Lemon Tea
Ayu Laga.
Dulu, saat Garend baru kembali ke kota kecil ini, dia pernah bilang pada orang-orang yang ditemuinya bahwa Ayu Laga tidak berubah sama sekali. Padahal waktu itu, butuh lebih dari dua tahun bagi Garend untuk punya keberanian kembali kesini. Saat itu, Jevan tidak mengerti kenapa Garend takut sekali untuk kembali.
Tapi sekarang, dia mengerti ketakutan itu. Ternyata, bukan kota ini yang membuat Garend takut. Ternyata, apa yang ada di kota ini lah yang membuat kakak dari sahabatnya itu takut. Ayu Laga selalu memeluk seluruh kenangan, baik maupun buruk. Lantas tanpa segan meletupkannya kembali ke udara saat si empunya kenangan kembali memasuki kawasan ini. Setiap sudut Ayu Laga seakan membisikkan kenangan apa yang tersimpan di dalamnya. Menyeret si empunya kenangan untuk masuk pada lubang dalam kenangan dan terpenjara pada masa lalu.
Hal itu lah yang membuat Jevan juga merasa begitu takut untuk kembali menyapa kedamaian yang Ayu Laga selalu tawarkan.
“Lo ngapain sih, Jev, merem begitu? Aneh deh lo.” Jaenandra berkomentar setelah mendapati kawan baiknya tengah menutup kedua matanya dengan lengan.
Jevan mengabaikan pertanyaan Jaenandra. Bibirnya yang pucat terus bergumam lirih mengikuti irama lagu. Laki-laki itu berusaha mendistraksi dirinya sendiri sejak mulai memasuki gerbang Ayu Laga. Jevan mendengarkan lagu kencang-kencang karena dia tidak menginginkan kenangan-kenangan yang Ayu Laga teriakkan padanya menambah luka pada hatinya yang sudah penuh luka gores. Jevan menutup kedua matanya, karena sebisa mungkin, dia tidak ingin melihat setiap sudut Ayu Laga yang seakan siap memutar kenangan miliknya dan si gadis cantik yang tinggal di kota ini. Pagi tadi, Jevan bahkan harus memohon-mohon pada Jaenandra melalui panggilan telepon, agar Jaenandra mau memberinya tumpangan untuk sampai ke Ayu Laga. Jevan tahu benar, bahwa mengendarai mobilnya sendiri dan mengarahkannya ke Ayu Laga hanya akan membawa kembali kebiasaan lama yang selalu dia lakukan.
Jevan benar-benar serius dalam mendistraksi dirinya guna mempersiapkan acting terbaik untuk berhadapan dengan Adzkiya nanti. Jevan tahu benar bahwa ketika ada Adzkiya di hadapannya, dia tidak akan semudah itu menguasai diri dan melanjutkan skenario yang telah dia buat. Karena itu, tidak akan dibiarkannya kenangan indahnya bersama Adzkiya di kota ini mengambil alih logikanya.
“Udah sampe, lo mau turun sambil tetep merem?” Jaenandra bertanya sambil melepas seat belt. Lantas laki-laki itu turun terlebih dahulu dan membuka bagasi mobil, mengeluarkan beberapa bingkisan dan juga travel bag berwarna hitam.
“Ya gak lah!” Jevan menyusul, ikut mengambil travel bag miliknya. “Kiya udah di dalem belum ya?”
“Tuh ada mobil Kak Lucia, berarti udah ada.”
“Kiya, maaf ya.” Jevan bersiap-siap dengan menghembuskan nafasnya, menarik seluruh sisi kejam dalam dirinya untuk menghadapi Adzkiya.
Ketika mereka masuk, keadaan rumah Garend sudah mulai ramai. Di ruang tamu, mereka bertemu dengan Joni dan Tendra yang tengah mengobrol. Di ruang tengah, mereka disambut Tama— Ayah Garend dan Klarisa—serta kedua orang tua Vivian. Setelah bersalaman dan berbasa-basi, mereka berdua menuju halaman belakang, tempat dimana acara syukuran akan diadakan.
“Sayang.” Klarisa menyambut suaminya dengan tangan terbuka. Mereka berdua berpelukan, Jaenan juga memberikan kecupan kecil di pelipis Klarisa.
Setelah selesai, Klarisa memeluk Jevan sekilas dan berbisik lirih. “Kak Kiya di dalem kamar Kak Vivian. Lagi gendong Artha.”
Jevan hanya mengangguk sebagai jawaban. Laki-laki itu lantas duduk di salah satu kursi dan mengeluarkan rokok. Selang beberapa menit, Jaenandra ikut duduk bersamanya setelah menyapa Garend dan Vivian di kamar—Jevan sengaja tidak ikut ke kamar Vivian karena dia belum siap bertemu dengan Adzkiya. Mereka lalu mengobrol tentang banyak hal untuk membunuh waktu.
Menjelang sore, lampu-lampu taman dinyalakan. Menyajikan taman yang temaram di bawah teduhnya langit Ayu Laga. Angin mulai berhembus mesra, membawa hawa dingin dari perbukitan. Ketika itu, nampak Adzkiya berjalan keluar dari dapur menuju taman. Sisa-sisa sinar matahari yang nyaris orange menyinari parasnya yang ayu. Rambut Adzkiya yang dibiarkan tergerai, tersibak angin sore. Langkah kaki yang diambil dengan anggun membuat Adzkiya menjadi satu-satunya objek yang menarik atensi Jevan tanpa disadari.
