petrichorslines

Bunyi klakson yang saling bersahutan membuat kepalaku serasa ingin meledak. Belum lagi kemacetan di depan mataku yang sungguh membuatku muak. Bandung adalah kota impian bagi beberapa orang, tapi untuk aku, yang sejak kecil tinggal di kota ini, merasa jengah mendengarnya. Aku tidak akan memungkiri bahwa kota ini memiliki keindahan yang sangat cukup untuk membuat kota lain iri. Tapi mohon diingat, bahwa tidak ada gading yang tidak retak- tidak ada kota dengan kesempurnaan yang utuh. Di balik keindahan alamnya, Bandung menyimpan sejuta makian untuk jalanannya yang sesak.

Dan aku mengumpati hal yang sama, setiap hari. Terlebih hari ini.

Perjalananku menuju bandara tersendat hampir dua jam lamanya. Ponsel di sakuku beberapa kali bergetar menandakan panggilan masuk-yang terpaksa aku abaikan. Keadaan moodku sedang tidak baik, bahkan jauh dari kata baik. Aku mencengkram kemudi mobilku sekencang mungkin, hingga meninggalkan bekas-bekas kemerahan di telapak tanganku. Sebuah pesawat melintas di atasku, yang aku bisa tebak itu adalah pesawat yang ditumpangi seorang gadis yang membuatku harus menembus kemacetan ini. Aku melirik jam tangan, sekarang pukul setengah tiga sore, sepertinya dugaanku benar. Perjalanan dari Bali ke Bandung memakan waktu satu jam 45 menit, jika gadis itu take off pukul 13.30 waktu setempat, maka dia akan mendarat di bandara Husein Sastranegara pada pukul 14.15. Aku mungkin akan sedikit terlambat karena kemacetan ini, tapi aku tidak akan memperdulikan kekesalan gadis itu yang harus menungguku karena toh dia yang memintaku menjemputnya.

Benar saja, aku baru tiba di area parkir bandara tepat pukul tiga sore. Dengan arti lain, sudah sekitar 30 menit gadis itu menungguku. Aku mencoba menghubunginya dan dia mengatakan bahwa saat ini dia sedang berada di Starbucks yang berada tepat di depan terminal kedatangan. Tanpa basa-basi aku menuju ke sana dan menemukannya sedang fokus membaca buku, secangkir kopi sudah tersaji di hadapannya.

“Nona Sira?” sapaku, mencoba membuatnya menatapku. Yang hanya berakhir sia-sia karena gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan fokusnya dari buku.

Aku kesal. Dengan sedikit nada ketus aku berkata, “Close your book, don't waste my time.”

Gadis bernama Sira itu akhirnya meletakkan bukunya dan menatapku. “Saya liat di maps merah semua, saya malas kena macet. Duduk dulu aja or do you want to order a cup of coffee? Bills on me.” Karena menyadari masih ada sisa kemarahan di mataku, gadis itu tersenyum semanis mungkin. “Don't look at me with those eyes, you scared me. Duduk atau pesan kopi anda, Sagata.”

Aku melengos, memutuskan untuk memesan Java Chip Frappucino kesukaanku. Setelah pesanananku siap, aku duduk di hadapannya, masih dengan muka sebal.

“Kusut banget mukanya, bete ya?” komentarnya, terdengar begitu menyebalkan di telingaku.

“Butuh lebih dari dua jam untuk sampai kesini, bohong kalau saya gak bete.” Aku menjawabnya sambil bersungut-sungut. “Lagian aneh banget sih, Aim Hotel nyediain fasilitas penjemputan kok. Saya heran kenapa anda malah minta saya yang jemput.”

For your imformation, penerbangan saya satu jam 45 menit, saya sudah harus ada di bandara maksimal 30 menit sebelum keberangkatan. Dari hotel tempat saya menginap di bali, saya butuh waktu satu jam naik taxi ke bandara. Jadi saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk ada di depan anda, Sagata.”

Aku terkesiap. Cara gadis itu berbicara begitu tenang. Tidak ada gesture berarti yang dia lakukan. Tapi tatapan dan ketenangan dalam bicaranya justru menusuk-nusuk diriku. Membuatku gelagapan tidak bisa menyela. Aku berakhir diam.

“Jangan banyak ngeluh, hotel dan vila anda gak akan lagu kalau ownernya aja gak tau cara melayani tamu dengan baik.”

Sira menatapku intens, tanpa berkedip. Membuatku penasaran dengan kepribadiannya yang terasa begitu mendominasi. Namun getaran pada ponselku memecah fikiranku tentangnya. Aku menunjukkan layar ponselku yang menyala pada Sira untuk memberinya kode bahwa aku harus mengangkat panggilan itu. Sira hanya mengangguk mempersilakan aku.

“Halo?” sapaku pada si penelepon.

Bang, dimana?” Suara parau Dario, adik kandungku, membalas dari ujung sana.

“Di Hussein, kenapa?”

Ada hembusan nafas panjang sebelum Dario menjawab pertanyaanku. “Mama malam ini pulang, lo ke rumah gak? Katanya ada makan malam sama keluarga besar Mama.

“Lo aja yang dateng, Mama won't like it if I come tho.”

Dari ekor mata, aku menangkap perubahan raut wajah Sira ketika mendengar kalimat barusan. Namun saat aku menatapnya secara utuh, raut wajah itu kembali tenang.

Dario tidak menjawabku dalam beberapa detik, membuat aku mematikan panggilan itu secara sepihak.

“Masih mau di sini berapa lama lagi?”

“Ngabisin kopi dulu,” jawab Sira seraya dagunya menunjuk cangkir kopinya yang masih terisi setengah.

“Yadah saya tunggu di luar, kalau udah abis kopinya keluar aja nanti.”

Aku keluar tanpa menunggu jawabannya. Meninggalkan Sira yang nenatapaku dengan tatapan tidak terbaca. Aku tidak mau ambil pusing tentang hal itu, fikiran tentang Mama menggerayangiku lebih banyak. Makan malam yang diadakan untuk menyambut kepulangan Mama adalah kedok untuk ajang pamer antar keluarga. Aku tidak menyukai hal itu, dan Mama pasti akan lebih senang jika aku tidak datang. Karena bagi Mama, aku hanyalah boneka yang dia gunakan untuk menggerakan perusahaan, bukan seorang anak untuk dibanggakan.

Saat aku sedang sibuk dengan fikiranku, aku tidak sadar bahwa tatapan Sira mengekoriku. Raut wajahnya tidak setenang tadi saat aku tidak lagi ada di hadapannya. Entah apa yang difikirkan gadis itu.

Aula Ayu Laga telah disulap menjadi ruangan perjamuan yang tampak manis. Bagian paling depan diisi oleh hiasan berbentuk lingkaran yang diberi aksen bunga-bunga dengan warna keemasan. Di kanan-kirinya dihiasi beberapa pernak-pernik lain dengan warna senada. Pada salah satu sudut ruangan, bisa ditemukan area makan dengan konsep buffet yang segala peralatan makannya juga berwarna keemasan. Bahkan kursi-kursi tempat para tamu undangan akan duduk juga disiapkan dengan warna keemasan. Pilar-pilar tinggi yang menopang aula ditutupi oleh kain hitam. Sepertinya, sang pemilik acara memang sengaja menyiapkan acara mereka ini dengan tema black and gold.

Jevan memasuki gedung aula tepat sesaat sebelum acara dimulai. Perasaannya jauh lebih tertata dari pada hari kemarin. Menghabiskan satu malam bersama gadis yang kini juga datang pada hari pertunangan Markio dan Jelena membuat hatinya berkali-kali lipat lebih baik. Jevan hendak mengajak gadis yang datang bersamanya itu untuk duduk bersama kawan-kawannya namun si gadis menolak dengan halus.

“Gue di sini aja, gih lo duduk di depan.” Dengan lembut si gadis mendorong tubuh Jevan pelan, namun mata laki-laki itu masih tertaut pada si gadis.

“Nanti pulangnya sama saya.”

Saat si gadis mengangguk seraya tersenyum, Jevan memulai langkahnya untuk maju dan duduk di bagian depan-bergabung dengan kawan-kawannya.

“Semalem kemana lo?” Juan berbisik lirih. Berusaha tidak menganggu Garend, yang hari ini bertugas sebagai MC acara, bersiap-siap.

“Nginep di home stay deket sini,” jawab Jevan tanpa memandang Juan.

“Lah, lo dari semalem udah di Ayu Laga?” tanya Juan semakin penasaran.

“Udah, ih udah deh, Wan, jangan berisik. Mau mulai tuh.”

Juan membungkam mulutnya rapat-rapat. Sekarang, seluruh perhatian tamu undangan terpatri pada Garend yang tengah memandu acara. Garend membuka acara dengan ucapan syukur pada Tuhan dan rasa terimakasih pada seluruh tamu undangan yang telah hadir. Setelah itu, Garend mempersilakan ayah Jelena untuk memberikan sedikit nasihat pada anak dan calon menantunya yang akan menapaki satu tangga lebih dekat pada ikatan suci pernikahan.

“Selamat pagi,” mulai Iskandar dengan suara beratnya. “Saya di sini mewakili istri saya dan juga keluarga Baratama sebagai orang tua dari dua anak kami yang hari ini tengah diliputi perasaan bahagia. Mohon izinkan saya untuk memberi sedikit saja nasihat untuk mereka.”

Mata Iskandar menatap lurus ke arah anak gadis cantiknya yang duduk bersebelahan dengan Markio.

“Nak, Elena, pertama-tama Papa ingin minta maaf. Maaf karena sempat menjadi penghambat untuk hubungan kamu dan Markio. Maaf karena Papa sempat meragukan hubungan kalian. Tapi sekarang Papa sudah faham betul Nak, Papa faham bahwa memang Markio yang paling tepat untuk kamu.”

Senyum tulus terulas dari bibir ranum Jelena. Kata-kata yang keluar dari bibir ayahnya terasa seperti belaian lembut yang menenangkan.

“Selanjutnya, Papa juga ingin minta maaf pada Markio. Kadang-kadang, Papa masih kesal pada diri sendiri karena sempat meragukan anak sebaik Markio. Tapi sekarang tidak lagi, Nak Markio, Papa sudah sepenuhnya mempercayakan Elena pada kamu.” Ada jeda sebentar sebelum ayah Jelena kembali berbicara. “Nak, setelah ini, hubungan kalian akan terikat pada komitmen besar yang kalian buat. Kalian akan mencintai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kalian akan saling mencintai kala susah maupun senang. Sedikit nasihat dari Papa, libatkan Tuhan dalam cinta itu ya, agar Tuhan memberkati hubungan kalian. Sudah, itu saja nasihat dari saya, Nak Garend.”

Iskandar hendak kembali duduk namun Garend menahannya dengan sebuah pertanyaan. “Tidak ada lagi, Om?”

Iskandar menggeleng seraya tersenyum. “Tidak ada lagi, Nak. Om sudah menyaksikan sendiri bagaimana Markio mencintai Elena. Rasa-rasanya, tidak ada lagi nasihat untuk anak sebaik dia. Om percaya Markio sepenuhnya.”

