petrichorslines

Semilir angin menabrak lembut rambut depan Jevan yang dalam beberapa minggu ini dibiarakan memanjang. Semburat oranye menghiasi langit di ujung barat. Burung-buru nampak berterbangan dalam jumlah banyak menuju sarang. Jalanan di bawah sana terlihat padat, disesaki ratusan kendaraan yang berjejal menjemput rehat.

Jevan duduk bersebelahan dengan Juan, di bagian paling atas gedung apartemennya. Ditemani sebotol wine yang tersisa setengahnya.

“Lo sebenernya ngapain ngajak duduk gue di sini Wan?”

“Ya gak papa, udah lama enggak,” jawab Juan berusaha setenang mungkin agar tidak menimbulkan curiga.

Jevan baru akan bertanya lagi saat pintu menuju rooftop terdengar terbuka. Tiga orang muncul dari sana, yang salah satunya sedang tidak ingin Jevan temui. Mereka bertiga berjalan mendekat, membuat Jevan ingin segera lari dari sana.

“Gue cabut, males.”

Jevan hendak berdiri dari duduknya namun suara dingin Jaenandra membuatnya urung.

“Selesaiin masalah lo, jangan lari kayak pecundang.”

Jaenandra adalah kawan Jevan yang paling tenang sikapnya, akan tetapi ketenangan itu sesekali berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat dibantah bahkan oleh siapapun. Termasuk Markio yang terpaut satu tahun lebih tua darinya.

Jevan menurut, membiarkan Markio berjalan mendekat ke arahnya meskipun dia merasa muak sekali. Ketika Markio duduk di sebelah Jevan, Juan langsung berdiri dan menjauh, memberi mereka berdua waktu untuk berbicara.

“Kita pernah bilang kalau kita gak akan berantem karena cewek, kan? But here we are.” Markio memulai, meskipun Jevan tampak mau tidak mau mendengar ucapannya. “Lo pasti ngerasa gue ngambil Elen dari lo ya Jev?”

Jevan masih diam.

If only, if only you treat her better. I will never take a step to get closer to her,” ucap Markio pelan yang kali ini berhasil membuat Jevan memberi atensi padanya.

Namun atensi yang diberikan Jevan jauh dari yang Markio perkirakan.

Bugh

Satu hantaman keras melayang cepat mengenai pipi kiri Markio.

“Lo gak berhak ya Kak ngomentarin perlakuan gue ke Elen! Tau apa sih lo?”

Melihat adegan itu, Raechan hendak melerai keduanya, namun Juan menahan seraya berkata, “Biarin aja, pertemanan cowok gak afdol kalau gak tonjok-tonjokan.”

Markio mendecih, mengusap pipinya yang terasa kebas. “Lo ngerasa udah memperlakukan Elen dengan baik, Jev?”

Jevan lagi-lagi tidak menjawab, dadanya naik turun menahan amarah.

“Jawab gue Jev! Jawab gue kalau lo emang ngerasa udah memperlakukan Elen dengan baik!”

Satu pukulan hampir mengenai pipi Markio lagi namun laki-laki itu menghindar dengan cepat. Saat Jevan limbun, Markio membalasnya dengan satu pukulan yang sama kerasnya.

Setelah itu yang terjadi adalah adegan saling pukul, kejar-mengejar dan tindih-menindih. Ketiga laki-laki lain hanya menonton mereka karena mereka merasa yakin bahwa ada pertemenan yang kental di antara keduanya hingga mereka tidak akan menyebabkan bahaya untuk satu sama lain.

Benar saja, setelah sekian menit terlewat, Jevan dan Markio akhirnya berhenti. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan luka di wajah dan tubuh masing-masing.

“Lo bener, gue jahat banget ke Elen, Kak.”

Markio memandangi Jevan yang menunduk.

A perfect girl like her... dia emang lebih cocok sama cowok kayak lo daripada cowok rusak kayak gue. Dunia....”

“Gak pernah sekalipun Elen ngerasa lo cowok rusak Jev,” potong Markio cepat. “Elen selalu paham kalau lo punya alasan di setiap hal yang lo lakuin. Lo gak pernah bisa nemuin kebahagiaan di rumah makanya lo berusaha nyari kebahagiaan lo di luar, sama cewek-cewek itu, Elen paham itu Jev. Tapi ada satu hal yang Elen gak bisa pahamin, kenapa lo gak pernah berusaha buat berhenti? Dia selalu bertanya-tanya, apa kehadirannya gak pernah cukup buat lo sampai lo gak pernah bisa lepasin kebiasaan lo buat main cewek?”

“Kak...” Jevan mendesis.

“Gue naksir Elen udah dari lama Jev, lama banget. Tapi gue tau, bahkan tanpa kalian perjelaspun, kalian saling sayang. Makanya gue gak pernah berusaha nunjukin perasaan gue ke Elen. Gue diem, gue pendem semuanya sendirian. If she is happy with you, I'll accept that with all of my heart.”

Pernyataan itu tidak hanya membuat Jevan tertegun, tapi juga ketiga sahabatnya yang lain. Mereka semua benar-benar baru mengetahui perasaan Markio yang sesungguhnya. Selama ini, tidak pernah sekalipun Markio menunjukkan gelagat kecemburuan atau keberatan atas sikap Jevan dan Jelena yang tidak jarang membuat hatinya mencelos.

“Tapi waktu liat dia sedih karena sikap lo, gue gak bisa diem aja Jev. Hati gue sakit. Hati gue sakit tiap liat sorot matanya yang langsung redup tiap liat lo pergi buat jemput cewek lain, hati gue sakit tiap liat dia nungguin lo di Audore padahal dia tau lo lagi makan sama cewek baru lo, hati gue sakit tiap liat lo seakan gak peka sama perasaannya.”

Setetes air mata meluncur tanpa ancang-ancang, menuruni pipi Jevan dan melewati salah satu lukanya. Membuatnya sedikit perih, namun tidak seperih hatinya saat ini.

“Asal lo tau aja, sampai hari ini gue gak pernah ungkapin perasaan gue ke Elen. Semua hal yang gue lakuin sama dia beberapa hari ini, pure untuk hibur dia aja. Mungkin lo menafsirkannya beda, makanya lo semarah ini sama gue.” Ada senyum tulus tersungging di bibir Markio. “Tenang aja, gue gak akan deketin Elen tanpa izin dari lo.”

Air mata Jevan semakin deras. Air mata kebencian. Dia membenci dirinya sendiri karena berfikir sepicik itu mengenai Markio, seseorang yang telah memperlakukannya sebaik ini. Dia membenci perlakuannya pada Jelena yang tentu saja bukan hanya menyakiti gadis itu, tapi mungkin saja meremukkan hatinya. Dia juga semakin membenci kelakuannya ketika dia ingat bahwa dia juga sempat kesal dengan kawan-kawannya yang mencoba membawa kembali kewarasannya.

Kini Jevan telah sadar akan kesalahannya, dia bangkit dan menerjang Markio dengan sebuah pelukan. Menenggelamkan kepalanya pada bahu Markio, seorang kawan yang sudah mengaggapnya sebagai adik.

“Kak, maafin gue, maaf.”

“Gue juga minta maaf, maaf karena gue jatuh cinta sama Elen. Kalau perasaan bisa diatur, gue bakal lebih milih jatuh cinta sama cewek lain Jev.”

Tepuk tangan tiba-tiba terdengar dari pinggir arena pertarungan. Juan tampak tersenyum puas seraya berkata, “Such a great show, sekarang kita harus mabuk dimana?”

“Studion Jevan dong, let's go.” Raechan berseru semangat diikuti tawa renyah si empunya studio.

Are we good now?” tanya Markio sebelum mereka benar-benar turun dari rooftop.

Yes we are, lo bisa deketin Elen mulai sekarang Kak. Yang gue tau, ada banyak cara untuk mencintai. Melepas dia pergi untuk menemukan seseorang yang bisa lebih membahagiakannya juga salah satu caranya.”

Mereka berdua turun dari rooftop dengan saling merangkul.

Perasaan marah Jevan hilang sudah. Berganti dengan perasaan lega yang sulit diurai dengan kata. Dia masih mencintai Jelena, amat dalam. Namun dia juga sadar, kalau Tuhan menakdirkan mereka bersama, kesalahpahaman ini tidak akan pernah ada.

Jevan mulai memahami bahwa apa yang terjadi pada dirinya dan Jelena adalah cara Tuhan untuk memberitahunya bahwa Jelena ada hanya untuk mengisi hatinya, bukan mengisi hari-harinya.

Jevan tidak akan menyalahkan siapapun lagi. Jevan hanya akan menerima semuanya dengan lapang dada. Walaupun dia sadar, bahwa melihat Jelena bersanding dengan laki-laki tidak akan pernah menjadi kemudahan baginya.

Kepedihan dan sayatan tajam nampak jelas di pelupuk mata. Seolah siap menyambut dirinya yang akan memasuki babak sebagai penikmat, bukan lagi pemikat.

Mulai hari ini, dia hanya akan mencintai Jelena dari jauh.

