petrichorslines

Kediaman Markio, pukul tiga sore.

Jevan baru saja membuka matanya, usai tidur siang selama lima jam. Matanya seperti diberi lem perekat setelah pulang dari menjemput Klarisa dan Jelena di Bandara. Malam tadi, Jevan baru tidur pukul tiga dan harus bangun pukul enam untuk bersiap-siap. Sebab itu lah, rasa kantuk betul-betul menguasai dirinya ketika tiba di kediaman Markio.

Hal pertama yang Jevan cari ketika bangun tidur adalah susu segar dingin. Langkahnya sempoyongan menuju dapur, membuka lemari pendingin milik keluarga sahabatnya tanpa perlu izin. Di dalamnya tersedia dua botol kaca susu segar, ada yang masih utuh, dan yang satu lagi tinggal terisi setengahnya. Jevan membawa botol itu ke meja makan, menuangkannya ke dalam mug dan meminumnya hingga tandas. Tenggorokannya basah, tubuhnya terasa ringan, Jevan merasa segar kembali.

“Mau makan sekarang, Jev? Lo ngelewatin jam makan siang tadi.” Suara itu muncul bersamaan dengan sosok Jelena yang tampil santai dengan gaun rumahan, pakaian paling nyaman untuk digunakan oleh wanita hamil- mengingat usia kehamilan Jelena telah memasuki enam bulan sekarang.

“Lo sama Ica udah makan?” tanya Jevan sembari meletakkan bokongnya di kursi.

“Udah, sekarang Ica yang lagi tidur. Jaenan nanti pulang kantor jemput kesini.”

“Kak Kiyo pulang jam berapa?”

“Jam lima.” Jelena berjalan mendekat. “Gimana? Lo mau makan sekarang?”

“Enggak usah deh, El, gue gak laper,” tolak Jevan dengan halus. “Gimana liburan lo kemarin? Seru?”

“Seru, seneng akhirnya bisa bercanda sama Kak Kiya lagi.”

Mereka tersenyum sambil saling pandang.

“Kak Kiya sebulan lagi coursenya selesai, Ica udah bujuk dia untuk pulang, tapi dia masih ragu.”

“Ragu?”

Jelena mengangguk pelan. Senyumnya perlahan luntur. “Kak Kiya bilang, semua keadaan yang sekarang ini sebetulnya bikin dia nyaman. Disana gak ada Om Alex, dia ngerasa aman kemana-kemana, meskipun sendirian. Sementara disini, Om Alex juga gak ngerecokin lo karena lo gak pernah ketemu Kak Kiya lagi. Dia juga bersyukur, akhirnya antek-antek Om Alex gak neror sahabat-sahabat dan PA lo. Satu-satunya hal yang gak dia suka adalah jarak Melbourne yang terlalu jauh dari Jakarta, lo gak bisa nyamperin dia tiap weekend.”

Jevan diam, menyimak semua kalimat yang keluar dari bibir Jelena.

“Dia bahkan bilang kalau dia gak ngerasa keberatan dengan keberadaan Kenari, Jev. Padahal lo, gue, anak-anak yang lain, mungkin punya pikiran yang sama... Keberadaan Kenari, bisa aja membahayakan hubungan kalian. Tapi Kak Kiya, setiap ada kesempatan, dia selalu bilang kalau dia bersyukur atas keberadaan Kenari yang udah bikin hubungan kalian membaik. Tapi kita gak tau, Jev, di dalam hatinya, Kak Kiya punya kekhawatiran yang sama kayak kita atau enggak.”

“Gue udah bilang ke Kiya kalau gue bakal membatasi interkasi sama Kenari, meskipun dia selalu suruh gue untuk berbuat baik ke Kenari.”

As you should,” Jelena menyetujui. “Kemarin, Kak Kiya juga bilang, dia bersedia untuk tinggal di Melbourne lebih lama lagi, untuk nunggu lo jemput dia sesuai janji lo. Asal ketika nanti dia kembali ke sini, lo udah selesaiin semua masalah lo. Kenari, perjodohan kalian, juga restu Om Alex untuk hubungan lo dan Kak Kiya yang entah bakal ada atau enggak.”

“Dan satupun dari itu semua belum ada yang gue selesaiin, El.” Jevan bergumam pelan, suaranya letih sekali. Sama sekali tidak ada kepercayaan diri disana. Tidak seperti ketika dia berjanji pada Adzkiya di depan terminal keberangkatan Bandara Melbourne sebulan lalu. “Satu-satunya hal paling berani yang gue lakuin ke Papa cuma ketika gue negur Papa setelah Papa suruh Kenari ke apart Mama, tanpa izin gue.”

“Gak papa, Jevan. Kak Kiya pasti ngerti. Power Om Alex dan semua rasa teganya emang harus dihadapin pelan-pelan, supaya gak jadi boomerang.”

Jelena menuang susu ke dalam mug yang Jevan pegang dengan kedua tangannya. Ditepuknya bahu sahabatnya pelan-pelan, berulang kali. Jelena tahu benar, kepala laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu pasti lah sedang penuh, bahkan bisa jadi serasa akan meledak.

“Apa gue keluar dari rumah aja ya, El? Keluar dari pengaruh Papa dan....”

“Dan lupain janji lo ke Mama lo?” potong Jelena cepat.

Jevan tertegun, Jelena bisa membaca fikirannya.

“Lo gak akan pernah bisa, Jevander. Itu permintaan terakhir Mama lo. Dan itu juga satu-satunya alasan lo bertahan di samping bokap lo, di saat lo punya seribu alasan buat pergi.”

Tidak ada satu pun sanggahan yang keluar dari mulut Jevan. Semua perkataan yang diucapkan Jelena adalah fakta sebenar-benarnya. Masih diingatnya genggaman mamanya bertahun silam, di ruang rawat rumah sakit pusat, juga air mata mamanya yang meleleh bahkan saat wanita yang paling Jevan cintai itu hendak menemui ajal.

Jaga Papa ya, Jevan. Papa gak punya siapa-siapa selain kita.”

Kalimat yang diucapkan Mamanya dengan susah payah itu terpatri diingatan Jevan. Membuat kakinya seakan melekat begitu dekat dengan keberadaan papanya. Jevan tidak pernah bisa menjauh dari papanya, sekalipun dia ingin. Dia tidak ingin mengabaikan janji yang dia buat pada detik terakhir kehidupan namanya. Dia tidak sanggup ingkar pada janji itu.

**

Pukul lima lebih sepuluh menit, kediaman Kenari.

Teras belakang keluarga Elega tampak lengang sore itu, atau mungkin memang selalu selengang itu. Sejak Juan masuk tadi, bahkan ketika melewati ruang tamu dan ruang keluarga, Juan tidak bertemu siapapun selain asisten rumah tangga yang menyambutnya di pintu depan. Rumah ini mengingatkan Juan pada rumah keluarga Novanda. Juan jadi makin faham, kalau mungkin, rumah kelas atas memang selalu sepi seperti ini. Sebab si empunya terlalu sibuk di luar rumah.

“Tehnya, Juan, silakan diminum.”

Juan tersenyum ke arah Kenari yang meletakkan cangkir berwarna putih dengan aksen kemerahan, ke atas meja. Lantas gadis si pemilik rumah kemudian duduk di sebelah Jevan. Di teras belakang itu memang hanya disediakan sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati.

“Jalanan macet tadi?”

“Yah... Begitulah. Justru aneh kalau jalanan Jakarta tidak macet.”

Seulas senyum menghiasi wajah ayu Kenari. Matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang ditanam teratur di halaman.

“Saya boleh langsung to the point saja, Juan?”

“Begitu lebih baik.”

“Semalam ayah Jevan ada di rumah, sedang mengobrol dengan Ayah dan Ibu saya ketika kamu antar saya pulang.”

Helaan nafas lelah terdengar jelas berasal dari bibir Juan. Kenari sempat melirik, lalu kembali menatap ke depan.

“Kalau saya boleh tebak, hubungan Jevan dan ayahnya... buruk ya, Juan?”

“Kamu berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sama dengan Jepan, Kenari. Kamu pasti lebih paham soal itu.” Juan menjawab sekenanya. Dia tidak ingin membuka apa yang seharusnya tidak dia buka. Dia merasa tidak punya hak atas itu.

“Berarti benar Adzkiya pergi karena ayah Jevan.”

“Kamu bisa menyimpulkan dari mana?” tanya Juan, menyelidik dengan cara halus.

“Semalam ayah Jevan membicarakan soal pertunangan saya dan Jevan. Kalau saya tidak salah dengar, ayah Jevan sempat menyinggung soal ingatan Jevan akan sesuatu, yang sebetulnya tidak saya fahami apa maksudnya. Ayah Jevan bebicara tentang sebuah kecelakaan yang menyebabkan Jevan lupa akan sesuatu, sesuatu yang berharga. Ayah Jevan bilang, dia takut Jevan ingat hal itu dan kembali pada apa yang seharusnya tidak dia lakukan. Maka itu, ayah Jevan ingin segera mengikat saya dengan Jevan, agar Jevan tidak akan pernah bisa kembali ke sana. Entah kenapa, saya merasa bahwa hal yang ayah Jevan bicarakan itu ada kaitannya dengan Adzkiya.”

“Kamu suka atau justru ingin menolak pertunangan itu, Kenari?” Suara Juan dingin, berbeda sekali dengan obrolan semalam yang begitu mencair.

“Saya... Kalau boleh jujur, saya sempat tertarik pada Jevan. Tapi sungguh, saya sudah membuang perasaan itu sejauh mungkin. Karena saya tau, sekalipun saya jatuh cinta pada Jevan, tidak ada tempat di hatinya untuk saya.”

“Memang, tidak akan ada tempat di sana, Kenari.” Juan menatap Kenari yang sekarang juga menatapnya. “Saya bahkan gak terkejut kamu akhirnya betul-betul tertarik pada Jepan. Saya sudah menduganya.”

“Oh ya? Bagaimana bisa?”

Sudut bibir Juan terangkat sebelum dia berkata begitu pelan, “Kamu bukan yang pertama. Ada lebih dari puluhan wanita yang bernasib sama seperti kamu, masuk ke dalam pesona seorang Jevander Novanda. Apa lagi dengan versinya yang sekarang.”

“Maksud kamu? Versi yang sekarang?”

“Iya,” Juan mengangguk lagi, “Jepan yang sekarang adalah Jepan dengan versi terbaik yang pernah saya kenal. Dulu, saat dia masih menjadi bajingan, dia bisa dekat dengan banyak wanita sekaligus. Beberapa dia kencani, beberapa lagi hanya dia jadikan mainan. Dengan pesonanya yang seperti itu saja, sudah banyak wanita mengantre. Lalu sekarang, Jepan sudah tau cara memuliakan wanita. Tentu pesonanya akan lebih besar lagi. Jepan bukan hanya lelaki kaya dan tampan, tapi juga berhati baik. Apakah ada yang bisa menolak pesona lelaki semacam itu, Kenari?”

“Apa perubahan itu karena Adzkiya?”

“Tiga puluh persennya iya. Tiga puluh persen lainnya karena kegagalannya bersama seorang gadis yang tidak bisa saya sebutkan siapa. Tiga puluh persennya lagi karena didikan baik mamanya.”

“Lalu sepuluh persen sisanya?”

“Sepuluh persen sisanya karena dia sudah lelah diomeli oleh kami, sahabat-sahabatnya.”

Ada hening beberapa saat sebelum Juan akhirnya kembali bicara. “Jadi, kamu mau menerima pertunangan itu atau tidak, Kenari?”

