The Truth Untold
Saat kecil dulu, ketika ditanya oleh Ibu Panti, hal apa yang paling aku takuti, aku akan menjawab dengan lantang bahwa hal yang paling aku takuti adalah hantu. Hantu apa saja, hantu yang mungkin saja ada di belakangku saat aku berjalan di lorong gedung tua panti asuhan tempatku tinggal, atau bisa saja jenis hantu yang merangkak keluar dari kolong ranjangku dengan mata melotot. Lalu, saat akhirnya aku berangsur-angsur tumbuh dewasa, aku menyadari bahwa ada banyak sekali hal yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu itu. Saat aku dewasa, aku mulai sadar bahwa aku lebih takut ditinggalkan oleh orang yang berarti dalam hidupku dari pada berpapasan dengan hantu koridor. Aku juga sadar bahwa lebih menakutkan untuk dilupakan oleh orang yang aku cintai daripada mendapati ada hantu di kolong ranjangku.
Dan benar saja, tubuhku sekarang gemetar. Seluruh bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Keringat deras mengaliri kening hingga jatuh membentur lantai menimbulkan bunyi yang terasa nyaring di telingaku yang tidak berfungsi. Aku takut. Aku ketakutan. Ponsel di tangan kananku masih menyala, menampilkan pesan dari Klarisa yang masuk beberapa menit lalu.
“Kak, Jevan sadar. Tapi waktu aku bilang mau telfon Kak Kiya, dia nahan aku dan bilang ngapain lo telfon Kak Kiya? Harusnya lo telfon Elen, Ca. Setelah dicek sama Kak Garend, ternyata Jevan kena Amnesia Retrograde dimana beberapa ingatannya hilang. Jevan gak inget kalau Kak Kiya sekarang pacar dia, dia gak inget aku sama Jaenan udah nikah, dia bahkan gak tau siapa Gio. Aku gak tau harus gimana, aku ngabarin Kak Kiya supaya nanti waktu Kak Kiya kesini, Kakak gak kaget liat keadaan Jevan.”
Aku takut. Sekali lagi aku bilang, aku takut. Harus apa aku sekarang? Pergi ke rumah sakit untuk melihat sendiri keadaan Jevan dan membuktikan perkataan Klarisa? Atau sebaiknya aku diam saja di rumah agar terhindar dari sakit hati jikalau yang dikatakan Klarisa adalah benar? Otak dan batinku berperang, argumen ini dan itu berkemelut di otakku. Lalu akhirnya, batinku menang. Aku memutuskan untuk berlari ke John Medical tanpa memperdulikan bahwa sebelah sepatuku terlepas dan entah tertinggal dimana, menyebabkan aku berjalan tertatih-tatih menuju ruang rawat Jevan dengan keadaan kaki yang terluka akibat bergesekan dengan rerumputan dan mungkin saja ilalang tajam.
Ketika aku masuk ke ruangan berbau obat pekat itu, tidak ada sapaan ramah sama sekali. Semua orang menunduk dalam-dalam, seakan enggan membanjiri aku dengan tatapan kasihan. Mengabaikan itu semua, kupaksakan kakiku yang pincang berjalan terus ke dalam, mendekat pada ranjang dan menatap Jevan yang menatapku bingung. Kami bersirobok pandang selama beberapa detik. Bibirku terkunci rapat. Hatiku menjerit memohon agar Jevan menyambutku selayaknya ia yang biasanya. Aku berdoa pada Tuhan bahwa apa yang dikatakan Klarisa adalah gurauan semata. Namu sial, bahkan setelah sekain detik terbuang tanpa arti, wajah Jevan tetap datar saat menatapku. Bibirnya yang pucat itu hanya berkata lirih, “Kok Kak Adzkiya tau gue dirawat? Dikasih tau Bang Garend, ya?”
Lucu. Lucu sekali. Semesta dan takdir tidak pernah kehabisan akal untuk bercanda denganku. Rasanya, tidak ada habisnya guraun yang terus takdir lontarkan pada aku yang sudah seperti raga kosong tanpa nyawa ini. Setelah ini apa lagi? SETELAH INI APA LAGI?
