Piggyback
Masih sama dengan akhir pekan di puluhan hari yang lalu, aku masih terus membelah jalanan ini mulai pukul empat sore. Aku bahkan sampai hafal brosur apa yang tertempel pada tiang jalan di kilometer 74 atau jenis bunga apa yang ada di pinggir jalan kilometer 120. Rutinitasku juga selalu sama, berhenti di area peristirahatan pada kilometer terakhir sebelum gerbang keluar TOL. Aku akan memesan satu cup ice americano untuk menemani sisa perjalananku. Jika keadaan sedang baik, aku bisa menikmati keindahan pemandangan surya yang tergelincir di sisi barat bumi saat aku sudah masuk ke area Ayu Laga, namun jika keadaan sedang gila di jalanan kota, aku biasanya menikmatinya saat baru saja tiba di pintu masuk TOL. Khusus hari ini, aku tidak bisa menikmati momen indah itu karena hujan mengguyur sejak siang tadi.
Mobilku berbelok ke jalanan utama Ayu Laga setelah keluar dari gerbang TOL. Dari perempatan utama, aku bisa melihat Kiya Florist yang di dalamnya berisi seorang gadis yang tampak sibuk menata bunga ke dalam lemari penyimapan. Senyumku mengembang, aku bahkan mengikuti irama dari musik yang sejak tadi hanya aku gunakan sebagai pembunuh keheningan. Perasaan senang ini selalu muncul kala figure gadis cantik itu bisa aku tangkap dengan indra pengelihatanku. Kupacu mobilku menuju toko bunga itu dengan segera, kuparkirkan tepat di depannya dan aku turun untuk menyapa dua orang yang menunggui gadis itu sejak tadi.
“Aman, Pak?” sapaku pada salah seorang dari mereka yang langsung mengangguk sopan saat melihat kehadiranku.
“Aman, Pak Jevan,” jawabnya sembari menjabat tanganku yang kuulurkan. “Mbak Kiya sepertinya sebentar lagi akan pulang.”
“Iya, nanti biar Kiya pulang sama saya aja. Pak Anton bisa begabung sama Pak Erick aja di sekitar rumah Kiya.”
Kedua bodyguard yang aku sewa untuk menjaga kekasihku itu langsung mengangguk paham. Mereka membungkuk hormat sekali lagi kemudian hendak beranjak untuk masuk ke mobil.
“Pak Anton, sebentar,” cegahku. “Ini... tolong bawa mobil saya, ya? Saya jalan kaki aja sama Kiya.” Aku menyerahkan kunci mobilku pada mereka yang tampak ragu untuk menerimanya. Aku bisa melihat mereka berdua saling sikut untuk menerima kunci mobilku.
“Mas... Masa Pak Jevan jalan, kami naik mobil sih, Pak? Kami ikut jalan aja sama Bapak, ya?”
Aku terkekeh pelan dan maju selangkah untuk mendekati Pak Anton. Kutepuk pundaknya pelan dan kuletakkan kunci mobilku di saku dada jas yang dikenakannya. “Udah gak papa, saya butuh waktu ngobrol sama Adzkiya. Dan ini...” Aku memasukkan sesuatu yang lain lagi pada saku jas yang sama— sebuah kartu berwarna hitam. “Ini, nanti sebelum kumpul sama Pak Erick, tolong beli makanan yang bisa kalian makan bersama, ya? Terserah Pak Anton mau beli apa, bebas. Asal jangan mabuk,” gurauku.
Butuh beberapa waktu sampai aku berhasil meyakinkan Pak Anton dan seorang rekannya untuk pergi. Mereka terus mengatakan bahwa sudah tugas mereka mengawal dan melindungi Adzkiya, tapi aku yakinkan bahwa ketika ada aku, mereka bisa sedikit bersantai. Mendengar itu, Pak Anton akhirnya meninggalkan area parkir Kiya Florist, menyisakan aku yang langsung masuk ke dalam toko bunga milik kekasihku.