“Tidak,” ucap Kenari lugas. Matanya menusuk tepat ke manik mata Juan. “Saya sudah bilang, saya akan membuang jauh-jauh perasaan saya untuk Jevan. Lagi pula, dari awal, kami hanya sepakat untuk saling menolong dari ajang perjodohan ini, bukan betul-betul dijodohkan. Saya akan cari cara untuk membatalkan pertunangan itu. Tapi tolong beri saya waktu, saya tidak ingin ayah Jevan curiga.”

“Terimakasih kalau begitu. Saya bersyukur, artinya saya tidak perlu membenci kamu.”

Kerutan muncul pada kening Kenari kala pernyataan Juan tertangkap rungunya.

“Membenci saya?”

“Saya akan membenci dan memusuhi siapapun yang menyakiti Kak Kiya. Bahkan jika orang itu adalah Jepan sendiri.”

Pembicaraan itu berhenti di sana. Seperti keran air yang dimatikan secara tiba-tiba. Juan lantas berdiri, berpamitan. Kenari mengantarkan sampai pintu depan.

“Saya pulang ya, Kenari. Sekali lagi terimakasih karena telah menjadi sedewasa ini.”

“Jangan benci saya, Juan.”

“Tidak akan. Kamu lebih pantas untuk saya cintai dari pada saya benci.”

Jakarta, pukul sembilan malam.

Jalanan mulai lengang, tidak seramai saat jam pulang kantor. Mobil Juan membelah jalanan dengan gemulai, meliuk-liuk mendahului satu-dua mobil yang menghalangi jalan. Di sebelah kursi kemudi, Kenari duduk dengan tenang. Suasana yang terbangun dalam kendaraan roda empat itu tidak terlalu canggung, sebab dibantu alunan lagu yang Juan sengaja nyalakan. Mereka berdua bergumam mengikuti bait lagu yang mereka sama-sama hafal di luar kepala. Ini pertemuan kedua bagi Kenari dan Juan, setelah yang pertama di kediaman Raechan beberapa hari lalu.

“Juan, maaf saya jadi merepotkan.” Kenari berucap saat ada hening sesaat ketika lagu berganti. Suara Keshi digantikan oleh oleh Post Malone menyanyikan lagunya yang berjudul Circle.

“Tadi Jepan sudah minta maaf, kamu jangan ikut-ikutan minta maaf. Orang gak buat salah juga kamunya, ngapain minta maaf?” Juan menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.

Kenari mengangguk pelan. “Kamu... Sudah lama ya bersahabat dengan Jevan?” Entahlah, Kenari juga sebetulnya tidak mengerti kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Gadis itu hanya merasa harus mengajak bicara orang yang sudah berbaik hati mengantarnya pulang- di saat sebetulnya dia bisa mengurus dirinya sendiri.

“Kalau dihitung sejak masuk SMA, artinya kami sudah berteman selama.... hampir sepuluh tahun.”

Kenari terkejut. Mulutnya menganga takjub. “Wah, sepuluh tahun? Pantas kalian akrab sekali.”

Ada senyum terulas pada wajah Juan mendengar pujian itu. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain mendapat pujian semacam itu untuk hubungan pertemanan yang dia bangun.

“Kalian pernah berantem gak, Juan?”

“Saya dan Jepan?”

“Enggak harus kamu dan Jevan, siapapun di antara kalian, pernah berantem?”

“Pernah,” jawab Juan dengan santainya. “Kak Kiyo sama Jepan pernah tonjok-tonjokan di rooftop sampai babak belur.”

“Oh ya? Karena apa?” Kenari antusias sekali, membuat Juan menoleh sebentar padanya.

“Biasa, karena perempuan. Tapi lucunya, masalah mereka selesai saat itu juga. Setelah adu jotos, mereka baikan. Padahal sebelumnya mereka perang dingin.”

“Oh saya pernah dengar soal itu. Ternyata betul ya, lebih baik adu fisik dari pada perang dingin.”

Juan menyetujui, sebab dia menyaksikan sendiri peristiwa macam itu.

“Selain itu, pernah lagi gak?”

Juan diam sebentar, berusaha mengingat-ingat. “Hmm... Seingat saya, cuma satu kali itu saja. Sisanya, kami selalu membicarakan apa yang gak kami suka tentang satu sama lain. Misalnya saat Raechan punya salah, kami ajak dia bicara secara langsung atau lewat group chat. Masalah selesai. Begitu aja. Sisanya mah ribut-ribut biasa. Tapi kalau berantem eksternal, sama geng lain, Raechan, Jepan dan Jaenandra pernah beberapa kali.”

“Sama geng lain? Karena masalah apa? Tawuran?”

Pembicaraan itu makin seru. Kenari sampai harus memiringkan tubuh sepenuhnya untuk menatap Juan. Baginya, cerita ini adalah pengalaman baru. Sebab sejak Kenari lahir, hidupnya lurus-lurus saja. Penuh tata krama dan kesopanan tinggi, boro-boro membahas tentang perkelahian antar geng, mendengar orang tuanya berbicara dengan nada tinggi saja, gadis itu tidak pernah.

“Bukan tawuran, tapi berantem aja. Pernah suatu kali Jaenan sama Raechan mukulin satu geng, mereka berdua lawan delapan orang. Penyebabnya karena geng itu ngeroyok Jepan waktu Jepan lagi mabuk. Raechan sama Jaenan marah banget. Dari cerita Jaenan, Raechan hampir aja nginjek dada ketua gengnya sampai hampir mati.”

“Separah itu?”

Juan menyalakan lampu sign lalu berbelok ke arah kiri mengikuti maps sebelum menjawab pertanyaan Kenari. “Separah itu, soalnya mereka pukulin Jepan sama parahnya. Tubuh Jepan dicambuk pakai rotan, sampai sekarang luka di punggungnya itu bahkan gak hilang.”

Kenari tertegun. Gadis cantik itu teringat luka sabetan di punggung Jevan yang dia lihat beberapa jam lalu. Terjawab sudah pertanyaan di kepala Kenari tanpa harus terlibat lebih jauh dalam kehidupan seorang Jevander.

“Kenapa gak lapor polisi saja, Juan?”

Juan terkekeh. Kenari adalah sebenar-benarnya gadis dari kalangan atas. Semua masalah harus selesai sesuai jalurnya.

“Kok ketawa, Juan?”

“Pemikiran kamu berbanding terbalik sama pemikiran Jaenan dan Raechan waktu itu. Mereka bilang, lapor polisi itu sulit, birokrasinya berbelit-belit. Makanya, mereka balas dendam sendiri.”

Tawa kenari beriringan dengan tawa Juan yang belum juga selesai. Kenangan itu menggelitik relung Juan. Masa itu, saat dimana mereka belum sedewasa sekarang. “Kamu masih tertarik sama cerita ini?”

“Masih.” Kenari menyahut antusias. “Ada lagi?”

“Sisanya nanti saya ceritakan lain waktu, ya. Kita sudah mau sampai. Rumah kamu nomor berapa tadi?”

Sangking antusiasnya Kenari pada cerita-cerita menakjubkan Juan, dia bahkan tidak sadar bahwa mobil yang ditumpanginya ini telah masuk ke gerbang perumahan mewah tempat dia tinggal.

“Oh? Nomor 14, Juan. Warna gerbangnya putih.”

Juan mengangguk, lantas melihat ke arah kiri jalan dimana jajaran rumah dengan nomor genap berada. “Yang itu?”

“Iya! Yang itu.”

Juan memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang bercat putih. Lantas pria itu turun, berjalan ke arah kursi penumpang dan membukakan pintunya untuk Kenari.

“Mau mampir dulu? Minum teh mungkin?”

“Lain kali saja, saya masih ada janji lain.”

“Semalam ini?”

“Dengan kawan-kawan saya, kami memang selalu memilih jam malam.”

“Termasuk Gio?” terka Kenari begitu polos.

“Hanya ayahnya. Kalau Gio, anak itu pasti sudah mendengkur di samping ibunya.”

Mereka lalu tertawa bersama. Menertawakan sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu lucu.

“Yasudah, saya pamit ya, Kenari.”

“Iya, terimakasih ya, Juan.”

**

“Lama banget lo nyampenya, dingin nih martabak.” Ocehan Raechan menyambut Juan.

Semantara yang disambut merasa enggan dengan penyambutan macam itu. Tangan Juan dengan cekatan meraih bantal kursi, lantas melemparkannya ke arah Raechan.

“Orang kayak Raechan emang kudu disambit dulu baru diem.” Jaenandra berkomentar sambil menatap puas.

“Minum dulu, Wan.” Minuman, beralkohol, dituangkan ke dalam gelas tinggi, tidak lupa didekatkan ke arah Juan duduk. Sebuah service spesial dari si peminta tolong— Jevander. “Kenari lo anter sampe rumah, kan? Gak lo turunin di tengah jalan, kan?”

“Aman.” Juan menjawab pendek, kemudian menenggak minumannya hingga tanggal. “Lain kali, kalau perlu kabur dari tugas nganter lagi, kabarin aja.”

“Ini lo nyindir gue apa gimana ya, Wan?”

“Kagak, gue serius. Keputusan lo tadi udah bener, lo ngejaga perasaan Kak Kiya.”

Jevan tersenyum bangga, jarang sekali Juan memujinya seperti ini. “Gue jadi geer deh, Wan, kalau lo muji gue begitu.”

“Gue gak muji lo, gue mikirin Kak Kiya,” balas Juan cepat, dilengkapi toyoran pelan kepada kepala Jevan.

“Ya, ya, apapun itu deh, makasih udah ngomong gitu.”

Ruangan lengang sebentar. Jevan lantas mengambil gitar, memetik senarnya menciptakan alunan yang menyejukkan telinga.

Dari kejauhan tergambar cerita tentang kita Terpisah jarak dan waktu Ingin kuungkapkan rinduku lewat kata indah Tak cukup untuk dirimu Sebab kau terlalu indah dari sekedar kata Dunia berhenti sejenak menikmati indahmu

Suara Raechan secara otomatis mengisi irama gitar Jevan dengan begitu sopan, membelai rungu semua yang ada disana.

Dan apabila tak bersamamu Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin Sederhana tertawamu sudah cukup Lengkapi......

“Kenapa sih, Jev, berhenti?” Raechan protes, sebab iringan gitar Jevan tiba-tiba terhenti.

“Eh, eh, bentar deh, lagunya cocok buat Kiya. Ulang ya, gue rekam dulu, nanti mau gue kirim ke Kiya.”

Raechan mendengus, Markio dan Jaenandra hanya tertawa melihat Jevan sibuk mengotak-atik ponselnya sebelum kembali memetik senar gitar.

Sementara Juan hanya menatap semua itu dalam diam. Tapi, dalam diamnya ada kesenangan, karena sahabat baiknya, Jevander, telah jatuh sejatuh-jatuhnya untuk sosok yang tepat.

Dan dia, sebagai kawan baik Jevan, harus ikut menjaga hubungan baik itu.

Kamar 401.

Kode masuk 010877.

