Dance Floor
Main Dome Dream High School yang siang tadi digunakan untuk perhelatan akbar upacara kelulusan kini telah disulap menjadi lantai dansa dengan gemerlap lampu yang menyilaukan. Panggung yang siang tadi digunakan sebagai tempat duduk para jajaran pengajar, kini dialih fungsikan sebagai panggung musik yang megah. Satu set alat musik tersedia lengkap, bahkan dj gears juga nampak di salah satu sisi. Di sisi kanan dekat dengan pintu masuk, di sediakan meja panjang berisi berbagai jenis makanan dan minuman yang bisa dinikmati siapa saja yang datang. Sementara di sisi kiri disediakan beberapa meja bundar serta kursi yang dihiasi bunga-bunga cantik pada sandarannya.
Jevan dan kawan-kawannya menempati salah satu meja yang paling dekat dengan pintu keluar. Mereka duduk melingkar dengan posisi Jaenandra-Klarisa-Jelena-Raechan-Jevan-Juan. Dalam posisi ini, Jevan duduk tepat bersebrangan dengan Jelena yang malam ini tampak cantik dalam balutan gaun hitam tanpa lengan. Rambut hitam panjang gadis itu dibuat sedikit bergelombang dan dibiarkan tergerai. Wajah ayu Jelena dipoles sedemikian rupa hingga auranya menyala bertubrukan dengan kilau lampu. Gadis itu juga memilih beberapa aksesoris untuk melengkapi penampilannya. Jika Jevan boleh menggambarkan penampilan gadis itu dalam satu kata, maka sempurna adalah kata yang paling tepat.
Sulit bagi Jevan untuk mengalihkan tatapan pada Jelena. Matanya terus tertaut pada figur yang dengan anggunnya duduk di seberang sana. Gadis itu nampak beberapa kali mengecek ponselnya, mengetikkan sesuatu, sesekali ada senyum cerah pada wajah gadis itu kala dia sedang sibuk dengan ponselnya. Gelagat Jelena seperti tamparan keras bagi Jevan bahwa gadis yang begitu dia inginkan itu sedang dibahagiakan oleh seseorang yang bukan dirinya.
“Bening banget ya Elen? Nyesel gak lo sekarang, Jep?” Bisikan itu datang dari arah kiri Jevan, begitu lirih hingga bulu-bulu halus pria itu meremang.
“Berisik lo Wan,” balasnya kecut.
Setelah teguran itu, Jevan berusaha mengalihkan pandangannya. Meskipun hatinya terus berbisik agar dia menikmati kecantikan Jelena lagi.
Untung saja, sebuah suara dari panggung mengaburkan bisikan itu. Seorang pemandu acara tampak berdiri di sana dengan riangnya.
“Oke temen-temen, jadi acara malam ini dikhususkan untuk kalian yang secara resmi melepas seragam putih abu-abu dan naik satu tingkat untuk menuju jalan yang baru. Selamat atas kelulusannya dan semoga apapun langkah yang kalian ambil setelah ini diberi kelancaran dan kemudahan!”
Sorak sorai terdengar dari setiap meja.
“Sooooo, to celebrate this moment, let's dance, everybody!“
Setelah si pemandu acara turun dari panggung, lampu utama dimatikan, digantikan lampu warna-warni yang membuat meriah suasana. Lagu pertama diputar, semua orang turun ke lantai dansa termasuk Jevan dan kawan-kawannya.
Lagu milik Yellow Clawn yang berjudul Till It Hurts menjadi lagu pembuka. Semua orang bergerak mengikuti irama. Beberapa dari mereka membuat kelompok besar untuk menikmati musik bersama, beberapa yang lain memilih untuk berpasang-pasangan. Lagu meriah silih berganti dimainkan, membakar gelora muda-mudi yang ada di ruangan tersebut. Mereka menari seolah tidak ada hari esok. Menikmati waktu 40 menit yang diberikan meskipun itu hanya terasa sepersekian detik saja bagi mereka.
“Udah nih?”
“Lagi dong!”
“GAK MAU PULANG, MAUNYA DIGOYANG.”
Komentar-komentar itu datang kala para tamu undangan dipersilakan untuk kembali duduk. Mereka akan memasuki sesi pagelaran musik dimana siapapun yang ingin naik ke panggung untuk menyanyikan satu atau dua buah lagi dipersilakan.
Beberapa orang langsung mendaftar dan menunggu giliran mereka, saat itulah Jevan pamit pada kawan-kawannya untuk ke kamar mandi. Tidak ada yang menaruh curiga padanya sampai tiba-tiba Jevan berdiri di atas panggung dengan canggung.
“Hmm... Hai! Hehehe,” mulai Jevan dengan gugup. Berbanding terbalik dengan respon ramai yang diterima laki-laki itu.
Beberapa pasang mata gadis-gadis lekat menatap ke arah panggung. Menanti penampilan dari satu-satunya siswa yang mendapat predikat sebagai “Most Wanted Man” di sekolah ini.