Sebuah denting suara beriringan dengan terbukanya pintu lift yang mengantarkan seorang gadis muda menuju lantai nomor 15 sebuah apartemen mewah di pusat kota. Kaki gadis itu berjalan mantap ke arah kanan lift dan berhenti di depan pintu bertuliskan angka 15.4 di atasnya. Tangan lentiknya menekan beberapa angka hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Dia melangkah masuk, meletakkan tas selempangnya di atas sofa dan duduk nyaman di atas sana.

Tanpa perlu izin dari si pemilik apartemen, gadis itu menyalakan TV. Bukan bermaksud untuk menontonnya, hanya sebagai pengisi kekosongan suasana.

Dia duduk di sana beberapa menit hingga pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis dengan keadaaan segar usai mandi dan make up yang terlihat baru saja dipoles ulang. Si Gadis Segar terkejut mendapati seorang gadis lain duduk santai di sofa. Diingatnya bahwa ketika dia datang, tidak ada siapapun di dalam apartemen ini.

“Udah mandi kan? Gih pulang. Supir gue ada di mobil, lo ke basement aja. Mobil gue warna item, platnya B 07 DR. Lo bisa pulang naik mobil itu, dianter sama supir gue.”

Si Gadis Segar tergagap tak percaya. “Lo... siapa emang?”

“Gue? Ibunya Jevan,” jawab Jelena santai.

“Ibu?” si Gadis Segar mendecih. “Mana mungkin ibunya Jevan seumuran sama dia. Gak usah ngaco. Dan gak usah atur-atur gue buat balik sekarang.”

I've told you gue bakal anter lo pulang.”

Suara itu berasal dari dalam kamar, terdengar malas dan setengah mengantuk.

Si Gadis Segar menoleh tidak terima, menatap ke arah pria yang tengah berbaring santai di ranjangnya.

“Yaudah ayok kamu yang anter aku pulang Jev! Kenapa malah supir cewek ini?”

“Ya itu dianter Pak Abidin, sama aja. Yang penting lo sampe rumah.”

Dengan marah dan kecewa, si Gadis Segar meraih tasnya dan langsung keluar dari apartemen Jevan tanpa mengatakan apapun lagi.

Sepeninggal Yolanda-si Gadis Segar, Jelena melirik ke arah kamar Jevan melalui pintu yang terbuka. Dia dapat melihat seluruh sisi kamar yang sekarang tampak begitu berantakan. Sprei acak-acakan, selimut terjatuh di lantai, tisu bertebaran di sisi ranjang, gorden yang ditutup asal dan tentu saja pakaian Jevan yang tergelatak sembarangan di atas karpet.

Jelena tahu betul apa yang terjadi di dalam kamar itu beberapa menit lalu. Dia hanya bisa menghembuskan nafas lelah.

“Jaenandra udah jalan jemput gue kesini, gue nunggu dia di lobby aja. Gue balik, Jev.” Sangking lelahnya dengan kelakuan Jevan, Jelena hanya mengatakan itu. Dia tidak mau berlama-lama ada di sana. Tugasnya sudah selesai.

Jelena sebenarnya memaki dirinya sendiri karena menjadi sebodoh ini.

Mendengar perkataan Jelena, Jevan buru-buru turun dari kasur. Mematikan rokoknya yang masih sisa setengah batang dan berjalan keluar kamar tepat sebelum Jelena bangkit berdiri.

“Gue laper,” kata Jevan pelan.

Jelena tertawa pelan sebelum berkata, “Gue bukan beneran ibu lo. Bukan tanggung jawab gue untuk bikin lo kenyang.”

“Biar Jaenandra naik aja kesini, lo tunggu disini aja,” kata Jevan lagi.

Kali ini, tawa Jelena terdengar sinis. “Tapi gue gak mau.”

“El...”

“Mending lo tidur, capek kan?”

Jelena mematikan TV dan meraih tasnya. Dia berjalan ke arah pintu. Sementara Jevan mengepalkan kedua tangannya yang terkulai di sisi tubuh. Dia menahan diri, dia ingin sekali menahan Jelena untuk tetap berada di sini. Tapi kelihatannya gadis itu tidak sudi untuk berlama-lama bersamanya, dalam keadaan ini.

Sepeninggal Jelena, decihan kesal meluncur dari bibir Jevan. Hatinya tergelitik, sisinya yang marah seakan berteriak pada dirinya, “Lihat kan? Pada akhirnya semua orang juga bakal ninggalin lo.”

Pertama Mama.

Lalu kasih sayang Papa.

Dan sekarang? Jelena?

Gadis yang mengaku akan selalu di sisinya itu akhirnya jengah juga.

Jevan teringat sesuatu, sesuatu yang rusak memang tidak pantas dicintai.

Kepergian Jelena menegaskan hal itu.

Gadis baik mana yang betah dengan laki-laki rusak sepertinya? Tidak ada kan?

Pemikirannya itu mengantarkan Jevan pada gerbang kebencian, kebenciannya pada semua hal.

Pada kawan-kawannya yang selalu menuduhnya menyakiti Jelena,

terutama pada Markio, yang Jevan rasa telah mencuri apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Seorang gadis tengah duduk dengan gelisah di atas ranjang berukuran dua kali lipat lebih lebar dari yang biasanya dia gunakan. Gemericik air di kamar mandi bersahut-sahutan dengan desahan nafasnya yang tidak beraturan. Kedua tangannya saling mengait gugup. Dalam hatinya dia memaki dirinya sendiri karena menjadi serapuh ini.

Yolanda, gadis berusia awal dua puluhan, seorang blasteran Indonesia – Korea yang membuatnya memiliki kecantikan dari percampuran dua negara. Rambut hitam lebat panjang, mata indah kecoklatan, hidung mungil dengan tulang tinggi, serta bibir tebal dengan warna kemerahan alami.

Yolanda memiliki segalanya untuk bisa memikat paling tidak lima pria di tempat manapun dia berada. Layaknya malam ini, dia didekati setidaknya sepuluh pria tampan di bar yang sering dia kunjungi. Namun gadis itu memilih seorang pria yang berusia dua tahun lebih muda darinya, yang dianggapnya paling menonjol di antara yang lain, satu-satunya yang membuatnya gugup.

Yolanda menelan ludah kala pria itu keluar dari kamar mandi. Nampak segar usai mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma sabun segar menisik hidung si gadis. Sedikit mengganggu karena rasanya Yolanda ingin cepat-cepat menarik pria itu ke atas ranjang bersamanya. Menelusuri tubuh pria itu dengan tangannya, bibirnya, atau dengan segala yang ada pada dirinya. Yolanda ingin melenyapkan segala kegugupannya dengan bercinta bersama Jevan. Jevander Novanda.

Jevan menyadari keinginan bergejolak Yolanda melalui gerak-gerik gadis itu. Jevan sudah berpengalaman dengan gadis-gadis, dia memahami segalanya.

“Kamu mau mandi dulu atau enggak?” tanyanya mengulur waktu. Ingin membuat Yolanda makin dibakar gairah.

“Engg... enggak usah Van.”

Jevan tersenyum simpul, dengan sengaja dia membuka bathrobe yang tadi dikenakannya. Membiarkan satu-satunya proteksi akan dirinya itu tersungkur di lantai.

Yolanda tersedak kemudian memahan nafas akan apa yang dilihatnya. Wajahnya memerah seperti udang rebus. Di hadapannya, Jevan berdiri tanpa sehelai benangpun melindungi tubuhnya yang kekar.

“Kalau gitu kita langsung aja.” Tatapan Jevan menghujani Yolanda dari atas hingga bawah. “Mau buka sendiri atau aku bukain?”

Si gadis tertegun sekali lagi. Biasanya, pria-pria yang ditidurinya tidak akan menanyakan hal seperti ini. Hal baru ini membuatnya merasa aneh—tapi juga makin bergairah.

Yolanda memilih untuk tidak menjawab. Jari-jari tangannya bekerja sama untuk melucuti pakainnya satu persatu. Di bawah tatapan Jevan yang nampak menikmati tiap gerakan yang Yolanda lakukan.

Beautiful,” lirih Jevan kala Yolanda sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan sama polosnya.

Perlahan, Jevan bergerak mendekat. Mengikis jarak anatara dirinya dengan Yolanda. Lalu, saat gadis itu sudah berada dalam radarnya, dia mengunci Yolanda dengan ciuman memabukkan. Lembut namun dominan. Membuat Yolanda tersentak hingga lupa membalas ciuman itu.

Saat Jevan menyadari gadis itu tidak memberi balasan, dia memundurkan wajah, mengelus pipi Yolanda dengan sebalah tangan. “Hei, kenapa? Aku terlalu kasar ya? Atau kenapa?”

Sungguh, kini Yolanda paham kenapa dia sering mendengar nama Jevan keluar dari bibir teman sepergaulannya.

“Atau kalau kamu gak nyaman sama aku, kita bisa berhenti.”

Pria ini, dia tahu cara meluluhkan wanita.

“Enggak, aku cuma... kaget aja.”

Cute,” desis Jevan pelan sebelum kembali melumat bibir Yolanda.

Bunyi kecapan beradu dengan deru nafas menggubu dua insan yang tengah saling meraba dan melumat. Jevan sudah membawa Yolanda ke atas ranjangnya yang besar dan kokoh. Mengunci tubuh indah Yolanda dengan lengannya yang kekar.

