Afraid
A wise man said, never mess up with a quiet person or you will regret it.
And this is what that wise man means.
Aku duduk di atas karpet berbulu di ruang studio pribadi milikku sementara kawan-kawanku yang lain duduk di atas sofa. Mereka semua menatapku intens, kecuali Klarisa dan Juan yang menatapku dengan tampang kita harus gimana nih?
Jaenandra, kawanku yang cukup pendiam di antara yang lain, menatapku paling nyalang, dari tatapan itu aku bisa melihat kemarahan yang luar biasa besar. Jaenandra, kawanku yang sering menarik dirinya dari peradaban itu adalah sosok yang paling tidak ingin terlibat masalah, tapi sekali dia berada di situasi yang membuatnya marah maka tidak seorangpun berani mendekat. Termasuk aku, atau bahkan Kak Kiyo yang usianya setahun lebih tua dari kami.
Sebuah ponsel dengan layar menyala menampilkan fotoku dan Adzkiya, diletakkan dengan sengaja oleh laki-laki itu di atas meja di depanku. Seolah dengan sengaja menamparkan fakta bahwa aku ketahuan. Jika sudah begini, aku hanya menundukkan wajah, mengakui kesalahan dan meminta maaf. Toh faktanya, aku memang benar menyembunyikan hubunganku dengan Adzkiya, kan?
“Explain.” Suara berat Jaenandra memecah keheningan. Tubuhku seakan disetrum dengan kekuatan sekian watt hingga kaku saat mendengar suara itu. “Jelasin ke kita kenapa lo sembunyiin ini dari kita, Jev.”
Sekian menit aku biarkan terlewat begitu saja. Membiarkan keheningan menguasai studioku yang biasanya selalu ramai. Kawan-kawanku juga seakan enggan untuk memecah keheningan itu.
“Adzkiya yang gak mau gue kenalin ke kalian,” kataku pada akhirnya tanpa menatap kawan-kawanku yang rasanya masih setia memandangi aku. “Kata Adzkiya, gue dan dia banyak bedanya. Umur, latar belakang, dan lo semua juga pasti tau ada apa di antara dia dan Bang Garend dulu. Jadi dia bilang, dia bingung harus memperkenalkan diri ke kalian sebagai pacar gue tuh gimana.”
“Mau gimanapun status dia, dia tetep Kak Adzkiya yang kita kenal, Jev,” potong Raechan.
Aku mengamini ucapan Raechan. “Gue tau, gue juga udah bilang gitu ke dia. Tapi dia tetep ngerasa bingung untuk muncul di depan kalian sebagai pacar gue and because I do love her so much, I just respect her decission to not let you guys know. Maaf, gue tau gue salah.”
Hembusan nafas Jaeandra terdengar. Aku masih belum mengangkat wajahku untuk menatap mereka. Tapi kurasakan seseorang bangkit dari duduknya dan menepuk bahuku. “Gue sebenernya gak masalah soal hubungan backstreet lo, tapi gue kesel banget tau lo ngadepin semuanya sendirian tanpa cerita sama kita. Gue tau semuanya, Jev. Gue tau soal Om Alex yang nyari Kak Kiya, gue tau PA lo sempet dipecat Om Alex, gue bahkan tau Wawan diikutin ke kosan sampe harus nginep di rumah gue kemarin.”
“Jaen, lo...” Wawan kaget, begitu juga aku.
“Gue juga beberapa hari ini diikutin, Wan.” Jaenandra menjawab dengan tenang. “Jadi gue suruh orang gue buat gantian ngikutin mereka dan akhirnya gue tau semuanya.”
“Jadi foto tadi, orang lo juga yang fotoin?”
