Disaster
Sebuah kertas tebal terpelanting membentur lantai setelah sesosok laki-laki besar membantingnya ke atas meja. Jevan menatap kertas tebal itu tanpa reaksi, lebih tepatnya tidak tahu harus berekasi seperti apa.
Alexander-ayah Jevan-duduk bersidekap di depan Jevan. Matanya menatap garang, seakan siap menghabisi anak semata wayangnya yang terlihat sangat bodoh di matanya itu.
“Kalau sudah begini kamu mau bagaimana?”
Suara Alexander terdengar dingin, membuat tubuh Jevan kaku. Rasanya seperti baru saja disiram setangki air es langsung dari kepalanya.
“Papa sering kali bilang, Papa hanya ingin Elena yang masuk ke keluarga kita. Papa gak ingin wanita lain, Novanda.”
Novanda. Jevan benci sekali tiap kali ayahnya memanggilnya dengan nama belakang itu. Rasanya seperti diingatkan kembali bahwa ada darah kental ayahnya yang mengalir kuat di dalam tiap inti tubuhnya.
“Elena, anak itu... Kurang baik apa lagi dia untuk kamu? Kurang cantik apa lagi dia untuk mendampingi kamu?”
Belum ada jawaban, Jevan masih diam.
“Papa sayang sekali dengan anak itu. Dia baik, dia bisa menenangkan kamu dan Papa sekaligus. Keluarganya juga baik. Baru kali ini Papa gak berfikir tentang bisnis meskipun keluarga Elena itu sangat kaya. Papa hanya mau Elena mendampingi kamu, karena Papa tahu, Elena bisa menjaga kamu sebaik Mama.”
Jevan masih enggan bersuara.
“Tapi sekarang apa? Kenapa justru nama Markio yang ada dalam surat undangan itu? Dan kenapa kamu diam saja?”
Suara detik jarum jam masih lebih lantang dari pada suara Jevan. Laki-laki yang selalu tampak kecil di depan ayahnya itu masih mengunci bibirnya rapat-rapat.
“Jawab Papa, Novanda!”
Teriakan itu beriringan dengan suara gebrakan pada meja. Alexander tidak tahan lagi. Keheningan yang menjawab semua pertanyaannya membuatnya muak.
“Papa tahu kenapa Elen lebih pilih Kak Kiyo dari pada anak Papa ini?”
Suara itu, suara yang akhirnya keluar dari mulut Jevan, tidak sekeras ayahnya. Bahkan terkesan lirih dan mendesis, tapi amarah yang terbalut di dalamnya begitu kentara. Bahkan Alexander menyadarinya.
“Karena anak Papa ini rusak. Karena anak Papa ini memilih untuk meniduri banyak perempuan murahan untuk mengobati luka hatinya! Papa pikir perempuan baik-baik seperti Elen mau sama laki-laki rusak seperti Jevan, Pa?”
Hening, kali ini Alexander yang tidak sanggup mebggerakkan bibirnya untuk memberi jawaban.
“Tiap kali Papa marah dan jadiin Jevan samsak, Jevan gak punya tempat ngadu Pa. Jevan cuma tau satu cara untuk ngelupain semua rasa perih di tubuh dan hati Jevan itu. Dan cara itu Jevan tau dari Papa.” Ada jeda sebelum Jevan melanjutkan, “Meniduri perempuan-perempuan murahan seperti yang Papa selalu lakukan.”
“Novanda...”
Jevan tidak memberi waktu pada ayahnya untuk berbicara. Dia menyambar dengan marah. “Setakut-takutnya Jevan liat Elen bahagia sama laki-laki lain, Jevan lebih takut Elen gak bahagia hidup sama Jevan, Pa. Jevan ini rusak, keluarga ini jauh lebih rusak, Jevan gak ingin bawa wanita semulia Elen masuk ke kehidupan kita yang rusak.”
Biasanya, separah apapun Alexander menghajarnya, Jevan tidak pernah sudi mengeluarkan air mata di depan ayahnya itu. Namun hari ini, saat tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terluka, air matanya justru meleleh.
