Secure

Kehidupan perkuliahan seperti angin baru bagi para siswa yang baru saja lepas dari seragam mereka. Kelas yang tidak selalu dimulai di pagi hari, area kampus yang jauh lebih besar dan dilengkapi berbagai fasilitas, juga hal kecil lainnya seperti mereka yang mulai bisa memadupadankan pakaian sesuai dengan style mereka sendiri tanpa harus menuruti aturan pakai yang selalu ditetapkan sekolah.

Hal itu juga dirasakan oleh Jelena, gadis itu telah lama mendambakan hari-harinya sebagai seorang mahasiswi. Sejak semalam, dia sudah mempersiapkan semuanya. Pakaian yang akan dikenakannya, tas yang akan dibawanya, juga sepatu yang akan menjadi alas kakinya. Jelena memastikan tidak ada satupun barang-barangnya yang akan memantik amarah para seniornya nanti. Lebih dari itu semua, Jelena menyiapkan mentalnya. Dia sadar betul, seiring dengan perubahan statusnya, maka berubah pula tanggung jawabnya.

Syukurnya hari ini tidak terjadi satupun kejadian aneh, Jelena bisa mengikuti rangkaian kegiatan penyambutan mahasiwa baru dengan baik. Setelah acara seminar utama selesai, seluruh mahasiswa baru dipersilakan untuk berkumpul di jurusannya masing-masing, membahas mengenai ospek jurusan yang akan dilaksanakan pada dua hari terakhir parade penyambutan mahasiswa baru tahun ini.

Jurusan Jelena selesai lebih dulu, membuatnya harus duduk seorang diri di public area yang berdekatan dengan parkir mobil. Gadis itu harus menunggu kawan-kawannya yang lain, juga Markio yang baru akan menyelesaikan kelasnya sekitar tiga puluh menit lagi. Jelena memutuskan untuk mengenakan earphone dan mendengarkan lagu dari aplikasi berbayar di ponselnya untuk mengisi kekosongan. Akan tetapi, belum sampai satu lagu diputar, seseorang melepaskan sebelah earphone dari telinganya.

“Gimana hari ini?”

“Lancar, lo gimana Wan?”

“Lancar.”

Juan duduk di sebelah Jelena, mereka lalu menatap mahasiswa lain yang lalu lalang di depan mereka.

“El.”

“Hm?”

“Gue boleh nanya sesuatu gak?” ucap Juan tanpa menatap Jelena sama sekali.

Ada kekehan yang terdengar dari bibir ranum Jelena atas pertanyaan itu. “Tanya apa?”

“Lo kok bisa cepet banget lepas dari Jevan dan deket sama Kak Kiyo?”

“Karena sekarang gue udah pakai otak gue Wan.”

Juan mengalihkan tatapannya sepenuhnya pada Jelena, menanti gadis itu melanjutkan kalimatnya.

“Waktu sama Jevan, gue selalu duluin hati gue dibanding logika. Gue selalu ikutin kata hati gue untuk terus sama dia karena gue ngerasa gue butuh dia dan dia butuh gue. Padahal waktu itu, logika gue terus-terusan bilang kalau kelakuan Jevan banyak yang nyakitin hati gue, tapi gue gak mau denger Wan. Gue selalu berusaha gak perduli sama kenyataan itu, asal Jevan seneng, asal Jevan terus ada buat gue. Sayang sama Jevan bikin gue gak sayang sama diri gue sendiri.”

Semilir angin menerpa mereka berdua, membuat rambut Jelena yang diikat asal bergerak-gerak pelan.

“Sampai akhirnya dia lepasin gue, dia bilang kalau kita gak akan pernah bisa lebih dari sahabat. And I decided to accept it that way, karena gak ada gunanya terus-terusan maksain diri buat sama Jevan di saat dia sendiripun merasa ada yang lebih bisa bahagiain gue. Gue juga ngerasa... kalau Jevan terus nahan gue, dia juga gak akan bisa bahagiain dirinya sendiri. Dia akan terus merasa bersalah untuk deket sama banyak cewek padahal sumber kebahagiannya ada di sana. Makanya gue menerima keputusan Jevan, untuk kebaikan dia dan untuk kebaikan gue juga.”

Juan terus mendengarkan tanpa menyela. Laki-laki itu tidak menyangka satu bait pertanyaannya akan mendapat jawaban segamblang ini.

