Candy

Entah apapun yang terjadi pada salah satu manusia di bumi yang indah ini, keadaan di sekitarnya akan tetap sama. Matahari masih selalu terbit dari timur dan terbenam di barat, air laut masih akan mengirimkan ombaknya menyapa pantai dan mengecup bebatuan di atas pasir putih yang luas, bahkan segala hal yang erat kaitannya dengan manusiapun akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana kehidupan Jevander paska hari itu. Dia tertunduk lesu dan merasa dunianya runtuh, namun ketika dia mendongak, kehidupan sekitarnya tidak ada yang berubah. Dunia tidak ikut sedih bersamanya. Dunia terus berjalan dan mengharuskan dia tertatih-tatih menyeimbanginnya.

Tubuh Jevander mengurus, cekung matanya memprihatinkan, tatapannya sering tidak fokus bahkan kosong. Dia tidak lagi menjadi sosok yang gemar berkumpul dengan kawan-kawannya. Jevander lebih sering menarik diri dari kerumunan dan menghabiskan sisa harinya di kamarnya yang pengap— karena tidak sedikitpun udara dan cahaya dia biarkan masuk. Rambutnya panjang menutupi dahi, tidak tertata, dibiarkan berantakan bahkan ketika dia pergi ke kantor. Asupan kopi menggantikan segala bentuk makanan yang seharusnya masuk ke dalam perutnya yang meronta minta diisi. Jevander terlihat seperti jiwa mati yang terperangkap dalam senggok raga yang enggan melanjutkan hidup. Kawan-kawannya selalu meneleponnya tiap pagi, memastikan bahwa pria yang tengah patah hati itu dalam keadaan baik-baik saja, meskipun yaahh, tidak juga.

Ketukan pada pintu membuat Jevander menoleh sekilas. Larasati muncul dari sana, membawa sebuah berkas atau entah apapun itu, di tangannya. “Permisi, Pak, ini daftar menu makanan untuk meeting malam ini. Silahkan Bapak pilih, nanti saya pesankan.”

“Saya gak makan, Ras. Nanti selesai meeting saya langsung balik aja.”

Larasari, Personal Assistant Jevander, tersenyum lembut. “Pak, sejak pagi Bapak belum makan apa-apa. Sebaiknya Bapak makan malam, ya.”

Masih dengan senyumnya, Larasati menunggu bibir Jevander terbuka untuk mengatakan setidaknya satu menu yang pria itu ingin makan. Namun sayang, hingga beberapa menit terlewat, Jevander tetap tidak mengatakan apa-apa. Senyuman Larasati berubah menjadi raut khawatir. “Sudah satu bulan sejak kembali dari Ayu Laga, Bapak hanya minum kopi dan jarang sekali makan. Bapak masih dalam tahap pemulihan, tidak baik untuk terus-menerus seperti ini, Pak.”

“Saya gak bisa makan, Ras. Saya bahkan gak tau keadaan Kiya gimana sekarang. Dia mungkin sama seperti saya, atau bahkan lebih buruk. Gimana bisa saya nikmatin kehidupan saya seperti sebelumnya setelah saya bikin Kiya hancur kayak kemarin?” Jevander berkata lirih sekali, tanpa memandang Larasati. Matanya masih tertaut pada jajaran gedung tinggi yang dapat dilihat dari jendela ruangannya.

“Bapak gak ingin jujur ke Mbak Adzkiya saja?”

“Kejujuran saya cuma akan bikin dia hidup dalam rasa gak nyaman. Papa saya gak akan berhenti usik dia kalau saya masih keras kepala untuk terus sama Kiya, Ras.”

“Tapi setidaknya Pak Jevan dan Mbak Kiya bisa saling memberi kekuatan, kayak dulu. Kalau seperti ini, yang ada cuma rasa sakit, Pak. Mbak Kiya merasa Pak Jevan meninggalkan dan melupakan dia gitu aja setelah insiden itu, dan Bapak... Bapak harus hidup dalam kebohongan yang Bapak mulai.”

Desahan panjang keluar dari bibir Jevander yang pucat. Larasati bahkan bisa melihat punggung pria itu semakin merunduk. “Saya bahkan gak tau, Ras, apa yang harus saya lakuin kalau Papa saya masih ada. Semuanya salah. Gak akan pernah ada yang benar selama Papa saya masih ada.”

Larasati akhirnya diam. Membiarkan atasannya itu larut dalam kemelut fikirannya, lagi dan lagi. Saat gadis itu hendak berbalik untuk kembali ke ruangannya, pintu ruangan Jevander terbuka lebih dulu.

“Om Pan!” Sesosok pria kecil muncul dengan senyumnya yang menggemaskan. Pipinya merah seperti mengenakan blush on alami. Kaki-kaki kecilnya berlari ke arah meja kerja Jevander. “Om Pan, Gio bawa mam!”

Jevander berdiri dari kursinya, dengan senyuman yang terselip sedikit rasa bingung, pria itu merengkuh si pria kecil. “Loh Gio kesini sama siapa, Nak?”

“Papa,” jawab Sergio riang. Memamerkan giginya yang seperti biji mentimun.

“Terus Papa mana, Nak?”

Ngobol cama Om Wan, di depan ada Om Wan juga.” Celotehan Sergio masih belum begitu jelas, tapi cukup baik untuk anak seusianya.

