Broke.
Beberapa bulan lalu, Raechan pernah melihat Jevan terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit karena dipukuli oleh ayahnya. Hari ini laki-laki yang gemar mengenakan kaus berwarna hitam itu harus melihat sahabatnya terkapar lemas di atas ranjang berukuran besar yang terletak di rumahnya yang lebih mirip istana. Luka-luka akibat pukulan yang dialami Jevan sudah mulai sembuh. Namun ada luka lain yang baru saja tercipta hari ini. Luka yang jauh lebih menyakitkan, karena hingga saat ini pun belum ada satupun dokter yang mampu menemukan obat untuk meredakan sakitnya.
Wajah Jevan muram, aura ketampanannya sedikit luntur. Tapi meskipun begitu, Raechan tetap mentertawainya. Membuat Jevan bersungut-sungut kesal.
“Lo sayang banget ya Jev sama Elen?”
“Ya lo pikir aja sendiri,” jawab Jevan ketus. Kalau boleh, dia ingin sekali mengusir Raechan dari kamarnya dan tidur saja seharian dengan bantuan obat tidur. Dipikirannya, itu akan terasa jauh lebih menyenangkan dari pada meladeni Raechan dan wajah tengilnya.
“Jev, katanya, level mencintai paling tinggi tuh merelakan orang yang kita sayang buat bahagia sama orang lain loh. Nah, kaya lo sekarang ini nih, artinya rasa sayang lo buat Elen udah berada di level paling tinggi, udah mentok. Harusnya lo bangga, jangan malah sedih gini.”
“Taik kucing.”
Sungguh, saat ini Jevan ingin sekali melempar Raechan dengan lampu tidur yang berada di atas nakas sebelah ranjang. Supaya kepala sahabatnya itu pecah, atau paling tidak bibirnya robek dan tidak bisa lagi digunakan untuk mengoceh.
“Dari buku yang gue baca juga, katanya....”
“Lo pilih diem apa gue lakban mulut lo?!” gertak Jevan geram.
“O...oke, gue diem.”
Raechan mengalah, dia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat mulutnya. Perhatiannya dia alihkan ke meja panjang yang berada di dekat jendela kamar Jevan. Di atas meja panjang itu, berderet bingkai foto yang ditata begitu apik. Mulai dari Jevan kecil hingga usianya menginjak delapan belas tahun. Raechan melihat satu-persatu foto itu dan mengagumi bagaimana wajah Jevan tidak berubah sejak dulu. Jevan kecil sudah terlihat begitu tampan meskipun dengan gigi depan yang ompong. Ketampanannya semakin bertambah saat laki-laki itu sudah mulai tahu cara merawat diri. Di sebelah meja panjang, terdapat rak kecil berisi buku-buku yang bungkus plastiknya belum terbuka. Buku-buku itu adalah buku-buku yang sama dengan yang Jelena miliki. Jevan selalu membelinya, padahal laki-laki itu sama sekali tidak suka kegiatan membaca buku. Jevan hanya membelinya untuk mengingat buku mana yang sudah dan belum Jelena miliki.
Di atas rak buku, Raechan melihat beberapa bingkai foto yang dipajang di dinding. Foto itu adalah foto-foto persahabatan mereka. Ada foto Raechan, Jevan, Jaenandra dan Juan yang diambil saat kelulusan SMP mereka. Ada foto mereka berempat bersama Markio yang diambil beberapa bulan lalu di depan gedung Fakultas Kedokteran saat mereka ikut dengan Markio untuk melihat calon kampus mereka. Ada juga foto Klarisa dan Jelena yang saling merangkul di pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Ada foto mereka semua tersenyum manis di depan perkebunan teh yang diambil oleh Garend di perkebunan teh milik ayah Klarisa.
Dari semua foto itu, ada satu foto yang paling menarik perhatian Raechan. Foto yang hanya dipasang seadanya, tanpa bingkai, hanya diberi selotip di setiap ujungnya. Seolah foto itu sengaja dibiarkan seperti itu agar bisa dilepas kapan saja dari dinding.
Foto yang Raechan maksudkan adalah foto Jevan dan Jelena, yang juga diambil saat pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Jevan tampak mencium pipi kanan Jelena yang sedang tersenyum riang menatap kamera. Tangan mereka saling rangkul, lengan Jevan berada di bahu Jelena dan lengan Jelena berada di pinggang Jevan.
Sungguh manis.
Namun terasa menyakitkan jika dilihat saat ini.
Meningat bahwa Jevan dan Jelena tidak akan bisa seperti itu lagi. Mengingat siang tadi, Markio telah meresmikan dirinya sebagai kekasih Jelena.
“Copot aja Rae fotonya.”
Raechan tersentak kaget karena suara itu. Baru disadarinya saat ini Juan telah berada di kamar Jevan dengan kedua tangan yang penuh membawa berbagai makanan dan minuman.
“Buat apa juga dipasang, cuma bikin sakit hati.” tambah Juan lagi. “Iya kan, Jep?”
Jevan hanya mengangguk lemah mengiyakan. Dia kembali menenggelamkan dirinya pada kasur namun dengan gerakan cepat Juan menarik tubuhnya untuk duduk.
“Duduk, makan, lo pasti belum makan kan dari tadi siang?”
“Gue gak napsu...”
“MAKAN!” titah Juan menolak bantahan, “lo begini juga gak akan bikin Elen balik ke lo, Jep. Lo mau nahan laper sampe busung lapar juga gak akan bikin Kak Kiyo ngelepas Elen buat balik sama lo lagi.”
Jevan melirik Raechan dengan wajah memelas, memohon pertolongan. Namun Raechan pura-pura tidak menyadarinya karena tidak ingin terlibat dalam masalah besar. Ketika Juan sudah memulai pidatonya, maka mereka sudah seharusnya mendengarkan. Menginterupsi pidato Juan hanya akan membawa mereka pada masalah baru.