Ciuma Jevan turun ke leher, membelai dengan lihai. Namun pria itu tidak meninggalkan sedikitpun jejak—begitulah Jevan, dia hanya ingin kesenangan, tanpa komitmen. Itulah kenapa dia berusaha tidak meninggalkan bekas apapun pada tubuh tiap perempuan yang ditidurinya.

Desahan nikmat mengudara kala Yolanda merasakan gigitan kecil pada putingnya yang menegang. Sebelah tangan Jevan bermain di payudara kirinya sementara bibir pria itu menjelajah payudara kanannya. Pergerakan Jevan membuat sesuatu di bawah sana terasa basah. Mendesak dan menuntut lebih. Yolanda berusaha meraih kejantann Jevan namun ditahan.

“Jangan Sayang, belum waktunya.”

Yolanda hendak protes, namun bibir Jevan lebih dulu mendarat di pusat dirinya. Mencecap, menjilat, membelai dengan bibir dan lidahnya. Sekitar kewanitaan Yolanda juga tidak luput dari belaian kasih Jevan. Dikecupinya kedua paha mulus Yolanda sebelum kembali bermain dengan kewanitaan wanita itu.

Yolanda kelimpungan. Rasanya nikmat sekali. Dia sering bercinta, namun tidak pernah sehebat ini.

“Cantik, cantik sekali, Yolanda.” Jevan berucap di sela belaiannya, membuat Yolanda makin menggila.

Pinggul Yolanda bergerak-gerak gelisah, berusaha mendekatkan kewanitaannya sedekat-dekatnya dengan bibir Jevan yang sebenarnya tidak pernah kemana-mana.

“Jevan... tolong, lebih dalam.”

Mendengar itu, Jevan bangkit. Diposisikan kewanitaan Yolanda tepat di hadapan kejantanannya. Kedua paha Yolanda dia pangku, dia lebarkan hingga dia bisa melihat seluruh keindahan yang ada pada diri gadis yang ditidurinya itu.

“Coba rasain, kamu lebih suka yang mana.”

Jevan memasukkan satu jarinya ke dalam lubang kenikmatan Yolanda, bergerak teratur, maju dan mundur. Berulang-ulang. Lalu perlahan dia memasukkan jarinya yang lain, juga menambah kecepatan.

Sungguh, Yolanda ingin berteriak meminta ampun sekarang. Rasanya begitu nikmat hingga dia kelabakan.

Tidak berhenti disana, Jevan mengganti jarinya dengan kejantanannya yang telah menegang. Dia gesekkan kepala penisnya ke bibir vaniga Yolanda. Perlahan-perlahan, perlahan-perlahan.

“Begini Sayang? Kamu suka?”

“Yaa Van, begitu, tapi masukin sekalian aja Van,” rintih Yolanda tidak tahan lagi.

Beg for me Yolanda Kim Larasati.”

“Aku mohon Van, fuck me, fuck me hard. Fuck me like I'm a whore.”

Senyum kemenangan tergambar jelas di wajah Jevan. Pria itu akhirnya menuruti keinginan Yolanda. Dia mengujamkan penisnya hingga Yolanda merintih kenikmatan. Temponya pas, tidak terburu-buru dan tidak terlalu lambat. Dia menyentuh seluruh titik vital Yolanda.

Semua gadis yang ditidurinya tidak pernah memberinya perintah dalam bentuk apapun karena Jevan lebih tahu dari mereka apa yang harus dia lakukan. Tiap kali bercinta, Jevan tidak pernah mendengar perintah, dia hanya mendengar erangan putus asa akan kebutuhan sex dari semua gadis-gadis itu.

Jevan membalikkan posisi, dia menuntun Yolanda untuk menungganginya. Dia ingin bersantai, sambil menikmati payudara Yolanda yang bergelayut bebas beriringan dengan makin keras hentakannya. Dia juga bisa memandangi wajah Yolanda yang menikmati tiap sentuhan yang dia berikan.

“Van, AAAHHH AHHHH, I'm coming Van.”

Jevan membantu Yolanda mempercepat gerakannya dan menopang tubuh gadis itu yang akhirnya roboh setelah pelepasan panjang. Yolanda melenguh kenikmatan, meraba-raba wajah Jevan untuk menemukan bibirnya.

Lalu mereka berciuman lagi, kali ini lebih intim dari sebelumya. Yolanda merasa dicintai akan ciuman itu, tapi Jevan hanya ingin pemuas nafsu.

Tidak heran, setelah selesai, Jevan langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari sentuhan Yolanda. Dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Saat selesai dari urusannya, Jevan duduk di sofa dan memamdangi Yolanda yang belum mengenakan pakaiannya.

“Abis ini lo gue anter balik.”

“Loh kenapa? Aku mau nginep Van, siapa tau besok pagi kita bisa...”

“Gue gak pernah tidur dua kali sama cewek yang sama.”

Ya, itu lah Jevan, Jevander Novanda.

Dalam pertemanan Jelena dan kawan-kawannya, hanya empat dari mereka yang sudah memiliki mobil pribadi.

Jaenandra mendapatkan mobil pribadinya tepat seminggu setelah ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Saat itu ayahnya memberikan sebuah mobil Civic hitam kepada anak semata wayangnya itu. Interior yang Jaenandra gunakan di dalam mobilnya juga berwarna hitam.

Berbeda dengan Jaenandra, Raechan mendapatkan mobil pertamanya setelah usianya 18 tahun. Toyota Yaris berwarna putih keluaran terbaru menjadi pilihan Raechan saat itu.

Jevan memilih jenis dan warna mobil yang sama dengan Jaenandra. Bedanya, Jevan memodif sedikit bagian dalamnya sesuai dengan yang dia inginkan. Di antara mobil kawannya yang lain, mobil Jevan adalah yang paling sering Jelena tumpangi.

Sementara itu, Markio menjatuhkan pilihannya pada Hyundai Palisade D Prime berwarna hitam. Menurut ceritanya, mobil ini paling cocok untuk seseorang sepertinya yang selalu membawa banyak barang di dalam mobil. Baju ganti, sepatu, skateboard, pakaian olahraga dan segala jenis kebutuhan yang dia perlukan sebagai mahasiswa kedokteran.

“Maaf, maaf, berantakan banget ya, tadi gue buru-buru.” Markio tampak dengan kikuk membereskan beberapa barang di jok tengah saat dirinya dan Jelena masuk ke mobil.

“Kak Kiyo abis main skateboard ya tadi pagi?” tanya Jelena ketika matanya tidak sengaja menatap sebuah papan dengan empat roda itu di jok tengah mobil Markio.

“Ahh itu... enggak, gue mainnya kemarin sore. Tadi pagi gue buru-buru kelas jadi gak sempet beresin, terus abis kelas langsung buru-buru jemput lo jadi lupa beresin lagi.”

“Padahal gak usah buru-buru tau Kak.”

Jelena masih dengan sabar menunggu Markio selesai dengan urusannya.

“Gue juga maunya gitu... tapi gak tau kenapa otak gue nyuruh gue buru-buru.”

“Hah?” Jelena bingung dengan perkataan Markio.

“HAH?” Dan Markio lebih kebingungan dengan perkataannya sendiri. “Eh... ini kita jadinya kemana dulu?” tanya Markio cepat untuk membelokkan pembicaraan.

“Ke toko buku dulu kali ya Kak? Mau cari notebook yang lucu-lucu.”

“Bukannya lo gak suka ke toko buku bareng orang lain selain Jevan ya El?” Markio bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung.

Setahu Markio, sahabatnya yang satu ini memang gemar pergi ke toko buku seorang diri. Mengahabiskan waktunya berjam-jam di antara rak buku yang tertara rapi. Membaca dan memilah buku mana yang akhirnya nanti akan dia bawa pulang. Setahunya lagi, sekalipun Jelena pergi dengan seseorang, orang itu adalah Jevan. Hanya Jevan. Bahkan ketika Klarisa merengek untuk menemaninya ke toko buku, Jelena akan menolaknya sehalus mungkin.

Jelena diam sebentar sebelum akhirnya berkata, “Toko buku itu tempat umum Kak, gak seharusnya gue menjadikannya tempat spesial.”

Jawaban Jelena menggantung, memberika kesan yang tidak bisa diartikan oleh si penanya.

“Jadi sekarang udah gak papa pergi kesana sama orang lain?”

“Iya, udah gak papa.”

Markio mengangguk kemudian mulai mengemudikan mobil hitamnya keluar dari basement apartemen Jelena. Menuju sebuah toko buku terbesar di kota ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan kecepatan sedang.

Setibanya disana, Jelena mengajak Markio untuk berkeliling di lantai satu. Menuju satu rak dan rak lainnya, mencari segala hal yang gadis itu butuhkan. Markio menemani dengan sabar, menanggapi Jelena ketika gadis itu butuh saran, tidak sekalipun helaan nafas lelah keluar dari dirinya.

“Udah deh Kak cukup kayaknya.” Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya Jelena meletakkan barang terakhirnya ke dalam ranjang yang setia Markio bawa.

“Gak mau ke lantai dua? Liat-liat novel?”