Semburat malu-malu sekaligus haru nampak di wajah Markio. Rasa syukur tiada henti laki-laki itu panjatkan pada Tuhannya yang sudah begitu baik mengabulkan doa-doa yang dirapalkannya tiap hari. Hari ini sudah seperti kemenangan agung yang akan Markio ingat di hari-hari mendatang.

“Oke kalau begitu, terimakasih Om Iskandar.”

Garend mempersilakan Iskandar untuk kembali duduk.

“Mungkin ada lagi yang ingin menyampaikan pesan atau boleh juga ucapan selamat kepada Markio dan Jelena. Saya persilakan untuk maju sebelum nanti kita mulai prosesi tukar cincinnya.”

Garend menatap ke arah tamu undangan yang juga saling tatap satu sama lain. Ada keheningan yang cukup panjang karena tidak ada satupun dari mereka yang terlihat akan berdiri. Garend sudah akan menutup sesi itu namun seseorang yang duduk di sebelah Juan segera berdiri.

“Hai Kak, Hai El.” Jevan berdiri di sebelah Garend dengan kikuk. “Boleh kan gue ngomong sebentar?” tanyanya pada dua sahabatnya yang tampak baik dalam balutan jas dan gaun serba hitam.

Markio mengangguk, sementara Jelena hanya mengangkat jempolnya sebagai tanda persetujuan.

“Hmm... Few days ago, I made my bestfriends worried about me, and I felt bad about that. Jadi rasanya, gue perlu untuk berdiri di sini dan bilang ke mereka untuk gak khawatirin gue lagi cause everything is good for now. Terutama lo Kak,” Jevan menangkap Markio dengan tatapan teduh menenangkan, “lo gak perlu lagi ngerasa bersalah dan gak pantes nikmatin semua kebahagiaan ini. Karena lo berhak, Kak. Lo berhak bahagia. And I'm happy for both of you. Sama seperti Om Iskandar, gue gak akan kasih lo saran ataupun nasihat, karena lo sudah mencintai Elena sebaik-baiknya.”

Rasa syukur Markio pada Tuhan makin besar seiring senyumnya yang melebar. Dua orang yang sama-sama mencintai satu gadis itu saling bertatapan, bersyukur atas takdirnya masing-masing.

Dengan ditutupnya sambutan dari Jevan, acara tukar cincin dilakukan. Sorak sorai memenuhi seisi aula. Kebahagiaan terpancar dari segala sudut, menghadirkan gema yang memanjakan dua insan paling bahagia itu.

Dalam balutan kebahagiaan yang tercipta, diam-diam Jevan melirik ke arah gadis yang tadi datang bersamanya. Gadis itu tersenyum manis dan mengangguk, sebuah kalimat keluar tanpa suara dari bibir gadis itu.

Good job.”

Jevan bisa membaca kata tanpa suara itu.

Sebuah kertas tebal terpelanting membentur lantai setelah sesosok laki-laki besar membantingnya ke atas meja. Jevan menatap kertas tebal itu tanpa reaksi, lebih tepatnya tidak tahu harus berekasi seperti apa.

Alexander-ayah Jevan-duduk bersidekap di depan Jevan. Matanya menatap garang, seakan siap menghabisi anak semata wayangnya yang terlihat sangat bodoh di matanya itu.

“Kalau sudah begini kamu mau bagaimana?”

Suara Alexander terdengar dingin, membuat tubuh Jevan kaku. Rasanya seperti baru saja disiram setangki air es langsung dari kepalanya.

“Papa sering kali bilang, Papa hanya ingin Elena yang masuk ke keluarga kita. Papa gak ingin wanita lain, Novanda.”

Novanda. Jevan benci sekali tiap kali ayahnya memanggilnya dengan nama belakang itu. Rasanya seperti diingatkan kembali bahwa ada darah kental ayahnya yang mengalir kuat di dalam tiap inti tubuhnya.

“Elena, anak itu... Kurang baik apa lagi dia untuk kamu? Kurang cantik apa lagi dia untuk mendampingi kamu?”

Belum ada jawaban, Jevan masih diam.

“Papa sayang sekali dengan anak itu. Dia baik, dia bisa menenangkan kamu dan Papa sekaligus. Keluarganya juga baik. Baru kali ini Papa gak berfikir tentang bisnis meskipun keluarga Elena itu sangat kaya. Papa hanya mau Elena mendampingi kamu, karena Papa tahu, Elena bisa menjaga kamu sebaik Mama.”

Jevan masih enggan bersuara.

“Tapi sekarang apa? Kenapa justru nama Markio yang ada dalam surat undangan itu? Dan kenapa kamu diam saja?”

Suara detik jarum jam masih lebih lantang dari pada suara Jevan. Laki-laki yang selalu tampak kecil di depan ayahnya itu masih mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Jawab Papa, Novanda!”

Teriakan itu beriringan dengan suara gebrakan pada meja. Alexander tidak tahan lagi. Keheningan yang menjawab semua pertanyaannya membuatnya muak.

“Papa tahu kenapa Elen lebih pilih Kak Kiyo dari pada anak Papa ini?”

Suara itu, suara yang akhirnya keluar dari mulut Jevan, tidak sekeras ayahnya. Bahkan terkesan lirih dan mendesis, tapi amarah yang terbalut di dalamnya begitu kentara. Bahkan Alexander menyadarinya.

“Karena anak Papa ini rusak. Karena anak Papa ini memilih untuk meniduri banyak perempuan murahan untuk mengobati luka hatinya! Papa pikir perempuan baik-baik seperti Elen mau sama laki-laki rusak seperti Jevan, Pa?”

Hening, kali ini Alexander yang tidak sanggup mebggerakkan bibirnya untuk memberi jawaban.

“Tiap kali Papa marah dan jadiin Jevan samsak, Jevan gak punya tempat ngadu Pa. Jevan cuma tau satu cara untuk ngelupain semua rasa perih di tubuh dan hati Jevan itu. Dan cara itu Jevan tau dari Papa.” Ada jeda sebelum Jevan melanjutkan, “Meniduri perempuan-perempuan murahan seperti yang Papa selalu lakukan.”

“Novanda...”

Jevan tidak memberi waktu pada ayahnya untuk berbicara. Dia menyambar dengan marah. “Setakut-takutnya Jevan liat Elen bahagia sama laki-laki lain, Jevan lebih takut Elen gak bahagia hidup sama Jevan, Pa. Jevan ini rusak, keluarga ini jauh lebih rusak, Jevan gak ingin bawa wanita semulia Elen masuk ke kehidupan kita yang rusak.”

Biasanya, separah apapun Alexander menghajarnya, Jevan tidak pernah sudi mengeluarkan air mata di depan ayahnya itu. Namun hari ini, saat tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terluka, air matanya justru meleleh.

“Kak Kiyo itu baik Pa, keluarganya juga hangat. Ayah Kak Kiyo gak pernah mukulin anaknya, Ibu Kak Kiyo masih ada untuk jagain anaknya. Apa Papa merasa keluarga kita lebih pantas untuk menerima Elen dari pada keluarga Kak Kiyo?”

Jevan mengangkat kepala, menatap ayahnya yang juga masih menatap dia. Sorot matanya nyalang, sama sekali tidak ada ketakutan di sana.

“Jevan juga ingin Elen sama Jevan. Tapi Jevan tau diri.” Jevan bangkit berdiri. “Jevan berharap Papa juga bisa sadar kalau Baratama akan jauh lebih baik untuk menjadi nama belakang Elen dari pada nama belakang keluarga kita.”

Malam itu, untuk pertama kalinya Jevan meninggalkan ayahnya lebih dulu. Ayahnya yang membeku. Ayahnya yang merasakan bibirnya kelu.

Sementara Alexander hanya bisa menatap punggung anaknya yang hilang ditelan pintu. Tanpa berani menahannya. Tanpa berani meneriakinya untuk tinggal.

Anaknya benar. Gadis seperti Jelena lebih pantas berapa di keluarga Baratama dari pada keluarga Novanda.


Oy Jep, kita di rumah Kak Kiyo nih, bantu-bantu persiapan. Lo dimana?”

“Gue....”

Sini lah nyusul,” Jaenandra menyahut dari sambungan telepon.

“Gue... ada urusan. Besok aja gue kesananya ya. Bye.”

Bip

Sambungan telepon itu terputus. Jevan menatap layar ponselnya yang dihiasi dengan foto dirinya dan sahabat-sahabatnya.

Raechan sudah bersama Kayana.

Jaenandra sudah bersama Klarisa.

Dan dua hari lagi, gadisnya, gadis yang begitu dia cintai akan menjadi milik laki-laki lain.

Laki-laki yang lebih pantas,

Jauh lebih pantas.

Jevan menghembuskan nafasnya sekali lagi. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak lagi memiliki tempat untuk pulang.

Studio adalah pilihan yang buruk untuk bermalam. Semua kenangannya bersama Jelena ada di sana.

Tadinya, dia ingin menginap di rumah salah satu sahabatnya, tapi mereka semua sedang bermalam di rumah Markio.

Lalu dia harus kemana? Ke makam ibunya?

Pilihan buruk.

Pikirannya kosong hingga akhirnya Jevan memutuskan untuk kembali menginjak gas. Membiarkan kemana perasaannya akan menuntunnya.

Jevan memasuki gerbang tol, mengendarai mobilnya membelah jalanan yang tampak lengang. Ditemani lantunan lagu-lagu sendu yang sama sekali tidak menghiburnya. Lalu laki-laki itu membawa mobilnya keluar pintu tol yang berada di pinggiran kota. Memasuki daerah pinggiran kota, hingga berhenti di depan sebuah toko bunga.

Seoarang gadis tengah sibuk berbenah. Membuang beberapa sampah batang bunga ke tempatnya kemudian melepas apron dari tubuh rampingnya. Lalu tangan-tangan mungil itu sibuk mengikat rambut panjang yang awalnya dibiarkan tergerai.

Jevan bisa melihat semuanya dari dalam mobil. Matanya menerobos jendela kaca yang terpasang di samping pintu masuk toko.

Sekian menit terlewat hingga si gadis ramping keluar dari toko. Membuat Jevan juga keluar dari mobilnya.

“Kok jam segini baru mau pulang, Kak?”

Si gadis ramping sedikit tersentak. Kunci yang sedang dia pegang jatuh ke lantai. “Loh Jevan...”

Jevan hanya tersenyum dan memungut kunci itu. Dia juga menggantikan si gadis untuk mengunci tokonya.

“Saya anter pulang ya. Soalnya saya juga butuh tempat pulang...”

Angin malam Ayu Laga berhembus melewati mereka berdua. Meskipun diabaikan. Karena keduanya sedang sibuk bertatap-tatapan.

Suatu waktu, di beranda belakang rumah Klarisa, Jevan pernah mendengar ayah sahabatnya itu berkata, “Jangan pernah hidup di dalam penyesalan, karena rasanya seperti hidup dalam neraka paling jahanam.”

