Memories Printed Book
Aroma cat menguar memenuhi keseluruhan mobilku yang terpakir di sebuah resta area pada kilometer terakhir sebelum aku memasuki wilayah Ayu Laga. Dengan penerangan seadanya, yang berasal dari lampu mobil di atas kepalaku, aku mengamat-amati gambar terakhir yang coba aku warnai sebaik mungkin. Aku berusaha memastikan tidak ada warna yang keluar dari pola dan hasil karyaku ini akan menjadi sesuatu yang bisa aku banggakan di depan si gadis yang akan menerimanya. Lumayan lah, bisikku pada diri sendiri, merasa mawas diri karena sedari kecil aku juga tidak pernah memenangkan lomba mewarnai apa lagi melukis. Selesai dengan urusanku itu, aku merenggangkan badan sebentar kemudian kembali mengendarai mobilku untuk menembus pekatnya malam. Sekarang pukul sebelas malas, keadaan jalanan sudah begitu sepi. Dari lampu penerangan jalan, aku bahkan bisa melihat kabut tipis menyelimuti Ayu Laga pada jam-jam selarut ini.
Aku tiba di tempat tujuanku dua puluh menit kemudian. Tanganku sibuk mengaduk-aduk dashboard berusaha menemukan kunci candangan rumah milik kekasihku. Untung saja tidak butuh waktu lama, aku melesat untuk keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah sambil menenteng sebuah paper bag berwarna cokelat muda. Rumah dengan design minimalis ini tidak kalah sepinya dengan jalanan Ayu Laga. Aku rasa, si pemilik rumah, alias kekasihku, telah terlelap dalam buaian suara jangkrik dan katak di luaran sana. Maka aku mengendap-endap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun agar si cantik yang aku sayangi itu tidak terusik. Paper bag yang kutenteng sejak tadi ku letakkan di atas meja ruang tamu, sementara tubuhku terus bergerak menuju sebuah kamar yang lampunya telah padam.
Senyumku mengembang kala kudapati kesayanganku benar saja sudah terlelap. Selimut hangat melindunginya dari dingin, tapi samar-samar, dengan sedikit cahaya dari lampu taman, aku bisa melihat gadis itu mengenakan hoodieku yang diambilnya saat datang ke hunianku di pusat kota. Aku menggeser kursi kayu untuk duduk di sisi ranjangnya. Mataku menyusuri wajahnya yang ayu dan tampak damai. Ingin sekali aku cium keningnya, hidungnya, bibirnya, tapi kutahan karena kedamaian tidurnya lebih penting dari pada keinginanku itu.
Sayup-sayup di luar sana aku mendengar daun saling bergesakkan, meninmbulkan bunyi yang bisa terdengar seram bagi siapapun yang penakut. Tapi aku tidak terganggu sama sekali akan hal itu. Ada ketakutan yang lebih besar dalam diriku yang aku coba tutupi dengan sikapku yang kupaksakan terlihat seperti biasanya. Ketakutan yang tiba-tiba bertambah besar saat aku menatap wajah Adzkiya. Aku takut, takut sekali, aku takut tidak bisa menatap wajah ini lagi. Silakan panggil aku pengecut, pecundang, atau panggilan lain yang menggambarkan lelaki bodoh dan lemah. Tapi sungguh, aku benar-benar ketakutan saat ini. Aku sadar betul seberapa besar kekuatan ayahku. Menyingkirkan Adzkiya dengan cara paling burukpun aku rasa dia mampu melakukannya. Karena itu aku takut. Sekali lagi aku ulangi, aku ketakutan.
Tubuhku menggigil. Aku seperti seekor kancil yang sedang diintai pemburu dari segala penjuru. Aku merasa kecil. Aku merasa dungu. Ayahku bisa berubah menjadi pemburu paling bengis untuk mendapatkan kancil itu. Harus lari kemana aku?
Aku tidak bisa membayangkan akan sehancur apa aku nanti jika Adzkiya dirampas paksa atau dituding kasar untuk pergi dari hidupku yang mulai membaik ini. Tapi bukan itu, bukan itu yang paling menakutiku. Aku jauh lebih takut membayangkan akan sehancur apa hidup Adzkiya nanti. Kehilangan sudah seperti hal paling traumatis dalam hidupnya. Dia sudah kehilangan ibunya, dia sudah kehilangan ayahnya, dia bahkan dua kali merasa kehilangan seseorang yang begitu dia cintai. Tuhan, apa jadinya dia nanti jika ayahku benar-benar memukulnya mundur? Apa jadinya nanti jika dia harus kehilangan seseorang lagi?
Sanggupkah aku melihat air mata kembali menuruni pipinya yang selalu kuciumi itu, Tuhan? Bisakah aku menahan diriku untuk tidak memaki siapapun yang membuat senyum manisnya itu hilang, Tuhan? Sanggupkah aku? Bisakah aku?
Malam makin larut, pikiranku makin kalut. Aku meraih sebalah tangan Adzkiya untuk aku ciumi dengan sayang. Aroma tangannya seharum bunga-bunga yang selalu dia genggam setiap hari. Seakan bunga-bunga indah itu dengan senang hati membagi harumnya pada si perangkai.