Dingin, terang dan berantakan. Kesan pertama yang muncul saat Kenari masuk ke dalam apartemen itu. Dingin, sebab si pemilik apartemen membirkan pintu pembatas balkon terbuka lebar saat hujan deras mengguyur kota. Air hujan tempias membuat lantai basah. Terang, sebab si pemilik apartemen membuka seluruh tirai penutup jendela, juga menyalakan seluruh lampu bahkan di siang hari. Dan berantakan, sebab si pemilik apartemen tampaknya belum sempat membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Sebotol wine terletak di atas meja, bersebelahn dengan gelas tinggi yang kosong. Tidak jauh dari sana, bungkus makanan cepat saji teronggok di sisi meja yang lain. Kaus dan jaket diletakkan dengan asal di sofa. Kaus kaki dan sepatu juga bertebaran di atas karpet, di saat seharusnya mereka ada di rak sepatu di dekat pintu masuk.

Lalu dimana si pemilik apartemen itu?

Dia ada di sofa, meringkuk kedinginan. Matanya terpejam, rambutnya berantakan, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang bertelanjang dada. Kenari berjalan ke arah kamar, meraih selimut rajut, lalu kembali ke ruang depan dan menyelimuti Jevan. Berharap agar laki-laki itu tidak perlu lagi repot-repot memeluk dirinya sendiri guna mengusir dingin. Lalu gadis yang tampil cantik dalam balutan pakaian santai itu menutup pintu yang mengarah ke balkon. Juga menutup seluruh tirai. Ruangan seketika menjadi hening, temaram dan hangat.

Apartemen Jevan yang berantakan tidak luput dari perhatian Kenari. Gadis itu meletakkan kaus, jaket dan kaus kaki Jevan ke keranjang baju kotor. Mengembalikan botol wine yang masih sisa setengah, ke dapur, mencuci gelas kotor yang Jevan gunakan untuk minum-minum, juga membuang bungkus makanan cepat saji. Lantas setelah semuanya selesai, Kenari duduk di atas karpet, di dekat Jevan tertidur. Mengambil satu foto untuk dia kirimkan kepada Alexander, papa Jevan, sebab itulah alasan dia datang ke apartemen ini. Dikabarkannya pada Alexander bahwa anak semata wayangnya ini dalam keadaan baik, tentu dengan meninggalkan fakta bahwa Jevan tertidur usai menenggak alkohol yang entah seberapa banyak.

Sekian menit terlewat, Kenari hanya sibuk membuka aplikasi sosial media di ponselnya. Sampai akhirnya dia bosan. Entah kenapa, saat itu dia memutuskan untuk memandangi wajah Jevan yang terlelap saja. Seolah pemandangan itu justru lebih menarik dari pada konten yang disajikan pada sosial media. Ketika tidur, wajah Jevan tidak ubahnya wajah anak-anak yang polos. Bulu matanya yang panjang seakan mampu menyapu pipinya yang mulus. Hidungnya tinggi, bibirnya mengatup sempurna dan tetap terlihat kemerahan meskipun Jevan adalah seorang perokok. Jika Kenari boleh memuji, dia pasti akan bilang bahwa Jevan terlihat begitu tampan bahkan dengan rambut yang acak-acakan dan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.

Jemari Kenari lancang, menyentuh kesempurnaan wajah Jevan itu dengan ujung-ujung jarinya. Mulai dari kening, hidung, hingga turun membelai bibir. Gadis itu berani, sebab dia tahu Jevan sedang mabuk berat. Jevan tidak akan merasakan sentuhannya ini. Jikapun dia merasakan, laki-laki ini akan lupa ketika dia bangun nanti. Maka itu Kenari bergerak lebih berani, jari-jemarinya merapihkan rambut Jevan yang berantakan. Lalu beralih membetulkan selimut yang menutupi tubuh bagian atas Jevan yang telanjang. Dia sudah sempat melihat tubuh kekar itu tadi, sempat tergoda untuk membayangkan akan sangat nyaman bersandar disana. Tapi dienyahkannya pemikiran itu jauh-jauh, sebab jatuh cinta pada seorang Jevander Novanda tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Lebih dari itu semua, Jevan sudah memiliki kekasih hati, yang posisinya mustahil untuk digeser. Maka disini dia sekarang, hanya untuk menikmati ciptaan Tuhan yang Maha Baik.

“Mungkin lebih baik saya cari kesibukan lain.” Kenari berbisik pada dirinya sendiri, lantas berdiri dari duduknya dan hendak berjalan menjauh. Tepat saat itulah, pergelangan tangannya ada yang menahan. Jevan, laki-laki itu meraih pergelangan tangan Kenari tanpa sadar.

“Jangan kemana-kemana, disini dingin.” Jevan bergumam pelan, gumaman yang lirih sekali, namun Kenari masih bisa mendengarnya. “Dingin,” lenguh Jevan lagi, kali ini sambil menarik pelan pergelangan tangan Kenari hingga membuatnya terduduk begitu dekat dengan Jevan yang masih saja memejamkan matanya.

“Kamu gak matiin AC, ya?” Pertanyaan itu dilayangkan dengan sedikit lebih jelas.

Kenari melirik ke arah pendingin ruangan dan mendapati alat itu memang masih menyala dengan suhu rendah. Dia lalu mematikannya. Kenari beralih kepada Jevan yang kini tengah memeluk lengannya selayaknya guling. Gadis itu bisa merasakan bahwa telapak tangannya bersentuhan langsung dengan kulit perut Jevan yang terasa kokoh dengan enam kotak yang terbentuk. Kenari menelan ludah, posisi ini cukup membuatnya.... bingung.

“Katanya kamu gak mau dateng, ternyata kamu dateng, ya?”

You come to kiss me?

Where? On the lips?

Rancauan Jevan membuat perasaan Kenari makin aneh. Rancauan itu seperti upacara pembangkitan sesuatu dalam dirinya yang telah lama Kenari matikan. Ucapan Jevan, sentuhan Jevan... Kenari hampir hilang akal. Didekatkannya wajahnya pada wajah Jevan, tinggal berjarak beberapa sentimeter saja sebelum dia berhasil merengkuh bibir ranum itu. Sayang, Jevan lebih dulu menyadarkannya dengan cara yang halus... Tepat saat bibirnya akan mendarat pada milik Jevan, laki-laki itu malah bergumam pelan... Memanggil nama kekasihnya, dengan penuh cinta.

“Adzkiya, you are mine and i'm yours. Jangan kemana-kemana, ya.”

Kenari tersenyum, tersadar dari kebodohannya sendiri. Menarik diri dari Jevan dan menuju dapur. Melakukan hal lain untuk mendistraksi diri. Sambil sesekali merutuki diri sendiri.

Jevan sudah jatuh sedalam-dalamnya untuk sosok yang bernama Adzkiya. Adzkiya telah tumbuh terlalu besar dalam diri Jevan. Seharusnya Kenari ingat itu. Selamanya.

**

Pukul tujuh malam, hujan di luar sudah reda, menyisakan satu-dua rintiknya yang menabrak jendela. Kenari sedang menyiapkan sup panas di dapur saat Jevan perlahan membuka kedua matanya. Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Kepalanya pusing, untungnya tidak terlalu parah. Laki-laki itu masih bisa melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya untuk melihat waktu. Lantas dia menegakkan tubuh, bersandar pada sofa sambil memijit kepalanya pelan. Pandangannya berpendar mengelilingi seisi apartemen yang kini tampak rapi. Jevan menyerngit bingung, terlebih saat dia menyadari ada aktivitas di dapur apartemennya.

“Wan? Jaen? Kak Kiyo? Rae?” panggil Jevan acak, menebak siapa di antara mereka yang datang ke apartemennya.

“Kamu sudah bangun?”

“Kenari?”

“Ya, ini saya.”

Jevan makin bingung, dia kemudian menyusul ke dapur dan mendapati Kenari tampak lihai menata meja makan.

“Kamu mau mandi dulu atau langsung mau dengar alasan kenapa saya ada disini sekarang?” Kenari bertanya tanpa memandang Jevan.

“Disuruh Papa?” terka Jevan langsung.

Kenari mengangguk mengiyakan. “Papa kamu sedang di Singapura dan katanya kamu semalam tidak pulang. Papa kamu minta saya datang, lengkap dengan supir yang mengantar saya kesini.”

“Saya pikir dia sudah kasih saya kelonggaran, ternyata enggak.” Jevan bergumam pelan. “Yaudah saya mandi dulu, ya. Saya bau alkohol.”

Jevan menyelinap keluar dari dapur tanpa menunggu jawaban Kenari. Gadis itu sempat melirik punggung Jevan yang ternyata memiliki bekas luka yang cukup mengerikan. Ada seperti luka sabetan yang sudah mengering, tapi bekasnya tidak mau hilang. Kenari penasaran dari mana bekas luka itu berasal, tapi dia tidak mungkin menanyakannya.

Kenari tidak ingin terlibat lebih jauh dalam hidup Jevan. Dia tidak ingin lagi hilang kendali seperti tadi. Sudah cukup, sudah cukup hubungan mutualisme antara mereka. Kenari tidak akan berharap lebih dari itu.

Aku banyak mengenal jenis gadis di Ibu Kota. Ada yang sejak kecil berkawan dengan segala tata krama kelas atas, akrab dengan sepatu hak tinggi dan gaun malam yang elegan. Ada juga yang bergaya retro, menyukai hal-hal yang lawas. Mulai dari gaya berpakaian, jenis musik, hingga pemilihan tempat yang akan dikunjungi, semuanya harus serba retro. Ada juga jenis gadis ibu kota yang sederhana, kemana-kemana mengandalkan kaus polos, celana pendek, sepatu kets dan topi untuk menutupi rambut yang tidak ditata. Lalu ada jenis lain yang begitu menyukai hal-hal yang berbau keperempuanan. Gadis jenis ini biasanya gemar mengenakan gaun panjang di bawah lutut, pilihan warna-warnanya selalu saja sejuk dipandang mata. Mereka biasanya sering kali membawa buku atau bunga bersama mereka. Gadis macam ini biasanya adalah jenis gadis yang terobsesi untuk memiliki hidup seperti gadis-gadis dalam novel yang dibacanya.

Aku pernah mengencani semua jenis gadis itu. Tanpa terkecuali. Juga jenis gadis lain yang tidak aku sebutkan di atas.

Lalu hari ini, saat duduk di kaki bukit kota kecil bernama Ayu Laga, aku tidak tahu gadis yang sosoknya sedang aku tatap ini masuk dalam kategori yang mana. Gadis itu tampak anggun, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, tertiup angin basah perbukitan. Cahaya temaram matahari sore menabrak wajah ayunya yang diberi sedikit polesan. Sore ini, gadis itu memilih untuk memadukan kaus putih polos dengan midi skirt berwarna hijau tua. Sepertinya, Adzkiya adalah perpaduan dari segala jenis gadis yang pernah aku temui. Ya, aku akan menyimpulkannya seperti itu saja.

Adzkiya nampak mengambil keranjang rotan dari bagian belakang sepedanya, yang terparkir di sebelah mobilku, untuk kemudian berjalan mendekat ke arahku yang sudah lebih dulu duduk di atas rerumputan. Saat sosoknya akhirnya mendekat dan hanya berjarak beberapa jengkal dariku, aku bisa mencium aroma floral yang lembut dari tubuhnya. Aroma itu entah kenapa membawa ketenangan aneh yang begitu saja aku rasakan. Ditambah lagi, wajah ayu yang penuh senyum itu selalu saja menampakkan ketenangan yang sama dengan yang aroma tubuhnya berikan.

“Kamu selama ini selalu duduk langsung di atas rumput begitu, Jev?” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Matanya memincing ke arah tempat aku duduk.

“Emang seharusnya gimana, Kak?”

