Realize
Embun masih menggantung di dedaunan basah yang semalam diguyur hujan. Matahari masih nampak malu-malu untuk menunjukkan dirinya hingga hanya memberi sedikit rona kuning di langit lepas. Udara masih tercium basah, bekas semalam. Jalanan kota masih tampak lengang karena sebagian penghuninya masih terlelap.
Sebuah mobil hitam melenggang santai membelah jalanan kota, menuju sebuah apartemen bertingkat untuk menjemput seseorang. Di dalamnya, si pengemudi tampak rapi dengan kemeja putih yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Jas yang seharusnya laki-laki itu pakai masih digantung di bagasi mobil. Seorang wanita paruh baya yang tampak cantik dengan gaun berwarna biru muda mengisi kursi penumpang di belakangnya. Menyisakan kursi penumpang di samping pengemudi yang dia sengaja siapkan untuk kekasih anaknya.
“Itu Elen!” pekikan gembira terdengar dari belakang, membuat senyum Markio terulas tulus. Laki-laki itu selalu senang dengan respon ibunya tiap kali bertemu dengan Jelena.
“Halo, Cantik.” sapaan itu langsung mengudara tatkala Jelena membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Dua wanita paling spesial di hidup Markio itu bertukar kabar sebentar diselingi tawa rindu.
“Tante gak mau duduk di depan aja?” tawar Jelena merasa tak enak melihat Merry-ibu kandung Markio-justru memilih untuk duduk di bangku belakang.
“Ih gak usah! Pacarmu itu lebih seneng ditemenin kamu dari pada Tante,” gurau Merry, wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari goodie bag berwarna coklat. “Elena, tadi Tante siapin sandwich, dimakan ya, Nak.”
Jelena meraih kotak bekal itu dengan senang. Setelah berterimakasih, gadis cantik itu lalu membukanya dan tersenyum riang.
“Kak, aaaaa.” Suapan pertama dia berikan pada Markio yang sibuk mengemudi, lalu setelahnya dia memasukkan sandwich lezat itu ke mulutnya sendiri.
Perjalanan berjalan lancar tanpa terlambat, setelah berkumpul dengan kawan-kawannya di rumah Raechan, mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Ayu Laga. Tidak lupa menemui Alexander dan keluarga Iskandar untuk beriring-iringan menuju lokasi pernikahan Garend-kakak kandung Klarisa.
Mobil Jevan yang diisi dirinya dan Juan melesat di depan, sebagai penunjuk jalan. Matahari sudah tinggi dan memancarkan teriknya kala mereka keluar dari gerbang tol. Jalanan yang mereka hadapi sekarang adalah jalanan berkelok-kelok menaiki bukit. Di kiri dan kanan jalan dihiasi pepohonan rindang. Suara burung-burung yang berkicau riang bisa mereka dengar kala membuka kaca pintu mobil. Udara bersih memanjakan hidung, mengusir polusi yang menumpuk di paru-paru mereka yang terbiasa hidup di perkotaan. Kira-kira, kurang dari tiga puluh menit lagi mereka akan tiba.
Namun ada sesuatu yang menahan mereka. Suara dentuman kencang menarik perhatian Markio yang tadi fokus mengemudi. Mobil di depannya berhenti, dia melihat Jevan tergopoh-gopoh berlari ke depan mobilnya. Dari kaca spion, dia juga melihat Raechan yang berada di belakangnya juga keluar dari mobil.
“Ada apaan, Jev?” teriak Raechan penasaran.
“Tabrakan Rae.”
Mendengar itu, naluri Markio bekerja lebih cepat daripada otaknya. Secepat kilat dia ikut keluar dari mobil dan berlari menghampiri Jevan yang lebih dulu berada di sana. Dilihatnya seorang pengendara motor terkapar di tengah jalan dan sebuah mobil dari arah berlawanan penyok di bagian depannya. Si pengendara motor tampak tidak bergerak sama sekali, sementara si pengemudi mobil tampak baik-baik saja.
Tanpa berpikir panjang, Markio segera melakukan yang dia bisa. Dia mendekati si pengendara motor dan memeriksa nadinya dengan hati-hati.
“Bantu gue Jev.” Markio memberi intruksi. “Lo pegang dagu sama bagian belakang kepalanya ya, gue yang coba pelan-pelan buka helmnya.”
