petrichorslines

Jakarta, Ruang Rapat Utama Novanda Group, pukul dua siang.

Jajaran direksi serta beberapa pemangku jabatan lain di bawahnya, sudah kembali berkumpul di ruang rapat utama Novanda Group sejak pukul satu siang tadi, usai makan siang bersama. Berkas lampu proyektor kembali mengarah lurus ke layar, menampilkan sebuah grafik saham yang menarik untuk dilihat. Alexander— pemegang saham terbesar dan utama Novanda Group— duduk tenang di kursinya. Sementara beberapa rekannya yang lain sibuk bercakap-cakap membahas tentang pemberhentian beberapa direksi serta pengangkatan CEO (Chief Executive Officer) yang akan menggantikan posisi seorang Alexander Novanda.

Beberapa hari kebelakang, rapat pemegang saham terus dilakukan, menimbang beberapa opsi kandidat yang akan menggantikan posisi penting tersebut. Jevan, Jevander Novanda, putra tunggal Alexander Novanda, merupakan kandidat terkuat. Ditentang oleh sebagian pemegang saham, namun juga didukung oleh yang sebagiannya lagi. Sementara Jevan sendiri selalu mangkir dari pertemuan penting itu, membuat kepala papanya seakan mau meledak.

Tidak terkecuali hari ini, Jevan baru muncul di ruang rapat saat waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore. Calon penerus Novanda group itu muncul dengan keadaannya yang berantakan, wajahnya sayu seperti kurang tidur, rambut pirangnya berantakan tidak disisir, dan lebih buruk dari itu semua... Jevan muncul hanya dengan mengenakan kaus hitam kusut yang dimasukkan ke dalam celana jeans robek-robek. Bau alkohol juga menguar dari tubuhnya yang belum tersentuh air.

“Maaf, saya baru bangun.” Itu adalah kalimat pertama yang Jevan ucapkan saat obrolan dari seluruh peserta rapat terhenti untuk menatapnya. “Saya bahkan gak mandi, gak gosok gigi, langsung lari kesini. Jadi maaf kalau saya seberantakan ini. Semalam saya ada jadwal manggung jadi saya...”

“Duduk, Novanda.” Alexander memotong ucapan anaknya dengan cepat.

Ruang rapat menjadi lengang, tidak ada satupun yang kembali bicara. Jarum jam berdetak lebih lambat dari yang seharusnya. Jevan bahkan bisa mendengar suara detakannya dari tempatnya duduk.

Alexander mengangkat muka, memberi kode pada salah seorang direksi yang bertugas memimpin pertemuan untuk melanjutkan tugasnya.

“Baik, karena Pak Jevander Novanda sudah bergabung bersama kita disini maka pemungutan suara bisa dilakukan.”

“Tunggu.” Sebuah suara mengiterupsi dari seberang sisi Jevan duduk. Seorang laki-laki seusia papanya, menatapnya dengan sinis. “Sebelum dilakukan pemungutan suara, saya ingin tahu dulu kemana perginya calon penerus perusahaan ini pada sidang-sidang sebelumnya?”

“Maaf, Pak Robert, tapi apakah ini ada kaitannya dengan pemungutan suara?” tanya pemimpin pertemuan dengan begitu hati-hati.

“Tentu, kami harus tau dulu, apakah ada alasan yang lebih penting bagi seorang Jevander Novanda hingga beliau mangkir dari rapat-rapat penting.”

Jevan hanya terkekeh pelan, lantas membalas tatapan orang yang mempertanyakan keberadaannya itu. “Saya punya beberapa jadwal tampil yang tidak bisa saya tinggalkan. Pak Robert pasti sudah tau kan kalau background saya sebetulnya adalah musik?”

Wajah Alexander mengeras begitu mendengar jawaban putranya yang terdengar begitu tolol. Kesabarannya sudah hampir habis, tergerus sikap Jevan yang semena-mena.

“Pak Alex, apakah hal ini luput dari pengawasan Pak Alex sebagai ayahnya? Anak Bapak ini akan jadi penerus perusahaan, Pak. Kami tau Pak Alex adalah pemegang saham terbesar, tapi maaf, kami tidak bisa begitu saja menyetujui usul Pak Alex untuk memberikan jabatan sepenting ini pada anak Bapak yang belum dewasa.”

“Setuju,” ucap Jevan tanpa takut akan seperti apa respon papanya. “Saya juga sebetulnya lebih suka bermusik dari pada mengurus perusahaan sebesar ini.”

Alexander tidak tahan lagi. Kepalanya bukan hanya terasa akan meledak, tapi sekarang rasa-rasanya seperti ditarik paksa dari tubuhnya. Dengan terpaksa, laki-laki gagah itu berdiri dari duduknya dan berkata tegas, “Mohon maaf, pemungutan suara terpaksa saya tunda. Saya akan agendakan untuk pertemuan selanjutnya. Hari ini saya harus bicara empat mata dengan anak saya. Mohon pengertiannya.”

Tanpa mengatakan apapun lagi, Alexander keluar dari ruangan setelah memberi kode pada Jevan untuk mengikutinya.

**

“Kamu apa-apaan, Novanda?” Alexander menatap geram Jevan yang duduk santai di sofa yang berada di ruangan papanya.

Warna rambut dan penampilan anaknya itu sungguh menganggu penglihatan Alexander.

“Papa sudah minta assistant kamu untuk informasikan ke kamu tentang pertemuan penting selama seminggu ini, kenapa kamu tidak datang?” Suara Alexander tidak keras, dia sadar bahwa mereka masih berada di kantor. Tapi tatapan mata yang dia berikan kepada Jevan seperti siap menerkam kapan saja.

“Dan lihat penampilan kamu, rambut aneh, tidak mandi, berantakan, kamu kira kamu pantas masuk ke ruang pertemuan dengan keadaan seperti ini? Lalu apa kata kamu tadi? Jadwal manggung kamu banyak? Sejak kapan kamu kembali ke musik? Papa sudah bilang untuk lupakan soal musik!”

“Jevan gak tertarik sama perusahaan, Pa. Jevan mau main musik aja.”

Plak

Telapak tangan Jevander melayang begitu saja, menghantam keras pipi kanan Jevan sebagai balasan atas jawabannya yang kurang ajar.

“Pukul aja, Pa, gak papa. Toh Papa pernah hampir bunuh Jevan.”

Ayah dan anak itu saling pandang dalam waktu yang lama. Kebencian tergambar jelas pada wajah mereka masing-masing. Sementara di lubuk hati mereka ada perasaan saling menyayangi yang tertutupi kebencian.

“Jevan gak pernah lupa, Pa. Jevan gak pernah lupa alasan Jevan sampai harus dirawat di John Medical waktu itu.” Urat-urat di leher Jevan mengeras, sebelah tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. “Jevan cuma pura-pura lupa supaya Papa gak ganggu Adzkiya lagi.”

“Kamu...”

“Jevan gak pernah lupa sama Adzkiya, Pa. Bahkan sedetik pun.”

Sudut bibir Jevan terangkat, merasa puas akan respon papanya. “Selama ini, Papa yang minta Jevan untuk ngelakuin ini dan itu, memilih ini dan itu. Hari ini, hari ini Jevan yang akan minta Papa untuk melakukan dan memilih sesuatu.”

Jevan bergerak menuju meja kerja papanya, mengetik beberapa hal pada komputer yang juga milik papanya, lalu beberapa saat kemudian, mesin pencetak mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat perjanjian. Jevan membawa kertas itu ke hadapan papanya.

“Dengan surat perjanjian ini, Jevan gak akan pernah membangkang lagi ke Papa soal perusahan, Jevan akan jadi anak yang baik untuk seorang Alexander Novanda dan menjadi CEO yang baik untuk Novanda Group. Jevan pastiin, Papa akan hidup nyaman sampai kapanpun tanpa harus khawatir soal bisnis yang Papa bangun ini akan jatuh ke orang yang salah. Jevan akan tinggalin musik sepenuhnya dan fokus ke perusahaan. Tapi sebagai gantinya, Papa harus janji sama Jevan untuk gak mengurusi kehidupan pribadi Jevan lagi.”

Ruangan tiba-tiba terasa panas bagi Alexander, ayah Jevan itu bahkan harus melepas jas yang sejak tadi dikenakannya. Diliriknya mesin pendingin yang ternyata sudah berada di suhu terendah. Tenggorokan Alexander juga mengering, dia butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Tapi tidak ada apapun di atas meja selain surat perjanjian yang baru saja diberikan oleh Jevan.

“Jevan tau Pa kalau salah satu pemegang saham di perusahaan ini ada yang berkhianat di belakang Papa sampai Papa harus buru-buru mengangkat Jevan jadi CEO yang baru. Jevan juga tau kalau Papa gak bisa percaya sama siapapun lagi sekarang makanya Papa sampai harus ambil keputusan secepat ini. Maaf, Jevan gak bermaksud mengambil keuntungan dari keadaan Papa. Jevan cuma ingin hidup tenang sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, Jevan juga akan pastikan Papa untuk hidup tenang.”

Fakta yang baru terucap dari bibir Jevan itu menggetarkan hati Alexander. Laki-laki itu tidak lagi bisa berkilah, bibirnya kelu. Alexander terjepit keadaan. Anaknya yang pembangkang ini justru menjadi satu-satunya orang yang dia percaya tidak akan pernah menusuk dirinya dari belakang. Sepembangkang apapun seorang Jevander Novanda, tidak akan pernah mengkhianati ayah kandungnya sendiri. Alexander percaya itu.

“Pa, Jevan tumbuh dari orang tua yang menikah karena bisnis. Jevan tumbuh tanpa melihat cinta di antara Papa sama Mama. Karena itu Jevan gak ingin anak-anak Jevan tumbuh seperti Jevan, Pa. Jevan ingin anak-anak Jevan tumbuh di keluarga yang hangat, yang penuh cinta. Dan Jevan sendiri gak ingin hidup seperti Papa dan Mama yang terpaksa tinggal satu atap tapi saling menyakiti. Jevan gak ingin berakhir seperti itu, Pa. Karena itu, Jevan mohon izinin Jevan sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, terserah Papa mau gunain Jevan sebagai apa.”

Jevan menghembuskan nafas lelah sebelum melanjutkan, “Jevan sebetulnya malu harus melakukan ini ke Papa, tapi Jevan terpaksa, Pa. Jevan gak mau Papa ganggu perempuan yang Jevan sayang.”

“Papa harus tanda tangan dimana?” Setelah sekian menit terlewat tanpa adanya percapakan, akhirnya Alexander berkata lemah. Perkataan yang cukup untuk membuat Jevan menghujaninya dengan tatapan tidak percaya.

Sebetulnya, sama dengan Jevan, Alexander juga merasa lelah sekali. Dia lelah harus terus-terusan mengintai kegiatan anak kandungnya, dia lelah harus terus-terusan meluangkan waktu untuk membicarakan bisnis dengan semua orang yang ditemuinya, dia juga lelah harus terus-menerus bersitegang dengan darah dagingnya sendiri. Usianya semakin tua, Alexander sudah tidak sekuat dulu. Hal itu dibuktikan dengan adanya pengkhianatan dari jajaran direksi yang selama ini dipercayanya. Itu artinya, pengaruh Alexander tidak lagi sekuat dulu. Dia butuh Jevan, yang lebih kuat secara fisik dan psikis untuk melanjutkan kepemimpinannya. Meskipun dengan itu, artinya dia harus merelakan Jevan bersama dengan perempuan yang tidak memenuhi kriterianya.

Tapi setidaknya, hal itu sedikit lebih baik dari pada melihat Jevan terus-terusan membangkang dan berakhir menghancurkan diri serta kokohnya perusahaan.

Alexander menyerah. Mengambil keputusan paling bijak yang bisa dia lakukan sekarang ini.

“Papa kasih kamu waktu satu minggu, ubah warna rambut kamu, tinggalin musik, dan ambil hati para pemegang saham supaya mereka setuju menggantikan Papa.” Alexander berucap sembari menggerakkan tangannya untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian.

“Setelah itu kamu bisa ke Ayu Laga untuk menemui penjual bunga itu.”

“Namanya Adzkiya, Pa.”

“Ya, Adzkiya.”

Melbourne, pukul sepuluh pagi.