Adzkiya berdecak, kemudian mengeluarkan sehelai kain dari dalam keranjang rotannya. Diletakkannya kain berwarna putih-biru itu di atas reremputan seraya berkata, “Pakai ini untuk alas duduk, biar celana kamu gak kotor.” Kain itu tidak terlalu lebar ukurannya, tapi cukup untuk kami berdua duduk.

Matahari makin tergelincir di arah barat, membuat semburat oranye yang dipancarkannya makin kental. Burung-burung terbang rendah, hendak menuju peraduan. Angin berhembus makin kencang, udara juga semakin dingin. Di kejauhan, aku mendengar suara ribut dari pengembala yang menuntun hewan peliharannya pulang.

“Kalau kamu disini selama seminggu, kerjaan kamu gimana?” Adzkiya bertanya tanpa menatapku. Sementara aku sejak tadi belum mengalihkan tatapanku dari wajahnya.

“Semua udah diatur sama staff kantor, Kak. Aku bisa kerja dari sini. Sisanya dikerjain sama mereka.”

“Oh, enak dong?” Suaranya terdengar antusias. “Kenapa gak liburan ke luar negeri aja kalau gitu? Dari pada di kota kecil begini, Jev, mall aja gak ada.”

Aku terkesiap. Benar juga, batinku. Kenapa pula satu bulan terakhir aku terus datang ke kota kecil ini? Awalnya, aku hanya kemari karena menurut kawan-kawanku, Ayu Laga adalah tempat yang baik untuk sekadar melepas penat. Penat dalam arti lain adalah aku yang butuh distraksi dari patah hatiku akan pertunangan Jelena dan Kak Markio. Tapi setelah itu? Kenapa setelah itu aku terus merasa Ayu Laga memanggilku untuk datang? Kenapa setelah pertemuanku dengan Adzkiya di toko bunganya seakan membuatku terus ingin kembali ke kota kecil ini?

“Gak ah, bosen. Gitu-gitu aja, mending disini, adem, orang-orangnya ramah, bawaannya tenang, terus gak jauh dari Jakarta juga,” jawabku sekenanya. Tidak menemukan jawaban yang lebih baik. “Tapi kalau malem, Ayu Laga emang sesepi itu ya, Kak?”

Ada anggukan samar yang dilakukan Adzkiya, membenarkan perkataanku. “Iya, orang-orang udah capek seharian kerja. Ada yang capek ngembala kambing, ada yang capek ngurusin kebun teh, ada yang capek ngurusin kebun bunga, ada yang capek buka toko roti, semua orang capek. Kalau di Jakarta, orang-orang sama capeknya, tapi mereka punya banyak pilihan untuk cari hiburan. Sementara disini, kita gak punya apa-apa, paling juga bazar kecil yang adanya sebulan sekali, jadi yaudah deh mereka milih untuk istirahat aja di rumah. Jalanan jadi sepi.”

“Kak Kiya juga gitu? Tiap abis dari florist pasti langsung pulang ke rumah?”

Adzkiya mengangguk lagi untuk kedua kalinya. “Iya, masak buat makan malam, makan malam sendiri, terus mandi, abis itu baca buku di ruang tengah. Maleman dikit tidur deh, begitu aja tiap hari. Tapi anehnya gak bosen loh.”

“Pasti Kak Kiya MBTInya I deh,” terkaku yakin.

“Bukan, Kak Kiya mah C.”

“C?”

“Iya,” jawab Adzkiya serius. “C U T E.”

Sore itu, bibirku yang awalnya berada pada ukuran normal langsung melebar karena tersenyum. Aku bahkan bisa merasakan bahwa lebarnya sampai ke telingaku. Sungguh, sore itu aku tersenyum lebar sekali karena lelucon kecil yang Adzkiya lontarkan.

“Narsis juga ya ternyata,” olokku diiringi tawa kecil.

Adzkiya menoleh padaku dengan pandangan tidak terima. Alisnya menyatu di tengah, wajahnya murung. “Loh, serius ya, MBTI Kak Kiya tuh itu! C U T E, cute!”

“Iya-iya. Lucu banget sih, Kak.”

“Tuh kan, udah dibilang emang Kak Kiya lucu!”

Adzkiya tersenyum lagi, bukan hanya bibirnya, tapi juga matanya. Hatiku berdesir dibuat olehnya. Selama ini, aku menganggap Adzkiya adalah sosok kakak, karena pembawaannya yang tenang, juga karena usianya memang terpaut empat tahun lebih tua dariku. Tapi hari ini, akhirnya aku bisa melihat sisi lain dari dirinya. Sisinya yang begitu menggemaskan. Aku bahkan mendebat diriku sendiri, haruskah aku mencubit pipinya yang seputih susu itu atau bolehkah aku mengelus surai panjangnya yang tampak begitu lembut itu?

“Udah ada kabar kapan Elen sama Kiyo nikah?”

Yah udah jauh-jauh kemari, malah ditanyain soal mereka lagi,” jawabku pelan. Yang sebetulnya juga bukan sebuah jawaban.

Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang membentang. Dengan posisiku ini, aku bisa memandang ke langit lepas yang menggelap. “Tanya yang lain aja deh, Kak, jangan bahas itu.”

“Hmm...” Aku dengar Adzkiya menggumam. “Kamu nginep di rumah Garend seminggu ini?”

“Enggak, mulai nanti malem aku nginep di Laga Homestay.”

“Sendiri?”

“Kak Kiya mau nemenin?”

Tanpa menoleh, Adzkiya memukul pahaku yang berada tepat di sebelahnya duduk. “Ngaco.”

“Ya siapa tau kan, kayak sekarang, Kak Kiya mau nemenin aku lagi.”

Adzkiya menolehkan wajahnya, menatap aku yang masih saja berbaring beralaskan sebelah lenganku. “Bener kata Ica ya, kamu emang buaya.”

Ketika menatap wajahnya dari tempatku berbaring, aku akhirnya menyadari bahwa Adzkiya adalah seorang gadis cantik tidak perduli dia masuk ke dalam kelompok yang mana. Entah itu gadis-gadis pengagum retro, entah itu gadis kalangan atas, entah juga gadis yang terobsesi pada tokoh utama novel-novel yang mereka baca. Adzkiya adalah gadis cantik, dan itu saja. Aku rasa, dia akan tetap cantik dengan gaya apapun yang dia kenakan. Karena lihatlah, bahkan dengan melihatnya dari posisi berbaring seperti ini saja dia terlihat begitu cantik.

“Haaaahhh, udah lah, gagal ni aku membangun image baru. Udah terlalu melekat kayaknya julukan buaya buat aku.”

“Bukan julukan buayanya yang melekat di kamu, tapi bibir dan body language kamu itu yang udah terbiasa jadi buaya.”

“Emang iya ya?”

Adzkiya mengangguk, untuk ketiga kalinya jika aku tidak salah hitung. Dia kemudian mengalihkan tatapannya lagi ke arah depan. Mungkin untuk menatap semburat oranye terakhir yang senja itu tawarkan. “Iya. Tuh baru aja kamu secara gak langsung ngajak aku nginep di homestay. Kamu gak sadar, kan? Buat kamu itu terjadi tanpa sadar, padahal efeknya bisa bahaya.”

“Bahaya kenapa?”

“Ya bahaya, kalau ceweknya mau gimana?”

“Yaudah tinggal nginep aja.”

“Tuh kan! Tuh, tuh, tuh. Dasar buaya.”

Aku terkekeh, lalu bangkit untuk kembali duduk di sebelahnya. “Tapi kan Kak Kiya gak mau tadi, jadi aman dong?” Aku menyenggol lengannya dengan sikuku.

“Iya, untung aja cewek yang kamu ajak itu Kak Kiya, jadi bisa nolak hasrat buaya kamu.”

“Berarti cowok kayak aku harus dihandle sama cewek kayak Kak Kiya, ya, biar gak jadi buaya lagi?”

“Betul. Cowok buaya kayak kamu harus ada pawangnya, biar jinak.” Adzkiya menatap ke arahku.

Kami bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya aku berujar pelan. “Kalau gitu, Kak Kiya mau gak jadi pawang buat buaya kayak aku?”

Adzkiya tidak menjawab. Bahkan hingga matahari tenggelam sepenuhnya dan digantikan bulan yang berteman bintang-bintang.

Untuk ketiga kalinya Kenari duduk di kursi penumpang mobil milik seorang Jevander Novanda. Kali pertama adalah saat mereka akan pergi ke rumah Raechan, kali kedua saat diantar asisten Jevan menuju Bandara untuk pergi ke Melbourne, lalu yang ketiga adalah hari ini. Mereka baru selesai menghadiri acara potong pita pada salah satu cabang usaha baru milik keluarga Kenari. Acara itu berjalan baik, meskipun Kenari dan Jevan merasa lelah sekali harus berperan menjadi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka mendapat setidaknya tujuh pertanyaan tentang kapan mereka akan melangsungkan pertunangan. Untungnya, Kenari begitu lihai menjelaskan bahwa mereka masih terlalu dini untuk membicarakan hal seserius itu. Gadis yang tampil cantik dalam balutan gaun berwarna hitam itu dengan piawainya berkilah dari pertanyaan-pertanyaan sejenis tanpa harus merepotkan Jevan.

Acara selesai setelah makan malam, pukul setengah delapan. Mereka berdua langsung membelah jalanan Jakarta untuk menuju rumah Raechan, menemui si kecil Sergio. Tadi, Kenari bilang ingin ikut kesana dan Jevan tidak punya alasan untuk melarang. Toh pada pertemuan pertama Kenari dan Sergio, si kecil itu begitu menyukai keberadaan tante barunya. Jalanan Jakarta cukup lengang malam itu, Jevan bisa leluasa mengemudikan mobilnya di jalanan yang basah usai hujan sore tadi.

“Nar, saya boleh tanya sesuatu?”

Kenari yang duduk tenang di samping Jevan menggumam pelan sebagai jawaban.

“Kalau sedang girl's time, biasanya perempuan ngapain aja, ya?”

“Hmmm....” Kenari tampak berfikir sebentar. “Snack and movie time, karaoke, gossiping, gitu-gitu aja sih, kenapa?”

“Semua hal itu... emang gak seharusnya pasangannya tau, ya?”

Tawa terdengar dari samping kiri Jevan. “Kenapa gak boleh? Ya boleh dong.”

Jevan memukul setir mobilnya pelan. “Tuh kan...”

Ucapan Jevan tidak selesai, terinterupsi oleh panggilan masuk yang tampak dari perangkat di mobilnya yang tersambung pada ponsel. Nama Klarisa Ayumi Adetama muncul sebagai si penelepon.

Tanpa mengucap salam pembuka lebih dulu, Jevan langsung merepet panjang. “Ca, lo jujur sama gue deh, kemarin kalain girl's timenya ngapain aja? Gue udah tanya semua orang, ya, dan mereka semua bilang kalau gak ada satupun kegiatan girl's time yang cowoknya gak boleh tau! Sekarang lo jujur, kemarin lo ajak cewek gue ngapain? Kenapa sampe segala lo bilang kalau Kiya gak dalam keadaan proper untuk difoto dan dikirim ke gue? Sebenernya kalian ngapain?”

Tawa pecah terdengar dari seberang sana. Tidak hanya berasal dari suara Klarisa saja, tapi juga Adzkiya.

Jev... Jev... santai,” ujar Klarisa masih dengan sisa tawa. “Bukannya gak boleh tau, kok, gue cuma ngerasa lo gak akan sanggup aja kalau gue beneran kirim foto Kak Kiya ke lo.