“Emang gak papa? Kak Kiyo gak bosen?”

“Gue malah mau minta lo saranin gue beberapa buku fiksi, gue butuh hiburan nih. Bosen baca buku kedokteran terus.”

Binar mata bersemangat terpancar dari kedua mata cantik Jelena. Lebih dari puluhan judul buku langsung mengerumuni otaknya kala mendengar Markio meminta rekomendasi darinya. Ini perasaan terbaik yang bisa dirasakan oleh seorang pembaca.

“Ke sebelah sini Kak,” ujar Jelena bersemangat, membawa Markio pada sebuah rak dengan keterangan Fiski di atas rak. “Kak Kiyo kayaknya bakal suka sama buku ini deh, ini tentang orang-orang yang terluka karena cita-citanya gitu Kak. Ceritanya romance tapi gak cringe.”

“Boleh tuh, yang covernya item ini ya?”

“Iya-iya yang itu... Hmmm... Sama apa lagi ya? Kak Kiyo sukanya genre yang gimana dulu deh?”

“Yang soal demo-demo gitu ada gak El? Sekarang kan lagi rame.”

Mata Jelena berbinar lagi, dia menarik lengan Markio ke rak lain lalu memberikan sebuah buku dengan sampul biru. “Ini Kak, ini latarnya tahun 98 gitu deh pas jaman orde baru. Gue baca buku ini cuma dua hari sangking serunya.”

Markio selalu menyukai bagaimana Jelena berbicara tentang sesuatu yang disukainya. Matanya berbinar semangat, mulutnya sibuk menjelaskan panjang lebar, membuat kecantikan gadis itu menjadi berkali lipat.

Dia bersyukur bahwa akhirnya dia bisa melihat sisi Jelena yang ini. Sisi yang selama ini tidak berani dia jamah karena sudah ada batasan yang tidak bisa dia lewati. Sisi yang selama ini hanya gadis itu tunjukkan pada Jevan.

“Nanti tuh ya kak banyak penyiksaannya gitu, terus ceritanya tuh ngalir kereeennn banget sampe perasaan para tokohnya bisa banget kita rasain.”

Jelena masih berbicara dan Markio mendengarkan dengan senang.

“Yaudah gue ambil dua ini dulu ya. Nanti kapan-kapan gue boleh kan minta rekomendasi lagi?”

“Boleh dong!”

Mereka berdua lalu berjalan ke arah kasir, namun sebelum itu, mata Markio tertaut pada beberapa gitar yang dipajang berjajar. Laki-laki itu teringat seseorang...

“El, boleh liat gitar itu dulu gak? Mau beliin buat Jevan.”

Bahkan ketika bersama Jelena pun, Markio masih mengingat Jevan. Terus seperti itu, entah sampai kapan.

#

Dalam pertemanan Jelena dan kawan-kawannya, hanya empat dari mereka yang sudah memiliki mobil pribadi.

Jaenandra mendapatkan mobil pribadinya tepat seminggu setelah ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Saat itu ayahnya memberikan sebuah mobil Civic hitam kepada anak semata wayangnya itu. Interior yang Jaenandra gunakan di dalam mobilnya juga berwarna hitam.

Berbeda dengan Jaenandra, Raechan mendapatkan mobil pertamanya setelah usianya 18 tahun. Toyota Yaris berwarna putih keluaran terbaru menjadi pilihan Raechan saat itu.

Jevan memilih jenis dan warna mobil yang sama dengan Jaenandra. Bedanya, Jevan memodif sedikit bagian dalamnya sesuai dengan yang dia inginkan. Di antara mobil kawannya yang lain, mobil Jevan adalah yang paling sering Jelena tumpangi.

Sementara itu, Markio menjatuhkan pilihannya pada Hyundai Palisade D Prime berwarna hitam. Menurut ceritanya, mobil ini paling cocok untuk seseorang sepertinya yang selalu membawa banyak barang di dalam mobil. Baju ganti, sepatu, skateboard, pakaian olahraga dan segala jenis kebutuhan yang dia perlukan sebagai mahasiswa kedokteran.

“Maaf, maaf, berantakan banget ya, tadi gue buru-buru.” Markio tampak dengan kikuk membereskan beberapa barang di jok tengah saat dirinya dan Jelena masuk ke mobil.

“Kak Kiyo abis main skateboard ya tadi pagi?” tanya Jelena ketika matanya tidak sengaja menatap sebuah papan dengan empat roda itu di jok tengah mobil Markio.

“Ahh itu... enggak, gue mainnya kemarin sore. Tadi pagi gue buru-buru kelas jadi gak sempet beresin, terus abis kelas langsung buru-buru jemput lo jadi lupa beresin lagi.”

“Padahal gak usah buru-buru tau Kak.”

Jelena masih dengan sabar menunggu Markio selesai dengan urusannya.

“Gue juga maunya gitu... tapi gak tau kenapa otak gue nyuruh gue buru-buru.”

“Hah?” Jelena bingung dengan perkataan Markio.

“HAH?” Dan Markio lebih kebingungan dengan perkataannya sendiri. “Eh... ini kita jadinya kemana dulu?” tanya Markio cepat untuk membelokkan pembicaraan.

“Ke toko buku dulu kali ya Kak? Mau cari notebook yang lucu-lucu.”

“Bukannya lo gak suka ke toko buku bareng orang lain selain Jevan ya El?” Markio bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung.

Setahu Markio, sahabatnya yang satu ini memang gemar pergi ke toko buku seorang diri. Mengahabiskan waktunya berjam-jam di antara rak buku yang tertara rapi. Membaca dan memilah buku mana yang akhirnya nanti akan dia bawa pulang. Setahunya lagi, sekalipun Jelena pergi dengan seseorang, orang itu adalah Jevan. Hanya Jevan. Bahkan ketika Klarisa merengek untuk menemaninya ke toko buku, Jelena akan menolaknya sehalus mungkin.

Jelena diam sebentar sebelum akhirnya berkata, “Toko buku itu tempat umum Kak, gak seharusnya gue menjadikannya tempat spesial.”

Jawaban Jelena menggantung, memberika kesan yang tidak bisa diartikan oleh si penanya.

“Jadi sekarang udah gak papa pergi kesana sama orang lain?”

“Iya, udah gak papa.”

Markio mengangguk kemudian mulai mengemudikan mobil hitamnya keluar dari basement apartemen Jelena. Menuju sebuah toko buku terbesar di kota ini yang membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan kecepatan sedang.

Setibanya disana, Jelena mengajak Markio untuk berkeliling di lantai satu. Menuju satu rak dan rak lainnya, mencari segala hal yang gadis itu butuhkan. Markio menemani dengan sabar, menanggapi Jelena ketika gadis itu butuh saran, tidak sekalipun helaan nafas lelah keluar dari dirinya.

“Udah deh Kak cukup kayaknya.” Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya Jelena meletakkan barang terakhirnya ke dalam ranjang yang setia Markio bawa.

“Gak mau ke lantai dua? Liat-liat novel?”

“Emang gak papa? Kak Kiyo gak bosen?”

“Gue malah mau minta lo saranin gue beberapa buku fiksi, gue butuh hiburan nih. Bosen baca buku kedokteran terus.”

Binar mata bersemangat terpancar dari kedua mata cantik Jelena. Lebih dari puluhan judul buku langsung mengerumuni otaknya kala mendengar Markio meminta rekomendasi darinya. Ini perasaan terbaik yang bisa dirasakan oleh seorang pembaca.

“Ke sebelah sini Kak,” ujar Jelena bersemangat, membawa Markio pada sebuah rak dengan keterangan Fiski di atas rak. “Kak Kiyo kayaknya bakal cocok sama buku ini deh, ini tentang orang-orang yang terluka karena cita-citanya gitu Kak.”

“Boleh tuh, yang covernya item ini ya?”

“Iya-iya yang itu... Hmmm... Sama apa lagi ya? Kak Kiyo sukanya genre yang gimana dulu deh?”

“Yang soal demo-demo gitu ada gak El? Sekarang kan lagi rame.”

Mata Jelena berbinar lagi, dia menarik lengan Markio ke rak lain lalu memberikan sebuah buku dengan sampul biru. “Ini Kak, ini latarnya tahun 98 gitu deh pas jaman orde baru. Gue baca buku ini cuma dua hari sangking serunya.”

Markio selalu menyukai bagaimana Jelena berbicara tentang sesuatu yang disukainya. Matanya berbinar semangat, mulutnya sibuk menjelaskan panjang lebar, membuat kecantikan gadis itu menjadi berkali lipat.

Dia bersyukur bahwa akhirnya dia bisa melihat sisi Jelena yang ini. Sisi yang selama ini tidak berani dia jamah karena sudah ada batasan yang tidak bisa dia lewati.

“Nanti tuh ya kak banyak penyiksaannya gitu, terus ceritanya tuh ngalir kereeennn banget sampe perasaan para tokohnya bisa banget kita rasain.”

Jelena masih berbicara dan Markio mendengarkan dengan senang.

“Yaudah gue ambil dua ini dulu ya. Nanti kapan-kapan gue boleh kan minta rekomendasi lagi?”

“Boleh dong!”

