Akhir Paling Baik Persembahan Semesta.
Aula Ayu Laga telah disulap menjadi ruangan perjamuan yang tampak manis. Bagian paling depan diisi oleh hiasan berbentuk lingkaran yang diberi aksen bunga-bunga dengan warna keemasan. Di kanan-kirinya dihiasi beberapa pernak-pernik lain dengan warna senada. Pada salah satu sudut ruangan, bisa ditemukan area makan dengan konsep buffet yang segala peralatan makannya juga berwarna keemasan. Bahkan kursi-kursi tempat para tamu undangan akan duduk juga disiapkan dengan warna keemasan. Pilar-pilar tinggi yang menopang aula ditutupi oleh kain hitam. Sepertinya, sang pemilik acara memang sengaja menyiapkan acara mereka ini dengan tema black and gold.
Jevan memasuki gedung aula tepat sesaat sebelum acara dimulai. Perasaannya jauh lebih tertata dari pada hari kemarin. Menghabiskan satu malam bersama gadis yang kini juga datang pada hari pertunangan Markio dan Jelena membuat hatinya berkali-kali lipat lebih baik. Jevan hendak mengajak gadis yang datang bersamanya itu untuk duduk bersama kawan-kawannya namun si gadis menolak dengan halus.
“Gue di sini aja, gih lo duduk di depan.” Dengan lembut si gadis mendorong tubuh Jevan pelan, namun mata laki-laki itu masih tertaut pada si gadis.
“Nanti pulangnya sama saya.”
Saat si gadis mengangguk seraya tersenyum, Jevan memulai langkahnya untuk maju dan duduk di bagian depan-bergabung dengan kawan-kawannya.
“Semalem kemana lo?” Juan berbisik lirih. Berusaha tidak menganggu Garend, yang hari ini bertugas sebagai MC acara, bersiap-siap.
“Nginep di home stay deket sini,” jawab Jevan tanpa memandang Juan.
“Lah, lo dari semalem udah di Ayu Laga?” tanya Juan semakin penasaran.
“Udah, ih udah deh, Wan, jangan berisik. Mau mulai tuh.”
Juan membungkam mulutnya rapat-rapat. Sekarang, seluruh perhatian tamu undangan terpatri pada Garend yang tengah memandu acara. Garend membuka acara dengan ucapan syukur pada Tuhan dan rasa terimakasih pada seluruh tamu undangan yang telah hadir. Setelah itu, Garend mempersilakan ayah Jelena untuk memberikan sedikit nasihat pada anak dan calon menantunya yang akan menapaki satu tangga lebih dekat pada ikatan suci pernikahan.
“Selamat pagi,” mulai Iskandar dengan suara beratnya. “Saya di sini mewakili istri saya dan juga keluarga Baratama sebagai orang tua dari dua anak kami yang hari ini tengah diliputi perasaan bahagia. Mohon izinkan saya untuk memberi sedikit saja nasihat untuk mereka.”
Mata Iskandar menatap lurus ke arah anak gadis cantiknya yang duduk bersebelahan dengan Markio.
“Nak, Elena, pertama-tama Papa ingin minta maaf. Maaf karena sempat menjadi penghambat untuk hubungan kamu dan Markio. Maaf karena Papa sempat meragukan hubungan kalian. Tapi sekarang Papa sudah faham betul Nak, Papa faham bahwa memang Markio yang paling tepat untuk kamu.”
Senyum tulus terulas dari bibir ranum Jelena. Kata-kata yang keluar dari bibir ayahnya terasa seperti belaian lembut yang menenangkan.
“Selanjutnya, Papa juga ingin minta maaf pada Markio. Kadang-kadang, Papa masih kesal pada diri sendiri karena sempat meragukan anak sebaik Markio. Tapi sekarang tidak lagi, Nak Markio, Papa sudah sepenuhnya mempercayakan Elena pada kamu.” Ada jeda sebentar sebelum ayah Jelena kembali berbicara. “Nak, setelah ini, hubungan kalian akan terikat pada komitmen besar yang kalian buat. Kalian akan mencintai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kalian akan saling mencintai kala susah maupun senang. Sedikit nasihat dari Papa, libatkan Tuhan dalam cinta itu ya, agar Tuhan memberkati hubungan kalian. Sudah, itu saja nasihat dari saya, Nak Garend.”
Iskandar hendak kembali duduk namun Garend menahannya dengan sebuah pertanyaan. “Tidak ada lagi, Om?”
Iskandar menggeleng seraya tersenyum. “Tidak ada lagi, Nak. Om sudah menyaksikan sendiri bagaimana Markio mencintai Elena. Rasa-rasanya, tidak ada lagi nasihat untuk anak sebaik dia. Om percaya Markio sepenuhnya.”
Semburat malu-malu sekaligus haru nampak di wajah Markio. Rasa syukur tiada henti laki-laki itu panjatkan pada Tuhannya yang sudah begitu baik mengabulkan doa-doa yang dirapalkannya tiap hari. Hari ini sudah seperti kemenangan agung yang akan Markio ingat di hari-hari mendatang.
“Oke kalau begitu, terimakasih Om Iskandar.”
Garend mempersilakan Iskandar untuk kembali duduk.
“Mungkin ada lagi yang ingin menyampaikan pesan atau boleh juga ucapan selamat kepada Markio dan Jelena. Saya persilakan untuk maju sebelum nanti kita mulai prosesi tukar cincinnya.”
Garend menatap ke arah tamu undangan yang juga saling tatap satu sama lain. Ada keheningan yang cukup panjang karena tidak ada satupun dari mereka yang terlihat akan berdiri. Garend sudah akan menutup sesi itu namun seseorang yang duduk di sebelah Juan segera berdiri.
“Hai Kak, Hai El.” Jevan berdiri di sebelah Garend dengan kikuk. “Boleh kan gue ngomong sebentar?” tanyanya pada dua sahabatnya yang tampak baik dalam balutan jas dan gaun serba hitam.
Markio mengangguk, sementara Jelena hanya mengangkat jempolnya sebagai tanda persetujuan.
“Hmm... Few days ago, I made my bestfriends worried about me, and I felt bad about that. Jadi rasanya, gue perlu untuk berdiri di sini dan bilang ke mereka untuk gak khawatirin gue lagi cause everything is good for now. Terutama lo Kak,” Jevan menangkap Markio dengan tatapan teduh menenangkan, “lo gak perlu lagi ngerasa bersalah dan gak pantes nikmatin semua kebahagiaan ini. Karena lo berhak, Kak. Lo berhak bahagia. And I'm happy for both of you. Sama seperti Om Iskandar, gue gak akan kasih lo saran ataupun nasihat, karena lo sudah mencintai Elena sebaik-baiknya.”
Rasa syukur Markio pada Tuhan makin besar seiring senyumnya yang melebar. Dua orang yang sama-sama mencintai satu gadis itu saling bertatapan, bersyukur atas takdirnya masing-masing.
Dengan ditutupnya sambutan dari Jevan, acara tukar cincin dilakukan. Sorak sorai memenuhi seisi aula. Kebahagiaan terpancar dari segala sudut, menghadirkan gema yang memanjakan dua insan paling bahagia itu.
Dalam balutan kebahagiaan yang tercipta, diam-diam Jevan melirik ke arah gadis yang tadi datang bersamanya. Gadis itu tersenyum manis dan mengangguk, sebuah kalimat keluar tanpa suara dari bibir gadis itu.
“Good job.”
Jevan bisa membaca kata tanpa suara itu.