Grief
Suatu waktu, di beranda belakang rumah Klarisa, Jevan pernah mendengar ayah sahabatnya itu berkata, “Jangan pernah hidup di dalam penyesalan, karena rasanya seperti hidup dalam neraka paling jahanam.”
Jevan mendengarkan kalimat itu seperti angin lewat, dengan kata lain, pemuda itu tidak menganggapnya serius. Tanpa dia tahu, bahwa bertahun-tahun setelahnya, dia hidup dalam neraka jahanam yang dimaksudkan ayah Klarisa.
Penyesalan betul-betul menjadi perasaan paling menjijikkan yang bisa dirasakan mahluk bumi seperti Jevan. Dia sadar ada yang salah, tapi dia telah kalah oleh waktu. Dia sadar ada yang harus diperbaiki, tapi dia tidak pernah bisa kembali. Penyesalan menjadi momok paling mengerikan bagi tiap individu yang pernah atau sedang merasakannya. Menyalahkan diri sendiri pun sudah tidak lagi ada gunanya. Sedangkan untuk berdamai dengan keadaan, terlalu sulit untuk melakukannya.
Perasaan naas itu mengerubungi Jevan yang tengah duduk di sebelah makam ibunya. Penampilannya kacau, rambutnya acak-acakan, kaus hitam yang dikenakannya basah dan berbau alkohol pekat. Pemuda itu duduk seperti seonggok raga tanpa nyawa, kepalanya menunduk dalam. Merenungi segala keputusan yang dia buat. Merutuki kebodohan yang dia lakukan.
Tangan kanan pria itu mengenggam sebuah undangan pertunangan yang tidak karuan lagi bentuknya. Dia sudah berusaha meremukkannya sejak tadi, seremuk mungkin, jika bisa sama remuknya dengan keadaan hatinya saat ini. Tapi semakin dia meremas undangan pertunngan itu, semakin ngilu pula hatinya.
Jevan mendesah pelan, membuang undangan sialan itu ke tanah-membentur makam ibunya. Tangannya kembali meraih sebotol cairan yang akan membuat dirinya merasa lebih, menenggaknya hingga habis.
“Ma, Jevan harus gimana?” tanyanya pelan pada gundukan tanah di depannya-yang tentu saja tidak akan mendapat jawaban.
Lagi, Jevan mendesah pelan. Berusaha melonggarkan dadanya yang sesak. Sesak karena perasaan tidak menentu yang dirasakannya. Pemuda itu sebenarnya telah lama merelakan Jelena untuk bersama dengan Markio, tapi sampai saat ini dia belum bisa melepaskan gadis itu sepenuhnya. Dia memang sudah berdamai dengan hubungan Jelena dan Markio, tapi untuk melihat mereka bersanding di kursi pelaminan kelak adalah perkara lain lagi. Jevan belum siap, atau mungkin tidak akan pernah siap.
“Dari sekian banyak club yang sering lo datengin, gue gak ngerti deh kenapa lo malah milih minum-minum di sini. Sendirian lagi.”
Jevan mendongak, sedikit tersentak. Seorang gadis tengah melangkah mendekat ke arahnya. Sebuket mawar merah segar berada di tangan gadis itu.
Hari makin sore, matahari makin tergelincir ke peraduan. Kicau burung yang bermukim di sarang mulai terdengar. Cahaya matahari yang temaram membelai kulit putih Jelena. Sementara anginnya yang basah membelai-belai rambut gadis itu.
“Elen...”
Yang dipanggil hanya tersenyum simpul, kemudian dia duduk di sebelah Jevan. Gadis itu meletakkan bunga yang dibawanya ke atas makam ibu Jevan.
“Lo gak malu apa dateng ke Tante berantakan gini? Bau alkohol lagi, Tante marahin aja anaknya nih.” Jelena berbicara pada gundukan tanah seraya membayangkan bahwa yang ada di depannya adalah ibu Jevan yang jelita.
“Lo ngapain di sini?” Jevan bertanya tanpa menatap Jelena. Pemuda itu berpura-pura sibuk menatap pepohonan di ujung makam.
“Gue mau pamit sama Tante.”
Jevan terhenyak, matanya bergerak-gerak gelisah. Dia ingin menjatuhkan tatapannya pada Jelena, tapi dia terlalu takut. Dia takut saat akhirnya dia menangkap wajah ayu itu lagi, dia akan hilang akal.
“Gue mau pamit karena mungkin setelah ini gue bakal jarang kesini. Gue juga mau pamit ke Tante dan bilang... kalau setelah ini gue gak bisa jagain anak kesayangannya lagi.”
Jelena terus berbicara, meskipun kerongkongannya terasa kering. Meskipun dia harus mencengkram gundukan tanah makam ibu Jevan untuk mendapatkan kekuatan.
“Tante, minggu depan Elena mau tunangan, tapi bukan sama Jevan seperti yang dulu Tante selalu harapin. Elena ketemu sama seseorang yang akhirnya akan jadi tempat Elena pulang Tante. Gak apa-apa kan ya, Tan, kalau orang itu bukan Jevan?”
Setiap kata yang keluar dari mulut Jelena seperti mesin peremuk yang menghancurkan hati Jevan hingga kepingan terkecil. Dorongan menyakitkan itu naik hingga menimbulkan bulir-bulir yang menumpuk di pelupuk mata. Jevan mati-matian menahan air mata sialan itu agar tidak tumpah. Pertunangan ini akan menjadi satu langkah besar menuju kebahagiaan sejati bagi dua sahabatnya, pemuda itu tidak ingin merusaknya.