Mereka berdua lalu berjalan ke arah kasir, namun sebelum itu, mata Markio tertaut pada beberapa gitar yang dipajang berjajar. Laki-laki itu teringat seseorang...

“El, boleh liat gitar itu dulu gak? Mau beliin buat Jevan.”

Bahkan ketika bersama Jelena pun, Markio masih mengingat Jevan. Terus seperti itu, entah sampai kapan.

“Studionya mau mulai lo isi kapan Jev?”

“Besok, besok gue ke IKEA sama Elen buat cari sofa, TV, dan lain-lain. Kalau buat alat bandnya nanti paling gue minta tolong Papanya Kak Kiyo buat cariin toko alat musik yang oke.”

Sofa di smoking area Audore Cafe sudah kembali terisi. Paska membaiknya keadaan Jevan, dia mengajak kawan-kawannya untuk berkumpul kembali di cafe langganan ini.

“Nanti bisa lah ya kita pindah dari ni cafe ke studio lo kalau mau nongkrong,” celetuk Raechan lagi.

“Bisa banget, nanti gue beli deh ranjang ukuran kecil buat kalau ada yang mau nginep.”

“Jangan aja tuh ranjang malah lo pake nidurin cewe Jep-Jep.” Juan ikut bersuara.

“Hahahah enggak lah! Janji deh gue gak bakal bawa cewek manapun ke studio, kecuali kalau gue serius ama tuh cewek.” Dua jari Jevan terangkat, hal yang selalu dia lakukan ketika dia serius dengan ucapannya.

Suasananya tidak pernah berubah, masih tetap ramai dan akrab seperti biasanya. Hanya saja, sejak tadi Jelena bisa merasakan tatapan sendu dari Jaenandra dan Klarisa ke arahnya. Tatapan itu membuat hatinya sedikit tidak nyaman karena sebelum datang kesini tadi, gadis itu telah mati-matian memantapkan hati bahwa tidak ada yang boleh berubah dari sikapnya. Hal itu dia lakukan agar perasaan terlukanya akan perbuatan Jevan tidak merusak atmosfer pertemanan ini.

Namun sayang, tatapan sendu dari sepasang kekasih di hadapannya ini seperti menaburi garam pada lukanya yang menganga. Jelena perlahan-perlahan seakan merasakan hatinya diremas hingga hancur. Teringat bahwa laki-laki yang saat ini tengah tertawa bersama Raechan dan Juan itu adalah laki-laki yang sama dengan sosok yang menghabiskan semalam suntuk di apartemen seorang gadis tidak dikenal. Entah apa saja yang mereka berdua lakukan semalaman. Bercinta entah berapa kali banyaknya. Tawa Jevan malam itu bahkan ikut mengacak-acak hati Jelena yang telah hancur.

Tanpa sadar kedua tangan Jelena mengepal kuat, menahan agar air mata sialannya tidak jatuh menuruni pipi. Hembusan nafasnya memberat manakala sesak di dadanya semakin tidak terkendali.

“Gue ke depan bentar ya, Mama gue telepon.”

Jelena tidak menunggu anggukan setuju dari kawan-kawanya. Gadis cantik itu berlalu pergi dengan berpura-pura menempelkan ponsel di telinganya.

Setibanya di area parkir Cafe, Jelena menengadah. Berusaha sekuat mugkin agar air mata yang menumpuk di pelupuk matanya tidak tumpah.

Dia akhirnya paham, bahwa berusaha terlihat baik-baik saja tidaklah mudah. Bahkan jauh dari kata mudah.

“Mau pake tisu atau pake kaos gue aja?”

Suara itu muncul bersamaan dengan aroma tubuh seorang pria yang Jelena kenali. Aroma tubuh seorang pria yang benar-benar berasal dari tubuhnya, bukan karena semprotan parfume atapun lotion.

“Kalau pake tisu lo bisa lap sendiri air matanya, tapi kalau pake kaos gue, biar gue yang elapin.”

“Kak Kiyo...” Di detik yang sama dengan keluarnya suara itu dari mulut Jelena, setetes air mata berhasil lolos. Disusul tetes demi tetes yang lainnya. “Kak Kiyo,” lirih Jelena lagi, di sela isak tangisnya yang akhirnya tidak terbendung lagi.

“Kayaknya tisu gak cukup, pakai kaos gue aja ya?”

Markio mendekat, merengkuh tubuh Jelena ke dalam dekapannya. Membiarkan air mata Jelena akan Jevan ikut membasahi kaus hitamnya.

“Nangis aja, yang banyak. Di sini gelap kok, gak bakal ada yang liat.”

Tubuh Jelena bergetar dalam dekapan Markio. Erangannya tertahan dalam dada Markio karena gadis itu membenamkan keseluruhan wajahnya di sana.

Rain, rain, go away, but don't come again another day. Rain, rain, go away, don't come again another day.” Markio menyanyikan lirik itu, diiringi elusan lembut pada punggung Jelena. Membuat tangis Jelena berangsur mereda.

“Kak Kiyo,” panggil Jelena kala gadis itu merenggangkan pelukannya.

“Hm?”

“Bajunya basah.”

“Gak papa, nanti juga kering sendiri.” Markio mengusap sisa-sisa air mata di pipi Jelena. “Udah nangisnya? Mau ke pasar malam gak? Ada loh di deket sini.”

“Nanti kalau yang lain nyariin gimana?”

“Tadi gue udah bilang mau ngajak lo ke sana sebentar.”

Jelena mengangguk seraya memaksakan senyum.

Mereka berdua akhirnya pergi ke pasar malam hanya dengan berjalan kaki. Karena benar kata Markio, pasar malam itu begitu dekat dengan Audore Cafe. Hanya butuh sekitar lima menit dengan berjalan kaki untuk tiba di sana.

“Katanya ngelukis tuh bisa dipake buat ilangin rasa sedih, mau coba gak?” tawar Markio.

Si gadis yang ditawari mengangguk senang.

“Lo mau yang gambar apa? Bunga teratai itu mau?”

Lagi-lagi Jelena mengangguk.

“Pak mau yang gambar teratai itu satu, sama yang gambar spongebob itu satu ya Pak tolong.”

Setelah mendapatkan kanvas bergambar dan alat lukisnya masing-masing, mereka berdua duduk bersebelahan dan mulai tenggelam pada kegiatan mereka sendiri.

Gemerlap lampu dan ramainya pengunjung yang datang menjadi latar mereka berdua. Suara mesin permainan dan tawa anak-anak melipur kesedihan Jelena. Semakin banyak warna yang dia torehkan pada kanvas, seperti terapi jiwa yang menenangkan. Membuatnya lupa akan lukanya yang tadi menganga.

Markio benar, kegiatan ini seperti penghapus kesedihan. Karena saat akhirnya lukisannya selesai, relung hati Jelena penuh dengan kebahagiaan.

“Kak, kok spongebob lo warna ijo sih? Kan harusnya kuning!” Jelena protes kala melihat hasil lukisan Markio.

“Ini spongebobnya masih mentah, nanti kalau udah mateng dia baru berubah jadi kuning,” jawab Markio jenaka.

“IH DIKIRA PISANG KALI!”

Tawa Jelena lepas. Berbaur dengan makin nyaringnya suara orang yang lalu lalang.

Dan Markio, laki-laki itu diam-diam bersyukur namun juga merasa bersalah. Dia merasa bahwa tindakannya seperti sebuah bentuk pencurian.

Jelena, bukan hanya Jevan yang mencintai gadis itu, tapi juga dirinya.

Dirinya yang selama ini diam. Dirinya yang selama ini hanya mengamati dari jauh tanpa berani mendekat. Dirinya yang menyayangkan sikap Jevan terhadap Jelena. Serta dirinya, yang malam ini harus menenangkan Jelena atas rasa sakitnya terhadap Jevan, sahabatnya sendiri.

“Neng Elen, ada yang cari nih.”

Kening gadis cantik yang tengah sibuk memoles wajahnya dengan riasan tipis itu berkerut, menerka-nerka siapa yang dimaksud Pak Abidin tengah mencarinya. Jelena tidak merasa sedang menunggu siapapun ataupun memiliki janji temu dengan siapapun. Hari ini, dia hanya akan pergi ke rumah sakit untuk menjaga Jevan bergantian dengan Markio dan Juan.

“Siapa Pak Abidin?”

Sekian detik terlewat, namun jawaban dari Pak Abidin yang ditunggu Jelena tidak kunjung terdengar. Gadis cantik itu memutuskan untuk keluar dari kamar, memeriksa sendiri siapa yang sedang mencarinya.

“Lo... kok... Jev...” Jelena terbata-bata, mendapati Jevan tengah duduk santai di ruang tamu apartemen miliknya. Jevan mengenakan pakaian santai seperti yang sehari-hari dia gunakan, tidak lagi mengenakan pakaian rawat rumah sakit. Di keningnya juga tidak lagi ada perban.

“Hai?” sapa Jevan dengan senyum ramah.

“Kok lo disini Jev?” Akhirnya Jelena bisa bertanya setelah berusaha menangani keterkejutannya.

“Semalem, pas lo udah balik, dokter cek kondisi gue. He said everythings good for now, jadi gue udah boleh pulang.”