Jevan mendengarkan kalimat itu seperti angin lewat, dengan kata lain, pemuda itu tidak menganggapnya serius. Tanpa dia tahu, bahwa bertahun-tahun setelahnya, dia hidup dalam neraka jahanam yang dimaksudkan ayah Klarisa.

Penyesalan betul-betul menjadi perasaan paling menjijikkan yang bisa dirasakan mahluk bumi seperti Jevan. Dia sadar ada yang salah, tapi dia telah kalah oleh waktu. Dia sadar ada yang harus diperbaiki, tapi dia tidak pernah bisa kembali. Penyesalan menjadi momok paling mengerikan bagi tiap individu yang pernah atau sedang merasakannya. Menyalahkan diri sendiri pun sudah tidak lagi ada gunanya. Sedangkan untuk berdamai dengan keadaan, terlalu sulit untuk melakukannya.

Perasaan naas itu mengerubungi Jevan yang tengah duduk di sebelah makam ibunya. Penampilannya kacau, rambutnya acak-acakan, kaus hitam yang dikenakannya basah dan berbau alkohol pekat. Pemuda itu duduk seperti seonggok raga tanpa nyawa, kepalanya menunduk dalam. Merenungi segala keputusan yang dia buat. Merutuki kebodohan yang dia lakukan.

Tangan kanan pria itu mengenggam sebuah undangan pertunangan yang tidak karuan lagi bentuknya. Dia sudah berusaha meremukkannya sejak tadi, seremuk mungkin, jika bisa sama remuknya dengan keadaan hatinya saat ini. Tapi semakin dia meremas undangan pertunngan itu, semakin ngilu pula hatinya.

Jevan mendesah pelan, membuang undangan sialan itu ke tanah-membentur makam ibunya. Tangannya kembali meraih sebotol cairan yang akan membuat dirinya merasa lebih, menenggaknya hingga habis.

“Ma, Jevan harus gimana?” tanyanya pelan pada gundukan tanah di depannya-yang tentu saja tidak akan mendapat jawaban.

Lagi, Jevan mendesah pelan. Berusaha melonggarkan dadanya yang sesak. Sesak karena perasaan tidak menentu yang dirasakannya. Pemuda itu sebenarnya telah lama merelakan Jelena untuk bersama dengan Markio, tapi sampai saat ini dia belum bisa melepaskan gadis itu sepenuhnya. Dia memang sudah berdamai dengan hubungan Jelena dan Markio, tapi untuk melihat mereka bersanding di kursi pelaminan kelak adalah perkara lain lagi. Jevan belum siap, atau mungkin tidak akan pernah siap.

“Dari sekian banyak club yang sering lo datengin, gue gak ngerti deh kenapa lo malah milih minum-minum di sini. Sendirian lagi.”

Jevan mendongak, sedikit tersentak. Seorang gadis tengah melangkah mendekat ke arahnya. Sebuket mawar merah segar berada di tangan gadis itu.

Hari makin sore, matahari makin tergelincir ke peraduan. Kicau burung yang bermukim di sarang mulai terdengar. Cahaya matahari yang temaram membelai kulit putih Jelena. Sementara anginnya yang basah membelai-belai rambut gadis itu.

“Elen...”

Yang dipanggil hanya tersenyum simpul, kemudian dia duduk di sebelah Jevan. Gadis itu meletakkan bunga yang dibawanya ke atas makam ibu Jevan.

“Lo gak malu apa dateng ke Tante berantakan gini? Bau alkohol lagi, Tante marahin aja anaknya nih.” Jelena berbicara pada gundukan tanah seraya membayangkan bahwa yang ada di depannya adalah ibu Jevan yang jelita.

“Lo ngapain di sini?” Jevan bertanya tanpa menatap Jelena. Pemuda itu berpura-pura sibuk menatap pepohonan di ujung makam.

“Gue mau pamit sama Tante.”

Jevan terhenyak, matanya bergerak-gerak gelisah. Dia ingin menjatuhkan tatapannya pada Jelena, tapi dia terlalu takut. Dia takut saat akhirnya dia menangkap wajah ayu itu lagi, dia akan hilang akal.

“Gue mau pamit karena mungkin setelah ini gue bakal jarang kesini. Gue juga mau pamit ke Tante dan bilang... kalau setelah ini gue gak bisa jagain anak kesayangannya lagi.”

Jelena terus berbicara, meskipun kerongkongannya terasa kering. Meskipun dia harus mencengkram gundukan tanah makam ibu Jevan untuk mendapatkan kekuatan.

“Tante, minggu depan Elena mau tunangan, tapi bukan sama Jevan seperti yang dulu Tante selalu harapin. Elena ketemu sama seseorang yang akhirnya akan jadi tempat Elena pulang Tante. Gak apa-apa kan ya, Tan, kalau orang itu bukan Jevan?”

Setiap kata yang keluar dari mulut Jelena seperti mesin peremuk yang menghancurkan hati Jevan hingga kepingan terkecil. Dorongan menyakitkan itu naik hingga menimbulkan bulir-bulir yang menumpuk di pelupuk mata. Jevan mati-matian menahan air mata sialan itu agar tidak tumpah. Pertunangan ini akan menjadi satu langkah besar menuju kebahagiaan sejati bagi dua sahabatnya, pemuda itu tidak ingin merusaknya.

“Tante, maaf, Elena gak bisa pakai nama Novanda di belakang nama Elena.” Jelena mengelus batu nisan ibu Jevan. “Tapi Elena yakin, seseorang yang lebih pantas, yang jauh lebih bisa membahagiakan anak Tante akan menyandang nama itu.”

“Iya kan, Jev?”

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, hingga Jevan kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya udara kosong. Tenggorokan Jevan seperti lumpuh.

“Kalau gue masih ada di sini...” Tangan lentik Jelena menyentuh dada Jevan. “Biarin gue pergi ya? Supaya gue gak ngehalangin siapapun buat masuk.”

Jevan masih belum menjawab. Sebutir air mata dengan lancang menuruni pipinya.

“Jangan ngerasa diri lo rusak lagi, karena orang lain juga gak menganggap lo seperti itu. Atau, sekalipun lo ngerasa diri lo rusak, percaya deh kalau bahkan sesuatu yang rusak sekalipun bisa dibenerin di tangan orang yang tepat. Asal lo izinin orang itu untuk masuk ke hidup lo.”

Air mata Jelena menemani bulir-bulir air mata Jevan yang kian deras.

“Makasih ya Jevan buat selama ini, makasih untuk cinta yang udah lo kasih untuk gue selama ini. Maaf, maaf karena akhirnya gue membiarkan cinta itu berjalan sendirian.”

Setelah itu, Jelena meninggalkan Jevan yang menangis tersungkur di tanah. Jevan melepas tangisnya sebanyak yang dia mau. Mengerang sekeras yang dia bisa. Karena menurutnya sudah tidak lagi ada siapa-siapa disana. Tanpa dia tahu, enam sahabatnya yang lain menahan diri untuk tidak mendekat dan memberinya pelukan. Jevan tidak menyadari, bahwa sahabatnya sejak tadi berdiri di area parkir dan mengawasinya.

Tanpa dia tahu bahwa Markio memanjatkan jutaan doa agar Tuhan tidak menguntuknya karena telah menyakiti pemuda itu.

Tanpa dia tahu bahwa Raechan menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris berdarah.

Tanpa dia tahu bahwa Klarisa dan Kayana saling berpegang tangan dan berderai air mata.

Tanpa dia tahu bahwa Jaenandra menatap ke langit agar bulir matanya tak jatuh.

Dan tanpa dia tahu, bahwa kuku-kuku jari Juan memutih karena pria itu terlalu kuat mengepal tangannya.

Jevan tidak menangis sendirian. Meskipun menurutnya, dia menangis sendirian.

Sahabat-sahabatnya tetap berada di sana, hingga suara erangan Jevan tidak lagi terdengar.

“Kalian tunggu di sini aja, ya. Biar gue yang kesana.”

Juan berjalan dengan begitu pelan menuju Jevan. Dalam penglihatannya, Jevan tampak masih memeluk makam ibunya. Juan tidak bisa melihat wajah Jevan karena posisi pemuda itu memebelakanginya.

Ketika sudah dekat, Juan mencoba memanggil Jevan namun tidak ada jawaban. Maka Juan berjalan lebih cepat untuk memeriksa keadaan sahabatnya itu. Juan mendesah pelan saat dia menyadari bahwa Jevan tertidur setelah kelelahan menangis. Atau mungkin juga alkohol telah mengambil alih kesadaran Jevan.

“Gue kira, kisah cintanya Bang Garend, Kak Adzkiya dan Kak Vivian udah paling pedih. Tapi ngeliat kondisi lo sekarang, gue gak bisa mikir gitu lagi. Bang Garend bener ya Jev, takdir itu jahat.”

Juan mendesah pelan, dia merebahkan kepala Jevan ke atas pangkuannya.

“Kalauuuu aja, lo gak ditakdirkan untuk gak akur sama bokap lo. Kalau aja, lo gak ditakdirkan untuk jadi cowo banjingan yang bisa lupain masalah lo cuma dengan nidurin perempuan-perempuan yang rela tubuhnya lo jamah.”

“Kalau aja lo ditakdirin jadi cowok biasa yang bisa duduk main catur sama bokap lo dan gak harus jadi Jevan si tukang nidurin perempuan, gue yakin Elen pasti masih di sini sama lo.”

Juan terpaksa mendongakkan kepalanya sekali lagi. Kepalan tangannya juga kembali menguat.

“Gue gak bisa nyalahin siapa-siapa. Gue gak bisa nyalahin lo dengan pilihan hidup lo, gue juga gak bisa nyalahin Elen yang lebih milih cowok sebaik Kak Kiyo. Dan gue juga gak bisa nyalahin Kak Kiyo karena ngambil Elen dari lo. Karena gue tau Jev, gue tau sesakit apa Elen tiap kali ngeliat lo cabut duluan untuk nyamperin cewek-cewek lo. Gue tau secapek apa Elen harus selalu bersihin muntahan lo ketika lo pulang clubbing sama cewek gak jelas. Dan gue tau sefrustasi apa Kak Kiyo karena selama ini dia tau kalau dia gak mencintai Elen sendirian. Gue tau kalau Kak Kiyo harus selalu hati-hati sama sikapnya supaya rasa cintanya ke Elen, pacarnya sendiri, gak akan nyakitin lo sebagai sahabatnya.”

Sebulir air mata lolos dari mata Juan sekeras apapun dia berusaha menahannya.

“Terus gue, sebagai sahabat kalian harus nyalahin siapa selain takdir?! Kasih tau gue, Jev! Kasih tau gue! Gue benci liat keadaan lo begini! Tapi gue juga harus seneng karena dua sahabat gue akhirnya nikah!”

Sore itu, Juan menggantikan tangis Jevan yang telah usai.

Embun masih menggantung di dedaunan basah yang semalam diguyur hujan. Matahari masih nampak malu-malu untuk menunjukkan dirinya hingga hanya memberi sedikit rona kuning di langit lepas. Udara masih tercium basah, bekas semalam. Jalanan kota masih tampak lengang karena sebagian penghuninya masih terlelap.