Jevander membawa Sergio ke sofa yang terletak di dekat pintu masuk. Si pria dewasa mendudukkan Sergio di sampingnya. “Om Pan, Gio bawa mam. Mam cama Gio ya, Om.”

Jevander terpaku, ditatapnya wajah tampan Sergio yang menuruni wajah sempurna kedua orangtuanya. Dulu, pernah sekali waktu Jevander dan Adzkiya sedang berbaring berpelukan di antara pekatnya malam Ayu Laga. Gadis yang begitu dicintainya itu berbisik lirih bahwa dia ingin sekali anak setampan Sergio. Saat itu, dengan sombong, Jevander membanggakan dirinya bahwa dia bisa memberi seluruh gennya untuk anak mereka agar menyamai ketampanan Sergio. Namun sekarang, hari ini, Jevander mempertanyakan kemana perginya kesombongannya itu. Karena jangankan untuk berbagi gen, untuk bisa hidup bersama dengan Adzkiya saja, Jevander sudah kehilangan kepercayaan diri.

“Jep!” Suara itu menyentak dari balik punggung Jevander, membuat si kecil Sergio melongok dan kembali tersenyum.

“Om Wan!”

Yang disapa langsung membalas senyum gemas Sergio. Juan juga langsung mendekat dan duduk berjongkok di depan keponakan kesayangannya itu. “Iiiihhh Gio bawa makanan buat Om Wan juga nggak?” tanyanya sambil menggelitik tubuh kecil Sergio.

Sergio mengangguk lalu menunjuk kotak makanan yang baru saja diletakkan oleh papanya di meja. “Mama macak, Om.”

“Makan, Jev.” Raechan ikut duduk di sebalah Jevander dan mulai membuka kotak makanan itu.

Jevander menggeleng lemah, kembali menyandarkan punggungnya pada sofa. “Gak laper gue, Rae.”

“Jangan gitu, lo udah kurus banget gitu. Ini bini gue yang masak, pake resep dari mama lo, jadi lo harus makan.” Raechan menarik pelan telapak tangan Jevander dan meletakkan kotak makan di sana. Si pria yang dipaksa makan hanya meliriknya ogah-ogahan. Bukan bermaksud tidak menghargai, tapi Jevander benar-benar merasa tidak pantas untuk makan.

“Gio cuapin ya, Om.” Sergio bersuara sambil sebelah tangannya meraih sendok. Diambilnya sepucuk kecil nasi dari kotak makanan dan diarahkan ke mulut Jevander. “Aaaaa Om, ayo mam.”

Jevander menegakkan punggung, menatap wajah polos Sergio yang menunggunya menyambut makanan yang ditawarkan padanya. Lalu dengan susah payah, Jevander akhirnya membuka mulut. Membiarkan si kecil Sergio menyuapkan sepucuk nasi ke mulutnya.

Pintel deh Om Pan!” Sergio terkekeh, tangan kecilnya mengambil suapan selanjutnya. “Kata Mama, Om Pan halus abicin, bial gak cakit. Gio gak mau om Pan cakit.”

Juan dan Raechan hanya menyaksikan adegan itu dengan keadaan hati yang aneh. Sergio terus menyuapi Jevander dengan suapan kecil dan kawan mereka itu terus setia membuka mulutnya tiap kali suapan Sergio datang. Mereka tampak serasi meskipun raut muka mereka berdua berbanding terbalik. Sergio mempertontonkan wajah polos dan antusias khas anak-anak, sedangkan Jevander, wajah laki-laki itu tersenyum, namun penuh luka di baliknya. Kedua mata Jevander berair, nampak bisa tumpah kapan saja. Bibirnya bergetar kala menguyah. Dadanya naik turun mengatur nafas, berusaha mati-matian agar tidak ada air mata yang turun di depan Sergio.

Hati Raechan sakit.

Begitu pula hati Juan.

Tolong jangan tanyakan keadaan hati Jevander.

Semua makanan yang masuk ke mulutnya seperti benda tajam yang mengoyak kerongkongannya. Tiap kali Jevander menelan nasi yang disuapkan Sergio, rasanya seperti menelan silet, paku dan entah apapun itu. Tatapan polos Sergio membuat semuanya justru semakin sakit. Lelehan air mata turun melintasi pipi Jevander yang kurus. Dia tidak sanggup lagi menahannya.

“Om Pan kok nangis?” Sergio meletakkan sendok pada kotak makanan. Jari tangannya yang mungil menyentuh sisi wajah Jevander dan mengusir pergi tetesan air mata menyedihkan itu. “Om Pan mau pelmen?”

Jevander menggeleng, ditangkupnya jari-jari mungil Sergio yang masih setia menyentuh sisi wajahnya. “Om Pan mau peluk Gio aja boleh?”

Si kecil mengangguk, menabrakkan tubuhnya pada tubuh Jevander yang kian hari kian kurus. Tetesan air mata Jevander makin deras. Dipeluknya erat-erat tubuh kecil Sergio untuk menemukan ketenangan.

“Nanti Om makan pelmen ya bial gak sedih lagi,” bisik Sergio pada omnya yang hanya mengangguk lemah.

Andai aja sedihnya Om bisa ilang dengan makan permen, om pasti beli seribu permen untuk Om makan, Gio, Jevander berbisik lirih di dalam hatinya dengan pilu.