“Terus kok lo gak bilang ke gue? Kok Kak Kiyo juga gak ngabarin?”

Jevan bangkit dari duduknya kemudian jalan mendekat pada Jelena. “Sengaja, biar surprise.”

Sebelah tangan Jevan terangkat untuk merapikan anak rambut Jelena yang jatuh mengenai kening. “Udah belum make upnya? Jalan yuk? Gue bosen di rumah sakit berhari-hari.”

“Kak Kiyo sama Juan gimana? Gue kan udah bilang mau bawain makanan.”

“Mereka udah gue ajak sarapan bubur, aman.” Jevan membalikkan tubuh Jelena dan mendorongnya pelan. “Gih ambil jaket, hari ini kita bakal sampe malem. Gue mau seharian sama lo.”

Jelena menurut, meraih satu jaket yang selalu tergantung di lemari pakaiannya. Jaket yang sebenernya adalah milik Jevan. Jaket yang Jevan berikan pada Jelena saat pertama kali laki-laki itu mengantarnya pulang. Jaket yang tidak pernah lagi Jevan inginkan karena baginya, jaket itu adalah pengganti dirinya ketika dia sedang jauh dari Jelena.

“Kita mau kemana sekarang?”

“Ikut aja.” Senyum Jevan mengembang. “Pak Abidin, saya ajak Elen jalan dulu ya. Nanti saya bawain Bapak martabak kalau pulang!”

Jelena hanya diam, menurut. Bahkan di sepanjang perjalanan, dia tidak banyak bertanya. Dia hanya fokus menatap Jevan dari kursi penumpang. Jevan, Jevannya yang kini telah membaik. Luka-luka ditubuhnya mulai mengering, lebam-lebam di sekujur lengannya mulai memudar dan wajah sumringah Jevan juga telah kembali.

Terlalu asyik menatap Juan membuatnya tidak sadar kalau mereka telah tiba di suatu toko buku, tempat biasa dimana Jelena bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana.

“Kok kesini?”

Bukannya menjawab, Jevan malah melemparkan pertanyaan lain. “Lo baca Bumi Series udah sampe mana?”

“Sampe Selena, kenapa sih Jev emangnya?” tanya Jelena penuh penasaran akan sikap Jevan yang terburu-buru membawanya masuk ke toko buku dan menuju ke sebuah rak khusus.

“Oh oke, berarti abis itu kita beli Nebula, Si Putih, Lumpu, Bibi Gil dan Sagaras ya?” Tangan Jevan begitu cekatan meraih buku yang dia sebutkan. Setelah yakin tidak ada yang terlewat, dia mengajak Jelena untuk menuju kasir.

“Mbak, acaranya lima belis menit lagi kan?” tanya Jevan pada seorang wanita yang berdiri di balik meja kasir.

“Iya, Mas. Abis ini langsung ke lantai dua aja.”

Mata Jelena masih mengikuti gerak-gerik Jevan yang membuatnya bingung. Bertanyapun tidak ada gunanya, karena sejak tadi Jevan terus mengabaikannya tiap kali Jelena bertanya.

“Yuk sekarang ke lantai dua.”

Barulah ketika Jelena menapakkan kaki di lantai dua toko buku tersebut, dia akhirnya memahami semuanya. Sebuah poster besar bertuliskan “Bincang Buku Bersama Tere Liye” menjelaskan semua sikap Jevan yang terburu-buru sejak tadi.

“Nanti kita minta tanda tangan di semua buku yang kita beli ini ya? Terus lo simpen deh buku-bukunya.”

Hati Jelena terasa hangat. Perasaan yang lebih besar dari sekedar bahagia memenuhi relung hatinya. Jevan bukanlah tipikal laki-laki yang gemar membaca buku, tapi dia tahu semua judul buku yang Jelena baca. Jevan tahu siapa penulis favorite Jelena. Jevan tahu judul buku apa yang Jelena tunggu tanggal releasenya. Jevan tahu toko buku mana yang sedang memberikan potongan harga. Bahkan sekarang, Jevan, laki-laki itu tahu bahwa hari ini salah satu penulis favorite Jelena tengah mengadakan sebuah acara bincang buku. Acara yang bahkan Jelena sendiripun tidak ketahui karena selama beberapa hari ini, dia hanya memperdulikan keadaan sahabatnya itu.


“Sekarang kita mau kemana?”

A place that you really love.

“Pasar bunga?”

Jevan tidak menjawab, laki-laki itu hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota yang padat. Mengemudi dengan hati-hati karena seseorang yang dibawanya adalah gadis yang harus dipastikan keamanannya.

Mereka tiba di pasar bunga pukul tiga sore, dimana keadaan pasar sudah tidak terlalu ramai. Jelena bisa berjalan di depan Jevan tanpa harus berbenturan dengan pengunjung lain. Hal itu tentu saja membuat Jevan lega, karena gadisnya tidak perlu penjagaan ekstra.

“Jev, bunga yang itu cantik deh. Kayanya gue belum pernah beli yang itu.” Jelena menunjuk sebuah bunga berwarna putih dengan kelopak terbuka.

Tanpa bertanya lagi pada Jelena, Jevan mendekat kepada seorang bapak penjual dan membayar senilai yang diminta.

“Nih.”

“Loh kok sama mawar pink juga?” Jelena bertanya heran karena ketika Jevan kembali mendekat, laki-laki itu tidak hanya membawa satu ikat bunga yang dia inginkan, namun juga seikat bunga lain.

“Tadi bunga yang warna putih bisikin gue, katanya dia gak pede kalau dibawa pulang sendirian.”

“Kenapa emangnya?”

“Katanya takut kalah cantik sama yang bawa pulang, jadi dia minta dicariin temen.”

Klian harus tahu, kaki Jelena tidak lagi menapaki bumi.

Audore cafe malam itu jauh dari suasana yang biasa ditampilkannya. Tidak ada live band, tidak ada tawa dari pengunjung yang datang, tidak ada pelayan yang sibuk lalu-lalang dan tentu saja tidak ada Jevan dan kawan-kawannya.

Malam itu, hanya ada Jelena di sana. Duduk seorang diri ditemani segelas minuman yang tersisa setengah. Banyak pikiran berkecamuk di kepala gadis cantik itu. Tentang Jevan, tentang mimpi pria itu yang layak diperjuangkan, tentang luka-luka di tubuhnya dan tentang larangan keras Alexander terhadap putra semata wayangnya.

Jelena tidak mengerti, apa yang salah tentang musik? Kenapa Alexander begitu menentang mimpi Jevan? Apakah membanggakan orang tua harus dengan meneruskan bisnis keluarga?Tidak ada kah jalan lain?

Ayah Jelena juga seorang pebisnis, tapi tidak pernah sekalipun ayahnya memaksa Jelena untuk menggeluti atau meneruskan bisnis keluarga itu. Jadi sebetulnya, Jelena sulit sekali memahami apa yang terjadi antara dua orang dengan nama belakang Novanda itu.

“Nak maaf rapatnya lebih lama dari yang diperkirakan, kamu sudah pesan makanan?”

Suara itu terdengar beriringan dengan aroma parfum yang menguar memenuhi cafe. Seorang laki-laki mapan berusia empat puluhan duduk dengan penuh wibawa di hadapan Jelena. Style laki-laki itu tertata dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut dengan potongan rapi, wajah yang bersih dari kumis dan jenggot, kemeja dan jas yang disetrika hingga licin dan jangan lupakan sepatu yang disemir hingga mengkilap.

“Belum Om, Elena nunggu Om Alex.”

“Ya sudah yuk pesan, kamu mau makan apa, Nak?” Alexander tersenyum ramah.

Croffle Ice Cream aja, Om Alex?”

“Om nasi goreng saja.”

Jelena memberi kode pada salah satu pelayan untuk mendekat. Dia menyebutkan makanan yang dipesan dan mengirim pelayan itu untuk kembali menjauh.

“Ada apa Nak? Tumben sekali kamu mau makan malam dengan Om. Tidak kumpul dengan teman-temanmu?”

“Mereka lagi jagain Jevan di rumah sakit Om.”

Ada hening yang panjang setelah jawaban lugas itu. Alexander memandang Jelena dengan tatapan rasa bersalah.

“Keadaan anak itu—”

“Gak ada tulang yang patah, tapi seluruh tubuhnya lebam.” Jelena memotong dengan cepat. “Jari-jari tangannya masih utuh Om, dia masih bisa main gitar. Jangan khawatir.”

“Elena, kamu tau Om gak pernah suka Jevan main musik.”

“Tapi Jevan cinta musik Om. Seumur hidupnya dia habisin buat main musik. Om mau liat buktinya?”

Tanpa menunggu jawaban Alexander, tiba-tiba lampu cafe meredup, digantikan sebuah cahaya terang yang memantul ke tembok.

Sebuah video terputar di sana. Video saat Jevan berumur kira-kira lima tahun, dalam video itu telrihat Jevan kecil tengah memainkan piano mainan bersama ibunya. Jevan tampak bahagia di video itu, senyumnya sumringah.