“Kak Kiyo itu baik Pa, keluarganya juga hangat. Ayah Kak Kiyo gak pernah mukulin anaknya, Ibu Kak Kiyo masih ada untuk jagain anaknya. Apa Papa merasa keluarga kita lebih pantas untuk menerima Elen dari pada keluarga Kak Kiyo?”
Jevan mengangkat kepala, menatap ayahnya yang juga masih menatap dia. Sorot matanya nyalang, sama sekali tidak ada ketakutan di sana.
“Jevan juga ingin Elen sama Jevan. Tapi Jevan tau diri.” Jevan bangkit berdiri. “Jevan berharap Papa juga bisa sadar kalau Baratama akan jauh lebih baik untuk menjadi nama belakang Elen dari pada nama belakang keluarga kita.”
Malam itu, untuk pertama kalinya Jevan meninggalkan ayahnya lebih dulu. Ayahnya yang membeku. Ayahnya yang merasakan bibirnya kelu.
Sementara Alexander hanya bisa menatap punggung anaknya yang hilang ditelan pintu. Tanpa berani menahannya. Tanpa berani meneriakinya untuk tinggal.
Anaknya benar. Gadis seperti Jelena lebih pantas berapa di keluarga Baratama dari pada keluarga Novanda.
“Oy Jep, kita di rumah Kak Kiyo nih, bantu-bantu persiapan. Lo dimana?”
“Gue....”
“Sini lah nyusul,” Jaenandra menyahut dari sambungan telepon.
“Gue... ada urusan. Besok aja gue kesananya ya. Bye.”
Bip
Sambungan telepon itu terputus. Jevan menatap layar ponselnya yang dihiasi dengan foto dirinya dan sahabat-sahabatnya.
Raechan sudah bersama Kayana.
Jaenandra sudah bersama Klarisa.
Dan dua hari lagi, gadisnya, gadis yang begitu dia cintai akan menjadi milik laki-laki lain.
Laki-laki yang lebih pantas,
Jauh lebih pantas.
Jevan menghembuskan nafasnya sekali lagi. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak lagi memiliki tempat untuk pulang.
Studio adalah pilihan yang buruk untuk bermalam. Semua kenangannya bersama Jelena ada di sana.
Tadinya, dia ingin menginap di rumah salah satu sahabatnya, tapi mereka semua sedang bermalam di rumah Markio.
Lalu dia harus kemana? Ke makam ibunya?
Pilihan buruk.
Pikirannya kosong hingga akhirnya Jevan memutuskan untuk kembali menginjak gas. Membiarkan kemana perasaannya akan menuntunnya.
Jevan memasuki gerbang tol, mengendarai mobilnya membelah jalanan yang tampak lengang. Ditemani lantunan lagu-lagu sendu yang sama sekali tidak menghiburnya. Lalu laki-laki itu membawa mobilnya keluar pintu tol yang berada di pinggiran kota. Memasuki daerah pinggiran kota, hingga berhenti di depan sebuah toko bunga.
Seoarang gadis tengah sibuk berbenah. Membuang beberapa sampah batang bunga ke tempatnya kemudian melepas apron dari tubuh rampingnya. Lalu tangan-tangan mungil itu sibuk mengikat rambut panjang yang awalnya dibiarkan tergerai.
Jevan bisa melihat semuanya dari dalam mobil. Matanya menerobos jendela kaca yang terpasang di samping pintu masuk toko.
Sekian menit terlewat hingga si gadis ramping keluar dari toko. Membuat Jevan juga keluar dari mobilnya.
“Kok jam segini baru mau pulang, Kak?”
Si gadis ramping sedikit tersentak. Kunci yang sedang dia pegang jatuh ke lantai. “Loh Jevan...”
Jevan hanya tersenyum dan memungut kunci itu. Dia juga menggantikan si gadis untuk mengunci tokonya.
“Saya anter pulang ya. Soalnya saya juga butuh tempat pulang...”
Angin malam Ayu Laga berhembus melewati mereka berdua. Meskipun diabaikan. Karena keduanya sedang sibuk bertatap-tatapan.