Di Kediaman yang Berbeda.
Kediaman Markio, pukul tiga sore.
Jevan baru saja membuka matanya, usai tidur siang selama lima jam. Matanya seperti diberi lem perekat setelah pulang dari menjemput Klarisa dan Jelena di Bandara. Malam tadi, Jevan baru tidur pukul tiga dan harus bangun pukul enam untuk bersiap-siap. Sebab itu lah, rasa kantuk betul-betul menguasai dirinya ketika tiba di kediaman Markio.
Hal pertama yang Jevan cari ketika bangun tidur adalah susu segar dingin. Langkahnya sempoyongan menuju dapur, membuka lemari pendingin milik keluarga sahabatnya tanpa perlu izin. Di dalamnya tersedia dua botol kaca susu segar, ada yang masih utuh, dan yang satu lagi tinggal terisi setengahnya. Jevan membawa botol itu ke meja makan, menuangkannya ke dalam mug dan meminumnya hingga tandas. Tenggorokannya basah, tubuhnya terasa ringan, Jevan merasa segar kembali.
“Mau makan sekarang, Jev? Lo ngelewatin jam makan siang tadi.” Suara itu muncul bersamaan dengan sosok Jelena yang tampil santai dengan gaun rumahan, pakaian paling nyaman untuk digunakan oleh wanita hamil- mengingat usia kehamilan Jelena telah memasuki enam bulan sekarang.
“Lo sama Ica udah makan?” tanya Jevan sembari meletakkan bokongnya di kursi.
“Udah, sekarang Ica yang lagi tidur. Jaenan nanti pulang kantor jemput kesini.”
“Kak Kiyo pulang jam berapa?”
“Jam lima.” Jelena berjalan mendekat. “Gimana? Lo mau makan sekarang?”
“Enggak usah deh, El, gue gak laper,” tolak Jevan dengan halus. “Gimana liburan lo kemarin? Seru?”
“Seru, seneng akhirnya bisa bercanda sama Kak Kiya lagi.”
Mereka tersenyum sambil saling pandang.
“Kak Kiya sebulan lagi coursenya selesai, Ica udah bujuk dia untuk pulang, tapi dia masih ragu.”
“Ragu?”
Jelena mengangguk pelan. Senyumnya perlahan luntur. “Kak Kiya bilang, semua keadaan yang sekarang ini sebetulnya bikin dia nyaman. Disana gak ada Om Alex, dia ngerasa aman kemana-kemana, meskipun sendirian. Sementara disini, Om Alex juga gak ngerecokin lo karena lo gak pernah ketemu Kak Kiya lagi. Dia juga bersyukur, akhirnya antek-antek Om Alex gak neror sahabat-sahabat dan PA lo. Satu-satunya hal yang gak dia suka adalah jarak Melbourne yang terlalu jauh dari Jakarta, lo gak bisa nyamperin dia tiap weekend.”
Jevan diam, menyimak semua kalimat yang keluar dari bibir Jelena.
“Dia bahkan bilang kalau dia gak ngerasa keberatan dengan keberadaan Kenari, Jev. Padahal lo, gue, anak-anak yang lain, mungkin punya pikiran yang sama... Keberadaan Kenari, bisa aja membahayakan hubungan kalian. Tapi Kak Kiya, setiap ada kesempatan, dia selalu bilang kalau dia bersyukur atas keberadaan Kenari yang udah bikin hubungan kalian membaik. Tapi kita gak tau, Jev, di dalam hatinya, Kak Kiya punya kekhawatiran yang sama kayak kita atau enggak.”
“Gue udah bilang ke Kiya kalau gue bakal membatasi interkasi sama Kenari, meskipun dia selalu suruh gue untuk berbuat baik ke Kenari.”
“As you should,” Jelena menyetujui. “Kemarin, Kak Kiya juga bilang, dia bersedia untuk tinggal di Melbourne lebih lama lagi, untuk nunggu lo jemput dia sesuai janji lo. Asal ketika nanti dia kembali ke sini, lo udah selesaiin semua masalah lo. Kenari, perjodohan kalian, juga restu Om Alex untuk hubungan lo dan Kak Kiya yang entah bakal ada atau enggak.”