Jevan merengut, tanpa sadar. “Emang kalian ngapain sih? Please jujur aja sama gue, gue kepikiran tau, sampe gak bisa tidur.”

Sukurin, selamat gak bisa tidur, Jevander. Gue sih bakal tidur nyenyak ya, tidur di kasur Kak Kiya, dipeluk Kak Kiya, bisa cium aroma tubuhnya Kak Kiya yang baru mandi ini. Eh Jev, serius deh, Kak Kiya kalau abis mandi dan rambutnya basah dan acak-acakan gini, sexy banget tau. Ditambah lagi piyama tidurnya yang...

“Ica!” Adzkiya menggeram. Yang terdengar setelahnya adalah suara dua orang gadis yang saling berebut ponsel.

Adzkiya menang, gadis itu berhasil merebut ponsel Klarisa dari genggaman. “Van, jangan dengerin Ica ya, Sayang.

Jevan terkekeh, bibirnya tidak lagi cemberut. “Aku jadi ngebayangin apa yang diomongin Ica barusan, Ki.”

Jangan! Gak boleh ngebayangin! Kamu dimana sekarang? Udah makan malem?” Adzkiya nampak berupaya membelokkan percakapan.

Jevan mengangguk, meskipun Adzkiya tidak akan bisa melihatnya. “Udah, ini aku lagi jalan ke rumah Gio. Nanti aku kabarin kalau udah sampe sana, ya. Kamu baik-baik, awas digigit Ica. I love you.”

I love you more, J! Salam anak-anak.

“Iya, Sayang.”

Bip

Panggilan terputus, menyisakan Jevan dengan senyumnya yang masih mengembang. Bahkan hanya dengan mendengar suara Adzkiya saja sudah membuatnya sebahagia ini. Belum lagi bayangan Adzkiya yang tengah mengenakan pakaian malam dan rambut basahnya yang berantakan.... Sudah cukup, atau Jevan akan sulit tidur malam ini.

“Waktu kamu berbicara dengan mereka tadi, kamu kelihatan berbeda sekali ya, Van.” Suara itu terdengar, menyadarkan Jevan bahwa dia tidak sendirian. Sejak tadi ada Kenari yang ikut bersemu mendengar cara Jevan berbicara pada seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan Ica, juga cara Jevan berbicara pada kekasihnya.

“Beda gimana?” Jevan bertanya, masih dengan wajah penuh senyum.

“Kamu terdengar relax, kekanak-kanakan in a good way dan kamu terlihat begitu... senang.”

“Saya selalu senang dengan semua hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan juga sahabat-sahabat saya,” jawab Jevan lugas.

“Selain Raechan dan Kak Kayana, orang tua Sergio, ada berapa lagi sahabat kamu?”

“Ada Ica, yang berbicara dengan saya tadi. Jaenandra, suaminya. Jelena, Markio, mereka suami istri. Lalu ada satu lagi sahabat saya yang masih single, Juan namanya. Jadi semuanya ada... tujuh. Sahabat saya ada tujuh.”

“Adzkiya? Dia bukan sahabat kamu? Saya kira kalian sahabat yang menjadi kekasih.” Entah kenapa, Kenari menjadi antusias sekali. Baru kali ini melihat sisi lain seorang Jevander Novanda, yang selama ini dikenalnya sebagai anak tunggal keluarga Novanda yang terkenal sulit didekati.

“Bukan...” Jevan mengenang. “Adzkiya dulu adalah kekasih kakak kandung Klarisa. Dari sana kami saling mengenal. Tapi hubungan mereka tidak berjalan baik, mereka putus, setelah itu saya datang ke kehidupan Adzkiya dan ya... beginilah kami sekarang.”

Kenari manggut-manggut, paham dengan penjelasan singkat yang Jevan berikan. “Entah kenapa saya merasa hubungan kalian manis sekali. Kamu tidak pernah tidak tersenyum ketika menyebut nama Adzkiya. Mata kamu, bibir kamu, raut wajah kamu, kamu terlihat sekali memuja Adzkiya.”

“Saya betul-betul mencintai Adzkiya, Kenari.”

Malam itu, ketika kurang dari dua kilometer lagi untuk tiba di rumah Raechan, Kenari seperti disadarkan bahwa ada cinta sebesar yang diberikan Jevan pada Adzkiya.

**

Sergio berlarian menyambut Jevan yang baru saja masuk ke dalam rumah. Si kecil itu baru saja dipanggil oleh ayahnya untuk mengabarkan bahwa salah satu om kesayangannya baru saja tiba.

“Om Pan!” panggilnya penuh semangat. “Ada Om Jaen, Om Yo sama Om Wan di kamal.”

Jevan tekekeh gemas melihat tingkah anak sahabatnya itu. Tapi keinginan untuk langsung memeluk dan menciumi Sergio dia urungkan lebih dulu, sebab tadi Jevan sempat merokok beberapa batang. Nikotin pasti menempel di pakaiannya dan itu tidak akan baik bagi malaikat kecilnya. Lantas lai-laki dewasa itu hanya menekuk lututnya, agar tingginya setara dengan Sergio, dan menyentuh kedua tangan Sergio. “Om Pan kotor abis dari luar. Om Pan mandi dulu ya, di kamar atas, nanti Om Pan kesini lagi main sama Gio.”

Si kecil Sergio mengangguk mengerti, tanpa merengek. Kemudian si kecil itu beralih pada Kenari. “Te, main sama Gio, ya.”

Kenari mengangguk senang ketika lengannya ditarik oleh Sergio untuk menuju kamar bermainnya. Namun sebelum dia berlalu mengikuti tarikan Sergio, Jevan lebih dulu menahan tangannya. Jevan memberikan jas hitam yang tadi dia kenakan kepada Kenari sambil berucap, “Pakai untuk nutupin kaki kamu, dress kamu pendek, kamu gak akan nyaman duduk di karpet kalau gak ditutup pakai ini. Ditambah lagi, di dalam kamar Gio ada tiga sahabat saya yang lain, mereka semua laki-laki.”

Belum sempat Kenari berterimakasih, Jevan sudah lebih dulu berlalu ke lantai atas. Meninggalkan Kenari yang sibuk menatap jas Jevan yang sudah berpindah tangan padanya.

Tiga puluh menit kemudian, Jevan muncul lagi ke kamar bermain Sergio. Nampak segar usai mandi, rambutnya basah dan hanya disisir asal dengan jari, setelan jasnya telah diganti dengan pakaian rumahan yang nyaman- kaus lengan pendek berwarna putih dan celana olahraga panjang.

“Gimana? Lo udah tau belum girl's daynya mereka apa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut laki-laki yang Kenari ketahui namanya sebagai Jaenandra itu menyambut kedatangan Jevan.

Yang ditanyai hanya terkekeh pelan kemudian menjawab, “Belom, bodo ah, kayaknya gue cuma dikerjain deh sama bini lo.”

“Ya lagian lo sih, penasaran amat, namanya juga girl's day, biar aja kek mereka yang tau mereka ngapain,” timpal kawan Jevan yang lain lagi, Juan.

“Ya gue sih gak papa ya sebenernya gak tau juga, cuma gara-gara bininya dia nih, bininya si Jaenan pake segala bilang Kiya gak berada di keadaan yang proper untuk difoto. Kan gue kepo jadinya. Keadaan apa coba begitu?”

“Lagi bikini party mungkin, Jev.” Suara seorang wanita terdengar beriringan dengan sosoknya yang masuk ke ruang beramin Sergio sambil membawa keranjang buah, berisi jeruk dan anggur hijau. “Jadi Ica gak bisa kirim fotonya ke lo, karena keadaan Kak Kiya emang bahaya kalau difoto.”

Tawa Jaenandra pecah, diikuti tawa kawannya yang lain. “Kalau gitu mah bener dong apa kata bini gue mah, Kak Kiya emang gak dalam keadaan proper buat difoto, apa lagi dikirim ke lo.”

Jevan bersungut kesal, laki-laki itu lalu menutup kedua telinga Sergio dan mengumpat pelan. “Bangsat lo,” katanya.

Tawa mereka pecah lagi, membuat si kecil Sergio kebingungan tidak mengerti. Sementara Kenari hanya mengamati semuanya. Ternyata benar, Jevan memang selalu bahagia dengan hal-hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan kawan-kawannya.

Sejak pagi, flat yang menjadi tempat tinggal Adzkiya selama di Australia telah terlihat begitu sibuk. Sepeninggal Lucia pergi ke Universitas untuk mengikuti kelas pagi, Adzkiya langsung membereskan beberapa sudut yang beberapa hari kemarin dia biarkan sedikit berantakan. Tidak lupa kamar tamu, yang sebelumnya menjadi kamar Sagara, juga Adzkiya bersihkan serta mengganti seprai dengan yang baru.

Uap mengepul di dapur saat jam menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Aroma gurih sup menguar memenuhi dapur. Mangkuk dan sendok serta garpu telah ditata rapi di atas meja. Hari ini, Adzkiya memutuskan akan menyajikan sup ayam panas sebagai makanan penyambut untuk Klarisa dan Jelena. Udara di luar cukup dingin, maka sup panas akan menjadi makanan paling cocok untuk mereka, terlebih setelah menempuh penerbangan yang cukup panjang.

Bunyi ketukan pada pintu terdengar tepat saat Adzkiya meletakkan semangkuk besar sup ke atas meja makan. Gadis itu lantas berlari kecil untuk menuju pintu depan. Pelukan hangat langsung Klarisa berikan saat tubuh Adzkiya melongok dari pintu yang terbuka kala menyambut mereka. “Finally I meet you, Kak!” ujarnya penuh semangat.

Adzkiya menyilakan Klarisa dan Jelena masuk, menunjukkan dimana kamar tamu agar mereka bisa meletakkan koper lalu membimbing keduanya ke meja makan. Mata dua gadis yang seusia dengan kekasih Adzkiya itu berkilat penuh semangat saat mata mereka menangkap semangkuk besar sup ayam yang kepul asapnya membumbung tinggi di ruang makan flat. Aromanya mampu membuat mulut berliur. Kedua gadis itu betul-betul seraya dihipnotis hingga lupa untuk duduk.

“Loh, kok berdiri aja? Ayo duduk, Ca, El. Kita makan siang sama-sama, laper kan pasti? Dingin banget lagi di luar.”

Siang itu, tiga wanita paling penting di hidup seorang Jevander Novanda itu makan bersama diselingi obrolan ringan. Klarisa sibuk menjelaskan kegundahan hatinya serta segala rasa bersalahnya terhadap Adzkiya yang dia simpan selama ini. Adzkiya menanggapai dengan sabar, juga melempar candaan beberapa kali untuk mencairkan aura kesedihan dalam suara Klarisa. Sementara Jelena sesekali ikut menanggapi, juga menggoda Klarisa. Mereka tampak akrab sekali. Tawa terdengar memenuhi ruang makan yang hangat. Mereka baru selesai makan saat sup di mangkuk besar telah tandas. Klarisa pamit untuk mandi, sementara si baik hati Jelena menawarkan diri untuk membantu Adzkiya membersihkan dapur. Jika ada Raechan disini, pasti laki-laki itu akan sibuk menggoda Jevan dengan berkata, wih masa lalu lo sama masa depan lo akur ya, Jev.

Seusai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Adzkiya dan Jelena duduk bersebelahan di ruang TV. Ada sepiring anggur hijau yang juga telah dicuci bersih sebagai pendamping mereka.

“Betah, Kak, disini?” Jelena memulai pembicaraan.