“Gue gak tau mau ngomong apa, langsung aja lah ya.” Jevan mengambil salah satu gitar lalu duduk di kursi dan memangku gitar yang tadi diambilnya. Laki-laki menyesuaikan mic dengan tingginya kemudian memulai memetik senar gitar dan menciptakan alunan yang syahdu.
Walking down 29th and Park I saw you in another's arms Only a month we've been apart You look happier Saw you walk inside a bar He said somethin' to make you laugh I saw that both your smiles were twice as wide as ours Yeah, you look happier, you do
Suara berat Jevan menyatu dengan petikan gitarnya. Beriringan merdu.
Ain't nobody hurt you like I hurt you But ain't nobody love you like I do Promise that I will not take it personal, baby If you're movin' on with someone new 'Cause baby you look happier, you do My friends told me one day I'll feel it too And until then I'll smile to hide the truth But I know I was happier with you
Mata Jevan menatap lurus ke arah mata seorang gadis yang juga tertaut padanya. Jevan berusaha membaca arti tatapan itu, namun sayang dia tidak menemukan apa-apa disana.
Oh, ain't nobody hurt you like I hurt you (hey, yeah, hey, yeah) But ain't nobody need you like I do (hey, yeah, hey, yeah) I know that there's others that deserve you (hey, yeah, hey, yeah) But my darlin', I am still in love with you
Jevan berharap, lewat lagu ini, gadis itu akan memahami bahwa dirinya melepaskan Jelena bukan karena tidak menginginkannya lagi.
Dia berharap bahwa Jelena nantinya akan tahu, bahwa perasaannya terlalu besar, hingga dia rela melihat gadis itu bahagia bersama laki-laki yang lebih mampu membahagiakannya.
'Cause baby, you look happier, you do I knew one day you'd fall for someone new But if he breaks your heart like lovers do Just know that I'll be waitin' here for you
Jevan mengakhiri lagunya, namun matanya belum juga meninggalkan Jelena.
Seruan semangat menyambut turunnya laki-laki itu dari panggung, namun gadis yang dia tunggu responnya justru tidak melakukan apa-apa. Bahkan ketika Jevan telah kembali ke tempat duduknya pun, Jelena masih belum memberikan respon apa-apa.
“Rae, temenin gue yuk? Ambil makan, laper.” Juan menarik paksa Raechan yang nampak enggan.
“Ca, temenin aku ambil parfum ke mobil yuk? Aku ngerasa bau abis joget-joget.”
Ada senyum terulas di bibir Jevan kala dia menyadari bahwa apa yang kawan-kawannya lakukan adalah untuk membantunya, memberinya waktu untuk berbicara dengan Jelena.
“Lagu itu....”
“Makasih,” potong Jelena cepat. “Makasih udah kasih gue kepastian dan akhirnya gue bisa buka diri buat orang lain.”
Jevan terhenyak.
“I'm happy now, I hope you'll find your happiness as well.”
Perlahan-lahan, semburat bahagia nampak pada wajah Jelena. Senyum tulus gadis itu juga terlukis pada bibirnya.
“Let's be bestfriend forever, Jevander.”
Jelena mengulurkan tangannya, menunggu Jevan untuk menyambut.
Namun Jevan justru melakukan hal lain, laki-laki itu menyentuh tangan Jelena lembut dan memberi kecupan pada punggung tangannya.
“Let's be bestfriend forever, Jelena Ayu.”
—
Sesuai dengan janjinya, Markio telah ada di area parkir Main Dome ketika acara usai. Laki-laki itu menyambut dengan senyum ramah kala kawan-kawannya berjalah ke arahnya. Tapi hanya ada satu yang menarik perhatiannya secara khusus.
Jelena.
Gadis itu.
Markio memang sudah melihat bagaimana penampilan gadis itu dari foto yang dikirimkan, namun melihatnya secara langsung jelas tetap terasa istimewa.
“Kak!” Juan memanggilnya, membuat Markio berusaha memberi atensi pada kawannya itu.
“Oy! Keringetan banget? Goyangnya kelamaan ya?” goda Markio.
“Panas anjir dome!” sahut Raechan bersungut-sungut.
“Lanjut ke studio kan ini?”
“Yoi, udah gue siapin di mobil.” Markio tersenyum lagi kala Jelena berjalan mendekat ke arahnya. “Kok coatnya gak dipake?”
“Gerah, bener kata Raechan dome panas banget.”
“Kasian.” Markio mengelus rambut Jelena dengan lembut, berusaha tidak merusa rambut gadis itu yang sudah ditata sedemikian cantiknya. “Tapi di mobil nanti lumayan dingin, pake jaket gue ya?”
Jelena mengangguk lalu dengan senang hati Markio melepas jaket abu-abu yang tadi dikenakannya dan menyampirkan jaket itu pada bahu Jelena.
“Yaudah yuk caw.”
Markio membukakan pintu mobil untuk Jelena, tidak lupa meletakkan sebelah tangannya di atas kepala gadis itu untuk memastikan bahwa kepalanya tidak akan bertabrakan dengan sisi pintu.
Jevan menyaksikan itu semua dan berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Gue lega, Jelena ada di orang yang tepat.”