Dengan gemetar, Jevan mendekat. Tangannya yang amatir menuruti perintah Markio, tapi dia tampak ragu hingga Markio meremat bahunya menenangkan. “Lo jangan ragu Jev. Lo harus pastiin kepalanya gak goyang waktu gue lepas helmnya. Lo yakin ya, kalau kita salah ambil tindakan, bapak ini bisa bahaya.”
Di bawah tatapan Markio yang yakin padanya, Jevan memegang dagu dan bagian belakang kepala pengendara yang tidak sadarkan diri itu dengan mantap. Markio melepaskan helm dari kepalanya dengan hati-hati. Setelah selesai, Markio memberikan pertolongan semampunya, laki-laki itu juga tidak lupa meminta kawannya yang lain untuk menghubungi John Medical, rumah sakit itu adalah tempat Garend dinas, dengan kata lain rumah sakit itu adalah yang terdekat.
Ambulance datang dalam lima belas menit, Markio lalu membantu petugas untuk membawa pasien ke dalam ambulance. Setelah memastikan pasiennya ditangani dengan baik, Markio mendekat pada Jelena. “Aku ikut ke John Medical dulu ya, nanti aku nyusul ke nikahan Bang Garend.”
Setelah itu, Markio kembali melesat masuk ke dalam ambulance. Pintu ditutup oleh petugas. Suara sirine memekakkan telinga menembus sepinya jalan.
Markio terlalu sibuk memikirkan pasien yang ada di depannya hingga laki-laki itu bahkan tidak sadar kalau kemeja putih yang dikenakannya bersimbah darah. Laki-laki itu tidak sadar bahwa rambutnya yang ditata rapi sudah berantakan. Laki-laki itu juga tidak sadar bahwa tadi, saat dia sibuk menolong pasiennya, ada sepasang mata yang tidak lepas memandangnya.
Mata itu adalah milik Iskandar.
Yang setelah suara sirine ambulance tidak terdengar lagi, perlahan-perlahan mendekati anak gadisnya.
“Papa punya kemeja lagi di koper. Nanti kamu kasih ke pacarmu ya, kemeja Markio kotor kena darah. Kasian dia.”
Markio terlambat beberapa menit pada acara pemberkatan Garend dan Vivian. Calon dokter itu berjingkat-jingkat masuk agar tidak mengundang perhatian. Dia bisa melihat kawan-kawannya duduk berkelompok dengan jarak beberapa kursi darinya.
Di depan sana, Garend dan Vivian tampak serasi dibalut pakaian serba putih. Klarisa duduk di sebelah ayahnya, mereka berdua menyisakan sebuah kursi kosong yang diperuntukan untuk mendiang ibu Klarisa.
“Kemeja kamu kotor.” Markio hampir mengumpat saat suara itu terdengar lirih namun mengejutkan. Untung saja kata-kata kotor tidak sempat keluar dari bibirnya. “Nanti ganti saja sama punya Om. Tadi Om udah pesan ke Elena untuk kasih kemeja itu ke kamu.”
Markio mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali, ragu akan penglihatannya sendiri. Dia ragu bahwa yang duduk di sebelahnya dan mengajaknya bicara adalah Iskandar, ayah Jelena.
“Kenapa diam saja? Tidak mau?”
“Mau Om!” Markio mendesis semangat, namun ada perasaan malu-malu menyelip di antara suaranya.
Mereka berdua lalu sama-sama menatap ke depan. Menatap ke arah Garend dan Vivian yang sedang memasukkan cincin ke tangan pasangan mereka.
“Nanti kalau kamu selesai co-ass, datang ke rumah Om dan Tante, kita bicarakan pernikahan kamu dan Elena.”
Selepas mengucapkan kalimat yang berdampak besar pada Markio, Iskandar berlalu seolah tidak melakukan apa-apa. Meninggalkan Markio dan bibirnya yang kelu. Tubuhnya nyaris bergetar, disengat kebahagiaan yang mengalir di setiap sel darahnya. Jika boleh, Markio ingin menari-nari senang. Menjemput gadisnya yang bahkan tidak tahu tentang apa yang baru saja dia dengar.
Sungguh, hari ini bukan hanya hari besar bagi Garend, tapi juga bagi juniornya yang tidak berhenti tersenyum lebar. Bahkan hingga pesta itu usai.