“Kak, kok diem aja?” Jevan bertanya lagi, masih dengan suara lemah.
Aku tidak kunjung menjawab, bibirku bergetar. Luka menganga pada hatiku seakan dikucuri perasaan jeruk limau hingga rasa nyerinya begitu gila. Aku mencoba menatap ke semua orang yang ada disana dengan padangan kaburku. Tapi mereka semua seperti manekin bisu yang enggan bicara. Tidak ada satu pasang matapun yang memberi aku kekuatan. Juga tidak ada sepatah katapum dari mulut mereka yang memberiku kekuatan.
Pada akhirnya, aku hanya memiliki diriku sendiri. Diriku yang sudah melalui banyak hal menyakitkan hingga akhirnya merasa terbiasa. Aku harus menguatkan diriku sendiri. Karena itu, buru-buru kukontrol diriku, kusesap kembali air mata yang hendak turun dan kuusap yang sudah terlanjur tumpah. Aku menatap Jevan dengan pandangan tenang dan berkata, “Iya, tadi dikabarin Garend. Jadi pas anter bunga, gue mampir buat jenguk. Gimana keadaan lo sekarang, Jev?”
Jev
Aku tidak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu semenjak kami bersama— karena dia bilang panggilan itu adalah panggilan dari seluruh kawan-kawannya dan aku bukanlah kawannya. Dia selalu bilang, aku adalah kekasihnya, masa depannya, wanita spesial yang akan menemani sisa umurnya. Tapi lihatlah semuanya sekarang, di mata Jevan, aku bukanlah siapa-siapa lagi yang artinya aku tidak bisa lagi memanggilnya dengan sebuatan Van.
“Baik, Kak. Cuma agak sakit-sakit aja nih, kayaknya Papa mukulinnya kekencengan. Tapi gue lupa deh, gue dipukul karena berulah apa lagi, ya?”
God, he doesnt even remember who made him like this and he doesnt remember the reason behind all of this. Entah harus bersyukur atau mentertawakan diri, aku merasa lega saja bahwa bukan hanya posisiku yang terhapus dari ingatannya.
Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Kuku-kuku jariku memutih seolah tidak ada darah yang mengaliri pergelangan tanganku sangking kencangnya tanganku mengepal. Aku tidak pernah tahu bahwa berusaha kuat akan semenyakitkan ini. Karena sekuat apapun aku berusaha menegarkan diri, ada bagian dari diriku yang hancur berkeping-keping jika aku lebih lama berada disini. Air mata yang tadi sudah kusesap habis kembali ke dalam tubuh melalui pori-poriku, kembali menggenang di pelupuk mata dan siapa memperlakukan diriku dengan kembali luruh.
Karena itu, dengan cepat aku berbalik. Membelakangi Jevan yang masih menatapku datar. “Yaudah, gue balik ke florist deh. Bye, semua.”
Kuseret kakiku yang penuh luka gores keluar dari ruangan Jevan. Tidak ada satupun dari mereka yang menahanku atau setidaknya mengantarkan aku keluar. Semuanya diam. Bahkan sampai aku, seorang diri, melewati lorong-lorong panjang, tidak ada satupun dari mereka yang menyusulku. Air mata sialan itu akhirnya luruh lagi, aku jatuh terduduk di sisi lorong yang sepi. Membungkam bibirku dengan kedua tangan agar eranganku tidak mengganggu siapapun. Aku hancur. Sungguh, aku hancur. Kepercayaan diriku untuk menghadapi Pak Alex bahkan luruh. Biarlah sekarang Pak Alex mentertawakan aku jika dia tahu keadaan anaknya. Aku rasa, Pak Alex justru akan senang dengan keadaan Jevan sekarang. Laki-laki kejam itu tidak perlu lagi susah payah berusaha memisahkan aku dan Jevan karena takdir telah melakukan tugas itu untuknya. Pak Alex akan bersukacita di atas hancurnya satu-satunya kebahagiaanku. Bisa apa aku sekarang, Tuhan?
Lorong panjang John Medical saat itu menjadi satu-satunya saksi betapa pedihnya erangan yang mati-matian aku tahan.