“Sorry, gue sama sekali gak bermaksud buat nguntit lo, Jev.” Jaenandra menepuk bahuku sekali lagi. “Kemarin waktu gue sama Ica ke Ayu Laga, orang gue bilang kalau orang suruhan Om Alex jalan ke arah Ayu Laga juga. Gue kira mereka ikutin gue, tapi ternyata mereka ke Ayu Laga buat ngawasin lo, Jev. Jadi gue suruh orang gue buat ikutin lo, gue takut lo diapa-apain dan dari situ lah asal muasal gue jadi tau hubungan lo sama Kak Kiya.”
Aku mengangkat muka untuk menatap Jaenandra yang duduk di sampingku. Gurat-gurat kekhawatiran muncul di wajahnya yang tampan. “Gue ngumpulin kalian disini bukan untuk nyidang Jevan, tapi untuk cari jalan keluar dari masalah ini.”
Helaan nafas lega terdengar dari sana-sini. Nampaknya kawan-kawanku juga merasakan kelegaan yang aku rasakan kala Jaenandra mengucapkan kalimatnya yang barusan.
“Huh lega gue, gue kira bakal ada tonjok-tonjokan lagi.” Kak Kiyo menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mungkin saat ada ketegangan tadi, kawanku itu sampai lupa melenturkan otot-ototnya yang ikut tegang.
“Oke back to the topic, sekarang kita harus gimana buat ngadepin Om Alex? Kita gak bisa diem terus, gue rasa setelah ini satu-persatu dari kalian bakal diikutin juga.” Intonasi suara Jaenandra berubah serius.
Aku terbawa suasana. Otakku langsung berfikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Aku tidak akan membiarkan ketidaksetujuan Papa akan hubunganku dan Adzkiya mengusik kawan-kawanku yang lain, yang bahkan tidak tahu menahu dengan hubungan kami. Sangking kerasnya aku berfikir, aku merasa kepalaku mulai pening, aku tidak kunjung mendapatkan jalan keluar untuk masalahku ini. Power Papa terlalu besar dan lebih dari itu semua, Papa tidak akan segan ataupun merasa bersalah untuk mengacaukan apapun yang dia rasa menghalanginya. Aku harus berhati-hati mengambil langkah agar tidak menjadi boomerang.
“Gini deh, pertama, kita harus pastiin Kak Kiya aman.” Juan menyuarakan usulnya lebih dulu. “Kayak yang gue bilang ke lo tadi Jep, Kak Kiya disana sendirian. Mungkin kita bisa pake cara Jaenan, kita kirim orang juga buat jagain Kak Kiya disana. Lo punya duit kan buat bayar gituan?”
Aku menyunggingkan senyum atas pertanyaan Juan. “Mau sewa sepuluh orang juga gue bisa.”
“Lo aneh deh, Wan, nanyanya. Lo lupa emang temen lo ini penerus tunggal Novanda Group?” Ejek Raechan membuat suasana serius ini sedikit mencair.
“Oh iya-ya.” Juan manggut-manggut. “Ya pokoknya gitu deh ya, kita harus pastiin Kak Kiya gak diapa-apain.”
“Oke nanti gue cari....” Ucapanku terpotong karena interupsi dari dering ponselku sendiri, nama Adzkiya tertera di sana membuatku memamerkannya pada kawan-kawanku. “Cewek gue telfon, bentar ya.”
Aku mengangkat panggilan itu diiringu suara rusuh dari kawan-kawanku yang merasa geli atas sikapku. “Halo, Sayang.”
Di seberang sana suara Adzkiya terdengar begitu pelan menyahut sapaanku. “Van, aku takut.”
Hatiku seakan di remas. Keringat membanjiri tubuhku secara tiba-tiba. Perasaan tidak enak menarik fikiranku dari dunia luar.
“Sayang, hei, kenapa?”
“Aku takut,” desis Adzkiya lagi, suaranya gemetar. “Ada orang dateng kesini dan acak-acak Kiya Florsit, Van.”
“ANJING!”
