Yuhu

Suara dengkuran halus terdengar bersahut-sahutan dengan detik jam beker yang setia menunggangi meja kecil di sisi ranjang. Si empunya dengkuran masih terlelap di atas ranjang dan melindungi dirinya dengan selimut tebal guna menghalau udara dingin yang dihembuskan mesin pendingin di salah satu sudut dinding kamar. Kayana mengetuk pintu kamar, dua kali, kemudian membuka pintu tersebut secara perlahan. Ada senyuman tergambar jelas di wajah wanita itu kala melihat posisi tidur si pendengkur handal, yang adalah suaminya. Kayana menyibakkan tirai yang menutupi jendela kamar, membiarkan cahaya matahari menyapa kamarnya yang cukup luas. Tidak lupa, jendela itu juga ia buka, mengharapkan adanya pergantian udara pengap bekas semalam dengan udara segar pagi ini.

“Rae, bangun, udah jam delapan.” Kayana mencoba mendekati suaminya, Raechan, yang nampak sama sekali belum terusik. Digoyangkannya perlahan lengan suaminya itu seraya berkata lagi, “Rae, nanti kamu telat, loh. Kamu ada kelas jam sepuluh, kan?”

Belum ada sahutan. Yang ada justru dengkuran Raechan kian terdengar. Tubuh pria itu juga sama sekali tidak menanggapi panggilannya, bahkan gerakan kecil saja tidak ada. Kayana menyerah, dia meraih ponsel di atas nakas dan mengecek beberapa pesan.

Kay, rapat pagi ini jam sembilan ya. Jangan lupa, Pak Wishnu bisa katanya.

Kay, ruang LPP udah gue beresin. Nanti siang beres rapat sama Pak Wishnu bisa kita pakai buat briefing sama anak-anak.

Kayana mendapat dua pesan dari pengirim yang berbeda. Mengenai rapat, Kayana mendapatkannya dari rekan seangkatannya yang menjabat sebagai ketua divisi General Affair. Sementara yang satu lagi dia dapatkan dari kawannya yang berada pada divisi hardware. Kayana hendak membalas salah satu pesan namun terinterupsi oleh panggilan dari Iren, salah satu kawan baiknya di Lembaga Pusat Perbantuan. Iren berada di satu divisi yang sama dengannya, yaitu divisi acara.

Halo, Kay?” Suara di seberang sana terdengar lantang, berusaha tidak kalah dengan keadaan sekitar yang riuh.

“Hei, Ren. Kenapa? Lo lagi dimana, sih, kok rame banget?” Kayana ikut menaikkan nada suaranya dengan harapan Iren bisa mendengarnya dengan jelas dari sambungan telepon.

“Di