Sebuah pelukan hangat langsung aku berikan pada gadis yang tampak cantik dalam balutan gaun berwarna biru yang dipadukan dengan sweater rajut dengan warna senada itu. Tanganku melingakari pinggangnya dari belakang, kuletakkan daguku pada bahunya setelah mencium bau rambutnya yang seharum bunga. Adzkiya tidak merasa terkejut sama sekali karena tadi dia sudah melihat aku berbicara di luar.
“Kenapa mobilnya dibawa Pak Anton?” tanyanya.
“Aku mau jalan aja sama kamu.”
Mataku tertutup rapat menikmati elusan yang Adzkiya berikan pada lenganku yang masih setia melingkari pinggangnya. Urat-urat pada tubuhnku seakan langsung mengendur santai kala elusan itu makin lama makin terasa meneduhkan jiwaku yang sedang kacau. Para pujangga itu benar, ketika menemukan orang yang tepat, jantungmu tidak lagi bergedup cepat, mereka justru setenang aliran sungai.
“Kamu gak capek emang? Baru pulang kerja, langsung nyetir kesini, sekarang malah mau jalan lagi ke rumah akunya.”
“Kalau capek nanti minta pijitin kamu lah,” jawabku asal.
Elusan pada lenganku kini berubah pukulan pelan.
“Iya, iya, bercanda. Sensi banget, hamil kamu ya?”
“Ngaco.”
Aku tidak menjawab lagi, kubiarkan keheningan mengisi ruang di antara kami berdua. Adzkiya kembali sibuk dengan bunga-bunganya di lemari penyimpanan sementara aku sibuk menurunkan sweater rajut yang dia kenakan. Adzkiya selalu mengenakan outer ketika gaun yang dia kenakan adalah jenis gaun tanpa lengan, itu juga yang menjadi tujuanku ketika menurunkan sweater rajut yang dia kenakan— agar aku bisa menciumi bahunya yang tetap harum bahkan berjam-jam setelah dia mandi. Aku menyukai bagaimana sensasi ketika bibir atau hidungku bersentuhan dengan kulitnya yang selembut sutra. Ditambah lagi area bahu dan leher Adzkiya adalah bagian tubuh yang menyimpan aroma terbaik. Adzkiya tidak nampak risih sama sekali kala aku mendaratkan kecupan-kecupan kecil pada bahunya, dia hanya sesekali terkekeh karena merasa kegelian.
“Aku harap kamu gak lupa kita lagi di florist ya, Jevan.” Adzkiya memperingatiku ketika tanpa sadar bibirku telah mendarat begitu saja pada sisi lehernya, nyaris meninggalkan jejak disana.
“Let's go home, then.” Aku membenarkan posisi sweater rajut Adzkiya, menunggunya selesai dengan urusannya dan mengajaknya berjalan menjauh dari Kiya Florist setelah mematikan lampu dan mengunci pintu toko.
Kami berdua berjalan menyusuri jalanan berbatu yang membelah puluhan hektar kebun teh, sambil bergandengan tangan tentu saja. Sebuah hal yang selalu aku inginkan tapi baru kali ini bisa aku wujudkan. Dulu, sebelum hubungan kami akhirnya diketahui semua orang, Adzkiya selalu menolak tiap kali aku ingin berjalan bersamanya di kota kecil ini. Dia selalu takut ada yang melihat kami. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang perlu kami takutkan, kecuali Papa.
Papa yang membuat malamku kembali susah tidur. Papa yang membuat pikiranku berkelana memikirkan keselamatan gadisku dan kawan-kawanku bahkan ketika aku ada di tengah rapat penting. Papa yang membuat aku tidak nafsu makan bahkan ketika perutku melilit menuntut makanan masuk.
