Sebuah Malam Tanpa Tidur
“Hm? Iya, ini gue udah di depan apart Jevan, lo tidur gih, makasih ya udah nemenin nyetir.”
Di seberang sana, gadis yang diajak bicara oleh Markio menguap sekali lagi. Rasa kantuk sudah sangat menguasai kesadaran gadis itu tidak perduli seberapa keras dia berusaha untuk tetap terjaga. Kedipan matanya mulai melambat, badannya sudah luruh sepenuhnya menempel pada kasur empuk dan bersembunyi di balik selimut hangat.
“Iya, Kak. Nanti jangan sampe telat ya kalian berdua. Dan makasih udah mau nemenin Jevan.”
Senyum Markio melebar, menghargai usaha Jelena untuk terus meladeninya sejak tadi. Jika ada Jelena di depannya saat ini, ingin sekali Markio mencubit kedua pipinya yang seputih susu karena gemas.
“Iya, selamat tidur, Elena.”
“Selamat begadang, Kak Kiyo.“
Telepon ditutup, meninggalkan Markio di lorong panjang apartemen Jevan yang senyap. Sekarang sudah pukul dua pagi, dia yakin, hampir keseluruhan penghuni apartemen sedang berkelana di alam mimpi mereka. Beberapa mungkin meringkuk sendirian ditemani angin malam, sementara yang lain mungkin ada dalam dekapan orang-orang tersayang.
Markio meneruskan jalannya, membelah redupnya koridor hingga dia menjumpai pintu bertulisan 15.4 tepat di atasnya. Tidak perlu mengetuk pintu, Markio tinggal menekan beberapa digit angka-yang sudah dia hafal di luar kepala, pada layar kecil di salah satu sisi pintu. Saat pintu terbuka, keadaan apartemen sangat gelap dan sepi. Hanya suara detik jam dinding yang mengisi kekosongan, sisanya hanya suara samar-samar petikan gitar yang terdengar lebih lirih dari hembusan angin.
Markio menyalakan lampu, membuat seisi apartemen terlihat jelas. Laki-laki itu lalu meletakkan dua burger dan tiga ayam goreng di piring yang diambilnya dari dapur. Tanpa banyak bicara, Markio berjalan ke arah kamar yang pintunya dibiarkan terbuka.
Sahabatnya ada di sana, memandang lurus ke arah gedung-gedung pencakar langit di sebrang apartemen dari jendela kaca yang dia biarkan terbuka. Tangannya masih sibuk memetik gitar secara asal, menciptakan suara abstrak yang terdengar pilu. Alunan musik abstrak itu sedikit menyentil perasaan Markio yang memang sudah sejak awal merasa khawatir akan keadaan sahabatnya.
“I have a father, but never had a dad.”
Kutipan pilu itu Jevan unggah pada media sosialnya beberapa jam lalu. Unggahan yang menjadi pemantik bagi Markio itu secepat kilat menemui sahabatnya ini. Walaupun saat itu, sebenarnya, dia tengah asik berbincang dengan wanita yang dia puja.
“Mau makan atau mau gitaran dulu?”
Entah apa yang ada dalam fikiran Jevan saat itu, tapi dirinya benar-benar tersentak oleh pertanyaan Markio yang tiba-tiba. Sepertinya apapun itu yang sedang dia pikirkan adalah hal yang rumit, mengingat laki-laki itu bahkan sama sekali tidak mengetahui kedatangan Markio.
“Kak... Lo dari kapan ada di situ?” Jevan bertanya sambil memegangi sebelah dadanya yang terasa nyeri akibat rasa terkejut. Tapi jauh di dalam hatinya, dia bersyukur atas kehadiran Markio.
“Dari tadi.”
“Kok gue gak tau?”
“Yeee lonya aja yang ngelamun mulu sampe gak tau gue dateng.” Markio menoyor pelan kepala Jevan, berusaha merebut keresahan laki-laki muda itu agar bisa dibagi dengannya. Markio tidak ingin Jevan memendam segala kesedihannya sendirian. “Mau makan atau gitaran dulu nih?”
“Gue makan, lo yang gitarin.” Ada secercah senyum menghiasi wajah Jevan yang tadi dingin tanpa ekspresi. Senyum yang juga menjadi penenang hati Markio yang dipenuhi perasaan khawatir. Senyum yang memberi bahan bakar pada semangat Markio untuk memetik gitar yang diambilnya dari pangkuan Jevan.
Markio diam sebentar, menimbang-nimbang lagu apa yang harus dia mainkan. Sementara Jevan menunggu dengan sabar, mulutnya sibuk mengunyah burger yang dibawa Markio.
Father, I'm gonna say thank you Even if I'm still hurt Oh, I'm gonna say bless you I wanna mean those words
Seperti mendapat berkah dari Tuhan, tiba-tiba saja Markio terfikirkan lagu itu. Suaranya beriringan pelan dengan senar gitar yang dia petik. Jevan yang duduk di sampingnya menatapnya pilu. Burger di tangan laki-laki itu bahkan terabaikan. Jevan seakaan tersihir lirik lagu yang Markio lantunkan.
Always wished you the best I, I prayed for your peace Even if you started this This whole war in me
Suara berat Markio memecah heningnya malam. Mengisi relung-relung kosong, membangunkan jiwa-jiwa yang dipaksa mati, manarik kemarahan-kemaran yang terpendam. Lagu yang Markio mainkan seperti jeritan hati Jevan yang tidak pernah laki-laki itu biarkan keluar.