Gadis itu mengenakan kaus putih polos yang dipadukan dengan rok selutut berwarna light blue. Kakinya dibungkus sepatu kets berwarna senada dengan kaus yang dikenakan. Adzkiya memoles sedikit wajahnya dengan riasan hingga terlihat segar dan cantik. Tubuhnya memang sedikit kurus dari terakhir kali Jevan lihat, tapi tetap tidak mengurangi daya tarik Adzkiya yang memang kuat. Di belakangnya, Erick menyusul. Mereka lalu tampak mengobrol sambil menuju sebuah meja tempat seluruh makanan disajikan.
“Akrab banget,” komentar Jaenandra merujuk pada Adzkiya dan Erick. “Mana Kak Kiya cakep banget lagi. Lo gak pengen kesana dan meluk dia?”
Sungguh, Jevan ingin sekali menyumpal mulut Jaenandra saat ini.
“Btw, kemarin perasaan Pak Erick rambutnya gondrong deh. Kok sekarang jadi cepak rapi gitu? Jangan-jangan dia tau lagi kalau Kak Kiya sukanya cowok yang rambutnya rapi, makanya dia potong rambut.”
Masih lekat di ingatan Jevan tentang fakta yang baru diutarakan Jaenandra itu. Ya, Adzkiya tidak menyukai pria berambut panjang. Maka dulu, saat masih bersamanya, Adzkiya akan mengelus pelan rambut Jevan yang sudah memanjang dan merayunya agar mau memangkas rambut panjangnya itu. Elusan lembut yang Adzkiya berikan bahkan masih bisa Jevan rasakan di tiap helai rambutnya. Jevan merindukan elusan itu, juga elusan yang selalu Adzkiya berikan pada lengannya. Jevan rindu semunya. Jevan rindu Adzkiya.
“Eh, eh, liat tuh Pak Erick ngelepas jaketnya terus dipakein ke Kak Kiya.” Jaenandra berucap pelan namun menggebu. Dipukulnya paha Jevan agar mengikuti arah pandangannya.
Karena kesal, Jevan dengan sengaja menghembuskan asap rokok ke arah wajah Jaenandra dan membuat laki-laki itu terbatuk.
“Anjing lo.”
“Diem makanya.” Jevan menggertak. “Gue mau ke dalem deh, mau nengokin anak Bang Garend.”
Lantas Jevan menekan putung rokoknya ke asbak agar apinya padam lalu membuangnya. Saat Jevan berdiri, Jaenandra dengan cepat menahannya. “Lo abis ngerokok, Nyet. Jangan dulu. Udah sini aja dulu deh, liatin Kak Kiya sama Pak Erick.”
Benar juga, nikotin pasti menempel di pakaiannya. Jevan tidak ingin si kecil Caka dan Artha yang belum dia lihat wujudnya itu terkena efek buruk dari kebiasaan merokoknya.
Jevan kembali duduk, membuang pandangannya ke arah lain. “Duduk disininya sih gak papa ya, Jaen. Tapi kalau liatin merekanya gak deh, makasih.”
Jaenandra terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Jevan yang merunduk. Kemarin, mereka baru saja berdebat mengenai sikap Jevan yang tetap pada pendiriannya untuk pura-pura lupa akan Adzkiya. Tapi hari ini, kawannya itu tampak seperti ingin sekali menarik kerah kaus yang Erick kenakan dan menjauhkannya sejauh-jauhnya dari Adzkiya.
“Pak Jevan!” Suara Erick terdengar diiringi suara langkah kaki yang mendekat ke arah Jevan dan Jaenandra duduk.
Oke, ini akan jadi lebih buruk, batin Jaenandra.
Jevan memaksakan senyum menyambut uluran tangan Erick. Padahal, saat ini dia ingin sekali mengumpati laki-laki yang dengan lancang membawa Adzkiya bersamanya itu.
“Pak Jevan apa kabar? Sudah membaik?”
Jevan mengangguk masih sambil tersenyum. “Yah begini saja, Pak. Ngomong-ngomong, Pak Erick kenal Kak Adzkiya?”
Erick tampak kikuk, dia melirik pada Adzkiya dan merasa tidak enak. “Yaaa... Kami kenal. Waktu saya diminta Mas Jaenandra untuk menjaga kamar rawat Pak Jevan, saya beberapa kali bertemu dengan Mbak Kiya yang sedang mengantar bunga di John Medical.”
Jaenandra membuang muka, berusaha menyembunyikan senyum. Dia bahkan tidak tahu lagi sekarang siapa yang sedang berpura-pura. Entah itu Jevan yang tahu ini semua adalah bohong. Entah itu Pak Erick yang harus mengada-ada tentang bagaimana dia mengenal Adzkiya— karena setahunya, Jevan benar-benar lupa bahwa Jevan lah yang membuatnya mengenal Adzkiya. Atau justru Adzkiya yang hanya menatap keduanya dengan tatapan datar. Semua orang di tempat ini larut dalam kebohongan yang mereka buat masing-masing.
“Permisi, ingin minum?” Seorang pelayan menginterupsi mereka semua. Menawarkan beberapa jenis minuman yang dibawa di atas nampan.
Erick mengambil dua gelas minuman, yang satu adalah cairan berwarna merah yang ducampur buah-buahan— mocktail lalu satu gelas lain adalah lemon tea. Lantas dengan maksud baik, Erick menawarkan lemon tea yang diambilnya pada Adzkiya.
Gadis itu nampak ragu beberapa saat, lalu saat Adzkiya sudah hampir menyentuh gelasnya, Jevan berkata pelan, “Kak Kiya gak suka lemon tea, Pak Erick.”
Jaenandra bingung, Erick dan Jevan saling tatap, sementara Adzkiya menatap Jevan dengan sebelah bibir terangakat. Sebuah senyum yang penuh arti.
Hanya ada lima orang yang tahu tentang Adzkiya yang tidak pernah menyukai lemon tea. Sagara, Garend, Klarisa, Lucia dan... Jevan.