Ruang makan apartemen yang biasanya sepi, pagi ini ramai oleh suara tawa Jevander yang sibuk menggoda Adzkiya. Mulai dari menarik pita ikatan rambut, melepas tali apron, menggelitik pingging sampai menyembunyikan alat masak yang Adzkiya perlukan. Entahlah, Adzkiya juga tidak habis fikir kenapa energi laki-laki itu bak terisi penuh pagi ini. Padahal seingat Adzkiya, semalam, kekasihnya itu masih bersungut-sungut kesal saat tidak dia perbolehkan tidur di kamar bersamanya.

“Jevan, ini lama-lama nasi goreng kamu bisa tumpah kalau kamu gak bisa diem, ya!” Itu adalah peringatan kesekian yang Adzkiya berikan, yang kesekian kalinya juga Jevan abaikan.

“Mending kamu duduk anteng di meja makan sana deh!”

“Cium dulu, abis itu aku duduk.”

Adzkiya memutar bola matanya, namun tetap melakukan apa yang Jevan mau. Tidak apa lah, satu ciuman demi kedamaian proses memasak sarapan yang sudah berlangsung lebih dari satu jam itu.

Cup

Senyum Jevan melebar, lalu dengan riang, laki-laki itu berjalan ke arah meja makan dan duduk dengan tenang di sana. Sebelah tangannya digunakan untuk menopang dagu, manik matanya tidak lepas menatap seluruh gerak-gerik yang Adzkiya lakukan. Aneh ya, padahal Jevan hanya bisa menatap punggung Adzkiya, tapi baginya pemandangan pagi ini jauh lebih indah dari pada pemandangan menakjubkan negara manapun yang pernah dia kunjungi.

Senyum Jevan merekah penuh, dan semakin lebar saat akhirnya sepiring nasi goreng dengan ekstra keju terhidang di depannya. Aroma nasi goreng hasil masakan Adzkiya menguar, memenuhi indra penciumannya dan memberi efek pada dirinya. Mulut Jevan terasa berliur, tidak sabar untuk menerima gebrakan dari makanan kesukaannya itu.

“Makan, abis itu mandi. Juan bahkan udah keliling Melbourne, kamunya malah sibuk gangguin aku di dapur.”

“Tujuan aku sama dia kan beda. Dia kesini nemenin aku, sekalian explore Melbourne. Sementara aku kan kesininya buat habisin waktu sama kamu.”

Adzkiya tidak menjawab, gadis itu hanya duduk di sebelah Jevan. Menyajikan segelas susu segar dingin sebagai pendamping nasi goreng yang dimasaknya.

“Aku makan ya,” ujar Jevan semangat, lantas mengambil satu sendok penuh nasi untuk disuapkan ke mulutnya sendiri.

Adzkiya masih diam. Matanya menikmati ekspresi wajah Jevan yang terlihat kegirangan. Mulutnya sibuk menguyah, tapi senyumnya tidak luntur. Bahkan matanya sampai membentuk bulan sabit, khas sekali seorang Jevander Novanda ketika tersenyum senang.

“Setelah pulang dari sini, apa yang pertama kamu mau lakuin, Van?”

Jevan menelan makanannya kemudian menjawab tenang, “Ketemu Kenari mungkin, buat mikirin cara batalin pertunangan itu. Setelah tau caranya, langsung dilakuin aja sebelum Papa yang gerak duluan. Setelah beres urusan perjodohan itu, aku mulai mikirin cara buat bilang ke Papa tentang kita, tanpa bikin aku dan kamu dalam bahaya.”

“Kayaknya itu yang susah ya.” Adzkiya tersenyum lembut, tangannya terulur untuk membersihkan ujung bibir Jevan dengan ibu jarinya.

Jevan mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke samping. Tidak lagi menghadap meja makan, sebab pemandangan di sampingnya lebih enak dipandang. Sebelah kakinya naik ke atas kursi, kemudian dia meletakkan dagunya di atas lututnya sendiri.

“Iya, kayaknya agak susah. Bakal butuh waktu. Kamu sabar, kan, nungguin aku?”

Lagi-lagi Adzkiya tersenyum lembut. “Harus berapa kali aku bilang, Van? Aku sabar nungguin kamu. Waiting is my middle name, aku udah biasa nunggu,” gurau Adzkiya guna memperbaiki suasana.

Jevan menurunkan kakinya dari kursi lalu meraih tangan kiri Adzkiya, mengelus jari manis gadis itu. “Walaupun gitu, aku boleh gak isi jari manis kamu sekarang? Aku gak pengen kamu keliatan kayak perempuan single, aku pengen orang-orang tau kamu ada yang punya, Ki. Jujur, aku takut banget sebenernya ngelepas kamu disini sendirian, tiap hari aku kepikiran. Gimana ya kalau Kiya ketemu sama cowo lain, gimana ya kalau waktu gue jauh ternyata ada yang bisa bikin Kiya nyaman di Melbourne, gimana ya....”

“Kamu bawa cincinnya gak?” potong Adzkiya cepat. Tidak ingin mendengar kekhawatiran Jevan yang sama sekali jauh dari kenyataan itu.

Jevan lantas mengeluarkan kotak beludru dari saku hoodienya. Ketika kotak itu dibuka, sebuah benda mengkilap menyilaukan mata. Benda mungil itu tampak cantik tertimpa cahaya matahari yang menelisik masuk melalui jendela yang terbuka. Jevan memilih cincin keluaran merek terkemuka, Cartier, jenis white gold rings dengan sentuhan batu permata di atasnya.

“Aku milih yang ini karena rasa-rasanya design ini bakal cantik banget di jari kamu. Kamu suka gak?”

“Suka. Cantik, Van, cincinnya.”

“Boleh aku pakein?”

Adzkiya menjawab pertanyaan itu dengan mendekatkan jemarinya ke arah Jevan, yang langsung tersenyum senang. Dipasangkannya cincin yang telah dia pilih ke jari manis Adzkiya. Cincin permata itu langsung menyatu dengan jari manis Adzkiya yang lentik dan putih bersih.

“Sekarang udah tenang, kan? Di jari aku ada cincin dari kamu, di leher aku ada bekas ciuman kamu. Ck, fix sih abis ini aku gak bakalan laku lagi.” Adzkiya pura-pura mengeluh, padahal jauh di lubuk hatinya dia senang bukan kepalang.

Untuk pertama kalinya, hubungan yang dia bangun dibawa sejauh ini. Untuk pertama kalinya, perjuangan yang dia lakukan tidak berjalan sendirian. Untuk pertama kalinya, keadaan menunggunya dijanjikan sesuatu yang manis.

Adzkiya tahu, jalan mereka mungkin lebih parah dari sekadar kata panjang. Tapi seperti kata Jevan, selagi mereka bersama, semuanya akan terasa lebih ringan. Mungkin tidak mudah, tapi ringan saja sudah cukup.

“Tapi bekas ciuman itu paling lama cuma bertahan dua minggu, Ki. Aku tambahin ya?”

“Ngaco woooo.”

Adzkiya mengacak rambut Jevan, membuat kekasihnya itu lagi-lagi tertawa.

“Serius, mau gak? Mumpung gak ada orang di apartemen nih.” Jevan memajukan wajahnya, mendekati Adzkiya yang menatapnya nyinyir.

“Sekarang emang gak ada, tapi nanti kalau kamu macem-macem, pasti ada aja halangannya. Gak inget emang kejadian kemarin sama yang waktu Kenari telfon?”

Jevan mendengus, ucapan Adzkiya ada benarnya. Baiklah, dari pada harus berhenti di tengah jalan, lebih baik untuk tidak memulainya sama sekali. Jevan mengembalikkan perhatiannya pada nasi goreng lezat yang tersisa di piringnya. Meyakinkan diri bahwa nasi goreng ini lebih menggiurkan dari pada seorang Adzkiya Judith Hartoni. Sebelah kakinya kembali dia naikkan, tangan kanannya juga kembali sibuk menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

“Ngomong-ngomong soal Kenari, sekarang kamu udah yakin, kan, kalau dia baik?”

Jevan mengangguk. “Ya lumayan lah, 70 persen.”

Be nice to her, jangan galak-galak.”

“Iya, Tuan Putri, siap.”

Pagi itu, di antara cuaca sejuk Melbourne City, Adzkiya menatap kembali cincin yang melingkar di jemarinya. Ada harapan besar di sana, besar sekali. Dan dia berdoa, semoga harapan itu tidak akan mengkhianatinya.

Melbourne, pukul tiga sore.

Bulan April, suhu rata-ratanya berkisar 14 hingga 21 derajat celcius. Masih sama dengan suhu Ayu Laga. Jevan masih meringkuk di atas ranjang, tubuhnya yang sudah berhoodie masih perlu dia tutupi dengan selimut tebal yang sudah Adzkiya siapkan. Sementara di sisi ranjang yang lain sudah kosong—seharusnya ada Juan disana, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu bangun sejak pukul satu tadi. Perutnya berisik minta diisi.

Empat puluh menit kemudian, hampir pukul empat sore. Jevan baru menggeliat pelan, matanya menggerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Ada secercah senyum dalam wajah kantuknya tatkala dia sadar bahwa hari ini, dia terbangun di bawah atap yang sama dengan kekasihnya. Meskipun sejak datang tadi, sekitar pukul sepuluh pagi, Jevan sama sekali belum bersitatap dengan Adzkiya— sebab gadisnya itu telah berangkat untuk florist course. Sementara teman serumah Adzkiya, juga sedang berada di Universitasnya untuk mengikuti perkuliahan. Maka itu, usai berganti pakaian serta sedikit bersih-bersih, Jevan dan Juan memilih untuk langsung tidur saja. Mengganti energi yang mereka habiskan untuk menempuh hampir 17 jam perjalanan.

“Wan?”

Tidak ada sahutan.

“JUAN?!”

Masih tetap tidak ada sahutan.

Jevan bergerak bangun, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang lantas meraih ponsel dari meja nakas. Satu pesan muncul di layar, pesan dari Juan yang berisi,

Gue tadi laper banget, terus gue cari makan ke luar, soalnya gak ada Kak Kiya mau minta masakin. Eh ternyata cuaca di luar bagus, abis makan gue langsung jalan-jalan, gak usah kaget kalau gue gak di flat.”

Jevan membalas pesan itu, kemudian turun dari ranjang. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari susu segar— seperti yang selalu dia lakukan. Senyuman lagi-lagi menghiasi wajahnya saat dia membuka lemari pendingin, ada dua botol susu segar di sana, keduanya masih penuh. Ini pasti Adzkiya yang baru menyiapkannya saat tahu Jevan akan datang. Selesai dengan urusan itu, Jevan kembali ke kamar, dia harus mandi, sebab sebentar lagi Adzkiya akan pulang.

Sementara itu, di sisi lain, seorang gadis tengah mengantre di sebuah kedai makanan. Ada dua orang lagi di depannya, gadis itu bergerak-gerak gelisah, matanya terus-terusan melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Jevan pasti udah bangun, dia pasti laper.” Gadis itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. Makin tidak sabar untuk mendapat giliran memesan.

Lima menit kemudian tiba gilirannya untuk memesan. Gadis itu mengucap pesanannya dengan cepat, karena sudah menghafalnya di luar kepala.

Two Brisket Beef, one Brekky Tortilla Wrap, and one Smoked Salmon Bagel, please?

Si pelayan mengangguk dan sibuk menggerakkan jemarinya di atas layar komputer, menginformasikan nilai uang yang harus dibayar lalu memberikan struk pembayaran. Setelah itu Adzkiya bergeser ke bagian pick up untuk menunggu makanan yang dipesannya. Tidak perlu waktu lama, kurang dari sepuluh menit pesanan telah siap. Adzkiya lalu bergerak cepat untuk pulang ke flat. Langkah cepatnya sampai menarik perhatian beberapa orang.

Ketika tiba di flat, Adzkiya disambut sepasang sepatu yang begitu dia kenali, Air Jordan Hyper Royal berwarna perpaduan biru dan abu-abu, sepatu kesayangan seorang Jevander Novanda. Sebentar, tapi seharusnya ada sepasang sepatu lagi di sana. Kemana sepatu milik Juan?