Menit berikutnya, tampak Jevan dengan ukuran tubuh yang sedikit lebih besar. Mungkin usianya sembilan tahun saat itu. Jevan dengan pakaian sekolah dasar itu tampak bahagia belajar gitar bersama seorang guru laki-laki. Ibunya juga ada di sana, tersenyum memandangi mereka.

Menit berganti lagi, kali ini Jevan sudah beranjak remaja. Rekaman video itu berisi Jevan dan kawan-kawannya sedang mengikuti lomba band mewakili sekolah. Di sana Jevan tampak dengan semangat memukul alat musik drum.

Jelena memeriksa wajah Alexander. Mencoba mencari tahu perasaan macam apa yang dimiliki ayah sahabatnya itu ketika video-video ini terputar di hadapannya. Tapi sayang, Jelena tidak menangkap perubahan mimik wajah apapun. Wajah Alexander masih nampak tenang, namun dalam ketenangan itu tersimpan rahasia besar yang entah apa.

Video berhenti. Lampu kembali menyala, menerangi Jelena dan Alexander yang saling menatap.

“Om tau gak kenapa Elena milih tempat ini?”

“Kenapa?”

“Karena disini tempat biasanya Jevan bisa bebas main musik. Om bisa liat di ujung sana, di sana ada alat musik yang bisa Jevan pinjam dengan cuma-cuma. Jevan biasanya bisa berjam-jam ada di cafe ini.”

Sosok Jelena malam ini sungguh berbeda dari yang biasa Alexander lihat. Ketegasan dalam suaranya, keberaniannya menegur Alexander secara langsung, berbanding terbalik dengan sisi Jelena yang selalu terlihat lembut.

“Om, Jevan cuma bahagia waktu dia main musik. Om bisa liat kan di video tadi? Jevan sebahagia itu waktu dia main musik Om.”

Jelena menyentuh lengan Alexander dan berkata, “Om, boleh gak Jevan main musik tanpa harus dipukulin lagi? Kasian anak itu Om, dia cuma pengen ngelakuin apa yang dia suka. Tolong izinin dia ya Om.”

Ada sesuatu yang mengiris hati Jevander kala Jelena menatapnya nanar. Alexander bisa melihat ada air mata di sudut mata gadis cantik itu. Sebetulnya, jika boleh jujur, ada perasaan bersalah yang amat mendalam pada diri Alexander kala dia tahu anak semata wayangnya dirawat di rumah sakit akibat ulahnya sendiri.

“Elena... Baiklah... Om izinkan dia main musik dan kuliah di jurusan itu. Om mecoba mengerti kamu dan dia, tapi Nak...”

Kali ini Alexander yang menyentuh lengan Jelena.

“Om juga minta pengertian kamu ya? Om gak akan menyerah untuk menjadikan dia penerus perusahaan, karena dia satu-satunya anak Om, Elena. Om bekerja keras selama ini hanya untuk membuat hidupnya nyaman dan Om ingin memastikan dia selalu hidup nyaman sampai kapanpun. Dan satu hal yang Om yakinin adalah, perusahaan ini yang bisa menjamin kenyamanan itu, bukan musik.”

Hati Jelena memaksanya untuk protes, tapi otaknya justru berbisik pelan bahwa dia juga harus mencoba memahami maksud Alexander. Laki-laki berwibawa itu ada benarnya, perusahaan besar Alexander memanglah jaminan paling baik untuk hidup Jevan. Jelena juga menjadi paham bahwa selama ini Alexander bukannya memaksakan kehendaknya karena keegoisannya sendiri, melainkan ada tanggung jawab seorang ayah atas kenyamanan hidup putranya.

“Ya Om, itu udah cukup.”

Alexander tersenyum lembut, dia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya.

Sebuah kartu berwarna hitam pekat dengan deretan beberapa angka di atasnya.

“Om punya satu rumah di perumahan Kalora, tolong bilang ke Jevan dia bisa ubah rumah itu menjadi studio pribadi miliknya.”

Alexander lalu meletakkan kartu hitam itu ke telapak tangan Jelena.

“Dan ini... tolong temani Jevan untuk beli semua alat musik yang dia mau. Temani dia untuk mengisi studionya sendiri, sesuai yang dia mau.”

“Nomor rumahnya berapa Om?”

“Blok J nomor 23, inisial nama dan tanggal lahir Jevan.”

Raket tenis, sarung tinju dan tongkat golf selalu tersedia di pojok ruang kerja Alexander. Sialnya, tujuan dari alat-alat itu tidaklah sebagaimana mestisnya. Bukan di lapangan tenis, bukan di ring tinju, bukan pula di lapangan golf, alat-alat itu justru lebih sering digunakan di ruangan kerja milih ayah Jevan itu.

“Anak bodoh,” Alexander memaki anak yang meringkuk kesakitan namun tidak memohon ampun. Beberapa tetes darah mengotori lantai dan kaus yang dikenakan Jevan.

Alexander makin meggila, menghantamkan raket tenis ke tubuh Jevan berkali-kali dan lebih kuat dari sebelumnya.

“Apa sih sulitnya menurut?” Alexander bertanya frustasi, makin muak karena Jevan tidak membalas satupun ucapannya.

“Sudah berkali-kali Papa bilang Jevan, kuliah musik itu tidak ada gunanya! Lebih baik kamu masuk bisnis! Toh kamu juga yang akan meneruskan bisnis Papa!”

Jevan masih diam. Bibirnya sekebas anggota tubuhnya yang lain.

“Papa gak tau kesalahan apa yang Papa lakukan di masa lalu sampai punya anak pembangkang seperti kamu!”

Bugh

Pukulan terakhir mengenai bahu Jevan dengan begitu keras hingga lenguhan kecil lolos dari bibirnya.

Alexander membanting raket tenisnya sembarang. Namun matanya masih menatap Jevan dengan nyalang.

“Harusnya kamu ikut mati saja dengan Mama kamu, hidup pun gak bisa dibanggakan. Percuma.”

Alexander hendak keluar dari ruang kerjanya setelah melontarkan kalimat keji itu, namun sebuah gumaman pelan menghentikan langkahnya.

“Kalau bisa memilih, Jevan juga mau ikut Mama, Pa.”

Tangan Alexander menggantung di udara. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu.

“Tapi kalau Jevan mati, yang jadi samsak Papa nanti siapa?”

Jevan belum bangun dari posisi meringkuknya hingga perkataan yang dia ucapkan hanya terdengar samar-samar. Terhalang lengan yang sejak tadi setia melindungi area wajah dan kepalanya dari hantaman raket tenis.

“Pa, Jevan gak keberatan jadi samsak Papa. Tapi boleh gak Pa hargai Jevan sebagai manusia, bukan sebagai boneka Papa?”

Angin malam berhembus dingin melewati jendela ruang kerja yang terbuka. Menabrak lembut tubuh Alexander dan membuat tubuhnya makin beku. Membuat bibirnya makin kelu.

“Jevan juga punya mimpi Pa. Seperti anak-anak lain seusia Jevan. Jevan bukannya mau membangkang, Jevan cuma ingin menjalani hidup sesuai yang Jevan mau.”

Setetes air mata mengalir menuruni pipi Jevan. Jatuh membentur lantai tanpa menimbulkan suara. Tenggorokan Jevan serasa tercekat, dia ingin mengeluaran segala yang dia tahan selama ini.

Sementara Alexander masih diam. Punggungnya masih setia membelakangi Jevan.

“Pa, apa jadi penerus perusahaan Papa beneran satu-satunya cara untuk berbakti dan jadi anak yang membanggakan untuk Papa? Gak boleh lewat musik aja ya Pa?”

Susah payah Jevan paksa dirinya untuk tetap berbicara. Meskipun beberapa kali dia merasa nafasnya terkecat. Anak itu berfikir bahwa jika tidak malam ini, dia tidak akan memiliki kesempatan lain untuk berbicara pada ayahnya.

“Jevan gak ingin jadi boneka yang ikut kemanapun Papa pergi, pindah dari satu rapat ke rapat lain. Dateng ke acara makan malam cuma untuk dijadikan objek sebagai penerus perusahaan.”

Mata Jevan perlahan terpejam.

“Jevan gak ingin dibanggakan atas apa yang Jevan lakukan secara terpaksa, Pa.”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang Jevan ucapkan sebelum dia jatuh pingsan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya berhasil merampas kesadaran anak malang itu.

“Papa tau apa yang terbaik untuk kamu.”

Alexander akhirnya berbalik saat tidak lagi mendengar ucapan Jevan. Dia memandangi Jevan sebentar sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Meninggalkan Jevan yang terkapar dengan keadaan tubuh penuh luka dan darah. Dia bahkan mengabaikan pipi Jevan yang basah oleh air mata.

“Lo cari ke kamarnya, gue cari dia ke ruang kerja Om Alex.”

Jaenandra menuruti perkataan Jelena. Laki-laki itu langsung melesat menuju lantai dua dimana kamar Jevan berada. Sementara Jelena langsung berlari ke arah sayap kanan rumah besar keluarga Novanda, area di mana ruang kerja Alexander berada.

Saat membuka pintu, Jelena menjerit keras. Otaknya terkejut atas apa yang baru saja dia lihat.