Setelahnya yang terdengar hanya suara tangisan dan isakan pilu. Kepalaku mendidih, kepalan tanganku menguat seiring dengan tangisan Adzkiya yang makin menyayat perasaanku. Sungguh, aku seakan bisa menikam siapa saja yang melakukan ini pada gadis kesayanganku. Bibirku bergetar menahan marah, kerongkonganku seakan tercekat hingga aku bahkan sulit sekali untuk mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan Adzkiya.
Sekuat tenaga aku berusaha mengembalikan kesadaranku. Kemarahan ini harus aku padamkan agar aku bisa berfikir setidaknya sedikit jernih. “Aku kesana ya, kamu jangan takut. Aku bakal telfon Bang Uwu buat jemput kamu ke Kiya Florist. Kamu tenang ya, Sayang, aku kesana.” Aku mengucpakan rentetan kalimat itu dengan beberapa kali jeda karena rasanya bibirku kelu.
Setelah menutup panggilan itu, kawan-kawanku langsung mempertanyakan ada apa. Aku menjelaskan situasinya. Wajah mereka merah padam oleh amarah. Sama sepertiku.
“Kita kesana,” ucap Juan cepat tapi Kak Kiyo langsung menahan tangannya.
“Jangan, gue yakin orang-orang suruhan Papa lo ada di sekitar sini, Jev. Kalau kita semua kesana, bakal ketauan. Mending gini, Jevan, lo bawa mobil gue buat ke Ayu Laga. Gue yakin mereka bakal ngira kalau itu gue yang keluar dari area perumahan ini dan lo tetep di dalem sini. Jadi mereka gak akan ikutin lo ke Ayu Laga.”
Aku mengangguk cepat, meraih kunci mobil yang Kak Kiyo ulurkan. “Tolong telfon Bang Uwu untuk jemput Kiya di toko ya,” ucapku sebelum berlalu secepat kilat.
Benar saja, di gerbang perumahan aku bisa melihat sebuah mobil terpakir di sana. Mobil yang begitu familiar karena ada logo Novanda Group pada salah satu sisi kaca depan mobil itu. Pasti itu suruhan Papa. Anjing, mereka memang anjing. Aku memacu mobilku dengan kecepatan penuh, berharap jarak Jakarta ke Ayu Laga bisa aku tempuh kurang dari empat jam. Gadisku tengah menunggu aku, empat jam pastilah terasa terlalu lama untuknya. Tuhan, tolong buat jalanan lengang, aku ingin segera menemui gadisku. Pikiranku benar-benar kalut saat ini. Aku menbayangkan betapa ketakutannya Adzkiya melihat toko bunga kesayangannya dihancurkan oleh entah siapa. Aku benar-benar berharap aku tidak akan menemukan luka sekecil apapun pada tubuh kekasihku itu. Karena jika aku menemukannya, aku akan mencari pelakunya dan memukulinya hingga menemui ajal. Tanpa pikir panjang tentu saja.
Aku tiba di Ayu Laga pukul enam sore. Aku tidak sempat mengecek keadaan Kiya Florist karena tadi Bang Juwan sudah mengabarkan bahwa dia telah membawa Adzkiya ke rumah. Setibanya aku di sana, Adzkiya langsung bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam dekapanku. Aku masih bisa merasakan tubuhnya yang gemetar karena takut. Dia sudah tidak lagi menangis tapi aku sempat melihat sirat ketakutannya yang kentara. Aku mengabaikan tatapan bingung Bang Juwan dan Kak Valen ketika mereka melihat Adzkiya langsung memelukku.
“Jev, tadi....”
Aku menempelkan telunjukku di bibir sebagai isyarat agar Bang Juwan tidak melanjutkan ucapannya. “Nanti aja, Bang, it makes her afraid.”
Lalu aku kembali kepada Adzkiyaku, mengelus punggungnya dengan begitu lembut, berharap dia bisa tenang. Meskipun aku sendiri belum bisa menetralkan detak jatungku.
“Aku disini, jangan takut ya.”
Karena kalau kamu gak disini, aku yang takut, Ki, tambahku dalam hati.