“Jevan? Juan?” Adzkiya mencoba memanggil, tapi tidak mendapat sahutan. Rungunya menangkap suara berisik dari kamar mandi yang berada di kamar tamu. Dia melangkah kesana, melongokkan kepala setelah mengetuk pintu kamar.

“Siapa yang ada di kamar mandi? Juan? Jevan?” Kali ini Adzkiya sedikit mengeraskan suaranya, sebab seseorang di dalam sana tampaknya sedang menggunakan alat shaving electric yang menimbulkan suara cukup berisik.

“Van?” panggil Adzkiya lagi, kali ini benar-benar dengan suara keras.

“Ya? Aku di kamar mandi, Sayang.” Jevan akhirnya menyahut, membuat Adzkiya punya keberanian untuk mendekat.

Pintu kamar mandi dibiarkan terbuka, menampilkan Jevan yang terlihat segar usai mandi. Rambutnya masih basah, beberapa tetes air membasahi punggung dan dadanya yang telanjang, handuk putih melilit di pinggang laki-laki itu. Posisi Jevan membelakangi Adzkiya, tapi dia bisa melihat kekasihnya itu dari pantulan cermin. Mereka melempar senyum lewat sana.

“Juan mana?” tanya Adzkiya seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi, mendekat pada Jevan yang masih sibuk dengan alat shavingnya di depan vanities bathroom.

“Tadi katanya cari makan, kelaperan dia. Terus lanjut jalan-jalan sendirian. Akunya ditinggal, soalnya aku baru bangun.” Jevan sempat melirik ke arah Adzkiya yang beridiri di belakangnya, melirik melalui kaca. “Sebentar, ya, nanggung nih, abis ini aku peluk.”

Adzkiya tidak menjawab, perhatiannya teralih pada hal lain— punggung Jevan, serta bekas luka sabetan di sana. Jarinya bergerak menyentuh ujung bekas luka, lalu bergerak sesuai jalur bekas lekas itu. Setelah selesai pada bekas luka yang satu, jarinya berpindah pada bekas luka yang lain.

“Luka ini... pasti dulunya sakit banget ya, Van?”

Jevan mematikan alat shavingnya kemudian meletakkannya dengan asal. Laki-laki itu lantas mengambil sebelah lengan Adzkiya yang tidak sibuk menyentuh bekas lukanya. “Sini deh,” ucapnya seraya mengangkat tubuh Adzkiya dan mendudukannya di atas vanities.

“Dari pada liat punggung aku, mending kamu liat yang ini,” Jevan melirik ke arah dada dan perutnya yang telanjang. “Yang depan masih mulus, gak kayak yang belakang. Pemandangan ini jauh lebih bagus buat kamu,” katanya dengan sebelah alis terangkat.

Adzkiya terkekeh, teringat obrolan mereka kemarin pagi saat membahas enam kotak di perut Jevan.

“Sayang banget yang keliatan cuma empat,” Adzkiya melingkarkan lengannya pada leher Jevan.

Kali ini Jevan yang terkekeh saat menangkap arti ucapan kekasihnya. Empat kotak yang terlihat, sebab dua lainnya tertutup lilitan handuk.

“Mau liat semuanya? Aku bisa buka kalau kamu mau.” Jevan melingkarkan lengannya pada pinggang Adzkiya.

“Belum siap,” bisik Adzkiya lirih.

Jevan kembali terkekeh seraya mengangguk. “Bilang ke aku kapan pun kamu siap. Nanti aku buka.”

“Aku lebih suka kamu buka apa yang ada di sini dari pada apa yang ada di bawah sana.” Adzkiya menyentuh kening Jevan dengan jari telunjuknya. “Bilang ke aku apapun yang bikin kepala kamu berisik sampai kamu gak bisa tidur, Van.”

Jevan mencium kening Adzkiya dan menahannya beberapa saat. Saat ciuman itu terlepas, Jevan berkata pelan, “Papa datengin keluarga Kenari dan ngebahas tentang pertunangan aku dan Kenari.”

Adzkiya diam, mendengarkan.

“Tapi Kenari gak mau nerima pertunangan itu, begitu juga aku. Kita berdua lagi cari cara untuk ngebatalin rencana Papa. Tapi kita harus mikirin caranya baik-baik, supaya gak jadi masalah baru. Kenari gak mau kamu kena masalah, Ki. Kenari bilang, Papa sempet ngebahas tentang aku yang lupa sama kamu. Dia pengen aku cepet-cepet terikat sama Kenari, jadi sekalipun nanti aku inget sama kamu lagi, aku udah gak bisa kemana-kemana, karena ada Kenari.”

“Kalau gitu, ada baiknya aku tetep di sini aja ya, Van? Keberadaan aku di sekitar kalian cuma akan nambah masalah.” Adzkiya bertanya takut-takut. “Aku takut Kenari juga ada dalam bahaya karena ikut masuk ke permainan ini. Aku takut Papa kamu akhirnya tau kalau selama ini Kenari bantu kamu untuk ketemu sama aku. Aku gak mau Kenari diusik juga sama Papa kamu, Van.”

“Aku denger dari Elen, kamu gak keberatan untuk nunggu aku lebih lama. Kamu beneran gak papa kalau harus disini lebih lama?”

“Gak papa,” Adzkiya menjawab cepat. Sebab dia memang sudah membahas hal ini dengan Klarisa dan Jelena. “Aku gak papa disini lebih lama lagi, asal kamu, sahabat-sahabat kamu dan Kenari baik-baik aja.”

Jevan mengangguk. “Maaf ya harus bikin kamu nunggu lagi.”

“Aku yang seharusnya minta maaf karena aku gak bisa bantu apa-apa.”

“Keberadaan kamu udah sangat cukup buat aku, Ki.”

Jevan and his smart mouth. What should we do with this smart Jevan, hm?”

Kiss me.”

Saat bersama Jevan, tawa Adzkiya tidak pernah surut dari bibir ranumnya. Biasanya, ketika Adzkiya melontarkan pertanyaan what should we do with this smart, Jevan? Maka Jevan akan berkata, come and kiss me. Tapi sekarang, karena dia telah ada tepat di depan Adzkiya, hanya kiss me yang Jevan ucapkan, membuang kata come entah kemana. Dan itu... begitu lucu bagi Adzkiya.

Setelah tawanya reda, Adzkiya menyentuh bibir Jevan dengan ujung jarinya. “Where? Here?”

Lalu jari itu turun, membelai leher jenjang Jevan. “Here?

Selesai di sana, jemari Adzkiya turun lagi. Mengelus pelan bahu hingga dada Jevan. “Here?

Or.... here?” Pada akhirnya, jemari Adzkiya berhenti di atas otot perut Jevan yang terasa keras di telapak tangannya.

Atas semua belaian itu, Jevan menggeram. Sentuhan Adzkiya membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang coba dia padamkan. Berjalan dua tahun hubungan mereka, Jevan sebetulnya telah menahan diri selama ini. Tiap kali Adzkiya di sekitarnya, ingin rasanya langsung dia sergap saja tubuh mungil itu. Tapi perasaan cintanya berhasil mengontrol Jevan selama ini. Selama hampir dua tahun, Jevan telah berhasil menjaga batas yang Adzkiya bangun di antara mereka— meskipun beberapa kali dia hampir melewatinya.

Dan hari ini, perasaan untuk melewati batas itu datang lagi. Adzkiya ada di depannya. Tampil cantik dalam balutan kemeja biru muda yang kancingnya dia biarkan terbuka, tanktop putih mengintip dari baliknya. Rambut Adzkiya yang biasanya dibiarkan tergerai, hari ini dikuncir kuda. Membuat leher jenjang Adzkiya berada tepat di depan mata Jevan. Leher yang seputih susu itu seakan mengundang Jevan untuk memberi jejak di sana. Jejak kemerahan yang bisa dia ciptakan dengan isapan pelan dari bibirnya. Isapan yang akan memancing lenguhan mesra dari bibir Adzkiya.

Crap

Jevan telah masuk dalam imajinasinya sendiri. Sentuhan Adzkiya betul-betul memberi efek besar padanya.

“Ki, none home, could I....” ucap Jevan seraya tangannya menyentuh kerah kemeja Adzkiya. “I... can't think staright right now... Could I....”

Tell me what you want, Jevander.”

I want you,” ucap Jevan cepat.

Adzkiya mengangguk, mengerti. “I'm yours,” balasnya pelan. Lalu dia membiarkan Jevan melepas kemeja biru yang dia kenakan.

Bibir mereka sudah saling menjamah. Tangan Adzkiya setia melingkari leher Jevan, sementara tangan Jevan sibuk meremas pinggang Adzkiya pelan. Tangan itu juga dengan berani berusaha meraih sesuatu di punggung Adzkiya— sebuah pengait menuju sesuatu yang Jevan dambakan. Bibir Jevan berpindah ke leher Adzkiya, memujanya. Kecupan-kecupan kecil dia daratkan di sana, sebelum akhirnya melakukan sesuatu yang sejak dulu diinginkannya, memberi jejak di sana. Jevan melakukannya di beberapa tempat, sampai dia puas. Adzkiya melenguh pelan, meremas rambut belakang Jevan.

Tepat saat Adzkiya menyentuh ikatan handuk yang Jevan kenakan, ponsel di sakunya berdering...

Bukan hanya getaran, tapi dering yang kencang.

Membuat mereka terkejut setengah mati. Jevan bahkan hampir mengumpat ketika Adzkiya dengan terkejut mendorong pelan tubuhnya.

“Siapa, sih?” tanya Jevan frustasi.

Adzkiya menggeleng, pertanda tidak tahu, lalu diraihnya ponsel dari saku. Nama Juan ada di sana.

“Gak usah diangkat.” Jevan meraih ponsel Adzkiya, mematikannya. Lalu meletakkan ponsel itu di sebelah alat pencukur yang juga sudah dia campakkan.

Tanpa basa-basi, Jevan kembali meraih tubuh Adzkiya, hendak melanjutkan apa yang sempat tertunda. Tapi lagi-lagi, sesuatu menghadang mereka. Bel pintu berbunyi berkali-kali, gedoran pada pintu juga terdengar tidak sabar.

“Jep! Buka Jep! Lo denger gue gak?”

“Kayaknya Juan di luar, mungkin dia lupa passcodenya, aku buka dulu pintunya. Kalau dia terus teriak kayak gitu, tetangga flat bisa keganggu.”

Belum sempat Jevan memprotes, Adzkiya sudah lebih dulu turun dari vanities, meraih kemejanya dan mengenakannya kembali, kali ini dengan memasang seluruh kancingnya. Lalu gadis itu menyentuh sebelah pipi Jevan, megecup bibirnya sekilas, dan berucap pelan, “Pake baju, terus keluar, makan. Tadi aku beli makanan.”

Adzkiya baru akan melangkah menjauh saat Jevan menahan pergelangan tangannya. “Kamu aja yang ganti baju, biar aku yang bukain.”

“Kenapa?”

“Kamu mau Juan liat apa yang baru aja kita lakuin?” Jevan menunjuk leher Adzkiya dengan matanya.

Gadis itu terkesiap, baru tersadar. “Oh iya! Yaudah aku ke kamar ya, tolong buka pintunya.”

Akhirnya Adzkiya berlalu, meninggalkan Jevan yang siap mendamprat sahabatnya yang baru datang itu.

Sudah dua kali dia gagal. Yang pertama saat Kenari meneleponnya, dan kali ini karena Juan. Sungguh, seharusnya dia membawa Adzkiya ke negeri antah brantah di saat tidak ada siapapun di sana.

Kediaman Markio, pukul tiga sore.

Jevan baru saja membuka matanya, usai tidur siang selama lima jam. Matanya seperti diberi lem perekat setelah pulang dari menjemput Klarisa dan Jelena di Bandara. Malam tadi, Jevan baru tidur pukul tiga dan harus bangun pukul enam untuk bersiap-siap. Sebab itu lah, rasa kantuk betul-betul menguasai dirinya ketika tiba di kediaman Markio.

Hal pertama yang Jevan cari ketika bangun tidur adalah susu segar dingin. Langkahnya sempoyongan menuju dapur, membuka lemari pendingin milik keluarga sahabatnya tanpa perlu izin. Di dalamnya tersedia dua botol kaca susu segar, ada yang masih utuh, dan yang satu lagi tinggal terisi setengahnya. Jevan membawa botol itu ke meja makan, menuangkannya ke dalam mug dan meminumnya hingga tandas. Tenggorokannya basah, tubuhnya terasa ringan, Jevan merasa segar kembali.