Adzkiya mengangguk samar lalu berkata, “Sejauh ini betah, seru kok disini. Cuma masih lebih enak di Ayu Laga.”

Nothing feels like home, ya, Kak.” Jelena tertawa lagi, untuk kesekian kalinya.

“Betul, hahahah.” Tawa Adzkiya berkawan dengan milik Jelena. “Disini juga kejauhan, Jevan gak bisa nyamperin tiap weekend.”

Adzkiya mengenang waktu-waktunya di Ayu Laga bersama Jevan. Tentang bagaimana Jevan merelakan waktu istirahatnya setiap Jumat untuk langsung pergi ke Ayu Laga demi menghabiskan waktunya bersama Adzkiya pada hari Sabtu dan Minggunya. Kini, tentu saja hal seperti itu tidak bisa dilakukannya lagi, jarak Jakarta dan Melbourne tidak memungkinkannya.

“Anak itu... Dia betul-betul mencintai Kak Adzkiya sebagaimana mestinya.”

Adzkiya menoleh pada Jelena, gurat wajahnya ramah dan tenang. “Dulu dia juga mencintai kamu sebaik-baiknya, Elen. Iya, kan?”

Jelena menyambut tatapan Adzkiya, ikut menoleh. “Iya, Kak.” Jelena merasa tidak perlu lagi sok mengelak. “Tapi gak sedalam ke Kak Adzkiya.”

“Kenapa bisa bilang begitu?”

“Waktu dulu, Jevan selalu merasa ada seseorang yang lebih pantas untuk aku, Kak. Dia gak percaya diri, dia ngerasa dirinya rusak sampai rela ngelepas aku buat orang lain yang dia anggap bakal lebih bisa mencintai aku. Dia gak ngerasa cukup baik untuk mencintai aku. Dia sibuk mencari orang lain yang baik, sampai lupa untuk memperbaiki dirinya sendiri.” Jelena mengenang. Adzkiya diam mendengarkan.

“Tapi waktu sama Kak Kiya, dia gak begitu. Dia gak mau ada orang lain yang ngambil Kak Kiya dari dia. Dia gak merasa ada orang lain yang lebih bisa bahagiain Kak Kiya dari pada dirinya sendiri. Karena itu, waktu sama Kak Kiya, Jevan berubah jadi versi terbaik dirinya sendiri. Dia berubah, dia memperbaiki diri, supaya bisa mencintai Kak Kiya sebaik-baiknya. Itu gak dia lakuin ke aku, Kak.” Sebelah tangan Jelena terulur untuk mengelus pelan punggung tangan Adzkiya yang berada di pangkuannya. Mata mereka masih saling bertaut.

“Jevan yang sama Kak Kiya sekarang adalah Jevan dengan versi terbaiknya, Kak. Tunggu Jevan, ya, anak itu lagi coba buat beresin semua masalahnya untuk bisa sama-sama sama Kak Kiya lagi.”

Rintik hujan mulai turun di luar flat. Butirannya menabrak jendela kaca yang buram karena cuaca dingin. Suara rintiknya terdengar syahdu membelai rungu dua gadis yang saling tatap dalam rasa syukur itu. Senyum mereka masih setia terlukis di wajah masing-masing.

“Jevan bener, El, kamu adalah perempuan paling baik setelah Mamanya. Aku bahkan gak merasa keberatan kalau di salah satu sudut hati Jevan masih ada kamu di dalamnya.”

“Kak,” Jelena menggeleng tegas, “Kakak sama Jevan itu sama. Dulu Kak Kiya juga melepaskan Kak Garend untuk bahagia sama Kak Vivian, kan? Apa dengan begitu Kak Kiya masih aja nyimpen Kak Garend di sudut hati Kak Kiya?”

Kali ini Adzkiya yang menggelengkan kepalanya.

“Nah, Jevan juga sama. Hati Jevan sekarang pasti udah penuh sama Kak Kiya. Kak Kiya harus tau kemarin dia sengerengek apa pengen ikut kesini lagi.”

Keharuan diusir telak oleh ledekan yang Jelena lontarkan. Mereka kembali tertawa bersamaan dengan Klarisa yang baru saja keluar dari kamar usai mandi. Gadis itu tampak sedang berbicara kepada seseorang melalui ponselnya.

“Nanti malem gue tidur sama Kak Kiya, wleeeee. Nanti gue pap deh kamar Kak Kiya kayak apa, lo pasti belum diizinin liat kamarnya, kan?”

Enak aja, udah ya, kalau liat doang mah boleh. Ikut tidur disana yang gak boleh.” Seseorang menimpali ucapan Klarisa dengan suara yang begitu Adzkiya kenali. “Lo jangan ngerepotin cewek gue ya, Ca, cewek gue tuh sibuk disana lagi belajar. Jangan malah lo bikin ngurusin lo mulu.”

“Iya, Tuan Muda Jevander Novanda. Lo ngomong itu mulu selama perjalanan nganter gue ke Bandara, gue sampe gumoh.”

Ya lo tuh kudu sering-sering diingetin soalnya. Inget ya, cewek gue pagi bangun jam 6, itu jadwal dia minum teh sama baca buku, abis itu dia bikin sarapan dan pergi buat kelas florist, pulangnya sore. Dia lebih suka makan malem di rumah, tapi kalau lo mau ajak makan malem juga gak papa, dia suka makan...”

“Heh Jevan.” Klarisa menyela keras. “Gue tuh lebih dulu kenal Kak Kiya dibanding lo ya. Waktu dulu sebelum lo tau Kak Kiya siapa, dia udah main sama gue duluan, udah tidur seranjang sama gue duluan, udah piknik sama gue duluan, yang tau Kak Kiya gak suka lemon tea juga gue duluan. Lo jangan lupa kalau Kak Adzkiya udah hampir menyandang nama keluarga gue. Nama dia tuh dulu hampir jadi Adzkiya Judith Adetama tau gak? Jadi lo gak usah sok ngajarin gue soal Kak Kiya deh, gue udah lebih dulu hafal.”

Adzkiya dan Jelena hanya terkekeh mendengar Klarisa yang menyalak kesal lengkap dengan sebelah tangannya yang diletakkan di pinggang, sementara tangannya yang lain mengarahkan layar ponsel ke wajahnya.

“Dari pada lo ngomelin gue lagi, mending sana lo cari cara gimana biar bisa bawa Kak Kiya pulang sebelum cewek lo kepincut cowok Australia. Cowok disini tuh cakep-cakep, gue sih khawatir ya posisi lo kegeser.”

Waaahhh mulutnya... Dasar Klarisa jelek!” Tanpa harus melihat layar, Adzkiya yakin sekali Jevan sedang bersungut-sungut di sebrang sana. Khas sekali dirinya jika sudah kalah dalam beragumen. Sisi bayi dalam diri Jevan akan muncul tanpa dia sadari.

“Biarin! Biar jelek-jelek begini gue mah gak insecure ke matan Jaenan. Gak kayak lo yang insecure sama kegantengan Kak Sagara! Jevan denger ya.... IH KOK MALAH DIMATIIN?”

Teriakan Klarisa menggema bersamaan dengan getaran pada ponsel Adzkiya. Sebuah pesan masuk, dari Jevander, berisi Sayang, aku diledekin terus sama Ica. Usir aja deh dia dari flat kamu, ngeselin.

Desember.

Aku ingat bulan desember tiga tahun lalu. Kedua kakiku begitu dekat dengan perapian guna meraup hangat sebanyak-banyaknya. Ruas-ruas jariku keriput, pertanda terlalu banyak bermain air. Bibirku pucat kebiruan meski telah diolesi pewarna bibir yang kubeli siang tadi. Tubuhku dibalut sweater bulu berwarna biru tua sedang kakiku diselimuti kain hangat, yang dirajut sendiri oleh ibuku saat wanita yang mewariskan kecantikannya padaku itu tengah hamil muda. Mataku melirik ke arah dapur, mendapati seorang pria yang masih saja tak mau mengenakan barang selembar kain untuk menutupi bagian tubuh atasnya. Dibiarkannya saja, angin malam bulan desember itu membelai-belai dada kekarnya yang terbentuk alami. Aku sudah mengingatkannya tadi, pakai kausmu kataku pelan sembari membelai dadanya dengan tanganku yang gemetar menahan dingin. Tapi pria dengan rupa baik itu hanya menggeleng seraya menangkup sebelah tanganku. Ada kamu yang menghangatkanku lebih baik dari pada kaus itu, Sachi, ujarnya dengan suara dalam.

Aku lantas berlalu dari dapur lalu duduk di dekat perapian dan memandanginya seperti sekarang ini. Membiarkannya sibuk dengan apapun yang tengah dia kerjakan. Itu bulan Desember tiga tahun lalu. Saat aku masih bisa memanggilnya sebagai kekasihku. Hari ini, dia, Ranu Saban, bukan lagi wilayah teritorialku. Meskipun kami sedang duduk bersebelahan di dalam mobilku, di depan sebuah toko bunga bernama Kiya Florist.

Aku datang ke toko bunga ini setahun lalu, sama, juga di bulan Desember. Dalam sebuah upaya pelarian. Dimana seorang kawanku memberiku masukan untuk pergi ke sebuah kota kecil di pinggiran Ibu Kota. Ayu Laga namanya. Kota kecil itu dipayungi puluhan pohon tua, dijaga oleh perbukitan di tiap sudutnya serta diharumkan oleh berbagai jenis tanaman bunga yang ditanam berdampingan dengan kebun teh ratusan hektar. Warganya ramah sekali. Masuk ke kota kecil ini layaknya dipeluk oleh kawan lama hingga betah berlama-lama.

Kiya Florist yang letaknya tepat di pojok perempatan jalan utama sebelum masuk ke gerbang Ayu Laga menjadi hal paling mencolok yang menarik perhatianku. Di antara deretan cafe dan toko kue dengan berbagai konsep, toko bunga itu berdiri dengan kokoh namun meletupkan aura kewanitaan yang merayuku untuk masuk. Seorang gadis cantik dalam balutan gaun putih menyapaku dengan ramah, menanyakan unga jenis apa yang ingin aku jemput. Berawal dari sana, kami menjadi teman selama sisa hariku di Ayu Laga. Kami bercerita banyak hal, suka dan duka. Ceritanya begitu membekas di benakku hingga aku selalu mampu mengisi puluhan lembar di layar gawaiku dengan cerita miliknya. Hingga akhirnya berlembar-lembar kata itu bergandengan menjadi satu buku yang utuh. Yang dengan izinnya, aku kirimkan kepada sebuah penerbit di Ibu Kota dan berakhir nangkring di rak best seller hampir di seluruh toko buku di negara ini.

Bittersweet

Judul yang kami sepakati sama-sama.

“Kita disini aja?”

Suara itu memecah ingatanku, menarikku kembali pada keadaanku setahun selepas hari itu.

“Sebentar ya, saya selalu suka melihat Kak Kiya sibuk dengan bunga-bunganya. Dia kelihatan anggun sekali.”

Matanya, maksudku mata Ranu ikut ke arah mana aku menatap. Mengunci segala pergerakan Kak Adzkiya yang keibuan itu. Yang nampak memperlakukan bunga-bunga yang dirangkainya laiknya merawat seorang bayi. Begitu tenang dan hati-hati.

“Apa tokoh Nadeline di buku Bittersweet sepenuhnya gambaran Adzkiya?”

Aku mengangguk samar. Berharap Ranu menangkapnya. “Sepenuhnya yang saya tau. Karena saya yakin sekali masih banyak sisi darinya yang belum dia tampakkan ke permukaan.”