Sebuah mobil hitam melenggang santai membelah jalanan kota, menuju sebuah apartemen bertingkat untuk menjemput seseorang. Di dalamnya, si pengemudi tampak rapi dengan kemeja putih yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Jas yang seharusnya laki-laki itu pakai masih digantung di bagasi mobil. Seorang wanita paruh baya yang tampak cantik dengan gaun berwarna biru muda mengisi kursi penumpang di belakangnya. Menyisakan kursi penumpang di samping pengemudi yang dia sengaja siapkan untuk kekasih anaknya.

“Itu Elen!” pekikan gembira terdengar dari belakang, membuat senyum Markio terulas tulus. Laki-laki itu selalu senang dengan respon ibunya tiap kali bertemu dengan Jelena.

“Halo, Cantik.” sapaan itu langsung mengudara tatkala Jelena membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Dua wanita paling spesial di hidup Markio itu bertukar kabar sebentar diselingi tawa rindu.

“Tante gak mau duduk di depan aja?” tawar Jelena merasa tak enak melihat Merry-ibu kandung Markio-justru memilih untuk duduk di bangku belakang.

“Ih gak usah! Pacarmu itu lebih seneng ditemenin kamu dari pada Tante,” gurau Merry, wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari goodie bag berwarna coklat. “Elena, tadi Tante siapin sandwich, dimakan ya, Nak.”

Jelena meraih kotak bekal itu dengan senang. Setelah berterimakasih, gadis cantik itu lalu membukanya dan tersenyum riang.

“Kak, aaaaa.” Suapan pertama dia berikan pada Markio yang sibuk mengemudi, lalu setelahnya dia memasukkan sandwich lezat itu ke mulutnya sendiri.

Perjalanan berjalan lancar tanpa terlambat, setelah berkumpul dengan kawan-kawannya di rumah Raechan, mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Ayu Laga. Tidak lupa menemui Alexander dan keluarga Iskandar untuk beriring-iringan menuju lokasi pernikahan Garend-kakak kandung Klarisa.

Mobil Jevan yang diisi dirinya dan Juan melesat di depan, sebagai penunjuk jalan. Matahari sudah tinggi dan memancarkan teriknya kala mereka keluar dari gerbang tol. Jalanan yang mereka hadapi sekarang adalah jalanan berkelok-kelok menaiki bukit. Di kiri dan kanan jalan dihiasi pepohonan rindang. Suara burung-burung yang berkicau riang bisa mereka dengar kala membuka kaca pintu mobil. Udara bersih memanjakan hidung, mengusir polusi yang menumpuk di paru-paru mereka yang terbiasa hidup di perkotaan. Kira-kira, kurang dari tiga puluh menit lagi mereka akan tiba.

Namun ada sesuatu yang menahan mereka. Suara dentuman kencang menarik perhatian Markio yang tadi fokus mengemudi. Mobil di depannya berhenti, dia melihat Jevan tergopoh-gopoh berlari ke depan mobilnya. Dari kaca spion, dia juga melihat Raechan yang berada di belakangnya juga keluar dari mobil.

“Ada apaan, Jev?” teriak Raechan penasaran.

“Tabrakan Rae.”

Mendengar itu, naluri Markio bekerja lebih cepat daripada otaknya. Secepat kilat dia ikut keluar dari mobil dan berlari menghampiri Jevan yang lebih dulu berada di sana. Dilihatnya seorang pengendara motor terkapar di tengah jalan dan sebuah mobil dari arah berlawanan penyok di bagian depannya. Si pengendara motor tampak tidak bergerak sama sekali, sementara si pengemudi mobil tampak baik-baik saja.

Tanpa berpikir panjang, Markio segera melakukan yang dia bisa. Dia mendekati si pengendara motor dan memeriksa nadinya dengan hati-hati.

“Bantu gue Jev.” Markio memberi intruksi. “Lo pegang dagu sama bagian belakang kepalanya ya, gue yang coba pelan-pelan buka helmnya.”

Dengan gemetar, Jevan mendekat. Tangannya yang amatir menuruti perintah Markio, tapi dia tampak ragu hingga Markio meremat bahunya menenangkan. “Lo jangan ragu Jev. Lo harus pastiin kepalanya gak goyang waktu gue lepas helmnya. Lo yakin ya, kalau kita salah ambil tindakan, bapak ini bisa bahaya.”

Di bawah tatapan Markio yang yakin padanya, Jevan memegang dagu dan bagian belakang kepala pengendara yang tidak sadarkan diri itu dengan mantap. Markio melepaskan helm dari kepalanya dengan hati-hati. Setelah selesai, Markio memberikan pertolongan semampunya, laki-laki itu juga tidak lupa meminta kawannya yang lain untuk menghubungi John Medical, rumah sakit itu adalah tempat Garend dinas, dengan kata lain rumah sakit itu adalah yang terdekat.

Ambulance datang dalam lima belas menit, Markio lalu membantu petugas untuk membawa pasien ke dalam ambulance. Setelah memastikan pasiennya ditangani dengan baik, Markio mendekat pada Jelena. “Aku ikut ke John Medical dulu ya, nanti aku nyusul ke nikahan Bang Garend.”

Setelah itu, Markio kembali melesat masuk ke dalam ambulance. Pintu ditutup oleh petugas. Suara sirine memekakkan telinga menembus sepinya jalan.

Markio terlalu sibuk memikirkan pasien yang ada di depannya hingga laki-laki itu bahkan tidak sadar kalau kemeja putih yang dikenakannya bersimbah darah. Laki-laki itu tidak sadar bahwa rambutnya yang ditata rapi sudah berantakan. Laki-laki itu juga tidak sadar bahwa tadi, saat dia sibuk menolong pasiennya, ada sepasang mata yang tidak lepas memandangnya.

Mata itu adalah milik Iskandar.

Yang setelah suara sirine ambulance tidak terdengar lagi, perlahan-perlahan mendekati anak gadisnya.

“Papa punya kemeja lagi di koper. Nanti kamu kasih ke pacarmu ya, kemeja Markio kotor kena darah. Kasian dia.”


Markio terlambat beberapa menit pada acara pemberkatan Garend dan Vivian. Calon dokter itu berjingkat-jingkat masuk agar tidak mengundang perhatian. Dia bisa melihat kawan-kawannya duduk berkelompok dengan jarak beberapa kursi darinya.

Di depan sana, Garend dan Vivian tampak serasi dibalut pakaian serba putih. Klarisa duduk di sebelah ayahnya, mereka berdua menyisakan sebuah kursi kosong yang diperuntukan untuk mendiang ibu Klarisa.

“Kemeja kamu kotor.” Markio hampir mengumpat saat suara itu terdengar lirih namun mengejutkan. Untung saja kata-kata kotor tidak sempat keluar dari bibirnya. “Nanti ganti saja sama punya Om. Tadi Om udah pesan ke Elena untuk kasih kemeja itu ke kamu.”

Markio mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, ragu akan penglihatannya sendiri. Dia ragu bahwa yang duduk di sebelahnya dan mengajaknya bicara adalah Iskandar, ayah Jelena.

“Kenapa diam saja? Tidak mau?”

“Mau Om!” Markio mendesis semangat, namun ada perasaan malu-malu menyelip di antara suaranya.

Mereka berdua lalu sama-sama menatap ke depan. Menatap ke arah Garend dan Vivian yang sedang memasukkan cincin ke tangan pasangan mereka.

“Nanti kalau kamu selesai co-ass, datang ke rumah Om dan Tante, kita bicarakan pernikahan kamu dan Elena.”

Selepas mengucapkan kalimat yang berdampak besar pada Markio, Iskandar berlalu seolah tidak melakukan apa-apa. Meninggalkan Markio dan bibirnya yang kelu. Tubuhnya nyaris bergetar, disengat kebahagiaan yang mengalir di setiap sel darahnya. Jika boleh, Markio ingin menari-nari senang. Menjemput gadisnya yang bahkan tidak tahu tentang apa yang baru saja dia dengar.

Sungguh, hari ini bukan hanya hari besar bagi Garend, tapi juga bagi juniornya yang tidak berhenti tersenyum lebar. Bahkan hingga pesta itu usai.

Beberapa bulan lalu, Raechan pernah melihat Jevan terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit karena dipukuli oleh ayahnya. Hari ini laki-laki yang gemar mengenakan kaus berwarna hitam itu harus melihat sahabatnya terkapar lemas di atas ranjang berukuran besar yang terletak di rumahnya yang lebih mirip istana. Luka-luka akibat pukulan yang dialami Jevan sudah mulai sembuh. Namun ada luka lain yang baru saja tercipta hari ini. Luka yang jauh lebih menyakitkan, karena hingga saat ini pun belum ada satupun dokter yang mampu menemukan obat untuk meredakan sakitnya.

Wajah Jevan muram, aura ketampanannya sedikit luntur. Tapi meskipun begitu, Raechan tetap mentertawainya. Membuat Jevan bersungut-sungut kesal.

“Lo sayang banget ya Jev sama Elen?”

“Ya lo pikir aja sendiri,” jawab Jevan ketus. Kalau boleh, dia ingin sekali mengusir Raechan dari kamarnya dan tidur saja seharian dengan bantuan obat tidur. Dipikirannya, itu akan terasa jauh lebih menyenangkan dari pada meladeni Raechan dan wajah tengilnya.

“Jev, katanya, level mencintai paling tinggi tuh merelakan orang yang kita sayang buat bahagia sama orang lain loh. Nah, kaya lo sekarang ini nih, artinya rasa sayang lo buat Elen udah berada di level paling tinggi, udah mentok. Harusnya lo bangga, jangan malah sedih gini.”

“Taik kucing.”

Sungguh, saat ini Jevan ingin sekali melempar Raechan dengan lampu tidur yang berada di atas nakas sebelah ranjang. Supaya kepala sahabatnya itu pecah, atau paling tidak bibirnya robek dan tidak bisa lagi digunakan untuk mengoceh.

“Dari buku yang gue baca juga, katanya....”

“Lo pilih diem apa gue lakban mulut lo?!” gertak Jevan geram.

“O...oke, gue diem.”

Raechan mengalah, dia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat mulutnya. Perhatiannya dia alihkan ke meja panjang yang berada di dekat jendela kamar Jevan. Di atas meja panjang itu, berderet bingkai foto yang ditata begitu apik. Mulai dari Jevan kecil hingga usianya menginjak delapan belas tahun. Raechan melihat satu-persatu foto itu dan mengagumi bagaimana wajah Jevan tidak berubah sejak dulu. Jevan kecil sudah terlihat begitu tampan meskipun dengan gigi depan yang ompong. Ketampanannya semakin bertambah saat laki-laki itu sudah mulai tahu cara merawat diri. Di sebelah meja panjang, terdapat rak kecil berisi buku-buku yang bungkus plastiknya belum terbuka. Buku-buku itu adalah buku-buku yang sama dengan yang Jelena miliki. Jevan selalu membelinya, padahal laki-laki itu sama sekali tidak suka kegiatan membaca buku. Jevan hanya membelinya untuk mengingat buku mana yang sudah dan belum Jelena miliki.