“Mau makan sekarang, Jev? Lo ngelewatin jam makan siang tadi.” Suara itu muncul bersamaan dengan sosok Jelena yang tampil santai dengan gaun rumahan, pakaian paling nyaman untuk digunakan oleh wanita hamil- mengingat usia kehamilan Jelena telah memasuki enam bulan sekarang.

“Lo sama Ica udah makan?” tanya Jevan sembari meletakkan bokongnya di kursi.

“Udah, sekarang Ica yang lagi tidur. Jaenan nanti pulang kantor jemput kesini.”

“Kak Kiyo pulang jam berapa?”

“Jam lima.” Jelena berjalan mendekat. “Gimana? Lo mau makan sekarang?”

“Enggak usah deh, El, gue gak laper,” tolak Jevan dengan halus. “Gimana liburan lo kemarin? Seru?”

“Seru, seneng akhirnya bisa bercanda sama Kak Kiya lagi.”

Mereka tersenyum sambil saling pandang.

“Kak Kiya sebulan lagi coursenya selesai, Ica udah bujuk dia untuk pulang, tapi dia masih ragu.”

“Ragu?”

Jelena mengangguk pelan. Senyumnya perlahan luntur. “Kak Kiya bilang, semua keadaan yang sekarang ini sebetulnya bikin dia nyaman. Disana gak ada Om Alex, dia ngerasa aman kemana-kemana, meskipun sendirian. Sementara disini, Om Alex juga gak ngerecokin lo karena lo gak pernah ketemu Kak Kiya lagi. Dia juga bersyukur, akhirnya antek-antek Om Alex gak neror sahabat-sahabat dan PA lo. Satu-satunya hal yang gak dia suka adalah jarak Melbourne yang terlalu jauh dari Jakarta, lo gak bisa nyamperin dia tiap weekend.”

Jevan diam, menyimak semua kalimat yang keluar dari bibir Jelena.

“Dia bahkan bilang kalau dia gak ngerasa keberatan dengan keberadaan Kenari, Jev. Padahal lo, gue, anak-anak yang lain, mungkin punya pikiran yang sama... Keberadaan Kenari, bisa aja membahayakan hubungan kalian. Tapi Kak Kiya, setiap ada kesempatan, dia selalu bilang kalau dia bersyukur atas keberadaan Kenari yang udah bikin hubungan kalian membaik. Tapi kita gak tau, Jev, di dalam hatinya, Kak Kiya punya kekhawatiran yang sama kayak kita atau enggak.”

“Gue udah bilang ke Kiya kalau gue bakal membatasi interkasi sama Kenari, meskipun dia selalu suruh gue untuk berbuat baik ke Kenari.”

As you should,” Jelena menyetujui. “Kemarin, Kak Kiya juga bilang, dia bersedia untuk tinggal di Melbourne lebih lama lagi, untuk nunggu lo jemput dia sesuai janji lo. Asal ketika nanti dia kembali ke sini, lo udah selesaiin semua masalah lo. Kenari, perjodohan kalian, juga restu Om Alex untuk hubungan lo dan Kak Kiya yang entah bakal ada atau enggak.”

“Dan satupun dari itu semua belum ada yang gue selesaiin, El.” Jevan bergumam pelan, suaranya letih sekali. Sama sekali tidak ada kepercayaan diri disana. Tidak seperti ketika dia berjanji pada Adzkiya di depan terminal keberangkatan Bandara Melbourne sebulan lalu. “Satu-satunya hal paling berani yang gue lakuin ke Papa cuma ketika gue negur Papa setelah Papa suruh Kenari ke apart Mama, tanpa izin gue.”

“Gak papa, Jevan. Kak Kiya pasti ngerti. Power Om Alex dan semua rasa teganya emang harus dihadapin pelan-pelan, supaya gak jadi boomerang.”

Jelena menuang susu ke dalam mug yang Jevan pegang dengan kedua tangannya. Ditepuknya bahu sahabatnya pelan-pelan, berulang kali. Jelena tahu benar, kepala laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya bertahun-tahun itu pasti lah sedang penuh, bahkan bisa jadi serasa akan meledak.

“Apa gue keluar dari rumah aja ya, El? Keluar dari pengaruh Papa dan....”

“Dan lupain janji lo ke Mama lo?” potong Jelena cepat.

Jevan tertegun, Jelena bisa membaca fikirannya.

“Lo gak akan pernah bisa, Jevander. Itu permintaan terakhir Mama lo. Dan itu juga satu-satunya alasan lo bertahan di samping bokap lo, di saat lo punya seribu alasan buat pergi.”

Tidak ada satu pun sanggahan yang keluar dari mulut Jevan. Semua perkataan yang diucapkan Jelena adalah fakta sebenar-benarnya. Masih diingatnya genggaman mamanya bertahun silam, di ruang rawat rumah sakit pusat, juga air mata mamanya yang meleleh bahkan saat wanita yang paling Jevan cintai itu hendak menemui ajal.

Jaga Papa ya, Jevan. Papa gak punya siapa-siapa selain kita.”

Kalimat yang diucapkan Mamanya dengan susah payah itu terpatri diingatan Jevan. Membuat kakinya seakan melekat begitu dekat dengan keberadaan papanya. Jevan tidak pernah bisa menjauh dari papanya, sekalipun dia ingin. Dia tidak ingin mengabaikan janji yang dia buat pada detik terakhir kehidupan namanya. Dia tidak sanggup ingkar pada janji itu.

**

Pukul lima lebih sepuluh menit, kediaman Kenari.

Teras belakang keluarga Elega tampak lengang sore itu, atau mungkin memang selalu selengang itu. Sejak Juan masuk tadi, bahkan ketika melewati ruang tamu dan ruang keluarga, Juan tidak bertemu siapapun selain asisten rumah tangga yang menyambutnya di pintu depan. Rumah ini mengingatkan Juan pada rumah keluarga Novanda. Juan jadi makin faham, kalau mungkin, rumah kelas atas memang selalu sepi seperti ini. Sebab si empunya terlalu sibuk di luar rumah.

“Tehnya, Juan, silakan diminum.”

Juan tersenyum ke arah Kenari yang meletakkan cangkir berwarna putih dengan aksen kemerahan, ke atas meja. Lantas gadis si pemilik rumah kemudian duduk di sebelah Jevan. Di teras belakang itu memang hanya disediakan sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati.

“Jalanan macet tadi?”

“Yah... Begitulah. Justru aneh kalau jalanan Jakarta tidak macet.”

Seulas senyum menghiasi wajah ayu Kenari. Matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang ditanam teratur di halaman.

“Saya boleh langsung to the point saja, Juan?”

“Begitu lebih baik.”

“Semalam ayah Jevan ada di rumah, sedang mengobrol dengan Ayah dan Ibu saya ketika kamu antar saya pulang.”

Helaan nafas lelah terdengar jelas berasal dari bibir Juan. Kenari sempat melirik, lalu kembali menatap ke depan.

“Kalau saya boleh tebak, hubungan Jevan dan ayahnya... buruk ya, Juan?”

“Kamu berasal dari keluarga dengan latar belakang yang sama dengan Jepan, Kenari. Kamu pasti lebih paham soal itu.” Juan menjawab sekenanya. Dia tidak ingin membuka apa yang seharusnya tidak dia buka. Dia merasa tidak punya hak atas itu.

“Berarti benar Adzkiya pergi karena ayah Jevan.”

“Kamu bisa menyimpulkan dari mana?” tanya Juan, menyelidik dengan cara halus.

“Semalam ayah Jevan membicarakan soal pertunangan saya dan Jevan. Kalau saya tidak salah dengar, ayah Jevan sempat menyinggung soal ingatan Jevan akan sesuatu, yang sebetulnya tidak saya fahami apa maksudnya. Ayah Jevan bebicara tentang sebuah kecelakaan yang menyebabkan Jevan lupa akan sesuatu, sesuatu yang berharga. Ayah Jevan bilang, dia takut Jevan ingat hal itu dan kembali pada apa yang seharusnya tidak dia lakukan. Maka itu, ayah Jevan ingin segera mengikat saya dengan Jevan, agar Jevan tidak akan pernah bisa kembali ke sana. Entah kenapa, saya merasa bahwa hal yang ayah Jevan bicarakan itu ada kaitannya dengan Adzkiya.”

“Kamu suka atau justru ingin menolak pertunangan itu, Kenari?” Suara Juan dingin, berbeda sekali dengan obrolan semalam yang begitu mencair.

“Saya... Kalau boleh jujur, saya sempat tertarik pada Jevan. Tapi sungguh, saya sudah membuang perasaan itu sejauh mungkin. Karena saya tau, sekalipun saya jatuh cinta pada Jevan, tidak ada tempat di hatinya untuk saya.”

“Memang, tidak akan ada tempat di sana, Kenari.” Juan menatap Kenari yang sekarang juga menatapnya. “Saya bahkan gak terkejut kamu akhirnya betul-betul tertarik pada Jepan. Saya sudah menduganya.”

“Oh ya? Bagaimana bisa?”

Sudut bibir Juan terangkat sebelum dia berkata begitu pelan, “Kamu bukan yang pertama. Ada lebih dari puluhan wanita yang bernasib sama seperti kamu, masuk ke dalam pesona seorang Jevander Novanda. Apa lagi dengan versinya yang sekarang.”

“Maksud kamu? Versi yang sekarang?”

“Iya,” Juan mengangguk lagi, “Jepan yang sekarang adalah Jepan dengan versi terbaik yang pernah saya kenal. Dulu, saat dia masih menjadi bajingan, dia bisa dekat dengan banyak wanita sekaligus. Beberapa dia kencani, beberapa lagi hanya dia jadikan mainan. Dengan pesonanya yang seperti itu saja, sudah banyak wanita mengantre. Lalu sekarang, Jepan sudah tau cara memuliakan wanita. Tentu pesonanya akan lebih besar lagi. Jepan bukan hanya lelaki kaya dan tampan, tapi juga berhati baik. Apakah ada yang bisa menolak pesona lelaki semacam itu, Kenari?”

“Apa perubahan itu karena Adzkiya?”

“Tiga puluh persennya iya. Tiga puluh persen lainnya karena kegagalannya bersama seorang gadis yang tidak bisa saya sebutkan siapa. Tiga puluh persennya lagi karena didikan baik mamanya.”

“Lalu sepuluh persen sisanya?”

“Sepuluh persen sisanya karena dia sudah lelah diomeli oleh kami, sahabat-sahabatnya.”

Ada hening beberapa saat sebelum Juan akhirnya kembali bicara. “Jadi, kamu mau menerima pertunangan itu atau tidak, Kenari?”

“Tidak,” ucap Kenari lugas. Matanya menusuk tepat ke manik mata Juan. “Saya sudah bilang, saya akan membuang jauh-jauh perasaan saya untuk Jevan. Lagi pula, dari awal, kami hanya sepakat untuk saling menolong dari ajang perjodohan ini, bukan betul-betul dijodohkan. Saya akan cari cara untuk membatalkan pertunangan itu. Tapi tolong beri saya waktu, saya tidak ingin ayah Jevan curiga.”

“Terimakasih kalau begitu. Saya bersyukur, artinya saya tidak perlu membenci kamu.”

Kerutan muncul pada kening Kenari kala pernyataan Juan tertangkap rungunya.

“Membenci saya?”

“Saya akan membenci dan memusuhi siapapun yang menyakiti Kak Kiya. Bahkan jika orang itu adalah Jepan sendiri.”

Pembicaraan itu berhenti di sana. Seperti keran air yang dimatikan secara tiba-tiba. Juan lantas berdiri, berpamitan. Kenari mengantarkan sampai pintu depan.

“Saya pulang ya, Kenari. Sekali lagi terimakasih karena telah menjadi sedewasa ini.”

“Jangan benci saya, Juan.”

“Tidak akan. Kamu lebih pantas untuk saya cintai dari pada saya benci.”

Jakarta, pukul sembilan malam.