“Tante, maaf, Elena gak bisa pakai nama Novanda di belakang nama Elena.” Jelena mengelus batu nisan ibu Jevan. “Tapi Elena yakin, seseorang yang lebih pantas, yang jauh lebih bisa membahagiakan anak Tante akan menyandang nama itu.”
“Iya kan, Jev?”
Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, hingga Jevan kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya udara kosong. Tenggorokan Jevan seperti lumpuh.
“Kalau gue masih ada di sini...” Tangan lentik Jelena menyentuh dada Jevan. “Biarin gue pergi ya? Supaya gue gak ngehalangin siapapun buat masuk.”
Jevan masih belum menjawab. Sebutir air mata dengan lancang menuruni pipinya.
“Jangan ngerasa diri lo rusak lagi, karena orang lain juga gak menganggap lo seperti itu. Atau, sekalipun lo ngerasa diri lo rusak, percaya deh kalau bahkan sesuatu yang rusak sekalipun bisa dibenerin di tangan orang yang tepat. Asal lo izinin orang itu untuk masuk ke hidup lo.”
Air mata Jelena menemani bulir-bulir air mata Jevan yang kian deras.
“Makasih ya Jevan buat selama ini, makasih untuk cinta yang udah lo kasih untuk gue selama ini. Maaf, maaf karena akhirnya gue membiarkan cinta itu berjalan sendirian.”
Setelah itu, Jelena meninggalkan Jevan yang menangis tersungkur di tanah. Jevan melepas tangisnya sebanyak yang dia mau. Mengerang sekeras yang dia bisa. Karena menurutnya sudah tidak lagi ada siapa-siapa disana. Tanpa dia tahu, enam sahabatnya yang lain menahan diri untuk tidak mendekat dan memberinya pelukan. Jevan tidak menyadari, bahwa sahabatnya sejak tadi berdiri di area parkir dan mengawasinya.
Tanpa dia tahu bahwa Markio memanjatkan jutaan doa agar Tuhan tidak menguntuknya karena telah menyakiti pemuda itu.
Tanpa dia tahu bahwa Raechan menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris berdarah.
Tanpa dia tahu bahwa Klarisa dan Kayana saling berpegang tangan dan berderai air mata.
Tanpa dia tahu bahwa Jaenandra menatap ke langit agar bulir matanya tak jatuh.
Dan tanpa dia tahu, bahwa kuku-kuku jari Juan memutih karena pria itu terlalu kuat mengepal tangannya.
Jevan tidak menangis sendirian. Meskipun menurutnya, dia menangis sendirian.
Sahabat-sahabatnya tetap berada di sana, hingga suara erangan Jevan tidak lagi terdengar.
“Kalian tunggu di sini aja, ya. Biar gue yang kesana.”
Juan berjalan dengan begitu pelan menuju Jevan. Dalam penglihatannya, Jevan tampak masih memeluk makam ibunya. Juan tidak bisa melihat wajah Jevan karena posisi pemuda itu memebelakanginya.
Ketika sudah dekat, Juan mencoba memanggil Jevan namun tidak ada jawaban. Maka Juan berjalan lebih cepat untuk memeriksa keadaan sahabatnya itu. Juan mendesah pelan saat dia menyadari bahwa Jevan tertidur setelah kelelahan menangis. Atau mungkin juga alkohol telah mengambil alih kesadaran Jevan.
“Gue kira, kisah cintanya Bang Garend, Kak Adzkiya dan Kak Vivian udah paling pedih. Tapi ngeliat kondisi lo sekarang, gue gak bisa mikir gitu lagi. Bang Garend bener ya Jev, takdir itu jahat.”
Juan mendesah pelan, dia merebahkan kepala Jevan ke atas pangkuannya.
“Kalauuuu aja, lo gak ditakdirkan untuk gak akur sama bokap lo. Kalau aja, lo gak ditakdirkan untuk jadi cowo banjingan yang bisa lupain masalah lo cuma dengan nidurin perempuan-perempuan yang rela tubuhnya lo jamah.”
“Kalau aja lo ditakdirin jadi cowok biasa yang bisa duduk main catur sama bokap lo dan gak harus jadi Jevan si tukang nidurin perempuan, gue yakin Elen pasti masih di sini sama lo.”
Juan terpaksa mendongakkan kepalanya sekali lagi. Kepalan tangannya juga kembali menguat.
“Gue gak bisa nyalahin siapa-siapa. Gue gak bisa nyalahin lo dengan pilihan hidup lo, gue juga gak bisa nyalahin Elen yang lebih milih cowok sebaik Kak Kiyo. Dan gue juga gak bisa nyalahin Kak Kiyo karena ngambil Elen dari lo. Karena gue tau Jev, gue tau sesakit apa Elen tiap kali ngeliat lo cabut duluan untuk nyamperin cewek-cewek lo. Gue tau secapek apa Elen harus selalu bersihin muntahan lo ketika lo pulang clubbing sama cewek gak jelas. Dan gue tau sefrustasi apa Kak Kiyo karena selama ini dia tau kalau dia gak mencintai Elen sendirian. Gue tau kalau Kak Kiyo harus selalu hati-hati sama sikapnya supaya rasa cintanya ke Elen, pacarnya sendiri, gak akan nyakitin lo sebagai sahabatnya.”
Sebulir air mata lolos dari mata Juan sekeras apapun dia berusaha menahannya.
“Terus gue, sebagai sahabat kalian harus nyalahin siapa selain takdir?! Kasih tau gue, Jev! Kasih tau gue! Gue benci liat keadaan lo begini! Tapi gue juga harus seneng karena dua sahabat gue akhirnya nikah!”
Sore itu, Juan menggantikan tangis Jevan yang telah usai.