“Lalu, karakter Aaron Harold juga seratus persen sama dengan laki-laki yang meninggalkan Adzkiya di dunia nyata?”

“Ya, seratus persen sama. Jahatnya, baiknya, kebingungannya, semuanya sama. Saya bahkan menemui langsung Aaron Harold yang asli. Mencari tahu kisah mereka dari sudut pandang tokoh laki-laki,” jawabku mantap. Tanpa menatapnya.

Angin berhembus melalui jendela mobil yang kami buka. Membawa udara basah seolah mengabarkan bahwa bumi indah ini akan diguyur lagi oleh airnya. Nampaknya Desember sedang menunjukkan dirinya sebagai bulan yang membawa musim hujan ke bumi. Menuju pukul empat sore pada bulan Desember ini, keriuhan jalanan utama Ayu Laga mulai mereda. Penduduknya mulai mencari kehangatan di rumah mereka masing-masing, baik mendekat pada perapian ataupun dalam rengkuhan orang tersayang. Dan aku bersama Ranu Saban masih duduk di dalam mobilku.

“Kamu selalu mendengarkan orang lain, tapi kamu tidak pernah memberi saya waktu menjelaskan kesalah fahaman di antara kita.” Ucapan Ranu menusuk relungku begitu saja. Protesannya kental sekali.

“Kesalah fahaman macam apa yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri?” balasku berusaha tak mau terintimidasi olehnya.

Kuingat lagi kejadian malam itu, malam dimana Ranu pertama kali pulang ke Indonesia setelah menempuh program paska sarjananya di Jepang. Malam itu dia bersama keluarganya mengadakan pesta perayaan kelulusan. Aku datang terburu-buru setelah absen menjemputnya di bandara pada pagi harinya— karena harus mengikuti seminar yang sama sekali tidak bisa kutinggalkan. Mobilku masuk ke area parkirnya dengan sama terburu-burunya, aku betul-betul tidak ingin mengecewakan laki-laki yang telah kukencani selama tiga tahun itu. Naas, ketika aku keluar dari mobilku, mataku justru menangkap adegan yang menyebalkan. Ranu, berada di balkon lantai dua rumahnya, tengah merengkuh seorang wanita asing yang belum pernah kulihat. Meninggalkan pesta yang justru diadakan di lantai dasar kediamannya.

“Kamu hanya melihat saya memeluk gadis itu, tapi kamu tidak pernah mau mendengar penyebabnya, Sachi.”

“Apa ada alasan yang pantas untuk perlakuan kamu itu, Ranu?” Aku menolehkan wajah, menatapnya yang ternyata sudah dulu menatap aku dari tempatnya duduk.

Waktu seakan berhenti berdetak. Mata kami terkunci pada sosok satu sama lain. Laki-laki yang gemar mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam itu tampak menahan sesuatu yang telah lama dia pendam.

“Ada,” ujarnya pelan. “Memeluknya untuk mengabulkan permintaan terakhirnya setelah saya menolak pernyataan cintanya.”

Manik mataku goyah. Aku berusaha menatap ke arah lain namun tangannya yang kekar menyentuh sisi wajahku yang dingin.

“Namanya Haruka, teman saya selama program paska sarjana. Dia ikut saya ke Jakarta karena dia bilang dia ingin berlibur. Tapi malam itu, dia malah menyatakan perasaannya pada saya. Saya tolak dia, saya bilang saya sudah punya kamu. Dia menangis, dia minta saya peluk dia untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu dia ingin bertemu kamu, meminta maaf, tapi malam itu kamu malah menghilang.”

“Saya....”

Sometimes, even salt looks like sugar, sweetheart. Seharusnya kamu dengar saya. Dengar penjelasan saya.” Aku merasakan usapan lembut yang jari-jemari Ranu berikan pada sisi wajahku yang menghangat karena sentuhannya. “Tapi gak papa, sekarang kamu sudah tau yang sebenarnya. Ini lebih dari cukup untuk saya.”

“Sachi...”

Suara lembut menginterupsi tatapanku dan Ranu. Wajahku bergerak ke arah suara itu berasal, meninggalkan tangan Ranu yang mengambang di udara.

“Kak Kiya.” Aku melihat sosoknya berdiri di depan mobilku, masih lengkap dengan apron coklat yang membungkus tubuh rampingnya.

“Kok di dalem mobil aja? Sini, Sayang, masuk ke florist. Kamu sama siapa?”

Aku mengabaikan pertanyaan itu dan beralih pada Ranu yang masih setia menatapku bahkan ketika ada gadis cantika lain di sekitarnya. “Kita turun ya,” ujarku padanya seraya membuka pintu mobil.

“Dan ingat, panggil dia Kak Adzkiya. Dengan kak, bukan hanya Adzkiya. Kak Kiya menghirup udara dua tahun lebih dulu dari pada kita.”

Ranu terkekeh lagi dan membalas ucapanku dengan suara dalam, “Dasar penulis, untuk bilang dia lebih tua dua tahun saja harus sepuitis itu.”

Aku mengabaikan racauan Ranu dan menghambur dalam dekap Kak Adzkiya yang hangat. Sehangat Ayu Laga dalam menyambut siapapun.

Kamu tau siapa yang menjadi bajingan disini?

Bukan kamu, Nu.

Tapi kembalimu.

Fikirku, hadirmu akan membawa angin kemenangan.

Nyatanya kamu datang seraya merengkuh tubuh asing yang tak aku kenal sebelumnya.

Ragamu memang kembali,

tapi bagiku kamu pergi lebih jauh lagi,

karena cintamu bukan aku lagi.

Sebuah mobil Honda Civic Type R berwarna putih memasuki area parkir sebuah Sekolah Menengah Atas di selatan Jakarta. Seorang laki-laki berusia kepala tiga keluar dari mobil tersebut, tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lantas menyapa dua kawannya yang telah dulu tiba.

“Gio mana?” tanyanya seraya merapikan dasi.

“Barusan gue telfon, lagi jalan kesini katanya,” jawab seorang laki-laki lainnya yang tampil baik dengan kemeja putih yang digulung sampai siku.

Si pengemudi Civic hanya mengangguk mengerti. Tidak lama berselang, sebuah suara muncul dari balik punggungnya.

“Om Van! Om Yo! Om Jaen!”

Ketiganya menoleh bersamaan. Tersenyum ke arah laki-laki remaja yang memanggil nama mereka.

“Kita kemana?” tanya si pengendara Civic— Jevander— pada keponakannya.

Sergio menunjuk suatu arah dengan dagunya lalu berucap malas, “Ruang BK. Nanti kalau Pak Sapto ngomel, dengerin aja ya, Om. Kayaknya beliau juga udah capek ngomelin aku.”

“Oke,” balas Jaenandra santai diiringi kekehan pelan.

Ketiga Om yang mewakili ayah Sergio itu berjalan mengikuti keponakan mereka membelah koridor sekolah. Beberapa kali mereka menyapa guru yang berpapasan dengan mereka secara sopan. Juga beberapa siswa seusia Sergio yang menatap takjub pada mereka. Memang, meskipun usia ketiga om Sergio sudah hampir memasuki kepala empat, tapi ketampanan mereka justru semakin menjadi. Jangan lupakan aura mereka yang semakin memnonjol karena seluruh barang yang menempel pada tubuh mereka adalah segala sesuatu yang mahal.

Di ujung koridor, Sergio dan ketiga omnya berbelok untuk menuju ruang Bimbingan Konseling sekolah. Setelah mengetuk pintu dua kali, Sergio membimbing ketiga omnya untuk masuk ke dalam, bertemu dengan Pak Sapto yang sudah siap sedia di meja kerjanya.

“Selamat Siang, Pak Sapto. Saya Jaenandra, ayah Sergio.”

“Saya Jevan, ayah Sergio. Dan ini....”

“Saya Markio, ayah Sergio.”

Pak Sapto menatap ketiganya dengan bingung. Ada senyum terpaksa yang menghiasi wajah Guru Bimbingan Konseling yang sudah cukup sepuh itu.

“Ayah Sergio... ada empat, termasuk dengan Pak Raechan?”

“Sahabat ayah saya, Pak. Semuanya, sudah seperti ayah saya sendiri.” Sergio mencoba menjelaskan.

Raut kebingungan Pak Sapto luntur, berganti dengan anggukan samar. “Oh, ya, ya, silakan duduk bapak-bapak semua.”

Pak Sapto mempersilakan ketiga om Sergio untuk duduk di sofa bersamanya. Lantas guru Sergio itu menjelaskan duduk perkara dan alasan kenapa beliau harus memanggil wali Sergio untuk datang ke sekolah.

“Saya yakin sekali Sergio ini anak yang baik, karena prestasinya di kelas pun menjadi yang nomor satu. Tapi betul, keresahannya tentang anak-anak nakal di sekolah harus mulai dikurangi. Karena kekerasan bukan jawaban, Pak. Saya juga khawatir dengan keselamatan Sergio sendiri kalau terus-menerus melibatkan diri dalam bahaya,” ucap Pak Sapto penuh penekanan. Ditatapnya satu-persatu ketiga om Sergio yang mendengarkan dengan seksama.

“Iya, Pak, saya paham. Mungkin ini juga salah kami karena sejak kecil Sergio kami jejali dengan film-film pahlawan. Jadi besarnya ya begini, Pak... Bawaannya mau menegakkan keadilan.” Jevan membalas ucapan Pak Sapto dengan nada murung yang dibuat-buat. Wajah om Sergio yang paling tampan itu dipaksa untuk menampilkan rasa bersalah yang kentara.

“Betul, Pak. Kami benar-benar menyesal dengan apa yang terjadi.” Jaenandra menyambung dengan nada suara yang sama dengan yang Jevan buat. “Nanti akan kami nasehati Sergio atas perlakuannya ini ya, Pak.”

Sungguh, Sergio mati-matian menahan tawanya. Ingatannya kembali pada beberapa bulan lalu saat papanya bertemu dengan Pak Redika, wali kelas Sergio, dengan masalah yang sama. Papanya itu melakukan persis yang seperti om-omnya sedang lakukan. Pura-pura memelas, merasa bersalah, dan merenungi perbuatan Sergio. Padahal mereka semua tahu, bahwa apa yang Sergio lakukan selalu beralasan dan demi kebaikan.

“Ya sudah, hari ini Sergio pulang saja dulu. Nanti masuk lagi hari Senin, ya. Walaupun apa yang Sergio lakukan itu baik, tetap ada konsekuensinya.” Pak Sapto berkata lagi setelah menghembuskan nafas panjang yang terdengar lelah.

Setelah berpamitan dengan Pak Sapto, Sergio diantar ketiga Omnya untuk ke kelas mengambil tasnya. Ketika itulah, Sergio mendengar bisikan dari kawan-kawannya yang memuji ketiga laki-laki dewasa yang menunggui Sergio di luar kelas.

“Gio, kenalin dong ke sepupu lo itu. Kerja dimana tuh? Ganteng banget padaan.”

“Gio, itu kakak lo?”

“Gio, cakep banget yang pake jas item.”

Dan beberapa bisikan genit lain yang Sergio bungkam dengan, “Itu ayah gue.”

“Gio mau pulang sama siapa, Nak?” Jevan bertanya kala mereka telah kembali membelah koridor sekolah untuk menuju area parkir.

Sergio tampak berfikir sebentar sampai tanpa sadar langkahnya memelan.

“Anaknya Raechan tuh ye, disuruh milih balik sama siapa aja mikirnya ampe begitu. Giliran nonjok orang gak pake mikir lagi.” Jaenandra berkomentar pelan.