Jalanan mulai lengang, tidak seramai saat jam pulang kantor. Mobil Juan membelah jalanan dengan gemulai, meliuk-liuk mendahului satu-dua mobil yang menghalangi jalan. Di sebelah kursi kemudi, Kenari duduk dengan tenang. Suasana yang terbangun dalam kendaraan roda empat itu tidak terlalu canggung, sebab dibantu alunan lagu yang Juan sengaja nyalakan. Mereka berdua bergumam mengikuti bait lagu yang mereka sama-sama hafal di luar kepala. Ini pertemuan kedua bagi Kenari dan Juan, setelah yang pertama di kediaman Raechan beberapa hari lalu.

“Juan, maaf saya jadi merepotkan.” Kenari berucap saat ada hening sesaat ketika lagu berganti. Suara Keshi digantikan oleh oleh Post Malone menyanyikan lagunya yang berjudul Circle.

“Tadi Jepan sudah minta maaf, kamu jangan ikut-ikutan minta maaf. Orang gak buat salah juga kamunya, ngapain minta maaf?” Juan menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.

Kenari mengangguk pelan. “Kamu... Sudah lama ya bersahabat dengan Jevan?” Entahlah, Kenari juga sebetulnya tidak mengerti kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Gadis itu hanya merasa harus mengajak bicara orang yang sudah berbaik hati mengantarnya pulang- di saat sebetulnya dia bisa mengurus dirinya sendiri.

“Kalau dihitung sejak masuk SMA, artinya kami sudah berteman selama.... hampir sepuluh tahun.”

Kenari terkejut. Mulutnya menganga takjub. “Wah, sepuluh tahun? Pantas kalian akrab sekali.”

Ada senyum terulas pada wajah Juan mendengar pujian itu. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain mendapat pujian semacam itu untuk hubungan pertemanan yang dia bangun.

“Kalian pernah berantem gak, Juan?”

“Saya dan Jepan?”

“Enggak harus kamu dan Jevan, siapapun di antara kalian, pernah berantem?”

“Pernah,” jawab Juan dengan santainya. “Kak Kiyo sama Jepan pernah tonjok-tonjokan di rooftop sampai babak belur.”

“Oh ya? Karena apa?” Kenari antusias sekali, membuat Juan menoleh sebentar padanya.

“Biasa, karena perempuan. Tapi lucunya, masalah mereka selesai saat itu juga. Setelah adu jotos, mereka baikan. Padahal sebelumnya mereka perang dingin.”

“Oh saya pernah dengar soal itu. Ternyata betul ya, lebih baik adu fisik dari pada perang dingin.”

Juan menyetujui, sebab dia menyaksikan sendiri peristiwa macam itu.

“Selain itu, pernah lagi gak?”

Juan diam sebentar, berusaha mengingat-ingat. “Hmm... Seingat saya, cuma satu kali itu saja. Sisanya, kami selalu membicarakan apa yang gak kami suka tentang satu sama lain. Misalnya saat Raechan punya salah, kami ajak dia bicara secara langsung atau lewat group chat. Masalah selesai. Begitu aja. Sisanya mah ribut-ribut biasa. Tapi kalau berantem eksternal, sama geng lain, Raechan, Jepan dan Jaenandra pernah beberapa kali.”

“Sama geng lain? Karena masalah apa? Tawuran?”

Pembicaraan itu makin seru. Kenari sampai harus memiringkan tubuh sepenuhnya untuk menatap Juan. Baginya, cerita ini adalah pengalaman baru. Sebab sejak Kenari lahir, hidupnya lurus-lurus saja. Penuh tata krama dan kesopanan tinggi, boro-boro membahas tentang perkelahian antar geng, mendengar orang tuanya berbicara dengan nada tinggi saja, gadis itu tidak pernah.

“Bukan tawuran, tapi berantem aja. Pernah suatu kali Jaenan sama Raechan mukulin satu geng, mereka berdua lawan delapan orang. Penyebabnya karena geng itu ngeroyok Jepan waktu Jepan lagi mabuk. Raechan sama Jaenan marah banget. Dari cerita Jaenan, Raechan hampir aja nginjek dada ketua gengnya sampai hampir mati.”

“Separah itu?”

Juan menyalakan lampu sign lalu berbelok ke arah kiri mengikuti maps sebelum menjawab pertanyaan Kenari. “Separah itu, soalnya mereka pukulin Jepan sama parahnya. Tubuh Jepan dicambuk pakai rotan, sampai sekarang luka di punggungnya itu bahkan gak hilang.”

Kenari tertegun. Gadis cantik itu teringat luka sabetan di punggung Jevan yang dia lihat beberapa jam lalu. Terjawab sudah pertanyaan di kepala Kenari tanpa harus terlibat lebih jauh dalam kehidupan seorang Jevander.

“Kenapa gak lapor polisi saja, Juan?”

Juan terkekeh. Kenari adalah sebenar-benarnya gadis dari kalangan atas. Semua masalah harus selesai sesuai jalurnya.

“Kok ketawa, Juan?”

“Pemikiran kamu berbanding terbalik sama pemikiran Jaenan dan Raechan waktu itu. Mereka bilang, lapor polisi itu sulit, birokrasinya berbelit-belit. Makanya, mereka balas dendam sendiri.”

Tawa kenari beriringan dengan tawa Juan yang belum juga selesai. Kenangan itu menggelitik relung Juan. Masa itu, saat dimana mereka belum sedewasa sekarang. “Kamu masih tertarik sama cerita ini?”

“Masih.” Kenari menyahut antusias. “Ada lagi?”

“Sisanya nanti saya ceritakan lain waktu, ya. Kita sudah mau sampai. Rumah kamu nomor berapa tadi?”

Sangking antusiasnya Kenari pada cerita-cerita menakjubkan Juan, dia bahkan tidak sadar bahwa mobil yang ditumpanginya ini telah masuk ke gerbang perumahan mewah tempat dia tinggal.

“Oh? Nomor 14, Juan. Warna gerbangnya putih.”

Juan mengangguk, lantas melihat ke arah kiri jalan dimana jajaran rumah dengan nomor genap berada. “Yang itu?”

“Iya! Yang itu.”

Juan memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang bercat putih. Lantas pria itu turun, berjalan ke arah kursi penumpang dan membukakan pintunya untuk Kenari.

“Mau mampir dulu? Minum teh mungkin?”

“Lain kali saja, saya masih ada janji lain.”

“Semalam ini?”

“Dengan kawan-kawan saya, kami memang selalu memilih jam malam.”

“Termasuk Gio?” terka Kenari begitu polos.

“Hanya ayahnya. Kalau Gio, anak itu pasti sudah mendengkur di samping ibunya.”

Mereka lalu tertawa bersama. Menertawakan sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu lucu.

“Yasudah, saya pamit ya, Kenari.”

“Iya, terimakasih ya, Juan.”

**

“Lama banget lo nyampenya, dingin nih martabak.” Ocehan Raechan menyambut Juan.

Semantara yang disambut merasa enggan dengan penyambutan macam itu. Tangan Juan dengan cekatan meraih bantal kursi, lantas melemparkannya ke arah Raechan.

“Orang kayak Raechan emang kudu disambit dulu baru diem.” Jaenandra berkomentar sambil menatap puas.

“Minum dulu, Wan.” Minuman, beralkohol, dituangkan ke dalam gelas tinggi, tidak lupa didekatkan ke arah Juan duduk. Sebuah service spesial dari si peminta tolong— Jevander. “Kenari lo anter sampe rumah, kan? Gak lo turunin di tengah jalan, kan?”

“Aman.” Juan menjawab pendek, kemudian menenggak minumannya hingga tanggal. “Lain kali, kalau perlu kabur dari tugas nganter lagi, kabarin aja.”

“Ini lo nyindir gue apa gimana ya, Wan?”

“Kagak, gue serius. Keputusan lo tadi udah bener, lo ngejaga perasaan Kak Kiya.”

Jevan tersenyum bangga, jarang sekali Juan memujinya seperti ini. “Gue jadi geer deh, Wan, kalau lo muji gue begitu.”

“Gue gak muji lo, gue mikirin Kak Kiya,” balas Juan cepat, dilengkapi toyoran pelan kepada kepala Jevan.

“Ya, ya, apapun itu deh, makasih udah ngomong gitu.”

Ruangan lengang sebentar. Jevan lantas mengambil gitar, memetik senarnya menciptakan alunan yang menyejukkan telinga.

Dari kejauhan tergambar cerita tentang kita Terpisah jarak dan waktu Ingin kuungkapkan rinduku lewat kata indah Tak cukup untuk dirimu Sebab kau terlalu indah dari sekedar kata Dunia berhenti sejenak menikmati indahmu

Suara Raechan secara otomatis mengisi irama gitar Jevan dengan begitu sopan, membelai rungu semua yang ada disana.

Dan apabila tak bersamamu Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin Sederhana tertawamu sudah cukup Lengkapi......

“Kenapa sih, Jev, berhenti?” Raechan protes, sebab iringan gitar Jevan tiba-tiba terhenti.

“Eh, eh, bentar deh, lagunya cocok buat Kiya. Ulang ya, gue rekam dulu, nanti mau gue kirim ke Kiya.”

Raechan mendengus, Markio dan Jaenandra hanya tertawa melihat Jevan sibuk mengotak-atik ponselnya sebelum kembali memetik senar gitar.

Sementara Juan hanya menatap semua itu dalam diam. Tapi, dalam diamnya ada kesenangan, karena sahabat baiknya, Jevander, telah jatuh sejatuh-jatuhnya untuk sosok yang tepat.

Dan dia, sebagai kawan baik Jevan, harus ikut menjaga hubungan baik itu.

Kamar 401.

Kode masuk 010877.

Dingin, terang dan berantakan. Kesan pertama yang muncul saat Kenari masuk ke dalam apartemen itu. Dingin, sebab si pemilik apartemen membirkan pintu pembatas balkon terbuka lebar saat hujan deras mengguyur kota. Air hujan tempias membuat lantai basah. Terang, sebab si pemilik apartemen membuka seluruh tirai penutup jendela, juga menyalakan seluruh lampu bahkan di siang hari. Dan berantakan, sebab si pemilik apartemen tampaknya belum sempat membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Sebotol wine terletak di atas meja, bersebelahn dengan gelas tinggi yang kosong. Tidak jauh dari sana, bungkus makanan cepat saji teronggok di sisi meja yang lain. Kaus dan jaket diletakkan dengan asal di sofa. Kaus kaki dan sepatu juga bertebaran di atas karpet, di saat seharusnya mereka ada di rak sepatu di dekat pintu masuk.

Lalu dimana si pemilik apartemen itu?

Dia ada di sofa, meringkuk kedinginan. Matanya terpejam, rambutnya berantakan, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang bertelanjang dada. Kenari berjalan ke arah kamar, meraih selimut rajut, lalu kembali ke ruang depan dan menyelimuti Jevan. Berharap agar laki-laki itu tidak perlu lagi repot-repot memeluk dirinya sendiri guna mengusir dingin. Lalu gadis yang tampil cantik dalam balutan pakaian santai itu menutup pintu yang mengarah ke balkon. Juga menutup seluruh tirai. Ruangan seketika menjadi hening, temaram dan hangat.

Apartemen Jevan yang berantakan tidak luput dari perhatian Kenari. Gadis itu meletakkan kaus, jaket dan kaus kaki Jevan ke keranjang baju kotor. Mengembalikan botol wine yang masih sisa setengah, ke dapur, mencuci gelas kotor yang Jevan gunakan untuk minum-minum, juga membuang bungkus makanan cepat saji. Lantas setelah semuanya selesai, Kenari duduk di atas karpet, di dekat Jevan tertidur. Mengambil satu foto untuk dia kirimkan kepada Alexander, papa Jevan, sebab itulah alasan dia datang ke apartemen ini. Dikabarkannya pada Alexander bahwa anak semata wayangnya ini dalam keadaan baik, tentu dengan meninggalkan fakta bahwa Jevan tertidur usai menenggak alkohol yang entah seberapa banyak.

Sekian menit terlewat, Kenari hanya sibuk membuka aplikasi sosial media di ponselnya. Sampai akhirnya dia bosan. Entah kenapa, saat itu dia memutuskan untuk memandangi wajah Jevan yang terlelap saja. Seolah pemandangan itu justru lebih menarik dari pada konten yang disajikan pada sosial media. Ketika tidur, wajah Jevan tidak ubahnya wajah anak-anak yang polos. Bulu matanya yang panjang seakan mampu menyapu pipinya yang mulus. Hidungnya tinggi, bibirnya mengatup sempurna dan tetap terlihat kemerahan meskipun Jevan adalah seorang perokok. Jika Kenari boleh memuji, dia pasti akan bilang bahwa Jevan terlihat begitu tampan bahkan dengan rambut yang acak-acakan dan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.