“Bertahan buat aku ya, Ki? Aku tau jalan kita gak bakal mudah, dari awal juga udah kayak gitu. Tapi aku mohon, kuatin hati kamu, demi kita.” Aku berbisik sepelan mungkin, bahkan lebih pelan dari helaan nafasnya yang teratur. “Ki, if we can't stop the wave, we can learn how to surf, kan? Aku bakal yakinin Papa, aku bakal coba segala cara supaya Papa gak usik kamu lagi dan kasih restunya buat kita. Tapi aku gak tau ombak itu akan surut atau justru bertambah besar, aku takut untuk mengira-ngira, Ki. Makanya aku butuh kamu, jangan kemana-kemana ya, Ki? Sebesar apapun ombaknya, aku mohon jangan lepasin tangan aku. Aku takut aku gak sekuat itu untuk laluin ombaknya sendirian.”
Kuciumi lagi tangan Adzkiya yang berbau harum itu. Aku rasa air mataku membasahi telapak tangannya. Untung saja, gadis kesayanganku itu sama sekali nampak tidak terganggu. Maka itu, aku kembalikan tangannya yang harum ke sisi tubuhnya. Aku memutuskan untuk hanya memandanginya dalam diam Satu jam, dua jam, hampir tiga jam aku pandangi dia hingga samar-sama aku mendengar kokok ayam yang entah berasal dari mana. Kulirik jam yang tergantung di salah satu sisi dinding kamar Adzkiya. Pukul empat pagi, aku harus segera kembali ke Jakarta. Kucium kening Adzkiya untuk berpamitan. Kucium lama sekali keningnya. Aku harap, tanpa suara apapun yang keluar dari bibirku, Adzkiya bisa merasakan sebesar apa cintaku padanya. Sayang, gerakanku yang sudah selembut mungkin itu tetap membangunkan si gadis kecintaanku, dia menggeliat dan membuka matanya.
“Jevan?” tanyanya dengan suara serak.
“Sssttt, maaf, aku bangunin kamu ya?” Aku berusaha menahan tubuhnya yang sudah hendak bangun. “Gak usah bangun, Sayang, lanjut bobo lagi aja ya. Aku udah mau jalan ke Jakarta lagi.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam empat.”
“Kamu di sini dari kapan?”
“Jam dua belas kurang,” ucapku sembari mengelus pipinya lembut. “Happy valentine, Sayang.”
Adzkiya memandangiku. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus bahuku yang masih dibalut pakaian kerja. “Kamu bahkan gak ganti baju.”
“Iya, pulang kerja aku langsung kesini. I dont want this special day lewat gitu aja, jadi aku usahain dateng nemuin kamu.”
“Padahal setiap hari juga sama spesialnya, Van.”
“I know.” Tanganku berganti merapikan rambutnya yang jatuh menutupi dahi. “Yaudah aku pulang, ya? Kamu tidur lagi aja, nanti aku kabarin kalau udah di kantor.”
Kucium kening Adzkiya lagi, namun tidak selama tadi. Setelah mendapat anggukan darinya, aku melangkah keluar rumah. Memasuki mobilku dan kembali membelah jalanan lengang menuju Ibu Kota. Yang ku tahu, pagi buta itu Adzkiya kembali tidur.
Tapi nyatanya,
Gadis kesayanganku itu bangun dari ranjangnya bermaksud untuk mengintip aku yang berlalu pergi. Namun perhatiannya justru jatuh pada paper bag yang aku tinggalkan di meja ruang tamu. Adzkiya membukanya, mengambil sebuah buku jurnal yang covernya sudah aku lukis sebaik yang aku bisa.
Lukisan bunga Peony berwarna merah muda, berjumlah empat belas. Juga lukisan daun, berjumlah dua. Lukisan yang aku harap dia akan menangkap makna dibaliknya, 14-2, 14 Februari, valentine day.
Tangan lentik Adzkiya membuka jurnal itu, mendapati banyak sekali potret dirinya. Juga puluhan puisi yang aku tulis di tiap sisi yang bersebalahan dengan fotonya. Tidak lupa bunga-bunga kering yang aku gunakan untuk mempercantik jurnal tentangnya itu. Laras, asistenku, bilang bahwa sebaiknya aku memberi sesuatu yang bisa Adzkiya ingat selamanya dari pada memberinya sesuatu yang bisa dia simpan selamanya. Tapi aku memutuskan untuk memberi Adzkiya keduanya, kenangan dalam bentuk yang dia bisa ingat dan simpan, selamanya.
Di pagi buta itu, aku tidak tahu kalau jurnal yang kurangkai sedemikian rupa itu ditetesi air mata tanpa sengaja. Untungnya, air mata itu adalah air mata kebahagian. Air mata yang bulirnya terlihat seperti kristal.
Di pagi buta itu, aku tidak tahu bahwa Adzkiya mengatupkan kedua tangannya dan memohon pada Tuhan agar diberi seribu hari valentine lagi bermasaku.