Jevan, sahabatnya itu tersungkur lemas di atas lantai dengan keadaan babak belur. Luka lebam menghiasi sekujur tubuhnya yang tidak terbalut pakaian. Warna biru keunguan nampak jelas di kulit putih Jevan yang hari ini nampak lebih pucat dari biasanya.

“Jevan,” panggil Jelena pelan namun tak ada jawaban.

Jelena mendekat, mencoba membuka lengan Jevan yang menutupi area wajah. Jeritan tertahan lolos dari bibir Jelena kala dia melihat keadaan Jevan lebih dekat. Wajah sahabatnya itu mengenaskan. Ada darah dimana-mana. Mata Jevan tertutup rapat, di sekelilingnya juga terdapat memar kebiruan. Bibirnya robek, hidungnya luka, terdapat benjolan hampir sebesar telur ayam di keningnya.

Keadaan Jevan benar-benar memperihatinkan.

“Jev, Jevan, bangun, ini gue,” panggil Jelena sekali lagi. Masih belum mendapat jawaban.

“JAENAN! JAENANDRA! JAENANDRA!!!!!” Jelena menjerit-jerit sekeras mungkin, berharap suaranya dapat menembus besarnya rumah ini dan didengar oleh Jaenandra yang berada di lantai dua.

“Jev, gue mohon bangun. Kita ke rumah sakit ya Jev ya,” ucap Jelena sembari mengelus pipi lebam Jevan.

“JAENANDRAAAAA!!!!!” Jelena menjerit lagi karena laki-laki yang dipanggilnya tidak kunjung tiba.

“El....” Jevan merintih pelan, “Elen...”

“Ya Jev? Iya ini gue. Mana yang sakit Jevan? Bilang sama gue...”

Tangan gemetar Jevan mencoba meraih sebelah tangan Jelena.

“El, jangan marahin Papa ya?” ucap Jevan dengan susah payah. “Gue yang salah, gue yang salah...”

Jelena mengabaikan ucapan Jevan, lalu dia berkata, “Kita tunggu Jaenandra ya? Abis itu kita ke rumah sakit.”

“Jagain gue ya nanti.”

“Iya gue jagain, lo tenang ya, lo yang kuat.”

“ELEN!” Akhirnya Jaenandra tiba, dengan nafasnya yang terengah-engah. “Astaga Jev, lo....”

“Lo kuat gendong gue ke mobil gak?” potong Jevan cepat.

“Kuat, naik Jev, naik ke punggung gue.”

Jaenandra memposisikan dirinya berjongkok di sebelah Jevan lalu Jelena membantu Jevan untuk bersandar di tubuh Jaenandra.

Sorry ya, lagi-lagi gue ngerepotin.”

Tidak ada yang menjawab ucapan Jevan. Jelena menggigit bibirnya kuat-kuat, sebutir air mata sudah jatuh di pipinya. Dan Jaenandra....

Tenggorokan laki-laki itu seperti tercekat. Darah Jevan yang ikut mengotori kausnya seperti duri tajam yang menghujam jantung. Usaha Jevan untuk tidak membuat kawan-kawannya panik justru membuatnya semakin hancur.

Melihat keadaan Jevan paska laki-laki itu berusaha meraih mimpi-mimpinya menyadarkan Jelena dan Jaenandra bahwa meraih impian mereka sendiri, bisa sesulit ini bagi sebagian orang.

Bagi sebagian orang tua, tinggal jauh dari anak adalah hal yang menyedihkan sekaligus menakutkan. Intensitas pertemuan yang tidak tentu, kabar yang terkadang tidak sampai dan bahkan kerinduan memuncak yang tak kunjung terobati. Hal itu pula lah yang dirasakan orang tua Jelena ketika mereka harus pindah ke suatu daerah untuk mengurus cottage dan villa milik keluarga mereka yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka harus meninggalkan Jelena di kota demi pendidikan anak semata wayang mereka itu.

Guna mengurangi rasa khawatir, orang tua Jelena mengirimkan Abidin-orang yang paling dipercaya ayah Jelena- untuk menjadi supir pribadi sekaligus seseorang yang akan menjaga Jelena di kota. Abidin alah sosok yang sangat berwibawa, hangat, dan penyayang. Tak heran, seluruh kawan-kawan Jelena juga kenal dekat dengan beliau. Terlebih Jevan, laki-laki itu sudah seperti kawan baik Abidin sendiri. Sering kali Jevan datang tengah malam ke apartemen Jelena hanya untuk menantang Abidin bermain catur.

Namun, meskipun begitu, Jevan merasa bahwa Jelena tidak perlu lagi ditemani oleh Abidin. Usia Jelena sudah delapan belas tahun sekarang, sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya sendiri. Dan laki-laki muda itu merasa bahwa dia mampu menggantikan peran Abidin untuk turut menjaga Jelena, dengan caranya.

Hal itu lah yang menjadi tujuannya datang ke rumah Jelena di tengah-tengah kesibukannya sebagai calon mahasiswa.

“Jadi menurut kamu, Pak Abidin di sini aja jagain Om?”

Jevan mengangguk antusias atas pertanyaan Iskandar, ayah Jelena.

“Iya Om, kalau dibanding Elena, Om lebih butuh disupirin buat kemana-mana. Om lebih sibuk. Kalau Elena mah biar sama saya aja Om.”

Iskandar terkekeh mendapati ekspresi dan intonasi Jevan yang bersemangat atau bahkan cenderung menggebu-gebu.

“Om ngerti maksud kamu, Jevan. Tapi boleh ya Pak Abidin jagain Elena paling enggak dua bulan lagi aja? Sampai Elena benar-benar resmi jadi mahasiswi, soalnya masa awal-awal kuliah kalian pasti akan sama-sama sibuk, jadi biar Pak Abidin bantu Elena di masa awal-awal kulihanya dulu.”

“OKE OM! Makasih ya. Nanti kesananya saya janji bakal jagain Elena, Om bisa percaya sama saya.” Jevan mendekat dan membanting dirinya di sisi sofa yang kosong, kemudian laki-laki itu memeluk ayah Jelena dari samping.

“Om yang harus makasih ke kamu. Makasih selama ini udah jagain Elena, bertahun-tahun kamu selalu temenin dia pulang kesini tiap libur sekolah. Gak kerasa kalian sudah mau jadi mahasiswa, sudah mulai dewasa, Om percayakan Elena sama kamu dan kawan-kawanmu, Jevan. Kalian semua anak baik. Om dan Tante sayang sama kalian seperti anak sendiri.”

“Saya pengen beneran pengen jadi anak Om sama Tante, Om mau tau gak gimana caranya?”

“Gimana?”

“Menikah sama Elena. Nanti kan saya jadi anak menantu Om sama Tante.”

Iskandar tertawa, perutnya yang sedikit buncit bergerak naik turun. Membuat tubuh Jevan yang menempel erat padanya juga ikut bergerak.

“Ya-ya boleh, nanti kalau sudah waktunya kamu nikahi dia ya.”

“Oke Om.”

Tawa mereka menggema memenuhi ruang tamu milik keluarga Iskandar, bahkan terdengar hingga ke dapur dimana Jelena dan ibunya sedang memasak untuk sarapan.

“Papa kayaknya seneng banget akhirnya ketemu Jevander lagi,” ucap ibu Jelena sembari memotong-motong wortel. Yang diajak bicara hanya tersenyum samar mengiyakan.

“Hubungan kamu sama Jevander gimana sih Nak sebenernya?”

“Sahabat, Ma.”

Ibu Jelena melirik anak semata wayangnya dengan meledek, menyenggol-nyenggol pelan pinggang Jelena dengan siku. “Alah masa iya sih cuma sahabat? Sahabat kamu yang lain gak ada loh yang rela-relaan nemenin kamu pulang ke rumah tiap libur sekolah.”

“Ya mereka kan sibuk Mama,” elak Jelena. “Juan udah pasti pulang ke rumahnya sendiri, Ica juga, dia pasti pulang ke perkebunan ibu sama ayahnya. Kalau Jaenandra pasti liburan ke luar negeri sama papap dan mommynya. Kak Kiyo sibuk belajar, kan aku libur sekolah dianya belum tentu libur semesteran juga. Raechan mah... aduh gak usah dibilang deh anak itu sibuk apa. Ya emang cuma Jevan yang kosong jadwalnya.”

Bukannya langsung mempercayai ucapan anaknya, ibu Jelena malah makin menghujani Jelena dengan tatapan meledek.

“Jadwal dia kosong atau dia ngosongin jadwalnya buat kamu?”

“Ih Mama apaan sih! Gak jelas tau!” rajuk Jelena. Padahal respon tubuhnya berkata sebaliknya. Semburat merah malu-malu muncul di kedua pipinya yang seputih susu.

“Ih ih pipi Elena merah, Jevaaaan nih Jevaaann Elena suka sama kamu....”

“Mama apaan sih!”

Hal yang sama berlangsung selama sisa hari mereka di sana. Ibu Jelena tidak berhenti menggoda, biasanya ayah Jelena juga ikut menimpali. Sementara Jevan terkadang memihak Jelena namun tak jarang dia juga memilih pihak orang tua Jelena untuk menggoda di gadis menggemaskan.

Pemandangan yang akan membuat iri siapapun yang belum pernah merasakannya.