“Dan tentang Kak Kiyo... let's be realistic, gak akan ada yang bisa nolak pesona laki-laki sebaik dia, sesantun dia, dan sedewasa dia, Wan.” Jelena akhirnya menjatuhkan tatapannya pada Juan. “Sama Kak Kiyo, gue gak cuma pakai hati, tapi juga pakai logika. Gue jadi sadar, kalau cinta yang menggabungkan hati dan logika, jauh lebih bisa bikin bahagia. Gue gak melulu mikirin harus gimana gue bahagiain pasangan gue, tapi gue juga jadi bisa mikirin pasangan gue harus ngelakuin apa supaya gue bahagia. Gue bisa minta Kak Kiyo nemenin gue ke toko buku, gue bisa minta Kak Kiyo nemenin gue beli baju, gue bisa minta Kak Kiyo lakuin apa aja yang bisa bikin gue seneng. Dan di saat gue bahagia, lebih mudah juga buat gue untuk bahagiain Kak Kiyo. Hubungan yang coba gue bangun sama Kak Kiyo, bikin gue merasa lebih hidup.”

Ada sinar mata yang begitu tulus yang bisa Juan tangkap dari kedua mata Jelena ketika akhirnya gadis itu mengatakan kalimat terkahirnya.

“Lebih dari semua itu, Kak Kiyo gak bikin gue bingung Wan. Kak Kiyo gak bikin gue bertanya-tanya tentang perasaannya. Kak Kiyo gak bikin gue harus meraba-raba tetang gimana hubungan kita. Kak Kiyo itu jelas, perkataannya, sikapnya, tindakannya, semuanya jelas. With him, I feel secure.”

Jelena yang merasa dicintai, namun Juan yang mengucap syukur dalam hati. Jelena, sahabatnya yang selama ini selalu lebih mementingkan Jevan akhirnya bisa merasakan cinta yang sepantasnya dia terima. Juan bersyukur bahwa sahabatnya yang berhati mulia ini akhirnya bisa dimuliakan oleh laki-laki yang tepat.

Juan sedih tiap kali Jevan harus berbohong pada perasaannya, tapi di sisi lain dia merasa bahagia atas apa yang Markio dan Jelena tengah rasakan saat ini.

“Gue gak jahat kan ya Wan?”

Sebelah tangan Juan terangkat untuk merangkul bahu Jelena. Laki-laki itu mengusapnya pelan, seolah mengatakan bahwa apa yang gadis itu lakukan adalah tindakan yang benar.

“Enggak, El. Lo sama sekali gak salah.”

Obrolan mereka terputus karena ponsel yang berada di tangan Jelena bergetar menandakan ada panggilan masuk. Kontak Kak Kiyo muncul pada layar yang menyala itu. Jelena menatap Juan sebentar untuk meminta izin mengangkat panggilan tersebut.

“Angkat, calon pacar tuh,” ledek Juan.

Jelena hanya tersenyum meledek lalu menempelkan ponsel pada telinganya.

“Halo Kak?”

Butuh tisu gak?” Suara Markio di seberang sana terdengar khawatir.

“Tisu buat apa?”

Mata lo berkaca-kaca waktu ngobrol sama Wawan.”

Jelena menyerngit atas jawaban itu, dia mencoba melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Markio. Laki-laki itu tahu dia sedang bersama Juan berarti Markio ada di sekitar sini.

Di arah jam 3.”

Seakan tahu gelagat Jelena, Markio memberitahu keberadaannya lebih dulu. Mata mereka bertubrukan kala Jelena akhirnya menemukan Markio. Kakak senior sekaligus sahabatnya itu tengah berdiri di lorong yang menghubungkan aula dengan area parkir.

“Dari kapan disana?”

Dari tadi.”

“Kok gak kesini aja?”

Samar-samar Jelena bisa melihat senyum Markio sebelum laki-laki itu menjawab, “Lo kayaknya lagi ngobrol serius sama Wawan. Gue gak tau sih ngobrolin apa, tapi rasanya gak sopan aja motong obrolan kalian makanya gue tunggu di sini dulu sampai kalian selesai. Tapi tiba-tiba gue liat raut wajah lo sedih, lo kaya mau nangis, makanya gue tawarin tisu. Gue gak mau liat lo nangis lagi.”

Kali ini Jelena yang menyunggingkan senyum.

“Gue gak nangis kok Kak,” ucap Jelena pelan. “Sini, gue butuh recharge energi, seharian kan kita gak ketemu.”

Mendengar permintaan gadisnya, Markio langsung mematikan sambungan telepon dan berjalan mantap ke arah Jelena.

Diam-diam Jelena bersyukur bahwa hari ini berjalan baik hingga akhir.