Di atas rak buku, Raechan melihat beberapa bingkai foto yang dipajang di dinding. Foto itu adalah foto-foto persahabatan mereka. Ada foto Raechan, Jevan, Jaenandra dan Juan yang diambil saat kelulusan SMP mereka. Ada foto mereka berempat bersama Markio yang diambil beberapa bulan lalu di depan gedung Fakultas Kedokteran saat mereka ikut dengan Markio untuk melihat calon kampus mereka. Ada juga foto Klarisa dan Jelena yang saling merangkul di pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Ada foto mereka semua tersenyum manis di depan perkebunan teh yang diambil oleh Garend di perkebunan teh milik ayah Klarisa.

Dari semua foto itu, ada satu foto yang paling menarik perhatian Raechan. Foto yang hanya dipasang seadanya, tanpa bingkai, hanya diberi selotip di setiap ujungnya. Seolah foto itu sengaja dibiarkan seperti itu agar bisa dilepas kapan saja dari dinding.

Foto yang Raechan maksudkan adalah foto Jevan dan Jelena, yang juga diambil saat pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Jevan tampak mencium pipi kanan Jelena yang sedang tersenyum riang menatap kamera. Tangan mereka saling rangkul, lengan Jevan berada di bahu Jelena dan lengan Jelena berada di pinggang Jevan.

Sungguh manis.

Namun terasa menyakitkan jika dilihat saat ini.

Meningat bahwa Jevan dan Jelena tidak akan bisa seperti itu lagi. Mengingat siang tadi, Markio telah meresmikan dirinya sebagai kekasih Jelena.

“Copot aja Rae fotonya.”

Raechan tersentak kaget karena suara itu. Baru disadarinya saat ini Juan telah berada di kamar Jevan dengan kedua tangan yang penuh membawa berbagai makanan dan minuman.

“Buat apa juga dipasang, cuma bikin sakit hati.” tambah Juan lagi. “Iya kan, Jep?”

Jevan hanya mengangguk lemah mengiyakan. Dia kembali menenggelamkan dirinya pada kasur namun dengan gerakan cepat Juan menarik tubuhnya untuk duduk.

“Duduk, makan, lo pasti belum makan kan dari tadi siang?”

“Gue gak napsu...”

“MAKAN!” titah Juan menolak bantahan, “lo begini juga gak akan bikin Elen balik ke lo, Jep. Lo mau nahan laper sampe busung lapar juga gak akan bikin Kak Kiyo ngelepas Elen buat balik sama lo lagi.”

Jevan melirik Raechan dengan wajah memelas, memohon pertolongan. Namun Raechan pura-pura tidak menyadarinya karena tidak ingin terlibat dalam masalah besar. Ketika Juan sudah memulai pidatonya, maka mereka sudah seharusnya mendengarkan. Menginterupsi pidato Juan hanya akan membawa mereka pada masalah baru.

“Lagian bego banget jadi orang, udah tau sayang sama Elen, cinta sama Elen, malah masih aja deketin cewek sana-sini. Lo pikir karena Elen sebaik itu dan gak nuntut hubungan resmi sama lo, itu artinya dia terima-terima aja lo gantungin? Ya enggak, lah!”

Wajah Jevan semakin memelas.

Raechan pura-pura sibuk dengan buku yang dia ambil dari rak.

“Makanya lo harus makan, jangan jadi lebih tolol lagi. Kan katanya lo juga udah ikhlas Elen sama Kak Kiyo!”

Juan sibuk membuka beberapa bungkus roti dan cemilan, dia juga mengulurkan sekotas susu cokelat pada Jevan. Mau tidak mau, untuk meredakan omelan Juan, akhirnya Jevan mengambil sepotong roti untuk teman susu cokelat dingin yang baru dia terima.

“Gue kan lagi sedih ya, harusnya dihibur. Tapi kalian malah begini, yang satu ngetawain, yang satu marahin.”

“Emang kehadiran kita gak cukup menghibur lo, Jev?” tanya Raechan polos.

“Iya, iya, nenghibur kok,” jawab Jevan pasrah pada akhirnya.

“Abis lo makan kita langsung jalan ya? Anak-anak udah otw juga soalnya.” Raechan berbicara tanpa menatap sahabat-sahabatnya, laki-laki itu masih sibuk membolak-balikkan buku yang dia ambil dari rak. Membaca kata-kata di belakang buku laku meletakannya kembali.

Jevan hanya mengangguk dalam diam, mulutnya masih sibuk mengunyah. Sementara Juan juga bungkam seribu bahasa seraya tetap memelototi sahabatnya yang terpaksa terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Suasana Neology Cafe sedikit berbeda dengan Audore Cafe. Cafe milik kenalakan Raechan ini didesign dengan lebih modern, bangunan cafe dibuat tinggi dengan penerangan yang baik, kursi-kursi ditata rapi dengan jumlah empat kursi permeja lalu diatur dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain. Dinding cafe dihiasi berbagai lukisan klasik dengan berbagai jenis ukuran. Pada salah satu sudut, yang paling dekat counter pemesanan, terdapat sebuah rak yang berisi beberapa buku dan beberapa jenis board game. Di sini juga tidak ada live music, peran itu digantikan oleh alunan lagu yang berasal dari pengeras suara yang entah dimana diletakannya.

Jelena dan sahabat-sahabatnya memilih kursi yang paling dekat dengan jendela kaca. Mereka diizinkan untuk menggabungkan dua meja agar tetap bisa ada dalam satu lingkup yang sama.

“Eh tau gak, kemarin gue liat kating cakep banget. Gue gak tau namanya siapa, tapi dia panitia ospek juga.” Raechan berbicara dengan menggebu, menarik atensi yang lain. “Gila sih, pas liat dia, gak ada loh perasaan playboy gue kayak biasanya. Rasanya pengen gue nafkahin lahir batin tuh cewek.”

“Yang mana Rae?” Jevan bertanya penasaran.

“Ada lah, paling cantik pokoknya.”

Di tengah-tengah pembahasan itu, ponsel Jelena bergetar- panggilan masuk dari papanya. Untuk sesaat gadis itu termangu, menatap kosong ponselnya yang menyala-nyala.

“Angkat aja, yuk aku temenin di depan.”

Jelena mengangguk. Gadis itu membiarkan tubuhnya dibimbing untuk keluar dari cafe.

“Halo, Pa?” sapa Jelena pada akhirnya, setelah meyakinkan diri. Tangan gadis itu sedikit gemetar, untuk beberapa alasan, Jelena terlalu takut untuk mengangkat panggilan dari ayah kandungnya itu.

Seseorang di sebrang sana terdengar mendesah pelan lalu berkata, “Jadi kamu memilih untuk mengabaikan peringatan Papa, Elena?”

Sebelah tangan Jelena yang terkulai di sisi tubuh langsung mengepal mendengar pertanyaan itu. Otaknya berputar mencari jawaban yang tepat meski tidak kunjung mendapatkannya.

Papa melarang kamu untuk berhubungan lebih dari sekedar teman, tapi kalian jutru menjadi pasangan?”

Telinga Jelena berdengung. Deguban jatung gadis itu semakin cepat. Dia memaki dirinya sendiri karena tidak kunjung bisa memberi jawaban untuk ayahnya.

Sementara Markio merangkul bahu kekasihnya dengan lembut. Memberi elusan sedikit di sana dan berharap itu akan memberikan sedikit ketenangan. Markio bisa mendengar semuanya, jadi dia paham sekali bagaimana perasaan Jelena saat ini. Namun sejauh ini, yang bisa dia lakukan hanyalah hal ini. Dia bisa saja merampas panggilan itu dari Jelena dan berbicara dengan Iskandar-tapi itu jauh sekali dari norma kesopanan.

Elena, kamu dengar Papa?

“Iya, Pa.” Dengan susah payah akhirnya kalimat itu keluar dari bibir Jelena. “Aku gak bermaksud membangkang larangan Papa, aku cuma ikutin kata hati aku Pa.”

Elena....”

“Kak Kiyo, dia bakal tunjukin ke Papa kalau gak semua dokter seperti apa yang ada di pikiran Papa selama ini. Selamat malam, Pa.”

Dengan satu kali gerakan, Jelena mematikan ponselnya. Dia lalu menatap Markio yang juga tengah menatapnya. Lewat tatapan mata itu mereka saling menguatkan, tanpa kata-kata, tanpa suara.

“Hm? Iya, ini gue udah di depan apart Jevan, lo tidur gih, makasih ya udah nemenin nyetir.”

Di seberang sana, gadis yang diajak bicara oleh Markio menguap sekali lagi. Rasa kantuk sudah sangat menguasai kesadaran gadis itu tidak perduli seberapa keras dia berusaha untuk tetap terjaga. Kedipan matanya mulai melambat, badannya sudah luruh sepenuhnya menempel pada kasur empuk dan bersembunyi di balik selimut hangat.

Iya, Kak. Nanti jangan sampe telat ya kalian berdua. Dan makasih udah mau nemenin Jevan.”

Senyum Markio melebar, menghargai usaha Jelena untuk terus meladeninya sejak tadi. Jika ada Jelena di depannya saat ini, ingin sekali Markio mencubit kedua pipinya yang seputih susu karena gemas.

“Iya, selamat tidur, Elena.”

Selamat begadang, Kak Kiyo.

Telepon ditutup, meninggalkan Markio di lorong panjang apartemen Jevan yang senyap. Sekarang sudah pukul dua pagi, dia yakin, hampir keseluruhan penghuni apartemen sedang berkelana di alam mimpi mereka. Beberapa mungkin meringkuk sendirian ditemani angin malam, sementara yang lain mungkin ada dalam dekapan orang-orang tersayang.

Markio meneruskan jalannya, membelah redupnya koridor hingga dia menjumpai pintu bertulisan 15.4 tepat di atasnya. Tidak perlu mengetuk pintu, Markio tinggal menekan beberapa digit angka-yang sudah dia hafal di luar kepala, pada layar kecil di salah satu sisi pintu. Saat pintu terbuka, keadaan apartemen sangat gelap dan sepi. Hanya suara detik jam dinding yang mengisi kekosongan, sisanya hanya suara samar-samar petikan gitar yang terdengar lebih lirih dari hembusan angin.

Markio menyalakan lampu, membuat seisi apartemen terlihat jelas. Laki-laki itu lalu meletakkan dua burger dan tiga ayam goreng di piring yang diambilnya dari dapur. Tanpa banyak bicara, Markio berjalan ke arah kamar yang pintunya dibiarkan terbuka.

Sahabatnya ada di sana, memandang lurus ke arah gedung-gedung pencakar langit di sebrang apartemen dari jendela kaca yang dia biarkan terbuka. Tangannya masih sibuk memetik gitar secara asal, menciptakan suara abstrak yang terdengar pilu. Alunan musik abstrak itu sedikit menyentil perasaan Markio yang memang sudah sejak awal merasa khawatir akan keadaan sahabatnya.