“Dan satupun dari itu semua belum ada yang gue selesaiin, El.” Jevan bergumam pelan, suaranya letih sekali. Sama sekali tidak ada kepercayaan diri disana. Tidak seperti ketika dia berjanji pada Adzkiya di depan terminal keberangkatan Bandara Melbourne sebulan lalu. “Satu-satunya hal paling berani yang gue lakuin ke Papa cuma ketika gue negur Papa setelah Papa suruh Kenari ke apart Mama, tanpa izin gue.”
“Gak papa, Jevan. Kak Kiya pasti ngerti. Power Om Alex dan semua rasa teganya emang harus dihadapin pelan-pelan, supaya gak jadi boomerang.”
Jelena menuang susu ke dalam mug yang Jevan pegang dengan kedua tangannya. Ditepuknya bahu sahabatnya pelan-pelan, berulang kali. Jelena tahu benar, kepala laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu pasti lah sedang penuh, bahkan bisa jadi serasa akan meledak.
“Apa gue keluar dari rumah aja ya, El? Keluar dari pengaruh Papa dan....”
“Dan lupain janji lo ke Mama lo?” potong Jelena cepat.
Jevan tertegun, Jelena bisa membaca fikirannya.
“Lo gak akan pernah bisa, Jevander. Itu permintaan terakhir Mama lo. Dan itu juga satu-satunya alasan lo bertahan di samping bokap lo, di saat lo punya seribu alasan buat pergi.”
Tidak ada satu pun sanggahan yang keluar dari mulut Jevan. Semua perkataan yang diucapkan Jelena adalah fakta sebenar-benarnya. Masih diingatnya genggaman mamanya bertahun silam, di ruang rawat rumah sakit pusat, juga air mata mamanya yang meleleh bahkan saat wanita yang paling Jevan cintai itu hendak menemui ajal.
“Jaga Papa ya, Jevan. Papa gak punya siapa-siapa selain kita.”
Kalimat yang diucapkan Mamanya dengan susah payah itu terpatri diingatan Jevan. Membuat kakinya seakan melekat begitu dekat dengan keberadaan papanya. Jevan tidak pernah bisa menjauh dari papanya, sekalipun dia ingin. Dia tidak ingin mengabaikan janji yang dia buat pada detik terakhir kehidupan namanya. Dia tidak sanggup ingkar pada janji itu.
**
Pukul lima lebih sepuluh menit, kediaman Kenari.
Teras belakang keluarga Elega tampak lengang sore itu, atau mungkin memang selalu selengang itu. Sejak Juan masuk tadi, bahkan ketika melewati ruang tamu dan ruang keluarga, Juan tidak bertemu siapapun selain asisten rumah tangga yang menyambutnya di pintu depan. Rumah ini mengingatkan Juan pada rumah keluarga Novanda. Juan jadi makin faham, kalau mungkin, rumah kelas atas memang selalu sepi seperti ini. Sebab si empunya terlalu sibuk di luar rumah.
“Tehnya, Juan, silakan diminum.”
Juan tersenyum ke arah Kenari yang meletakkan cangkir berwarna putih dengan aksen kemerahan, ke atas meja. Lantas gadis si pemilik rumah kemudian duduk di sebelah Jevan. Di teras belakang itu memang hanya disediakan sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati.
“Jalanan macet tadi?”
“Yah... Begitulah. Justru aneh kalau jalanan Jakarta tidak macet.”
Seulas senyum menghiasi wajah ayu Kenari. Matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang ditanam teratur di halaman.
“Saya boleh langsung to the point saja, Juan?”
“Begitu lebih baik.”
“Semalam ayah Jevan ada di rumah, sedang mengobrol dengan Ayah dan Ibu saya ketika kamu antar saya pulang.”
Helaan nafas lelah terdengar jelas berasal dari bibir Juan. Kenari sempat melirik, lalu kembali menatap ke depan.
“Kalau saya boleh tebak, hubungan Jevan dan ayahnya... buruk ya, Juan?”
“Kamu berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sama dengan Jepan, Kenari. Kamu pasti lebih paham soal itu.” Juan menjawab sekenanya. Dia tidak ingin membuka apa yang seharusnya tidak dia buka. Dia merasa tidak punya hak atas itu.
“Berarti benar Adzkiya pergi karena ayah Jevan.”
“Kamu bisa menyimpulkan dari mana?” tanya Juan, menyelidik dengan cara halus.