“Lagian bego banget jadi orang, udah tau sayang sama Elen, cinta sama Elen, malah masih aja deketin cewek sana-sini. Lo pikir karena Elen sebaik itu dan gak nuntut hubungan resmi sama lo, itu artinya dia terima-terima aja lo gantungin? Ya enggak, lah!”
Wajah Jevan semakin memelas.
Raechan pura-pura sibuk dengan buku yang dia ambil dari rak.
“Makanya lo harus makan, jangan jadi lebih tolol lagi. Kan katanya lo juga udah ikhlas Elen sama Kak Kiyo!”
Juan sibuk membuka beberapa bungkus roti dan cemilan, dia juga mengulurkan sekotas susu cokelat pada Jevan. Mau tidak mau, untuk meredakan omelan Juan, akhirnya Jevan mengambil sepotong roti untuk teman susu cokelat dingin yang baru dia terima.
“Gue kan lagi sedih ya, harusnya dihibur. Tapi kalian malah begini, yang satu ngetawain, yang satu marahin.”
“Emang kehadiran kita gak cukup menghibur lo, Jev?” tanya Raechan polos.
“Iya, iya, nenghibur kok,” jawab Jevan pasrah pada akhirnya.
“Abis lo makan kita langsung jalan ya? Anak-anak udah otw juga soalnya.” Raechan berbicara tanpa menatap sahabat-sahabatnya, laki-laki itu masih sibuk membolak-balikkan buku yang dia ambil dari rak. Membaca kata-kata di belakang buku laku meletakannya kembali.
Jevan hanya mengangguk dalam diam, mulutnya masih sibuk mengunyah. Sementara Juan juga bungkam seribu bahasa seraya tetap memelototi sahabatnya yang terpaksa terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
—
Suasana Neology Cafe sedikit berbeda dengan Audore Cafe. Cafe milik kenalakan Raechan ini didesign dengan lebih modern, bangunan cafe dibuat tinggi dengan penerangan yang baik, kursi-kursi ditata rapi dengan jumlah empat kursi permeja lalu diatur dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain. Dinding cafe dihiasi berbagai lukisan klasik dengan berbagai jenis ukuran. Pada salah satu sudut, yang paling dekat counter pemesanan, terdapat sebuah rak yang berisi beberapa buku dan beberapa jenis board game. Di sini juga tidak ada live music, peran itu digantikan oleh alunan lagu yang berasal dari pengeras suara yang entah dimana diletakannya.
Jelena dan sahabat-sahabatnya memilih kursi yang paling dekat dengan jendela kaca. Mereka diizinkan untuk menggabungkan dua meja agar tetap bisa ada dalam satu lingkup yang sama.
“Eh tau gak, kemarin gue liat kating cakep banget. Gue gak tau namanya siapa, tapi dia panitia ospek juga.” Raechan berbicara dengan menggebu, menarik atensi yang lain. “Gila sih, pas liat dia, gak ada loh perasaan playboy gue kayak biasanya. Rasanya pengen gue nafkahin lahir batin tuh cewek.”
“Yang mana Rae?” Jevan bertanya penasaran.
“Ada lah, paling cantik pokoknya.”
Di tengah-tengah pembahasan itu, ponsel Jelena bergetar- panggilan masuk dari papanya. Untuk sesaat gadis itu termangu, menatap kosong ponselnya yang menyala-nyala.
“Angkat aja, yuk aku temenin di depan.”
Jelena mengangguk. Gadis itu membiarkan tubuhnya dibimbing untuk keluar dari cafe.
“Halo, Pa?” sapa Jelena pada akhirnya, setelah meyakinkan diri. Tangan gadis itu sedikit gemetar, untuk beberapa alasan, Jelena terlalu takut untuk mengangkat panggilan dari ayah kandungnya itu.
Seseorang di sebrang sana terdengar mendesah pelan lalu berkata, “Jadi kamu memilih untuk mengabaikan peringatan Papa, Elena?”
Sebelah tangan Jelena yang terkulai di sisi tubuh langsung mengepal mendengar pertanyaan itu. Otaknya berputar mencari jawaban yang tepat meski tidak kunjung mendapatkannya.
“Papa melarang kamu untuk berhubungan lebih dari sekedar teman, tapi kalian jutru menjadi pasangan?”
Telinga Jelena berdengung. Deguban jatung gadis itu semakin cepat. Dia memaki dirinya sendiri karena tidak kunjung bisa memberi jawaban untuk ayahnya.
Sementara Markio merangkul bahu kekasihnya dengan lembut. Memberi elusan sedikit di sana dan berharap itu akan memberikan sedikit ketenangan. Markio bisa mendengar semuanya, jadi dia paham sekali bagaimana perasaan Jelena saat ini. Namun sejauh ini, yang bisa dia lakukan hanyalah hal ini. Dia bisa saja merampas panggilan itu dari Jelena dan berbicara dengan Iskandar-tapi itu jauh sekali dari norma kesopanan.
“Elena, kamu dengar Papa?“
“Iya, Pa.” Dengan susah payah akhirnya kalimat itu keluar dari bibir Jelena. “Aku gak bermaksud membangkang larangan Papa, aku cuma ikutin kata hati aku Pa.”
“Elena....”
“Kak Kiyo, dia bakal tunjukin ke Papa kalau gak semua dokter seperti apa yang ada di pikiran Papa selama ini. Selamat malam, Pa.”
Dengan satu kali gerakan, Jelena mematikan ponselnya. Dia lalu menatap Markio yang juga tengah menatapnya. Lewat tatapan mata itu mereka saling menguatkan, tanpa kata-kata, tanpa suara.