”

Aku bermonolog lagi, menceritakan tentang bagaimana dia bisa sampai disini. Aku ceritakan padanya bahwa Markio sempat kebingungan untuk meyakinkan pihak Lagom Hospital akan mengizinkannya memindahkan Jevan ke rumah sakit yang dianggap kecil ini. Aku ceritakan bahwa Jaenandra dan Raechan sempat kembali menangis ketika mereka harus kembali ke Jakarta dan meninggalkan Jevan disini.

“Kamu harus liat semerah apa mata Raechan, Van. Temen kamu itu, yang kamu bilang temen yang bangsatnya sama kaya kamu, dia nangis di pelukan Kayana.” Aku berbicara sembari menciumi tangannya yang pucat. “Oh iya, kemarin Gio juga ikut kesini. Dia manggilin nama kamu terus. Om Pan, Om Pan, gitu.”

Mata Jevan memang tertutup, tapi aku meyakinkan diriku bahwa Jevan pasti bisa mendengarku. Aku yakin sekali bahwa dalam keadaan lemahnya ini, orang yang begitu aku sayangi ini tengah berjuang untuk hidupnya. Aku mendongak saat aku merasakan dorongan panas memenuhi mataku yang sepertinya mulai memerah. Kutahan mati-matian air mata sialan itu agar tidak kembali menggenang. Sudah cukup, sudah cukup Jevan mendengar tangisanku.

“Van, waktu itu kamu bilang kan, kamu takut kalau weekend ini gak bisa ke Ayu Laga? But look where you are now, kamu udah di Ayu Laga, padahal ini masih weekday.” Aku memaksakan tawa, berusaha mengalahkan suara mesin menyebalkan yang selalu mengingatkanku tentang betapa parahnya keadaan Jevan. “Laras nanti katanya mau kesini, dia mau marahin kamu karena gak masuk kantor.”

Kutatap wajah Jevan yang masih penuh luka— meskipun beberapa mulai mengering. Aku menyentuh luka-luka itu sambil terus memohon pada Tuhan agar Ia berbaik hati untuk memberi Jevan lebih banyak waktu untuk bersamaku. Saat kusentuh pipinya yang pucat, aku teringat bahwa kedua pipi itu sering menjadi sasaranku ketika Jevan sedang bersikap menyebalkan. Biasanya, aku akan menggigit kedua pipi menggemaskan itu kala Jevan terus menggangguku dengan keisengannya yang seakan tidak ada habisnya. Tanganku turun, menyentuh bahunya yang bidang, tempat aku biasanya mendaratkan kecupan-kecupanku saat dia usai mandi— karena di sanalah Jevan menyimpan aroma terbaiknya.

Menyakitkan, segalanya terasa menyakitkan saat aku tidak lagi bisa melakukan apa yang selalu kami lakukan seperti hari-hari lalu. Aku rindu Jevan, aku rindu Jevanku. Aku rindu dia yang selalu mengirimkan foto-foto dirinya setiap pagi atau kapanpun saat dia mau. Aku rindu dia yang selalu menelfonku tanpa henti saat aku tidak kunjung membalas pesannya.

Sekarang kenapa Jevanku jadi seperti ini? Jangankan untuk mengangguku, menggerakkan tangannya saja dia tidak mampu. Jevanku baik-baik saja tiga malam lalu. Kenapa bajingan-bajingan itu merenggut Jevanku dengan cara seperti ini?

“Van, mau sampai kapan tidurnya?” tanyaku pelan, tentu saja tidak akan mendapat jawaban. Tapi aku ingin bertanya saja. Barangkali dengan begitu, Tuhan akan iba.

Tanpa aku sadari, air mata yang sudah aku tahan mati-matian tetap luruh juga. Membasahi kedua pipiku yang semakin kurus karena belum ada sebutir nasipun yang masuk ke perutku sejak detik pertama aku mengetahui keadaan Jevan.

Van, aku nangis, loh. Kamu gak mau usap air mata aku? Katanya kamu benci liat aku nangis, sekarang kok diem aja? Ayo, Van, gerakin tangan kamu, usap air mata aku.

Batinku menjerit-jerit mengulang kalimat itu. Meskipun di ruangan ini tetap sunyi karena tenggorokanku terlalu sakit, akibat terlalu banyak menangis, untuk bisa kuajak bekerjasana mengeluarkan suara.

Suara ketukan pintu membuat aku buru-buru mengusap air mata dan memaksakan senyum. Menyambut Klarisa dan Juan yang masuk ke ruangan diikuti Garend dan Juwan di belakang mereka.

“Pagi, Kak.” Klarisa berjalan ke arahku dan memelukku singkat kemudian meletakkan sebuah speaker kecil di atas nakas.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Terapi musik untuk Jevan, Ki.” Garend menyambar pertanyaanku. “Mudah-mudahan setelah ini ada perkembangan baik, kita tunggu sama-sama, ya?”

Aku hanya mengangguk. Terlalu lemah untuk berkata lebih banyak.

“Aku udah nambahin lagu kesukaan Jevan kalau lagi kumpul sama kita-kita di playlist ini, Kak Kiya tolong tambahin lagu-lagu yang sering Kak Kiya dengerin waktu lagi sama Jevan juga, ya.”

Hanya perlu sepersekian detik bagiku untuk menambahkan satu lagu yang selalu aku dengarkan bersama Jevan. Lagu yang Jevan bilang adalah penggambaran aku dan dia. Lagu yang seakan mewakili kami.

Rewrite The Stars milik Zac Efron dan Zendaya.

Lagu tentang keyakinan Jevan akan hubungan kami dan tentang keyakinanku yang terhalang realita untuk bersamanya. Jevan selalu meneriakkan lirik So who can stop me if I decide that you are my destiny? Dan aku akan membalasnya dengan meneriakkan lirik But there are mountains and there are doors that we can't walk through. Penggambaran yang sempurna, bukan?

Air mata menghalangi pandanganku lagi. Tanganku gemetar kala mengembalikkan ponsel Klarisa kepada pemiliknya. Dayaku tidak ada, kekuatanku lenyap. Aku butuh Jevan. Aku butuh dekapannya yang senantiasa melengkapi aku. Aku butuh kalimatnya yang selalu menenangkan. Aku butuh segalanya tentang Jevan, Jevanku.