“Semalam ayah Jevan membicarakan soal pertunangan saya dan Jevan. Kalau saya tidak salah dengar, ayah Jevan sempat menyinggung soal ingatan Jevan akan sesuatu, yang sebetulnya tidak saya fahami apa maksudnya. Ayah Jevan bebicara tentang sebuah kecelakaan yang menyebabkan Jevan lupa akan sesuatu, sesuatu yang berharga. Ayah Jevan bilang, dia takut Jevan ingat hal itu dan kembali pada apa yang seharusnya tidak dia lakukan. Maka itu, ayah Jevan ingin segera mengikat saya dengan Jevan, agar Jevan tidak akan pernah bisa kembali ke sana. Entah kenapa, saya merasa bahwa hal yang ayah Jevan bicarakan itu ada kaitannya dengan Adzkiya.”
“Kamu suka atau justru ingin menolak pertunangan itu, Kenari?” Suara Juan dingin, berbeda sekali dengan obrolan semalam yang begitu mencair.
“Saya... Kalau boleh jujur, saya sempat tertarik pada Jevan. Tapi sungguh, saya sudah membuang perasaan itu sejauh mungkin. Karena saya tau, sekalipun saya jatuh cinta pada Jevan, tidak ada tempat di hatinya untuk saya.”
“Memang, tidak akan ada tempat di sana, Kenari.” Juan menatap Kenari yang sekarang juga menatapnya. “Saya bahkan gak terkejut kamu akhirnya betul-betul tertarik pada Jepan. Saya sudah menduganya.”
“Oh ya? Bagaimana bisa?”
Sudut bibir Juan terangkat sebelum dia berkata begitu pelan, “Kamu bukan yang pertama. Ada lebih dari puluhan wanita yang bernasib sama seperti kamu, masuk ke dalam pesona seorang Jevander Novanda. Apa lagi dengan versinya yang sekarang.”
“Maksud kamu? Versi yang sekarang?”
“Iya,” Juan mengangguk lagi, “Jepan yang sekarang adalah Jepan dengan versi terbaik yang pernah saya kenal. Dulu, saat dia masih menjadi bajingan, dia bisa dekat dengan banyak wanita sekaligus. Beberapa dia kencani, beberapa lagi hanya dia jadikan mainan. Dengan pesonanya yang seperti itu saja, sudah banyak wanita mengantre. Lalu sekarang, Jepan sudah tau cara memuliakan wanita. Tentu pesonanya akan lebih besar lagi. Jepan bukan hanya lelaki kaya dan tampan, tapi juga berhati baik. Apakah ada yang bisa menolak pesona lelaki semacam itu, Kenari?”
“Apa perubahan itu karena Adzkiya?”
“Tiga puluh persennya iya. Tiga puluh persen lainnya karena kegagalannya bersama seorang gadis yang tidak bisa saya sebutkan siapa. Tiga puluh persennya lagi karena didikan baik mamanya.”
“Lalu sepuluh persen sisanya?”
“Sepuluh persen sisanya karena dia sudah lelah diomeli oleh kami, sahabat-sahabatnya.”
Ada hening beberapa saat sebelum Juan akhirnya kembali bicara. “Jadi, kamu mau menerima pertunangan itu atau tidak, Kenari?”
“Tidak,” ucap Kenari lugas. Matanya menusuk tepat ke manik mata Juan. “Saya sudah bilang, saya akan membuang jauh-jauh perasaan saya untuk Jevan. Lagi pula, dari awal, kami hanya sepakat untuk saling menolong dari ajang perjodohan ini, bukan betul-betul dijodohkan. Saya akan cari cara untuk membatalkan pertunangan itu. Tapi tolong beri saya waktu, saya tidak ingin ayah Jevan curiga.”
“Terimakasih kalau begitu. Saya bersyukur, artinya saya tidak perlu membenci kamu.”
Kerutan muncul pada kening Kenari kala pernyataan Juan tertangkap rungunya.
“Membenci saya?”
“Saya akan membenci dan memusuhi siapapun yang menyakiti Kak Kiya. Bahkan jika orang itu adalah Jepan sendiri.”
Pembicaraan itu berhenti di sana. Seperti keran air yang dimatikan secara tiba-tiba. Juan lantas berdiri, berpamitan. Kenari mengantarkan sampai pintu depan.
“Saya pulang ya, Kenari. Sekali lagi terimakasih karena telah menjadi sedewasa ini.”
“Jangan benci saya, Juan.”
“Tidak akan. Kamu lebih pantas untuk saya cintai dari pada saya benci.”