I have a father, but never had a dad.”

Kutipan pilu itu Jevan unggah pada media sosialnya beberapa jam lalu. Unggahan yang menjadi pemantik bagi Markio itu secepat kilat menemui sahabatnya ini. Walaupun saat itu, sebenarnya, dia tengah asik berbincang dengan wanita yang dia puja.

“Mau makan atau mau gitaran dulu?”

Entah apa yang ada dalam fikiran Jevan saat itu, tapi dirinya benar-benar tersentak oleh pertanyaan Markio yang tiba-tiba. Sepertinya apapun itu yang sedang dia pikirkan adalah hal yang rumit, mengingat laki-laki itu bahkan sama sekali tidak mengetahui kedatangan Markio.

“Kak... Lo dari kapan ada di situ?” Jevan bertanya sambil memegangi sebelah dadanya yang terasa nyeri akibat rasa terkejut. Tapi jauh di dalam hatinya, dia bersyukur atas kehadiran Markio.

“Dari tadi.”

“Kok gue gak tau?”

“Yeee lonya aja yang ngelamun mulu sampe gak tau gue dateng.” Markio menoyor pelan kepala Jevan, berusaha merebut keresahan laki-laki muda itu agar bisa dibagi dengannya. Markio tidak ingin Jevan memendam segala kesedihannya sendirian. “Mau makan atau gitaran dulu nih?”

“Gue makan, lo yang gitarin.” Ada secercah senyum menghiasi wajah Jevan yang tadi dingin tanpa ekspresi. Senyum yang juga menjadi penenang hati Markio yang dipenuhi perasaan khawatir. Senyum yang memberi bahan bakar pada semangat Markio untuk memetik gitar yang diambilnya dari pangkuan Jevan.

Markio diam sebentar, menimbang-nimbang lagu apa yang harus dia mainkan. Sementara Jevan menunggu dengan sabar, mulutnya sibuk mengunyah burger yang dibawa Markio.

Father, I'm gonna say thank you Even if I'm still hurt Oh, I'm gonna say bless you I wanna mean those words

Seperti mendapat berkah dari Tuhan, tiba-tiba saja Markio terfikirkan lagu itu. Suaranya beriringan pelan dengan senar gitar yang dia petik. Jevan yang duduk di sampingnya menatapnya pilu. Burger di tangan laki-laki itu bahkan terabaikan. Jevan seakaan tersihir lirik lagu yang Markio lantunkan.

Always wished you the best I, I prayed for your peace Even if you started this This whole war in me

Suara berat Markio memecah heningnya malam. Mengisi relung-relung kosong, membangunkan jiwa-jiwa yang dipaksa mati, manarik kemarahan-kemaran yang terpendam. Lagu yang Markio mainkan seperti jeritan hati Jevan yang tidak pernah laki-laki itu biarkan keluar.

You did your best or did you? Sometimes I think I hate you I'm sorry, dad, for feeling this I can't believe I'm saying it

Gemuruh menyiksa jiwa Jevan kala lirik yang terdengar makin bisa dia mengerti. Tenggorokannya terkecat, keadaan hatinya terasa diacak-acak.

I know you were a troubled man I know you never got the chance To be yourself, to be your best I hope that heaven's given you A second chance

Wajah ayahnya terbayang dalam benak Jevan. Laki-laki yang selalu dia panggil dengan sebutan papa namun tidak pernah melakukan tugasnya dengan benar. Kini, wajah yang familiar itu seperti terpantul pada jendela kaca yang sedang dia tatap. Semakin besar, semakin besar...

Father, I'm gonna say thank you Even if I don't understand Oh, you left us alone I guess that made me who I am

Markio mengakhiri nyanyiannya tepat saat pantulan wajah Alexander meledak dan menjadi butiran debu yang terbang bersama hembusan angin. Meninggalkan Jevan pada kebencian serta rasa sayang yang dia miliki untuk ayahnya.

“Gak napsu makan lagi gue, lo sih Kak pilih lagu itu!” Jevan pura-pura merajuk untuk menyembunyikan perasaannya yang tidak bisa dia definisikan bagaimana rasanya.

Tapi Markio bukanlah seseorang yang bodoh. Dia bisa membaca gerak-gerik Jevan yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun itu.

“Padahal gue kesini buat dengerin lo cerita.” Markio merebahkan tubuhnya di atas ranjang Jevan, masih setia dengan gitarnya yang mengalunkan melodi acak. “Lo tau gak Jev? Menurut penelitian, perempuan itu lebih mudah depresi dari pada laki-laki, soalnya hormon mereka lebih bisa mempengaruhi suasana hati. Tapi tau gak kenapa kasus bunuh diri laki-laki lebih banyak dari pada yang perempuan?”

“Kenapa?”

“Karena laki-laki selalu nyembunyiin masalah mereka.” Tidak ada yang berubah dalam nada suara Markio, setiap kata yang keluar dari mulutnya juga selalu hati-hati dan tertata. Dia melakukannya agar Jevan bisa perlahan-lahan membuka diri. “Karena dari kecil kita diajarin untuk kuat, gak dibolehin nangis untuk masalah sepele, dikatain banci kalau curhat. Padahal gak seharusnya begitu. Perasaan itu gak mengenal gender, laki-laki ataupun perempuan, kita semua berhak sedih kalau emang lagi ngerasa sedih.”

Markio menghentinkan petikan gitarnya, dia memukul-mukul pelan punggung Jevan yang merunduk. Markio tidak bisa melihat wajah Jevan karena posisinya yang tengah berbaring-dan Jevan sedang duduk-namun dia bisa merasakan aura sendu mengelilingi sahabatnya itu.

Mulut Jevan masih terkunci rapat, gebrakan yang coba Markio lakukan belum juga bisa membuatnya bicara. Markio menghela napas pendek, bukan karena kesal pada Jevan yang tidak kunjung mau bicara, tapi dia kecewa pada dirinya sendiri karena belum bisa menjadi sosok yang dipercaya Jevan untuk menumpahkan keluhnya.

Saat Markio terpuruk dalam pikirannya itulah tiba-tiba Jevan ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mereka akhirnya sama-sama menatap langit-langit kamar apartemen Jevan sebelum laki-laki itu akhirnya berkata, “Papa lebih susah move on dari Elen ternyata, Kak.”

Ada suara mengadu dalam kalimat Jevan itu. Dia seperti mengadukan perlakuan buruk teman sebayanya pada kakak laki-lakinya.

“Waktu pulang dari anterin Elen ke apartemen, gue bilang ke Papa kalau Elen gak bisa sering-sering dateng ke rumah kayak dulu lagi karena sekarang Elen udah sama lo, tapi Papa malah gak terima. Aneh ya, gue aja ikhlas lo sama Elen masa Papa enggak.”

Bibir Jevan mengerecut, membuat Markio gemas. Jevan adalah sosok laki-laki pemain di luar sana tapi di sini, di dalam pertemanan yang mereka bangun, Jevan sering kali bersikap menggemaskan-terlebih pada Markio.

“Maaf ya Kak, seharusnya Papa gak kayak gitu.”

Kekehan Markio makin terdengar memeriahkan indera pendengaran Jevan. “Ngapain lo minta maaf sih, Jev?” ledek Markio. “Kayaknya kalau anak gue deket sama cewek sebaik Elen, terus mereka pisah, gue bakal segalau Papa lo juga sih.”

Jevan terbelalak, dia terlalu terkejut dengan jawaban Markio. Dia memiringkan posisi tidurnya agar bisa dengan jelas melihat wajah Markio, barang kali saja dengan begitu dia bisa membaca apa yang sebenarnya ada di pikiran Markio, bukan hanya apa yang keluar dari bibirnya. Namun nihil, Jevan tidak mendapatkan apa-apa, yang dia hanya sorot mata ketulusan. Karena memang begitulah Markio, apa yang dia katakan akan selaras dengan apa yanh dia fikirikan.

Elen, she makes everyone around her fall for her charms. Dan gue gak akan pernah menyalahkan siapapun untuk itu, karena gue juga jatuh ke pesonanya,” ucap Markio untuk menutup malam itu.

Kehidupan perkuliahan seperti angin baru bagi para siswa yang baru saja lepas dari seragam mereka. Kelas yang tidak selalu dimulai di pagi hari, area kampus yang jauh lebih besar dan dilengkapi berbagai fasilitas, juga hal kecil lainnya seperti mereka yang mulai bisa memadupadankan pakaian sesuai dengan style mereka sendiri tanpa harus menuruti aturan pakai yang selalu ditetapkan sekolah.

Hal itu juga dirasakan oleh Jelena, gadis itu telah lama mendambakan hari-harinya sebagai seorang mahasiswi. Sejak semalam, dia sudah mempersiapkan semuanya. Pakaian yang akan dikenakannya, tas yang akan dibawanya, juga sepatu yang akan menjadi alas kakinya. Jelena memastikan tidak ada satupun barang-barangnya yang akan memantik amarah para seniornya nanti. Lebih dari itu semua, Jelena menyiapkan mentalnya. Dia sadar betul, seiring dengan perubahan statusnya, maka berubah pula tanggung jawabnya.

Syukurnya hari ini tidak terjadi satupun kejadian aneh, Jelena bisa mengikuti rangkaian kegiatan penyambutan mahasiwa baru dengan baik. Setelah acara seminar utama selesai, seluruh mahasiswa baru dipersilakan untuk berkumpul di jurusannya masing-masing, membahas mengenai ospek jurusan yang akan dilaksanakan pada dua hari terakhir parade penyambutan mahasiswa baru tahun ini.

Jurusan Jelena selesai lebih dulu, membuatnya harus duduk seorang diri di public area yang berdekatan dengan parkir mobil. Gadis itu harus menunggu kawan-kawannya yang lain, juga Markio yang baru akan menyelesaikan kelasnya sekitar tiga puluh menit lagi. Jelena memutuskan untuk mengenakan earphone dan mendengarkan lagu dari aplikasi berbayar di ponselnya untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi, belum sampai satu lagu diputar, seseorang melepaskan sebelah earphone dari telinganya.

“Gimana hari ini?”

“Lancar, lo gimana Wan?”

“Lancar.”

Juan duduk di sebelah Jelena, mereka lalu menatap mahasiswa lain yang lalu lalang di depan mereka.

“El.”

“Hm?”

“Gue boleh nanya sesuatu gak?” ucap Juan tanpa menatap Jelena sama sekali.

Ada kekehan yang terdengar dari bibir ranum Jelena atas pertanyaan itu. “Tanya apa?”

“Lo kok bisa cepet banget lepas dari Jevan dan deket sama Kak Kiyo?”

“Karena sekarang gue udah pakai otak gue Wan.”

Juan mengalihkan tatapannya sepenuhnya pada Jelena, menanti gadis itu melanjutkan kalimatnya.

“Waktu sama Jevan, gue selalu duluin hati gue dibanding logika. Gue selalu ikutin kata hati gue untuk terus sama dia karena gue ngerasa gue butuh dia dan dia butuh gue. Padahal waktu itu, logika gue terus-terusan bilang kalau kelakuan Jevan banyak yang nyakitin hati gue, tapi gue gak mau denger Wan. Gue selalu berusaha gak perduli sama kenyataan itu, asal Jevan seneng, asal Jevan terus ada buat gue. Sayang sama Jevan bikin gue gak sayang sama diri gue sendiri.”