Jemari Kenari lancang, menyentuh kesempurnaan wajah Jevan itu dengan ujung-ujung jarinya. Mulai dari kening, hidung, hingga turun membelai bibir. Gadis itu berani, sebab dia tahu Jevan sedang mabuk berat. Jevan tidak akan merasakan sentuhannya ini. Jikapun dia merasakan, laki-laki ini akan lupa ketika dia bangun nanti. Maka itu Kenari bergerak lebih berani, jari-jemarinya merapihkan rambut Jevan yang berantakan. Lalu beralih membetulkan selimut yang menutupi tubuh bagian atas Jevan yang telanjang. Dia sudah sempat melihat tubuh kekar itu tadi, sempat tergoda untuk membayangkan akan sangat nyaman bersandar disana. Tapi dienyahkannya pemikiran itu jauh-jauh, sebab jatuh cinta pada seorang Jevander Novanda tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Lebih dari itu semua, Jevan sudah memiliki kekasih hati, yang posisinya mustahil untuk digeser. Maka disini dia sekarang, hanya untuk menikmati ciptaan Tuhan yang Maha Baik.

“Mungkin lebih baik saya cari kesibukan lain.” Kenari berbisik pada dirinya sendiri, lantas berdiri dari duduknya dan hendak berjalan menjauh. Tepat saat itulah, pergelangan tangannya ada yang menahan. Jevan, laki-laki itu meraih pergelangan tangan Kenari tanpa sadar.

“Jangan kemana-kemana, disini dingin.” Jevan bergumam pelan, gumaman yang lirih sekali, namun Kenari masih bisa mendengarnya. “Dingin,” lenguh Jevan lagi, kali ini sambil menarik pelan pergelangan tangan Kenari hingga membuatnya terduduk begitu dekat dengan Jevan yang masih saja memejamkan matanya.

“Kamu gak matiin AC, ya?” Pertanyaan itu dilayangkan dengan sedikit lebih jelas.

Kenari melirik ke arah pendingin ruangan dan mendapati alat itu memang masih menyala dengan suhu rendah. Dia lalu mematikannya. Kenari beralih kepada Jevan yang kini tengah memeluk lengannya selayaknya guling. Gadis itu bisa merasakan bahwa telapak tangannya bersentuhan langsung dengan kulit perut Jevan yang terasa kokoh dengan enam kotak yang terbentuk. Kenari menelan ludah, posisi ini cukup membuatnya.... bingung.

“Katanya kamu gak mau dateng, ternyata kamu dateng, ya?”

You come to kiss me?

Where? On the lips?

Rancauan Jevan membuat perasaan Kenari makin aneh. Rancauan itu seperti upacara pembangkitan sesuatu dalam dirinya yang telah lama Kenari matikan. Ucapan Jevan, sentuhan Jevan... Kenari hampir hilang akal. Didekatkannya wajahnya pada wajah Jevan, tinggal berjarak beberapa sentimeter saja sebelum dia berhasil merengkuh bibir ranum itu. Sayang, Jevan lebih dulu menyadarkannya dengan cara yang halus... Tepat saat bibirnya akan mendarat pada milik Jevan, laki-laki itu malah bergumam pelan... Memanggil nama kekasihnya, dengan penuh cinta.

“Adzkiya, you are mine and i'm yours. Jangan kemana-kemana, ya.”

Kenari tersenyum, tersadar dari kebodohannya sendiri. Menarik diri dari Jevan dan menuju dapur. Melakukan hal lain untuk mendistraksi diri. Sambil sesekali merutuki diri sendiri.

Jevan sudah jatuh sedalam-dalamnya untuk sosok yang bernama Adzkiya. Adzkiya telah tumbuh terlalu besar dalam diri Jevan. Seharusnya Kenari ingat itu. Selamanya.

**

Pukul tujuh malam, hujan di luar sudah reda, menyisakan satu-dua rintiknya yang menabrak jendela. Kenari sedang menyiapkan sup panas di dapur saat Jevan perlahan membuka kedua matanya. Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Kepalanya pusing, untungnya tidak terlalu parah. Laki-laki itu masih bisa melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya untuk melihat waktu. Lantas dia menegakkan tubuh, bersandar pada sofa sambil memijit kepalanya pelan. Pandangannya berpendar mengelilingi seisi apartemen yang kini tampak rapi. Jevan menyerngit bingung, terlebih saat dia menyadari ada aktivitas di dapur apartemennya.

“Wan? Jaen? Kak Kiyo? Rae?” panggil Jevan acak, menebak siapa di antara mereka yang datang ke apartemennya.

“Kamu sudah bangun?”

“Kenari?”

“Ya, ini saya.”

Jevan makin bingung, dia kemudian menyusul ke dapur dan mendapati Kenari tampak lihai menata meja makan.

“Kamu mau mandi dulu atau langsung mau dengar alasan kenapa saya ada disini sekarang?” Kenari bertanya tanpa memandang Jevan.

“Disuruh Papa?” terka Jevan langsung.

Kenari mengangguk mengiyakan. “Papa kamu sedang di Singapura dan katanya kamu semalam tidak pulang. Papa kamu minta saya datang, lengkap dengan supir yang mengantar saya kesini.”

“Saya pikir dia sudah kasih saya kelonggaran, ternyata enggak.” Jevan bergumam pelan. “Yaudah saya mandi dulu, ya. Saya bau alkohol.”

Jevan menyelinap keluar dari dapur tanpa menunggu jawaban Kenari. Gadis itu sempat melirik punggung Jevan yang ternyata memiliki bekas luka yang cukup mengerikan. Ada seperti luka sabetan yang sudah mengering, tapi bekasnya tidak mau hilang. Kenari penasaran dari mana bekas luka itu berasal, tapi dia tidak mungkin menanyakannya.

Kenari tidak ingin terlibat lebih jauh dalam hidup Jevan. Dia tidak ingin lagi hilang kendali seperti tadi. Sudah cukup, sudah cukup hubungan mutualisme antara mereka. Kenari tidak akan berharap lebih dari itu.

Aku banyak mengenal jenis gadis di Ibu Kota. Ada yang sejak kecil berkawan dengan segala tata krama kelas atas, akrab dengan sepatu hak tinggi dan gaun malam yang elegan. Ada juga yang bergaya retro, menyukai hal-hal yang lawas. Mulai dari gaya berpakaian, jenis musik, hingga pemilihan tempat yang akan dikunjungi, semuanya harus serba retro. Ada juga jenis gadis ibu kota yang sederhana, kemana-kemana mengandalkan kaus polos, celana pendek, sepatu kets dan topi untuk menutupi rambut yang tidak ditata. Lalu ada jenis lain yang begitu menyukai hal-hal yang berbau keperempuanan. Gadis jenis ini biasanya gemar mengenakan gaun panjang di bawah lutut, pilihan warna-warnanya selalu saja sejuk dipandang mata. Mereka biasanya sering kali membawa buku atau bunga bersama mereka. Gadis macam ini biasanya adalah jenis gadis yang terobsesi untuk memiliki hidup seperti gadis-gadis dalam novel yang dibacanya.

Aku pernah mengencani semua jenis gadis itu. Tanpa terkecuali. Juga jenis gadis lain yang tidak aku sebutkan di atas.

Lalu hari ini, saat duduk di kaki bukit kota kecil bernama Ayu Laga, aku tidak tahu gadis yang sosoknya sedang aku tatap ini masuk dalam kategori yang mana. Gadis itu tampak anggun, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, tertiup angin basah perbukitan. Cahaya temaram matahari sore menabrak wajah ayunya yang diberi sedikit polesan. Sore ini, gadis itu memilih untuk memadukan kaus putih polos dengan midi skirt berwarna hijau tua. Sepertinya, Adzkiya adalah perpaduan dari segala jenis gadis yang pernah aku temui. Ya, aku akan menyimpulkannya seperti itu saja.

Adzkiya nampak mengambil keranjang rotan dari bagian belakang sepedanya, yang terparkir di sebelah mobilku, untuk kemudian berjalan mendekat ke arahku yang sudah lebih dulu duduk di atas rerumputan. Saat sosoknya akhirnya mendekat dan hanya berjarak beberapa jengkal dariku, aku bisa mencium aroma floral yang lembut dari tubuhnya. Aroma itu entah kenapa membawa ketenangan aneh yang begitu saja aku rasakan. Ditambah lagi, wajah ayu yang penuh senyum itu selalu saja menampakkan ketenangan yang sama dengan yang aroma tubuhnya berikan.

“Kamu selama ini selalu duduk langsung di atas rumput begitu, Jev?” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Matanya memincing ke arah tempat aku duduk.

“Emang seharusnya gimana, Kak?”

Adzkiya berdecak, kemudian mengeluarkan sehelai kain dari dalam keranjang rotannya. Diletakkannya kain berwarna putih-biru itu di atas reremputan seraya berkata, “Pakai ini untuk alas duduk, biar celana kamu gak kotor.” Kain itu tidak terlalu lebar ukurannya, tapi cukup untuk kami berdua duduk.

Matahari makin tergelincir di arah barat, membuat semburat oranye yang dipancarkannya makin kental. Burung-burung terbang rendah, hendak menuju peraduan. Angin berhembus makin kencang, udara juga semakin dingin. Di kejauhan, aku mendengar suara ribut dari pengembala yang menuntun hewan peliharannya pulang.

“Kalau kamu disini selama seminggu, kerjaan kamu gimana?” Adzkiya bertanya tanpa menatapku. Sementara aku sejak tadi belum mengalihkan tatapanku dari wajahnya.

“Semua udah diatur sama staff kantor, Kak. Aku bisa kerja dari sini. Sisanya dikerjain sama mereka.”

“Oh, enak dong?” Suaranya terdengar antusias. “Kenapa gak liburan ke luar negeri aja kalau gitu? Dari pada di kota kecil begini, Jev, mall aja gak ada.”

Aku terkesiap. Benar juga, batinku. Kenapa pula satu bulan terakhir aku terus datang ke kota kecil ini? Awalnya, aku hanya kemari karena menurut kawan-kawanku, Ayu Laga adalah tempat yang baik untuk sekadar melepas penat. Penat dalam arti lain adalah aku yang butuh distraksi dari patah hatiku akan pertunangan Jelena dan Kak Markio. Tapi setelah itu? Kenapa setelah itu aku terus merasa Ayu Laga memanggilku untuk datang? Kenapa setelah pertemuanku dengan Adzkiya di toko bunganya seakan membuatku terus ingin kembali ke kota kecil ini?

“Gak ah, bosen. Gitu-gitu aja, mending disini, adem, orang-orangnya ramah, bawaannya tenang, terus gak jauh dari Jakarta juga,” jawabku sekenanya. Tidak menemukan jawaban yang lebih baik. “Tapi kalau malem, Ayu Laga emang sesepi itu ya, Kak?”

Ada anggukan samar yang dilakukan Adzkiya, membenarkan perkataanku. “Iya, orang-orang udah capek seharian kerja. Ada yang capek ngembala kambing, ada yang capek ngurusin kebun teh, ada yang capek ngurusin kebun bunga, ada yang capek buka toko roti, semua orang capek. Kalau di Jakarta, orang-orang sama capeknya, tapi mereka punya banyak pilihan untuk cari hiburan. Sementara disini, kita gak punya apa-apa, paling juga bazar kecil yang adanya sebulan sekali, jadi yaudah deh mereka milih untuk istirahat aja di rumah. Jalanan jadi sepi.”

“Kak Kiya juga gitu? Tiap abis dari florist pasti langsung pulang ke rumah?”

Adzkiya mengangguk lagi untuk kedua kalinya. “Iya, masak buat makan malam, makan malam sendiri, terus mandi, abis itu baca buku di ruang tengah. Maleman dikit tidur deh, begitu aja tiap hari. Tapi anehnya gak bosen loh.”

“Pasti Kak Kiya MBTInya I deh,” terkaku yakin.

“Bukan, Kak Kiya mah C.”