“Persis bapaknya,” timpal Markio.

“Dulu kan, hampir aja bapaknya jadi kriminal karena balas dendam ke orang yang mukulin gue.” Jevan mengenang kejadian lebih dari lima belas tahun lalu itu dengan senyum mengembang. “Darah Leenandarnya kentel bener emang si Gio.”

“Aku pulang sama Om Kiyo aja deh. Mau makan siang pakai masakannya Tante El.”

“Wah kalau itu sih, Om juga mau, Gio.” Jaenandra menyambar penuh semangat. Membayangkan menu rumahan hasil olahan istri Markio itu membuat mulutnya berair.

“Yaudah, ke rumah aja, yuk, semua.” Markio merangkul Sergio menuju mobil. Namun sesaat sebelum anak Raechan itu memasukkan tubuhnya ke dalam mobil Markio, dia mendengar om Jevannya berkata lagi,

“Gio, kamu kan diskors nih tiga hari. Ikut Om sama Tante Kiya ke Malang aja mau gak? Liburan kita.”

“Mau dong!” Sergio berucap semangat.

Jevan mengangkat jempolnya ke udara lalu masuk ke mobilnya. Jaenandra hanya terkekeh melihat kelakuan dua orang itu dan ikut masuk ke mobil pribadinya. Sementara di dalam mobil Markio, Sergio mengantupkan kedua tangannya dan mendoakan semua omnya, termasuk Juan yang sedang ada urusan, agar selalu diberi kebahagiaan.

Melbourne International Airport, Bandara kedua tersibuk di Australia. Terletak berdekatan dengan pinggiran kota Tullamarine yang berjarak 23 KM dari pusat Kota Melbourne. Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan taxi.

Jevan melirik ke arah gadis yang duduk bersebelahan dengannya di bangku penumpang taxi yang mereka naiki dari hotel tempat mereka menginap. Gadis itu tidak banyak bicara sejak tadi, hanya menatap ke arah luar, melalui jendela yang sedikit terbuka— atau lebih tepatnya sengaja dibuka oleh gadis itu.

Ada beberapa pertanyaan menggantung di benak Jevan kala manik matanya masih menangkap figur gadis itu.

Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?

Kemana dia pergi?

Apakah orang tuanya menelfonnya untuk menanyakan kabar anak gadis mereka? Atau, apakah justru ayah Jevan yang menghubungi gadis itu untuk mencari tahu kelanjutan hubungan Jevan dengannya?

“Kalau Adzkiya tau kamu liatin saya kayak gitu, dia bisa salah faham.” Jevan tersentak saat tiba-tiba saja suara Kenari membuyarkan pikirannya. Buru-buru pria itu mengalihkan wajah ke arah lain. “Kenapa sih? Ada yang mau kamu omongin ke saya?”

Jevan hanya menggeleng, lantas membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka selama sisa perjalanan. Dibacanya lagi pesan dari kekasihnya yang dia biarkan menggantung tanpa jawaban. Sedikit rasa bersalah terselip di benak Jevan karena justru Adzkiya yang menanyakan keadaan Kenari. Jevan merasa terlalu mengabaikan gadis yang sebetulnya berperan begitu besar pada jalan kehidupannya itu.

Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?

Kemana dia pergi?

Pertanyaan itu terus terulang di kepalanya hingga Jevan dan Kenari tiba di Melbourne International Airport. Ketika taxi yang mereka kendarai memasuki area Bandara, dengan segera, Jevan membayar biaya argo taxi dan menuju bagasi mobil untuk mengeluarkan koper miliknya sekaligus milik Kenari.

“Kamu masuk duluan aja, ya? Saya masih nunggu Adzkiya, nanti kita ketemu di dalem.” Jevan memberi usul yang langsung disetujui oleh Kenari.

“Oke, saya mau coba liat-liat di dalem ada makanan yang saya pengen atau enggak. Kalau gak ada, saya langsung ke lounge, nanti saya kabarin deh, ya.”

Usai menemukan persetujuan, Kenari bergerak cepat membawa kopernya menuju check in counter, sementara Jevan mencari tempat untuknya, agar bisa menunggu kedatangan kekasihnya dengan nyaman. Pikirannya berkelana lagi, memikirkan Adzkiya dan Kenari secara bergantian. Sebetulnya, tujuan Jevan mengirim Kenari untuk melakukan check in terlebih dahulu karena dia belum mau Kenari bertemu dengan Adzkiya. Dia tahu Kenari adalah gadis yang baik, tapi sulit baginya untuk mempercayakan segalanya pada gadis itu. Jevan merasa harus melindungi Adzkiya dari segala hal yang berkaitan dengan papanya. Jevan tidak ingin Adzkiya terluka lagi. Pandangannya lurus terarah pada langit lepas seraya berdoa agar apa yang sedang dia usahakan ini mendapat amin dari Tuhannya. Semoga dia melakukan hal yang benar dan tidak menyakiti siapapun lagi.

Adzkiya muncul sepuluh menit kemudian, berlari ke arah Jevan diikuti Sagara di belakangnya. Sebuah pelukan langsung Adzkiya berikan pada Jevan, yang sudah secara otomatis membuka kedua lengannya, pada detik pertama manik matanya menangkap kedatangan gadis kesayangannya itu.

“Gak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Adzkiya kala pelukan mereka telah terlepas.

“Kamu. Kamu, Ki, yang ketinggalan.” Jevan menjawab dengan gerutuan kesal— kesal karena harus meninggalkan Adzkiya di kota yang cukup jauh dari Jakarta ini.

Kekehan Sagara terdengar dari balik punggung Adzkiya. “Nanti kalau semuanya udah baik-baik aja, lo jemput lagi dia kesini ya, Jev.”

Jevan ikut terkekeh. Dibelainya pipi Adzkiya dengan ibu jarinya. Kedua matanya juga masih menatap Adzkiya penuh rasa cinta. “Pasti, Bang. Pasti gue bakal bawa dia balik ke Ayu Laga lagi. Secepatnya.”

Senyum Adzkiya terulas tulus mendengar penuturan Jevan, namun tidak ada suara apapun yang keluar dari bibir ranumnya.

“Kamu baik-baik ya disini, jaga kesehatan.” Suara Jevan berubah dalam, seperti menahan sesuatu. “Aku bakal coba beresin semua masalah di Jakarta. Papa, Kenari, perjodohan aku dan Kenari, semuanya, aku bakal beresin satu-satu. Setelah itu, setelah semuanya baik-baik aja, aku jemput kamu.”

Adzkiya masih membiarkan Jevan terus bicara.

“Aku janji gak akan lama. Tunggu aku, ya. Jangan kemana-kemana.”

“Aku gak pernah kemana-kemana. Kan kemarin kamu yang pura-pura lupa.”

Jevan tertawa keras lagi, menyebabkan beberapa orang yang sedang berlalu-lalang menoleh ke arah mereka. Mungkin penasaran, mungkin juga terganggu. Tapi biar lah, Jevan sama sekali tidak perduli. Yang diperdulikannya hanya gadisnya yang tengah ia rengkuh pinggangnya ini.

“Tapi gak papa deh, kata The Weekend kan everytime you try to forget who I am, I'll be right there to remind you again.

Adzkiya mengerutkan hidungnya membuat Jevan gemas setengah mati.

“Aku pengen cium kamu sekarang, tapi di sini rame, nanti kamu malu.”

“Kenapa harus malu? This is Australia, bro, they won't care.” Adzkiya memajukan wajah, mengalungkan lengannya di leher kekasihnya itu.

“Tapi ada Bang Saga di sini,” bisik Jevan pelan sekali.

“Ah, kamu lama,” ucap Adzkiya sesaat sebelum mendaratkan kecupannya di pipi kanan Jevan. “Baik-baik juga di Jakarta ya, salam buat anak-anak.”

Mereka berpelukan sekali lagi. Lebih lama dari yang sebelumnya. Setelah selesai, Jevan memberikan sebuah paper bag untuk Adzkiya.

“Ini hoodie aku dan album foto kado valentine kamu. Jangan pernah lagi balikin mereka ke aku, ya.”

Adzkiya tersenyum seraya mengangguk. Tangannya menyambut paper bag itu.

“Kenari udah check in duluan, ya?”

“Iya, udah. Tadi katanya mau makan dulu, laper,” jelas Jevan sedikit berbohong.

“Yaudah aku titip ini aja deh buat dia, ya.” Adzkiya memberikan sebuah box berwarna merah maroon yang langsung diterima Jevan. “Tolong kasih ke Kenari.”

“Ini apa?”

“Ucapan terimakasih.”

Jevan tidak berkomentar lagi. Laki-laki itu hanya memberi kecupan di pelipis Adzkiya lalu berpamitan kepada Sagara. Setelah itu, Jevan masuk ke area check in tanpa menoleh lagi. Jevan tahu benar, jika sekali lagi dia menatap Adzkiya dari balik kaca pembatas, semuanya akan semakin berat.

Di lounge, Jevan menyerahkan pemberian Adzkiya pada Kenari yang menyambutnya dengan begitu bahagia. Mata gadis itu berbinar seraya menatap kotak berhias pita hitam di pangkuannya. Setelah puas mengambil beberapa foto dengan poselnya, Kenari lantas membuka penutup kotak tersebut dan mendapati sebuah buku berjudul Conversation on Love dan sebuah surat.

Jari-jari lentiknya membuka lipatan surat dan matanya menyusuri tiap kata yang tertulis di sana.

Kenari...

Saya banyak dengar tentang kamu dari Jevan. Maaf, bukan bermaksud apa-apa, hanya saja Jevan merasa harus menjelaskan segalanya pada saya.

Kenari, saya sungguh-sungguh berterimakasih atas kebaikan kamu. Terimakasih telah membawa Jevan pada saya hingga kami bisa menyelesaikan segala kesalah fahaman. Kamu sungguh berjasa besar.

Kenari, dari cerita Jevan, saya menyimpulkan bahwa kamu adalah seseorang yang begitu menghargai cinta. Maka saya ingin memberi kamu buku ini sebagai ucapan terimakasih. Buku ini membahas tentang cinta secara menyeluruh. Semoga kamu menyukainya.

Sekali lagi, terimakasih.

Semoga selalu berbahagia.

Salam,

Adzkiya.

Kenari melirik Jevan yang tengah sibuk dengan ponselnya. Seulas senyum tulus terlukis pada rupa ayu gadis itu. Selama ini, dia merasa Adzkiya begitu beruntung memiliki Jevan dalam hidupnya. Tapi melalui surat ini, Kenari tau bahwa Jevan juga begitu beruntung memiliki seorang gadis bernama Adzkiya— yang selalu dia sebut namanya dengan senyuman di bibirnya itu.

Malam tadi, Alexander, papa Jevan, menghubunginya dan bilang bahwa esok hari Alex akan menjemput mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan lanjut untuk makan siang bersama. Kenari belum mengatakan ya atas usul Alexander itu, karena dia merasa bahwa dia harus mendiskusikannya dengan Jevan terlebih dahulu. Namun setelah menerima surat ini, gadis itu langsung mengambil ponselnya dari saku dan mengirim pesan pada Alexander untuk menginformasikan bahwa setibanya di Jakarta, dia harus menghandiri sebuah acara hingga tidak akan sempat untuk makan siang bersama Alex— yang tentu saja bohong.

Kenari merasa bahwa tidak sepatutnya dia mengisi tempat yang seharusnya diisi oleh Adzkiya.