Semilir angin menerpa mereka berdua, membuat rambut Jelena yang diikat asal bergerak-gerak pelan.

“Sampai akhirnya dia lepasin gue, dia bilang kalau kita gak akan pernah bisa lebih dari sahabat. And I decided to accept it that way, karena gak ada gunanya terus-terusan maksain diri buat sama Jevan di saat dia sendiripun merasa ada yang lebih bisa bahagiain gue. Gue juga ngerasa... kalau Jevan terus nahan gue, dia juga gak akan bisa bahagiain dirinya sendiri. Dia akan terus merasa bersalah untuk deket sama banyak cewek padahal sumber kebahagiannya ada di sana. Makanya gue menerima keputusan Jevan, untuk kebaikan dia dan untuk kebaikan gue juga.”

Juan terus mendengarkan tanpa menyela. Laki-laki itu tidak menyangka satu bait pertanyaannya akan mendapat jawaban segamblang ini.

“Dan tentang Kak Kiyo... let's be realistic, gak akan ada yang bisa nolak pesona laki-laki sebaik dia, sesantun dia, dan sedewasa dia, Wan.” Jelena akhirnya menjatuhkan tatapannya pada Juan. “Sama Kak Kiyo, gue gak cuma pakai hati, tapi juga pakai logika. Gue jadi sadar, kalau cinta yang menggabungkan hati dan logika, jauh lebih bisa bikin bahagia. Gue gak melulu mikirin harus gimana gue bahagiain pasangan gue, tapi gue juga jadi bisa mikirin pasangan gue harus ngelakuin apa supaya gue bahagia. Gue bisa minta Kak Kiyo nemenin gue ke toko buku, gue bisa minta Kak Kiyo nemenin gue beli baju, gue bisa minta Kak Kiyo lakuin apa aja yang bisa bikin gue seneng. Dan di saat gue bahagia, lebih mudah juga buat gue untuk bahagiain Kak Kiyo. Hubungan yang coba gue bangun sama Kak Kiyo, bikin gue merasa lebih hidup.”

Ada sinar mata yang begitu tulus yang bisa Juan tangkap dari kedua mata Jelena ketika akhirnya gadis itu mengatakan kalimat terkahirnya.

“Lebih dari semua itu, Kak Kiyo gak bikin gue bingung Wan. Kak Kiyo gak bikin gue bertanya-tanya tentang perasaannya. Kak Kiyo gak bikin gue harus meraba-raba tetang gimana hubungan kita. Kak Kiyo itu jelas, perkataannya, sikapnya, tindakannya, semuanya jelas. With him, I feel secure.”

Jelena yang merasa dicintai, namun Juan yang mengucap syukur dalam hati. Jelena, sahabatnya yang selama ini selalu lebih mementingkan Jevan akhirnya bisa merasakan cinta yang sepantasnya dia terima. Juan bersyukur bahwa sahabatnya yang berhati mulia ini akhirnya bisa dimuliakan oleh laki-laki yang tepat.

Juan sedih tiap kali Jevan harus berbohong pada perasaannya, tapi di sisi lain dia merasa bahagia atas apa yang Markio dan Jelena tengah rasakan saat ini.

“Gue gak jahat kan ya Wan?”

Sebelah tangan Juan terangkat untuk merangkul bahu Jelena. Laki-laki itu mengusapnya pelan, seolah mengatakan bahwa apa yang gadis itu lakukan adalah tindakan yang benar.

“Enggak, El. Lo sama sekali gak salah.”

Obrolan mereka terputus karena ponsel yang berada di tangan Jelena bergetar menandakan ada panggilan masuk. Kontak Kak Kiyo muncul pada layar yang menyala itu. Jelena menatap Juan sebentar untuk meminta izin mengangkat panggilan tersebut.

“Angkat, calon pacar tuh,” ledek Juan.

Jelena hanya tersenyum meledek lalu menempelkan ponsel pada telinganya.

“Halo Kak?”

Butuh tisu gak?” Suara Markio di seberang sana terdengar khawatir.

“Tisu buat apa?”

Mata lo berkaca-kaca waktu ngobrol sama Wawan.”

Jelena menyerngit atas jawaban itu, dia mencoba melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Markio. Laki-laki itu tahu dia sedang bersama Juan berarti Markio ada di sekitar sini.

Di arah jam 3.”

Seakan tahu gelagat Jelena, Markio memberitahu keberadaannya lebih dulu. Mata mereka bertubrukan kala Jelena akhirnya menemukan Markio. Kakak senior sekaligus sahabatnya itu tengah berdiri di lorong yang menghubungkan aula dengan area parkir.

“Dari kapan disana?”

Dari tadi.”

“Kok gak kesini aja?”

Samar-samar Jelena bisa melihat senyum Markio sebelum laki-laki itu menjawab, “Lo kayaknya lagi ngobrol serius sama Wawan. Gue gak tau sih ngobrolin apa, tapi rasanya gak sopan aja motong obrolan kalian makanya gue tunggu di sini dulu sampai kalian selesai. Tapi tiba-tiba gue liat raut wajah lo sedih, lo kaya mau nangis, makanya gue tawarin tisu. Gue gak mau liat lo nangis lagi.”

Kali ini Jelena yang menyunggingkan senyum.

“Gue gak nangis kok Kak,” ucap Jelena pelan. “Sini, gue butuh recharge energi, seharian kan kita gak ketemu.”

Mendengar permintaan gadisnya, Markio langsung mematikan sambungan telepon dan berjalan mantap ke arah Jelena.

Diam-diam Jelena bersyukur bahwa hari ini berjalan baik hingga akhir.

Main Dome Dream High School yang siang tadi digunakan untuk perhelatan akbar upacara kelulusan kini telah disulap menjadi lantai dansa dengan gemerlap lampu yang menyilaukan. Panggung yang siang tadi digunakan sebagai tempat duduk para jajaran pengajar, kini dialih fungsikan sebagai panggung musik yang megah. Satu set alat musik tersedia lengkap, bahkan dj gears juga nampak di salah satu sisi. Di sisi kanan dekat dengan pintu masuk, di sediakan meja panjang berisi berbagai jenis makanan dan minuman yang bisa dinikmati siapa saja yang datang. Sementara di sisi kiri disediakan beberapa meja bundar serta kursi yang dihiasi bunga-bunga cantik pada sandarannya.

Jevan dan kawan-kawannya menempati salah satu meja yang paling dekat dengan pintu keluar. Mereka duduk melingkar dengan posisi Jaenandra-Klarisa-Jelena-Raechan-Jevan-Juan. Dalam posisi ini, Jevan duduk tepat bersebrangan dengan Jelena yang malam ini tampak cantik dalam balutan gaun hitam tanpa lengan. Rambut hitam panjang gadis itu dibuat sedikit bergelombang dan dibiarkan tergerai. Wajah ayu Jelena dipoles sedemikian rupa hingga auranya menyala bertubrukan dengan kilau lampu. Gadis itu juga memilih beberapa aksesoris untuk melengkapi penampilannya. Jika Jevan boleh menggambarkan penampilan gadis itu dalam satu kata, maka sempurna adalah kata yang paling tepat.

Sulit bagi Jevan untuk mengalihkan tatapan pada Jelena. Matanya terus tertaut pada figur yang dengan anggunnya duduk di seberang sana. Gadis itu nampak beberapa kali mengecek ponselnya, mengetikkan sesuatu, sesekali ada senyum cerah pada wajah gadis itu kala dia sedang sibuk dengan ponselnya. Gelagat Jelena seperti tamparan keras bagi Jevan bahwa gadis yang begitu dia inginkan itu sedang dibahagiakan oleh seseorang yang bukan dirinya.

“Bening banget ya Elen? Nyesel gak lo sekarang, Jep?” Bisikan itu datang dari arah kiri Jevan, begitu lirih hingga bulu-bulu halus pria itu meremang.

“Berisik lo Wan,” balasnya kecut.

Setelah teguran itu, Jevan berusaha mengalihkan pandangannya. Meskipun hatinya terus berbisik agar dia menikmati kecantikan Jelena lagi.

Untung saja, sebuah suara dari panggung mengaburkan bisikan itu. Seorang pemandu acara tampak berdiri di sana dengan riangnya.

“Oke temen-temen, jadi acara malam ini dikhususkan untuk kalian yang secara resmi melepas seragam putih abu-abu dan naik satu tingkat untuk menuju jalan yang baru. Selamat atas kelulusannya dan semoga apapun langkah yang kalian ambil setelah ini diberi kelancaran dan kemudahan!”

Sorak sorai terdengar dari setiap meja.

Sooooo, to celebrate this moment, let's dance, everybody!

Setelah si pemandu acara turun dari panggung, lampu utama dimatikan, digantikan lampu warna-warni yang membuat meriah suasana. Lagu pertama diputar, semua orang turun ke lantai dansa termasuk Jevan dan kawan-kawannya.

Lagu milik Yellow Clawn yang berjudul Till It Hurts menjadi lagu pembuka. Semua orang bergerak mengikuti irama. Beberapa dari mereka membuat kelompok besar untuk menikmati musik bersama, beberapa yang lain memilih untuk berpasang-pasangan. Lagu meriah silih berganti dimainkan, membakar gelora muda-mudi yang ada di ruangan tersebut. Mereka menari seolah tidak ada hari esok. Menikmati waktu 40 menit yang diberikan meskipun itu hanya terasa sepersekian detik saja bagi mereka.

“Udah nih?”

“Lagi dong!”

“GAK MAU PULANG, MAUNYA DIGOYANG.”

Komentar-komentar itu datang kala para tamu undangan dipersilakan untuk kembali duduk. Mereka akan memasuki sesi pagelaran musik dimana siapapun yang ingin naik ke panggung untuk menyanyikan satu atau dua buah lagi dipersilakan.

Beberapa orang langsung mendaftar dan menunggu giliran mereka, saat itulah Jevan pamit pada kawan-kawannya untuk ke kamar mandi. Tidak ada yang menaruh curiga padanya sampai tiba-tiba Jevan berdiri di atas panggung dengan canggung.

“Hmm... Hai! Hehehe,” mulai Jevan dengan gugup. Berbanding terbalik dengan respon ramai yang diterima laki-laki itu.

Beberapa pasang mata gadis-gadis lekat menatap ke arah panggung. Menanti penampilan dari satu-satunya siswa yang mendapat predikat sebagai “Most Wanted Man” di sekolah ini.

“Gue gak tau mau ngomong apa, langsung aja lah ya.” Jevan mengambil salah satu gitar lalu duduk di kursi dan memangku gitar yang tadi diambilnya. Laki-laki menyesuaikan mic dengan tingginya kemudian memulai memetik senar gitar dan menciptakan alunan yang syahdu.

