Gaun
Menjadi anak laki-laki satu-satunya dalam sebuah keluarga kecil membuat Markio terbiasa menemani ibunya pergi berbelanja. Entah itu untuk belanja makanan bulanan, belanja kebutuhan dekorasi rumah, dan bahkan menemani ibunya berbelanja pakaian. Akan tetapi, hal tersebut sudah lama tidak dilakukan oleh Markio sejak dia harus tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Menjadi mahasiswa kedokteran di sebuah universitas yang cukup jauh dari rumah membutanya memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen yang berjarak lebih dekat dengan tempatnya menuntut ilmu itu.
Jadi ketika Jelena memintanya untuk menemani gadis itu berbelanja gaun, Markio seperti mendapatkan kembali kenangan lamanya. Laki-laki itu bahkan sama sekali tidak merasa keberatan ketika Jelena berpindah dari satu toko ke toko lainnya.
“Kak, kalau yang ini terlalu terbuka nggak ya?” Jelena bertanya seraya menunjukkan sebuah gaun hitam dengan aksen tali menyilang yang nampak begitu elegan. Gaun itu memiliki motif bunga-bunga dengan sentuhan sedikit warna gold pada beberapa sisi.
Markio mengamati gaun tersebut lamat-lamat sebelum berkata, “Enggak kok, nanti bawa coat aja buat jaga-jaga kalau lo mulai ngerasa gak nyaman.”
“Ah oke-oke, gue coba dulu deh ya Kak?”
“Iya coba dulu aja.”
Jelena berjalan ke ruang ganti diikuti seorang pramuniaga sementara Markio duduk di sofa beludru yang disediakan. Tidak butuh waktu lama hingga Jelena keluar dari ruang ganti, tampak cantik dibalut gaun hitam yang dia pilih. Kulit putihnya tampak kontras dengan warna gaun yang dikenakannya, kilauan lampu toko juga menambah keayuan gadis itu. Markio mengedipkan matanya beberapa kali, meyakinkan diri bahwa yang di hadapannya ini adalah seorang manusia dan bukannya seorang dewi.
“Wow.” Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Markio.
“Gimana Kak?” tanya Jelena memastikan. Komentar Markio barusan terdengar mengambang baginya.
“You'll be the spotlight, Jelena,” ucap Markio pada akhirnya.
Jelena tersenyum lalu melangkah mendekat pada kaca setinggi dua meter, menatap dirinya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa gaun ini adalah yang terbaik untuknya.
Saat Jelena tengah sibuk dengan urusannya, Markio mendekat pada pramuniaga yang masih setia mendampingi mereka. Laki-laki itu menyerahkan sebuah kartu seraya berkata, “Kami ambil gaun yang itu, tolong diproses aja pembayarannya.”
“Baik, Pak.” Si pramuniaga menunduk sopan lalu berlalu pergi.
“Mau beli gaun satu lagi gak?”
Jelena sedikit terperanjat dengan pertanyaan Markio yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelahnya.
“Untuk apa?” tanya gadis itu.
“Makan malam sama gue.”
Jelena diam sebentar, matanya menelisik ke arah Markio. Mencoba mencari-cari ke arah mana pembicaraan sahabatnya itu.
“Kemarin, i got permission from Jevan to get close to you.” Markio menjelaskan sebelum Jelena bertanya. “Tapi rasa-rasanya, seseorang yang lebih berhak untuk memberi izin tuh ya diri lo sendiri El. Izin dari lo yang bakal bikin gue maju. Dan kalau seandainya lo gak nyaman untuk lebih dari sekedar sahabatan sama gue, gue gak keberatan.”
“Gue....”
“Kalau belum bisa dijawab sekarang gak apa-apa El, gue ngerti kok. Take your time, gue gak buru-buru.”
“Lo... dari kapan Kak... hmmm gue...” Kata-kata yang keluar dari bibir Jelena berantakan, gadis itu terlalu terkejut dengan pernyataan Markio yang tiba-tiba.
“Udah lama, El. Tapi gue memilih untuk diem aja, karena rasanya gak sopan untuk ada di antara lo dan Jevan secara tiba-tiba.”
Kini Jelena teringat sesuatu. Perkataan Klarisa dan Jevan yang semuanya berhubungan dengan Markio.
“What if Jevan decided to set you free because he knows there is someone better than him that deserve you?“
“Menurut lo Kak Kiyo tuh gimana El?”
Mungkin ini lah maksud dari pertanyaan mereka berdua.
Markio yang akhirnya memberanikan diri untuk memperlihatkan perasaannya pada Jelena.
Markio, laki-laki itu, selama ini tidak pernah sekalipun Jelena melihatnya membuat pergerakan apapun terhadap dirinya. Laki-laki itu selalu bersikap selayaknya sahabat yang sebagaimana mestinya. Jika benar perasaan yang dia pendam sudah ada sejak lama, itu artinya selama ini Markio memendam segala rasa cemburu yang mungkin saja dirasakannya tiap kali Jelena memberikan perhatian lebih pada Jevan? Bagaimana mungkin laki-laki itu tetap bersikap baik dan santun?
Lalu bagaimana mungkin Jelena bisa menolak permintaan yang sebaik ini? Yang sesopan ini?
Adakah perasaan yang lebih baik yang bisa dirasakan seorang perempuan selain perasaan dimuliakan?
Belum sampai Jelena memberikan jawaban, seorang pramuniaga kembali mendekat pada mereka. “Pak, pembayarannya sudah siap, silahkan tanda tangan di kasir.”
“Kak, do you paid for this dress?” tanya Jelena spontan.
Markio hanya membalas pertanyaan itu dengan senyuman, lalu dia beralih pada si pramuniaga. “Sebentar lagi saya kesana.”
Sebelum si pramuniaga kembali menjauh, Jelena lebih dulu menahannya dengan kalimat, “Mbak, boleh bantu saya cari dress satu lagi?”
“Oh tentu boleh, silakan sebelah sini,” ucap si pramuniaga dengan sopan.
Sebelum beranjak mengikuti pramuniaga yang memandunya, Jelena berbisik lirih pada Markio. “Gaun yang untuk makan malam, gue yang bayar.”
Semburat malu-malu langsung nampak jelas menghiasi wajah Markio. Laki-laki itu menatap kepergian Jelena dengan perasaan membuncah. Akhirnya, waktu yang dia dambakan datang juga. Selama ini, Markio hanya berani membayangkan makan malam berdua dengan Jelena. Sebentar lagi, sebentar lagi kesempatan itu akan datang.