“C?”

“Iya,” jawab Adzkiya serius. “C U T E.”

Sore itu, bibirku yang awalnya berada pada ukuran normal langsung melebar karena tersenyum. Aku bahkan bisa merasakan bahwa lebarnya sampai ke telingaku. Sungguh, sore itu aku tersenyum lebar sekali karena lelucon kecil yang Adzkiya lontarkan.

“Narsis juga ya ternyata,” olokku diiringi tawa kecil.

Adzkiya menoleh padaku dengan pandangan tidak terima. Alisnya menyatu di tengah, wajahnya murung. “Loh, serius ya, MBTI Kak Kiya tuh itu! C U T E, cute!”

“Iya-iya. Lucu banget sih, Kak.”

“Tuh kan, udah dibilang emang Kak Kiya lucu!”

Adzkiya tersenyum lagi, bukan hanya bibirnya, tapi juga matanya. Hatiku berdesir dibuat olehnya. Selama ini, aku menganggap Adzkiya adalah sosok kakak, karena pembawaannya yang tenang, juga karena usianya memang terpaut empat tahun lebih tua dariku. Tapi hari ini, akhirnya aku bisa melihat sisi lain dari dirinya. Sisinya yang begitu menggemaskan. Aku bahkan mendebat diriku sendiri, haruskah aku mencubit pipinya yang seputih susu itu atau bolehkah aku mengelus surai panjangnya yang tampak begitu lembut itu?

“Udah ada kabar kapan Elen sama Kiyo nikah?”

Yah udah jauh-jauh kemari, malah ditanyain soal mereka lagi,” jawabku pelan. Yang sebetulnya juga bukan sebuah jawaban.

Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang membentang. Dengan posisiku ini, aku bisa memandang ke langit lepas yang menggelap. “Tanya yang lain aja deh, Kak, jangan bahas itu.”

“Hmm...” Aku dengar Adzkiya menggumam. “Kamu nginep di rumah Garend seminggu ini?”

“Enggak, mulai nanti malem aku nginep di Laga Homestay.”

“Sendiri?”

“Kak Kiya mau nemenin?”

Tanpa menoleh, Adzkiya memukul pahaku yang berada tepat di sebelahnya duduk. “Ngaco.”

“Ya siapa tau kan, kayak sekarang, Kak Kiya mau nemenin aku lagi.”

Adzkiya menolehkan wajahnya, menatap aku yang masih saja berbaring beralaskan sebelah lenganku. “Bener kata Ica ya, kamu emang buaya.”

Ketika menatap wajahnya dari tempatku berbaring, aku akhirnya menyadari bahwa Adzkiya adalah seorang gadis cantik tidak perduli dia masuk ke dalam kelompok yang mana. Entah itu gadis-gadis pengagum retro, entah itu gadis kalangan atas, entah juga gadis yang terobsesi pada tokoh utama novel-novel yang mereka baca. Adzkiya adalah gadis cantik, dan itu saja. Aku rasa, dia akan tetap cantik dengan gaya apapun yang dia kenakan. Karena lihatlah, bahkan dengan melihatnya dari posisi berbaring seperti ini saja dia terlihat begitu cantik.

“Haaaahhh, udah lah, gagal ni aku membangun image baru. Udah terlalu melekat kayaknya julukan buaya buat aku.”

“Bukan julukan buayanya yang melekat di kamu, tapi bibir dan body language kamu itu yang udah terbiasa jadi buaya.”

“Emang iya ya?”

Adzkiya mengangguk, untuk ketiga kalinya jika aku tidak salah hitung. Dia kemudian mengalihkan tatapannya lagi ke arah depan. Mungkin untuk menatap semburat oranye terakhir yang senja itu tawarkan. “Iya. Tuh baru aja kamu secara gak langsung ngajak aku nginep di homestay. Kamu gak sadar, kan? Buat kamu itu terjadi tanpa sadar, padahal efeknya bisa bahaya.”

“Bahaya kenapa?”

“Ya bahaya, kalau ceweknya mau gimana?”

“Yaudah tinggal nginep aja.”

“Tuh kan! Tuh, tuh, tuh. Dasar buaya.”

Aku terkekeh, lalu bangkit untuk kembali duduk di sebelahnya. “Tapi kan Kak Kiya gak mau tadi, jadi aman dong?” Aku menyenggol lengannya dengan sikuku.

“Iya, untung aja cewek yang kamu ajak itu Kak Kiya, jadi bisa nolak hasrat buaya kamu.”

“Berarti cowok kayak aku harus dihandle sama cewek kayak Kak Kiya, ya, biar gak jadi buaya lagi?”

“Betul. Cowok buaya kayak kamu harus ada pawangnya, biar jinak.” Adzkiya menatap ke arahku.

Kami bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya aku berujar pelan. “Kalau gitu, Kak Kiya mau gak jadi pawang buat buaya kayak aku?”

Adzkiya tidak menjawab. Bahkan hingga matahari tenggelam sepenuhnya dan digantikan bulan yang berteman bintang-bintang.

Untuk ketiga kalinya Kenari duduk di kursi penumpang mobil milik seorang Jevander Novanda. Kali pertama adalah saat mereka akan pergi ke rumah Raechan, kali kedua saat diantar asisten Jevan menuju Bandara untuk pergi ke Melbourne, lalu yang ketiga adalah hari ini. Mereka baru selesai menghadiri acara potong pita pada salah satu cabang usaha baru milik keluarga Kenari. Acara itu berjalan baik, meskipun Kenari dan Jevan merasa lelah sekali harus berperan menjadi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka mendapat setidaknya tujuh pertanyaan tentang kapan mereka akan melangsungkan pertunangan. Untungnya, Kenari begitu lihai menjelaskan bahwa mereka masih terlalu dini untuk membicarakan hal seserius itu. Gadis yang tampil cantik dalam balutan gaun berwarna hitam itu dengan piawainya berkilah dari pertanyaan-pertanyaan sejenis tanpa harus merepotkan Jevan.

Acara selesai setelah makan malam, pukul setengah delapan. Mereka berdua langsung membelah jalanan Jakarta untuk menuju rumah Raechan, menemui si kecil Sergio. Tadi, Kenari bilang ingin ikut kesana dan Jevan tidak punya alasan untuk melarang. Toh pada pertemuan pertama Kenari dan Sergio, si kecil itu begitu menyukai keberadaan tante barunya. Jalanan Jakarta cukup lengang malam itu, Jevan bisa leluasa mengemudikan mobilnya di jalanan yang basah usai hujan sore tadi.

“Nar, saya boleh tanya sesuatu?”

Kenari yang duduk tenang di samping Jevan menggumam pelan sebagai jawaban.

“Kalau sedang girl's time, biasanya perempuan ngapain aja, ya?”

“Hmmm....” Kenari tampak berfikir sebentar. “Snack and movie time, karaoke, gossiping, gitu-gitu aja sih, kenapa?”

“Semua hal itu... emang gak seharusnya pasangannya tau, ya?”

Tawa terdengar dari samping kiri Jevan. “Kenapa gak boleh? Ya boleh dong.”

Jevan memukul setir mobilnya pelan. “Tuh kan...”

Ucapan Jevan tidak selesai, terinterupsi oleh panggilan masuk yang tampak dari perangkat di mobilnya yang tersambung pada ponsel. Nama Klarisa Ayumi Adetama muncul sebagai si penelepon.

Tanpa mengucap salam pembuka lebih dulu, Jevan langsung merepet panjang. “Ca, lo jujur sama gue deh, kemarin kalain girl's timenya ngapain aja? Gue udah tanya semua orang, ya, dan mereka semua bilang kalau gak ada satupun kegiatan girl's time yang cowoknya gak boleh tau! Sekarang lo jujur, kemarin lo ajak cewek gue ngapain? Kenapa sampe segala lo bilang kalau Kiya gak dalam keadaan proper untuk difoto dan dikirim ke gue? Sebenernya kalian ngapain?”

Tawa pecah terdengar dari seberang sana. Tidak hanya berasal dari suara Klarisa saja, tapi juga Adzkiya.

Jev... Jev... santai,” ujar Klarisa masih dengan sisa tawa. “Bukannya gak boleh tau, kok, gue cuma ngerasa lo gak akan sanggup aja kalau gue beneran kirim foto Kak Kiya ke lo.

Jevan merengut, tanpa sadar. “Emang kalian ngapain sih? Please jujur aja sama gue, gue kepikiran tau, sampe gak bisa tidur.”

Sukurin, selamat gak bisa tidur, Jevander. Gue sih bakal tidur nyenyak ya, tidur di kasur Kak Kiya, dipeluk Kak Kiya, bisa cium aroma tubuhnya Kak Kiya yang baru mandi ini. Eh Jev, serius deh, Kak Kiya kalau abis mandi dan rambutnya basah dan acak-acakan gini, sexy banget tau. Ditambah lagi piyama tidurnya yang...

“Ica!” Adzkiya menggeram. Yang terdengar setelahnya adalah suara dua orang gadis yang saling berebut ponsel.

Adzkiya menang, gadis itu berhasil merebut ponsel Klarisa dari genggaman. “Van, jangan dengerin Ica ya, Sayang.

Jevan terkekeh, bibirnya tidak lagi cemberut. “Aku jadi ngebayangin apa yang diomongin Ica barusan, Ki.”

Jangan! Gak boleh ngebayangin! Kamu dimana sekarang? Udah makan malem?” Adzkiya nampak berupaya membelokkan percakapan.

Jevan mengangguk, meskipun Adzkiya tidak akan bisa melihatnya. “Udah, ini aku lagi jalan ke rumah Gio. Nanti aku kabarin kalau udah sampe sana, ya. Kamu baik-baik, awas digigit Ica. I love you.”

I love you more, J! Salam anak-anak.

“Iya, Sayang.”

Bip

Panggilan terputus, menyisakan Jevan dengan senyumnya yang masih mengembang. Bahkan hanya dengan mendengar suara Adzkiya saja sudah membuatnya sebahagia ini. Belum lagi bayangan Adzkiya yang tengah mengenakan pakaian malam dan rambut basahnya yang berantakan.... Sudah cukup, atau Jevan akan sulit tidur malam ini.

“Waktu kamu berbicara dengan mereka tadi, kamu kelihatan berbeda sekali ya, Van.” Suara itu terdengar, menyadarkan Jevan bahwa dia tidak sendirian. Sejak tadi ada Kenari yang ikut bersemu mendengar cara Jevan berbicara pada seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan Ica, juga cara Jevan berbicara pada kekasihnya.

“Beda gimana?” Jevan bertanya, masih dengan wajah penuh senyum.

“Kamu terdengar relax, kekanak-kanakan in a good way dan kamu terlihat begitu... senang.”

“Saya selalu senang dengan semua hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan juga sahabat-sahabat saya,” jawab Jevan lugas.

“Selain Raechan dan Kak Kayana, orang tua Sergio, ada berapa lagi sahabat kamu?”

“Ada Ica, yang berbicara dengan saya tadi. Jaenandra, suaminya. Jelena, Markio, mereka suami istri. Lalu ada satu lagi sahabat saya yang masih single, Juan namanya. Jadi semuanya ada... tujuh. Sahabat saya ada tujuh.”

“Adzkiya? Dia bukan sahabat kamu? Saya kira kalian sahabat yang menjadi kekasih.” Entah kenapa, Kenari menjadi antusias sekali. Baru kali ini melihat sisi lain seorang Jevander Novanda, yang selama ini dikenalnya sebagai anak tunggal keluarga Novanda yang terkenal sulit didekati.

“Bukan...” Jevan mengenang. “Adzkiya dulu adalah kekasih kakak kandung Klarisa. Dari sana kami saling mengenal. Tapi hubungan mereka tidak berjalan baik, mereka putus, setelah itu saya datang ke kehidupan Adzkiya dan ya... beginilah kami sekarang.”

Kenari manggut-manggut, paham dengan penjelasan singkat yang Jevan berikan. “Entah kenapa saya merasa hubungan kalian manis sekali. Kamu tidak pernah tidak tersenyum ketika menyebut nama Adzkiya. Mata kamu, bibir kamu, raut wajah kamu, kamu terlihat sekali memuja Adzkiya.”

“Saya betul-betul mencintai Adzkiya, Kenari.”