You did your best or did you? Sometimes I think I hate you I'm sorry, dad, for feeling this I can't believe I'm saying it
Gemuruh menyiksa jiwa Jevan kala lirik yang terdengar makin bisa dia mengerti. Tenggorokannya terkecat, keadaan hatinya terasa diacak-acak.
I know you were a troubled man I know you never got the chance To be yourself, to be your best I hope that heaven's given you A second chance
Wajah ayahnya terbayang dalam benak Jevan. Laki-laki yang selalu dia panggil dengan sebutan papa namun tidak pernah melakukan tugasnya dengan benar. Kini, wajah yang familiar itu seperti terpantul pada jendela kaca yang sedang dia tatap. Semakin besar, semakin besar...
Father, I'm gonna say thank you Even if I don't understand Oh, you left us alone I guess that made me who I am
Markio mengakhiri nyanyiannya tepat saat pantulan wajah Alexander meledak dan menjadi butiran debu yang terbang bersama hembusan angin. Meninggalkan Jevan pada kebencian serta rasa sayang yang dia miliki untuk ayahnya.
“Gak napsu makan lagi gue, lo sih Kak pilih lagu itu!” Jevan pura-pura merajuk untuk menyembunyikan perasaannya yang tidak bisa dia definisikan bagaimana rasanya.
Tapi Markio bukanlah seseorang yang bodoh. Dia bisa membaca gerak-gerik Jevan yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun itu.
“Padahal gue kesini buat dengerin lo cerita.” Markio merebahkan tubuhnya di atas ranjang Jevan, masih setia dengan gitarnya yang mengalunkan melodi acak. “Lo tau gak Jev? Menurut penelitian, perempuan itu lebih mudah depresi dari pada laki-laki, soalnya hormon mereka lebih bisa mempengaruhi suasana hati. Tapi tau gak kenapa kasus bunuh diri laki-laki lebih banyak dari pada yang perempuan?”
“Kenapa?”
“Karena laki-laki selalu nyembunyiin masalah mereka.” Tidak ada yang berubah dalam nada suara Markio, setiap kata yang keluar dari mulutnya juga selalu hati-hati dan tertata. Dia melakukannya agar Jevan bisa perlahan-lahan membuka diri. “Karena dari kecil kita diajarin untuk kuat, gak dibolehin nangis untuk masalah sepele, dikatain banci kalau curhat. Padahal gak seharusnya begitu. Perasaan itu gak mengenal gender, laki-laki ataupun perempuan, kita semua berhak sedih kalau emang lagi ngerasa sedih.”
Markio menghentinkan petikan gitarnya, dia memukul-mukul pelan punggung Jevan yang merunduk. Markio tidak bisa melihat wajah Jevan karena posisinya yang tengah berbaring-dan Jevan sedang duduk-namun dia bisa merasakan aura sendu mengelilingi sahabatnya itu.
Mulut Jevan masih terkunci rapat, gebrakan yang coba Markio lakukan belum juga bisa membuatnya bicara. Markio menghela napas pendek, bukan karena kesal pada Jevan yang tidak kunjung mau bicara, tapi dia kecewa pada dirinya sendiri karena belum bisa menjadi sosok yang dipercaya Jevan untuk menumpahkan keluhnya.
Saat Markio terpuruk dalam pikirannya itulah tiba-tiba Jevan ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mereka akhirnya sama-sama menatap langit-langit kamar apartemen Jevan sebelum laki-laki itu akhirnya berkata, “Papa lebih susah move on dari Elen ternyata, Kak.”
Ada suara mengadu dalam kalimat Jevan itu. Dia seperti mengadukan perlakuan buruk teman sebayanya pada kakak laki-lakinya.
“Waktu pulang dari anterin Elen ke apartemen, gue bilang ke Papa kalau Elen gak bisa sering-sering dateng ke rumah kayak dulu lagi karena sekarang Elen udah sama lo, tapi Papa malah gak terima. Aneh ya, gue aja ikhlas lo sama Elen masa Papa enggak.”
Bibir Jevan mengerecut, membuat Markio gemas. Jevan adalah sosok laki-laki pemain di luar sana tapi di sini, di dalam pertemanan yang mereka bangun, Jevan sering kali bersikap menggemaskan-terlebih pada Markio.
“Maaf ya Kak, seharusnya Papa gak kayak gitu.”
Kekehan Markio makin terdengar memeriahkan indera pendengaran Jevan. “Ngapain lo minta maaf sih, Jev?” ledek Markio. “Kayaknya kalau anak gue deket sama cewek sebaik Elen, terus mereka pisah, gue bakal segalau Papa lo juga sih.”
Jevan terbelalak, dia terlalu terkejut dengan jawaban Markio. Dia memiringkan posisi tidurnya agar bisa dengan jelas melihat wajah Markio, barang kali saja dengan begitu dia bisa membaca apa yang sebenarnya ada di pikiran Markio, bukan hanya apa yang keluar dari bibirnya. Namun nihil, Jevan tidak mendapatkan apa-apa, yang dia hanya sorot mata ketulusan. Karena memang begitulah Markio, apa yang dia katakan akan selaras dengan apa yanh dia fikirikan.
“Elen, she makes everyone around her fall for her charms. Dan gue gak akan pernah menyalahkan siapapun untuk itu, karena gue juga jatuh ke pesonanya,” ucap Markio untuk menutup malam itu.