Raga Pertama
Bunyi klakson yang saling bersahutan membuat kepalaku serasa ingin meledak. Belum lagi kemacetan di depan mataku yang sungguh membuatku muak. Bandung adalah kota impian bagi beberapa orang, tapi untuk aku, yang sejak kecil tinggal di kota ini, merasa jengah mendengarnya. Aku tidak akan memungkiri bahwa kota ini memiliki keindahan yang sangat cukup untuk membuat kota lain iri. Tapi mohon diingat, bahwa tidak ada gading yang tidak retak- tidak ada kota dengan kesempurnaan yang utuh. Di balik keindahan alamnya, Bandung menyimpan sejuta makian untuk jalanannya yang sesak.
Dan aku mengumpati hal yang sama, setiap hari. Terlebih hari ini.
Perjalananku menuju bandara tersendat hampir dua jam lamanya. Ponsel di sakuku beberapa kali bergetar menandakan panggilan masuk-yang terpaksa aku abaikan. Keadaan moodku sedang tidak baik, bahkan jauh dari kata baik. Aku mencengkram kemudi mobilku sekencang mungkin, hingga meninggalkan bekas-bekas kemerahan di telapak tanganku. Sebuah pesawat melintas di atasku, yang aku bisa tebak itu adalah pesawat yang ditumpangi seorang gadis yang membuatku harus menembus kemacetan ini. Aku melirik jam tangan, sekarang pukul setengah tiga sore, sepertinya dugaanku benar. Perjalanan dari Bali ke Bandung memakan waktu satu jam 45 menit, jika gadis itu take off pukul 13.30 waktu setempat, maka dia akan mendarat di bandara Husein Sastranegara pada pukul 14.15. Aku mungkin akan sedikit terlambat karena kemacetan ini, tapi aku tidak akan memperdulikan kekesalan gadis itu yang harus menungguku karena toh dia yang memintaku menjemputnya.
Benar saja, aku baru tiba di area parkir bandara tepat pukul tiga sore. Dengan arti lain, sudah sekitar 30 menit gadis itu menungguku. Aku mencoba menghubunginya dan dia mengatakan bahwa saat ini dia sedang berada di Starbucks yang berada tepat di depan terminal kedatangan. Tanpa basa-basi aku menuju ke sana dan menemukannya sedang fokus membaca buku, secangkir kopi sudah tersaji di hadapannya.
“Nona Sira?” sapaku, mencoba membuatnya menatapku. Yang hanya berakhir sia-sia karena gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan fokusnya dari buku.
Aku kesal. Dengan sedikit nada ketus aku berkata, “Close your book, don't waste my time.”
Gadis bernama Sira itu akhirnya meletakkan bukunya dan menatapku. “Saya liat di maps merah semua, saya malas kena macet. Duduk dulu aja or do you want to order a cup of coffee? Bills on me.” Karena menyadari masih ada sisa kemarahan di mataku, gadis itu tersenyum semanis mungkin. “Don't look at me with those eyes, you scared me. Duduk atau pesan kopi anda, Sagata.”
Aku melengos, memutuskan untuk memesan Java Chip Frappucino kesukaanku. Setelah pesanananku siap, aku duduk di hadapannya, masih dengan muka sebal.
“Kusut banget mukanya, bete ya?” komentarnya, terdengar begitu menyebalkan di telingaku.
“Butuh lebih dari dua jam untuk sampai kesini, bohong kalau saya gak bete.” Aku menjawabnya sambil bersungut-sungut. “Lagian aneh banget sih, Aim Hotel nyediain fasilitas penjemputan kok. Saya heran kenapa anda malah minta saya yang jemput.”
“For your imformation, penerbangan saya satu jam 45 menit, saya sudah harus ada di bandara maksimal 30 menit sebelum keberangkatan. Dari hotel tempat saya menginap di bali, saya butuh waktu satu jam naik taxi ke bandara. Jadi saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk ada di depan anda, Sagata.”
Aku terkesiap. Cara gadis itu berbicara begitu tenang. Tidak ada gesture berarti yang dia lakukan. Tapi tatapan dan ketenangan dalam bicaranya justru menusuk-nusuk diriku. Membuatku gelagapan tidak bisa menyela. Aku berakhir diam.
“Jangan banyak ngeluh, hotel dan vila anda gak akan lagu kalau ownernya aja gak tau cara melayani tamu dengan baik.”
Sira menatapku intens, tanpa berkedip. Membuatku penasaran dengan kepribadiannya yang terasa begitu mendominasi. Namun getaran pada ponselku memecah fikiranku tentangnya. Aku menunjukkan layar ponselku yang menyala pada Sira untuk memberinya kode bahwa aku harus mengangkat panggilan itu. Sira hanya mengangguk mempersilakan aku.
“Halo?” sapaku pada si penelepon.
“Bang, dimana?” Suara parau Dario, adik kandungku, membalas dari ujung sana.
“Di Hussein, kenapa?”
Ada hembusan nafas panjang sebelum Dario menjawab pertanyaanku. “Mama malam ini pulang, lo ke rumah gak? Katanya ada makan malam sama keluarga besar Mama.“
“Lo aja yang dateng, Mama won't like it if I come tho.”
Dari ekor mata, aku menangkap perubahan raut wajah Sira ketika mendengar kalimat barusan. Namun saat aku menatapnya secara utuh, raut wajah itu kembali tenang.
Dario tidak menjawabku dalam beberapa detik, membuat aku mematikan panggilan itu secara sepihak.
“Masih mau di sini berapa lama lagi?”
“Ngabisin kopi dulu,” jawab Sira seraya dagunya menunjuk cangkir kopinya yang masih terisi setengah.
“Yadah saya tunggu di luar, kalau udah abis kopinya keluar aja nanti.”
Aku keluar tanpa menunggu jawabannya. Meninggalkan Sira yang nenatapaku dengan tatapan tidak terbaca. Aku tidak mau ambil pusing tentang hal itu, fikiran tentang Mama menggerayangiku lebih banyak. Makan malam yang diadakan untuk menyambut kepulangan Mama adalah kedok untuk ajang pamer antar keluarga. Aku tidak menyukai hal itu, dan Mama pasti akan lebih senang jika aku tidak datang. Karena bagi Mama, aku hanyalah boneka yang dia gunakan untuk menggerakan perusahaan, bukan seorang anak untuk dibanggakan.
Saat aku sedang sibuk dengan fikiranku, aku tidak sadar bahwa tatapan Sira mengekoriku. Raut wajahnya tidak setenang tadi saat aku tidak lagi ada di hadapannya. Entah apa yang difikirkan gadis itu.