Jalan berbatu yang selalu dihina Juan sebagai jalanan setan ini masih jauh lebih baik dari pada perjalananku dengan Adzkiya yang terkesan ditaburi ribuan duri tajam. Jalanan itu membuat kakiku juga kaki Adzkiya luka-luka dan berdarah-darah. Jalanan itu membuatku takut bahwa salah satu dari kami pada akhirnya enggan melanjutkan perjalanan dan menyerah.
“Kita sampai kapan ya, Van, kayak gini?”
Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya. “Kamu takut ya?”
“Aku nggak takut sama Papa kamu, tapi aku takut kamu kepikiran masalah ini sampai sakit.”
Jalanan Ayu Laga tidak memiliki penerangan hingga aku tidak bisa memeriksa ekspresi wajah Adzkiya saat itu. Tapi dari suaranya, aku bisa menangkap kekhawatiran yang kentara.
“Aku pernah ngadepin Papa yang gak izinin aku untuk main musik, aku berkali-kali dipukulin karena ngeyel main musik diem-diem, so this isn't my first time Jangan khawatir.” Aku memaksakan senyum meskipun sepertinya Adzkiya juga tidak bisa membaca raut mukaku sebagaimana aku gagal membaca raut wajahnya.
“Aku capek, Van.”
Otot-otot yang tadi sempat mengendur kembali menegang. Manik mataku bergerak-gerak gelisah. Ucapan Adzkiya selayaknya petir yang terdengar menakutkan di tengah tenangnya malam. Buru-buru aku menghentikan langkah dan memegang kedua bahunya agar dia menatapku. Kini, dengan sedikit cahaya dari bulan dan bintang-bintang yang menyaksikan kami dari atas sana, aku bisa melihat wajah Adzkiya yang terlihat letih.
“Kamu beneran capek?” tanyaku memastikan, seolah tidak percaya kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir ranumnya.
“Iya, aku capek, Van. Aku capek.” Adzkiya menjawab dengan yakin.
Keyakinan dalam suaranya seakan meruntuhkan segala kepercayaan diriku untuk menghadapi Papa. Sekarang aku harus apa jika gadis yang aku perjuangkan malah menyerah seperti ini?
“Ki, liat aku, jangan capek dulu ya? Aku mohon. Aku tau semua ini berat, tapi aku ada untuk kamu. Kita yakinin Papa aku bareng-bareng ya...”
Ucapanku tidak selesai karena Adzkiya lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibirku. Kecupan itu tidak berlangsung lama, bahkan kurang dari satu menit. Setelahnya, sebelah tangan Adzkiya menunjuk area desa Ayu Laga dan dia berkata lirih, “Aku capek harus jalan kesana, Van. Kaki aku pegel.”
Sungguh, saat itu aku seakan ditertawakan semesta. Bahkan bulan yang tadi menyinari kami dengan cahayanya langsung bersembunyi di balik awan karena aku rasa dia tidak sanggup menahan tawanya. Suara katak dan jangkring bersahut-sahutan seolah menggunjing kebodohanku.
Sial.
Tidak bisakah mereka memahamiku yang begitu ketakutan akan satu kata capek ini?
Aku tersenyum lagi pada Adzkiya yang menatapku dengan tatapan mengiba. “Aku gendong mau?”
Raut wajah Adzkiya langsung kembali sumringah. Gadis yang tadi mengadu sudah lelah itu bahkan meloncat-loncat pelan sembari meunggu aku melepaskan jas dan berjongkok di depannya.
“Naik,” pintaku yang langsung diturutinya. Aku mengangkat tubuh Adzkiya di punggungku. Membawanya kembali menjelajahi jalanan berbatu di Ayu Laga.
Ya, begini saja, Ki. Bahkan jika kamu lelah akan perjalanan ini, aku bisa menggendongmu. Asal kamu tidak menyerah akan kita. Karena jika tidak dengan kamu, aku tidak mau dengan siapa-siapa lagi bisikku pada diriku sendiri malam itu.