Walking down 29th and Park I saw you in another's arms Only a month we've been apart You look happier Saw you walk inside a bar He said somethin' to make you laugh I saw that both your smiles were twice as wide as ours Yeah, you look happier, you do

Suara berat Jevan menyatu dengan petikan gitarnya. Beriringan merdu.

Ain't nobody hurt you like I hurt you But ain't nobody love you like I do Promise that I will not take it personal, baby If you're movin' on with someone new 'Cause baby you look happier, you do My friends told me one day I'll feel it too And until then I'll smile to hide the truth But I know I was happier with you

Mata Jevan menatap lurus ke arah mata seorang gadis yang juga tertaut padanya. Jevan berusaha membaca arti tatapan itu, namun sayang dia tidak menemukan apa-apa disana.

Oh, ain't nobody hurt you like I hurt you (hey, yeah, hey, yeah) But ain't nobody need you like I do (hey, yeah, hey, yeah) I know that there's others that deserve you (hey, yeah, hey, yeah) But my darlin', I am still in love with you

Jevan berharap, lewat lagu ini, gadis itu akan memahami bahwa dirinya melepaskan Jelena bukan karena tidak menginginkannya lagi.

Dia berharap bahwa Jelena nantinya akan tahu, bahwa perasaannya terlalu besar, hingga dia rela melihat gadis itu bahagia bersama laki-laki yang lebih mampu membahagiakannya.

'Cause baby, you look happier, you do I knew one day you'd fall for someone new But if he breaks your heart like lovers do Just know that I'll be waitin' here for you

Jevan mengakhiri lagunya, namun matanya belum juga meninggalkan Jelena.

Seruan semangat menyambut turunnya laki-laki itu dari panggung, namun gadis yang dia tunggu responnya justru tidak melakukan apa-apa. Bahkan ketika Jevan telah kembali ke tempat duduknya pun, Jelena masih belum memberikan respon apa-apa.

“Rae, temenin gue yuk? Ambil makan, laper.” Juan menarik paksa Raechan yang nampak enggan.

“Ca, temenin aku ambil parfum ke mobil yuk? Aku ngerasa bau abis joget-joget.”

Ada senyum terulas di bibir Jevan kala dia menyadari bahwa apa yang kawan-kawannya lakukan adalah untuk membantunya, memberinya waktu untuk berbicara dengan Jelena.

“Lagu itu....”

“Makasih,” potong Jelena cepat. “Makasih udah kasih gue kepastian dan akhirnya gue bisa buka diri buat orang lain.”

Jevan terhenyak.

I'm happy now, I hope you'll find your happiness as well.”

Perlahan-lahan, semburat bahagia nampak pada wajah Jelena. Senyum tulus gadis itu juga terlukis pada bibirnya.

Let's be bestfriend forever, Jevander.”

Jelena mengulurkan tangannya, menunggu Jevan untuk menyambut.

Namun Jevan justru melakukan hal lain, laki-laki itu menyentuh tangan Jelena lembut dan memberi kecupan pada punggung tangannya.

Let's be bestfriend forever, Jelena Ayu.”

Sesuai dengan janjinya, Markio telah ada di area parkir Main Dome ketika acara usai. Laki-laki itu menyambut dengan senyum ramah kala kawan-kawannya berjalah ke arahnya. Tapi hanya ada satu yang menarik perhatiannya secara khusus.

Jelena.

Gadis itu.

Markio memang sudah melihat bagaimana penampilan gadis itu dari foto yang dikirimkan, namun melihatnya secara langsung jelas tetap terasa istimewa.

“Kak!” Juan memanggilnya, membuat Markio berusaha memberi atensi pada kawannya itu.

“Oy! Keringetan banget? Goyangnya kelamaan ya?” goda Markio.

“Panas anjir dome!” sahut Raechan bersungut-sungut.

“Lanjut ke studio kan ini?”

“Yoi, udah gue siapin di mobil.” Markio tersenyum lagi kala Jelena berjalan mendekat ke arahnya. “Kok coatnya gak dipake?”

“Gerah, bener kata Raechan dome panas banget.”

“Kasian.” Markio mengelus rambut Jelena dengan lembut, berusaha tidak merusa rambut gadis itu yang sudah ditata sedemikian cantiknya. “Tapi di mobil nanti lumayan dingin, pake jaket gue ya?”

Jelena mengangguk lalu dengan senang hati Markio melepas jaket abu-abu yang tadi dikenakannya dan menyampirkan jaket itu pada bahu Jelena.

“Yaudah yuk caw.”

Markio membukakan pintu mobil untuk Jelena, tidak lupa meletakkan sebelah tangannya di atas kepala gadis itu untuk memastikan bahwa kepalanya tidak akan bertabrakan dengan sisi pintu.

Jevan menyaksikan itu semua dan berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Gue lega, Jelena ada di orang yang tepat.”

Menjadi anak laki-laki satu-satunya dalam sebuah keluarga kecil membuat Markio terbiasa menemani ibunya pergi berbelanja. Entah itu untuk belanja makanan bulanan, belanja kebutuhan dekorasi rumah, dan bahkan menemani ibunya berbelanja pakaian. Akan tetapi, hal tersebut sudah lama tidak dilakukan oleh Markio sejak dia harus tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Menjadi mahasiswa kedokteran di sebuah universitas yang cukup jauh dari rumah membutanya memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen yang berjarak lebih dekat dengan tempatnya menuntut ilmu itu.

Jadi ketika Jelena memintanya untuk menemani gadis itu berbelanja gaun, Markio seperti mendapatkan kembali kenangan lamanya. Laki-laki itu bahkan sama sekali tidak merasa keberatan ketika Jelena berpindah dari satu toko ke toko lainnya.

“Kak, kalau yang ini terlalu terbuka nggak ya?” Jelena bertanya seraya menunjukkan sebuah gaun hitam dengan aksen tali menyilang yang nampak begitu elegan. Gaun itu memiliki motif bunga-bunga dengan sentuhan sedikit warna gold pada beberapa sisi.

Markio mengamati gaun tersebut lamat-lamat sebelum berkata, “Enggak kok, nanti bawa coat aja buat jaga-jaga kalau lo mulai ngerasa gak nyaman.”

“Ah oke-oke, gue coba dulu deh ya Kak?”

“Iya coba dulu aja.”

Jelena berjalan ke ruang ganti diikuti seorang pramuniaga sementara Markio duduk di sofa beludru yang disediakan. Tidak butuh waktu lama hingga Jelena keluar dari ruang ganti, tampak cantik dibalut gaun hitam yang dia pilih. Kulit putihnya tampak kontras dengan warna gaun yang dikenakannya, kilauan lampu toko juga menambah keayuan gadis itu. Markio mengedipkan matanya beberapa kali, meyakinkan diri bahwa yang di hadapannya ini adalah seorang manusia dan bukannya seorang dewi.

Wow.” Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Markio.

“Gimana Kak?” tanya Jelena memastikan. Komentar Markio barusan terdengar mengambang baginya.

You'll be the spotlight, Jelena,” ucap Markio pada akhirnya.

Jelena tersenyum lalu melangkah mendekat pada kaca setinggi dua meter, menatap dirinya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa gaun ini adalah yang terbaik untuknya.

Saat Jelena tengah sibuk dengan urusannya, Markio mendekat pada pramuniaga yang masih setia mendampingi mereka. Laki-laki itu menyerahkan sebuah kartu seraya berkata, “Kami ambil gaun yang itu, tolong diproses aja pembayarannya.”

“Baik, Pak.” Si pramuniaga menunduk sopan lalu berlalu pergi.

“Mau beli gaun satu lagi gak?”

Jelena sedikit terperanjat dengan pertanyaan Markio yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya.

“Untuk apa?” tanya gadis itu.

“Makan malam sama gue.”

Jelena diam sebentar, matanya menelisik ke arah Markio. Mencoba mencari-cari ke arah mana pembicaraan sahabatnya itu.

“Kemarin, i got permission from Jevan to get close to you.” Markio menjelaskan sebelum Jelena bertanya. “Tapi rasa-rasanya, seseorang yang lebih berhak untuk memberi izin tuh ya diri lo sendiri El. Izin dari lo yang bakal bikin gue maju. Dan kalau seandainya lo gak nyaman untuk lebih dari sekedar sahabatan sama gue, gue gak keberatan.”

“Gue....”

“Kalau belum bisa dijawab sekarang gak apa-apa El, gue ngerti kok. Take your time, gue gak buru-buru.”

“Lo... dari kapan Kak... hmmm gue...” Kata-kata yang keluar dari bibir Jelena berantakan, gadis itu terlalu terkejut dengan pernyataan Markio yang tiba-tiba.

“Udah lama, El. Tapi gue memilih untuk diem aja, karena rasanya gak sopan untuk ada di antara lo dan Jevan secara tiba-tiba.”

Kini Jelena teringat sesuatu. Perkataan Klarisa dan Jevan yang semuanya berhubungan dengan Markio.

What if Jevan decided to set you free because he knows there is someone better than him that deserve you?

Menurut lo Kak Kiyo tuh gimana El?”

Mungkin ini lah maksud dari pertanyaan mereka berdua.

Markio yang akhirnya memberanikan diri untuk memperlihatkan perasaannya pada Jelena.

Markio, laki-laki itu, selama ini tidak pernah sekalipun Jelena melihatnya membuat pergerakan apapun terhadap dirinya. Laki-laki itu selalu bersikap selayaknya sahabat yang sebagaimana mestinya. Jika benar perasaan yang dia pendam sudah ada sejak lama, itu artinya selama ini Markio memendam segala rasa cemburu yang mungkin saja dirasakannya tiap kali Jelena memberikan perhatian lebih pada Jevan? Bagaimana mungkin laki-laki itu tetap bersikap baik dan santun?

Lalu bagaimana mungkin Jelena bisa menolak permintaan yang sebaik ini? Yang sesopan ini?

Adakah perasaan yang lebih baik yang bisa dirasakan seorang perempuan selain perasaan dimuliakan?

Belum sampai Jelena memberikan jawaban, seorang pramuniaga kembali mendekat pada mereka. “Pak, pembayarannya sudah siap, silahkan tanda tangan di kasir.”

“Kak, do you paid for this dress?” tanya Jelena spontan.

Markio hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman, lalu dia beralih pada si pramuniaga. “Sebentar lagi saya kesana.”

Sebelum si pramuniaga kembali menjauh, Jelena lebih dulu menahannya dengan kalimat, “Mbak, boleh bantu saya cari dress satu lagi?”

“Oh tentu boleh, silakan sebelah sini,” ucap si pramuniaga dengan sopan.

Sebelum beranjak mengikuti pramuniaga yang memandunya, Jelena berbisik lirih pada Markio. “Gaun yang untuk makan malam, gue yang bayar.”

Semburat malu-malu langsung nampak jelas menghiasi wajah Markio. Laki-laki itu menatap kepergian Jelena dengan perasaan membuncah. Akhirnya, waktu yang dia dambakan datang juga. Selama ini, Markio hanya berani membayangkan makan malam berdua dengan Jelena. Sebentar lagi, sebentar lagi kesempatan itu akan datang.