Malam itu, ketika kurang dari dua kilometer lagi untuk tiba di rumah Raechan, Kenari seperti disadarkan bahwa ada cinta sebesar yang diberikan Jevan pada Adzkiya.

**

Sergio berlarian menyambut Jevan yang baru saja masuk ke dalam rumah. Si kecil itu baru saja dipanggil oleh ayahnya untuk mengabarkan bahwa salah satu om kesayangannya baru saja tiba.

“Om Pan!” panggilnya penuh semangat. “Ada Om Jaen, Om Yo sama Om Wan di kamal.”

Jevan tekekeh gemas melihat tingkah anak sahabatnya itu. Tapi keinginan untuk langsung memeluk dan menciumi Sergio dia urungkan lebih dulu, sebab tadi Jevan sempat merokok beberapa batang. Nikotin pasti menempel di pakaiannya dan itu tidak akan baik bagi malaikat kecilnya. Lantas lai-laki dewasa itu hanya menekuk lututnya, agar tingginya setara dengan Sergio, dan menyentuh kedua tangan Sergio. “Om Pan kotor abis dari luar. Om Pan mandi dulu ya, di kamar atas, nanti Om Pan kesini lagi main sama Gio.”

Si kecil Sergio mengangguk mengerti, tanpa merengek. Kemudian si kecil itu beralih pada Kenari. “Te, main sama Gio, ya.”

Kenari mengangguk senang ketika lengannya ditarik oleh Sergio untuk menuju kamar bermainnya. Namun sebelum dia berlalu mengikuti tarikan Sergio, Jevan lebih dulu menahan tangannya. Jevan memberikan jas hitam yang tadi dia kenakan kepada Kenari sambil berucap, “Pakai untuk nutupin kaki kamu, dress kamu pendek, kamu gak akan nyaman duduk di karpet kalau gak ditutup pakai ini. Ditambah lagi, di dalam kamar Gio ada tiga sahabat saya yang lain, mereka semua laki-laki.”

Belum sempat Kenari berterimakasih, Jevan sudah lebih dulu berlalu ke lantai atas. Meninggalkan Kenari yang sibuk menatap jas Jevan yang sudah berpindah tangan padanya.

Tiga puluh menit kemudian, Jevan muncul lagi ke kamar bermain Sergio. Nampak segar usai mandi, rambutnya basah dan hanya disisir asal dengan jari, setelan jasnya telah diganti dengan pakaian rumahan yang nyaman- kaus lengan pendek berwarna putih dan celana olahraga panjang.

“Gimana? Lo udah tau belum girl's daynya mereka apa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut laki-laki yang Kenari ketahui namanya sebagai Jaenandra itu menyambut kedatangan Jevan.

Yang ditanyai hanya terkekeh pelan kemudian menjawab, “Belom, bodo ah, kayaknya gue cuma dikerjain deh sama bini lo.”

“Ya lagian lo sih, penasaran amat, namanya juga girl's day, biar aja kek mereka yang tau mereka ngapain,” timpal kawan Jevan yang lain lagi, Juan.

“Ya gue sih gak papa ya sebenernya gak tau juga, cuma gara-gara bininya dia nih, bininya si Jaenan pake segala bilang Kiya gak berada di keadaan yang proper untuk difoto. Kan gue kepo jadinya. Keadaan apa coba begitu?”

“Lagi bikini party mungkin, Jev.” Suara seorang wanita terdengar beriringan dengan sosoknya yang masuk ke ruang beramin Sergio sambil membawa keranjang buah, berisi jeruk dan anggur hijau. “Jadi Ica gak bisa kirim fotonya ke lo, karena keadaan Kak Kiya emang bahaya kalau difoto.”

Tawa Jaenandra pecah, diikuti tawa kawannya yang lain. “Kalau gitu mah bener dong apa kata bini gue mah, Kak Kiya emang gak dalam keadaan proper buat difoto, apa lagi dikirim ke lo.”

Jevan bersungut kesal, laki-laki itu lalu menutup kedua telinga Sergio dan mengumpat pelan. “Bangsat lo,” katanya.

Tawa mereka pecah lagi, membuat si kecil Sergio kebingungan tidak mengerti. Sementara Kenari hanya mengamati semuanya. Ternyata benar, Jevan memang selalu bahagia dengan hal-hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan kawan-kawannya.

Sejak pagi, flat yang menjadi tempat tinggal Adzkiya selama di Australia telah terlihat begitu sibuk. Sepeninggal Lucia pergi ke Universitas untuk mengikuti kelas pagi, Adzkiya langsung membereskan beberapa sudut yang beberapa hari kemarin dia biarkan sedikit berantakan. Tidak lupa kamar tamu, yang sebelumnya menjadi kamar Sagara, juga Adzkiya bersihkan serta mengganti seprai dengan yang baru.

Uap mengepul di dapur saat jam menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Aroma gurih sup menguar memenuhi dapur. Mangkuk dan sendok serta garpu telah ditata rapi di atas meja. Hari ini, Adzkiya memutuskan akan menyajikan sup ayam panas sebagai makanan penyambut untuk Klarisa dan Jelena. Udara di luar cukup dingin, maka sup panas akan menjadi makanan paling cocok untuk mereka, terlebih setelah menempuh penerbangan yang cukup panjang.

Bunyi ketukan pada pintu terdengar tepat saat Adzkiya meletakkan semangkuk besar sup ke atas meja makan. Gadis itu lantas berlari kecil untuk menuju pintu depan. Pelukan hangat langsung Klarisa berikan saat tubuh Adzkiya melongok dari pintu yang terbuka kala menyambut mereka. “Finally I meet you, Kak!” ujarnya penuh semangat.

Adzkiya menyilakan Klarisa dan Jelena masuk, menunjukkan dimana kamar tamu agar mereka bisa meletakkan koper lalu membimbing keduanya ke meja makan. Mata dua gadis yang seusia dengan kekasih Adzkiya itu berkilat penuh semangat saat mata mereka menangkap semangkuk besar sup ayam yang kepul asapnya membumbung tinggi di ruang makan flat. Aromanya mampu membuat mulut berliur. Kedua gadis itu betul-betul seraya dihipnotis hingga lupa untuk duduk.

“Loh, kok berdiri aja? Ayo duduk, Ca, El. Kita makan siang sama-sama, laper kan pasti? Dingin banget lagi di luar.”

Siang itu, tiga wanita paling penting di hidup seorang Jevander Novanda itu makan bersama diselingi obrolan ringan. Klarisa sibuk menjelaskan kegundahan hatinya serta segala rasa bersalahnya terhadap Adzkiya yang dia simpan selama ini. Adzkiya menanggapai dengan sabar, juga melempar candaan beberapa kali untuk mencairkan aura kesedihan dalam suara Klarisa. Sementara Jelena sesekali ikut menanggapi, juga menggoda Klarisa. Mereka tampak akrab sekali. Tawa terdengar memenuhi ruang makan yang hangat. Mereka baru selesai makan saat sup di mangkuk besar telah tandas. Klarisa pamit untuk mandi, sementara si baik hati Jelena menawarkan diri untuk membantu Adzkiya membersihkan dapur. Jika ada Raechan disini, pasti laki-laki itu akan sibuk menggoda Jevan dengan berkata, wih masa lalu lo sama masa depan lo akur ya, Jev.

Seusai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Adzkiya dan Jelena duduk bersebelahan di ruang TV. Ada sepiring anggur hijau yang juga telah dicuci bersih sebagai pendamping mereka.

“Betah, Kak, disini?” Jelena memulai pembicaraan.

Adzkiya mengangguk samar lalu berkata, “Sejauh ini betah, seru kok disini. Cuma masih lebih enak di Ayu Laga.”

Nothing feels like home, ya, Kak.” Jelena tertawa lagi, untuk kesekian kalinya.

“Betul, hahahah.” Tawa Adzkiya berkawan dengan milik Jelena. “Disini juga kejauhan, Jevan gak bisa nyamperin tiap weekend.”

Adzkiya mengenang waktu-waktunya di Ayu Laga bersama Jevan. Tentang bagaimana Jevan merelakan waktu istirahatnya setiap Jumat untuk langsung pergi ke Ayu Laga demi menghabiskan waktunya bersama Adzkiya pada hari Sabtu dan Minggunya. Kini, tentu saja hal seperti itu tidak bisa dilakukannya lagi, jarak Jakarta dan Melbourne tidak memungkinkannya.

“Anak itu... Dia betul-betul mencintai Kak Adzkiya sebagaimana mestinya.”

Adzkiya menoleh pada Jelena, gurat wajahnya ramah dan tenang. “Dulu dia juga mencintai kamu sebaik-baiknya, Elen. Iya, kan?”

Jelena menyambut tatapan Adzkiya, ikut menoleh. “Iya, Kak.” Jelena merasa tidak perlu lagi sok mengelak. “Tapi gak sedalam ke Kak Adzkiya.”

“Kenapa bisa bilang begitu?”

“Waktu dulu, Jevan selalu merasa ada seseorang yang lebih pantas untuk aku, Kak. Dia gak percaya diri, dia ngerasa dirinya rusak sampai rela ngelepas aku buat orang lain yang dia anggap bakal lebih bisa mencintai aku. Dia gak ngerasa cukup baik untuk mencintai aku. Dia sibuk mencari orang lain yang baik, sampai lupa untuk memperbaiki dirinya sendiri.” Jelena mengenang. Adzkiya diam mendengarkan.

“Tapi waktu sama Kak Kiya, dia gak begitu. Dia gak mau ada orang lain yang ngambil Kak Kiya dari dia. Dia gak merasa ada orang lain yang lebih bisa bahagiain Kak Kiya dari pada dirinya sendiri. Karena itu, waktu sama Kak Kiya, Jevan berubah jadi versi terbaik dirinya sendiri. Dia berubah, dia memperbaiki diri, supaya bisa mencintai Kak Kiya sebaik-baiknya. Itu gak dia lakuin ke aku, Kak.” Sebelah tangan Jelena terulur untuk mengelus pelan punggung tangan Adzkiya yang berada di pangkuannya. Mata mereka masih saling bertaut.

“Jevan yang sama Kak Kiya sekarang adalah Jevan dengan versi terbaiknya, Kak. Tunggu Jevan, ya, anak itu lagi coba buat beresin semua masalahnya untuk bisa sama-sama sama Kak Kiya lagi.”

Rintik hujan mulai turun di luar flat. Butirannya menabrak jendela kaca yang buram karena cuaca dingin. Suara rintiknya terdengar syahdu membelai rungu dua gadis yang saling tatap dalam rasa syukur itu. Senyum mereka masih setia terlukis di wajah masing-masing.

“Jevan bener, El, kamu adalah perempuan paling baik setelah Mamanya. Aku bahkan gak merasa keberatan kalau di salah satu sudut hati Jevan masih ada kamu di dalamnya.”

“Kak,” Jelena menggeleng tegas, “Kakak sama Jevan itu sama. Dulu Kak Kiya juga melepaskan Kak Garend untuk bahagia sama Kak Vivian, kan? Apa dengan begitu Kak Kiya masih aja nyimpen Kak Garend di sudut hati Kak Kiya?”

Kali ini Adzkiya yang menggelengkan kepalanya.

“Nah, Jevan juga sama. Hati Jevan sekarang pasti udah penuh sama Kak Kiya. Kak Kiya harus tau kemarin dia sengerengek apa pengen ikut kesini lagi.”

Keharuan diusir telak oleh ledekan yang Jelena lontarkan. Mereka kembali tertawa bersamaan dengan Klarisa yang baru saja keluar dari kamar usai mandi. Gadis itu tampak sedang berbicara kepada seseorang melalui ponselnya.

“Nanti malem gue tidur sama Kak Kiya, wleeeee. Nanti gue pap deh kamar Kak Kiya kayak apa, lo pasti belum diizinin liat kamarnya, kan?”

Enak aja, udah ya, kalau liat doang mah boleh. Ikut tidur disana yang gak boleh.” Seseorang menimpali ucapan Klarisa dengan suara yang begitu Adzkiya kenali. “Lo jangan ngerepotin cewek gue ya, Ca, cewek gue tuh sibuk disana lagi belajar. Jangan malah lo bikin ngurusin lo mulu.”

“Iya, Tuan Muda Jevander Novanda. Lo ngomong itu mulu selama perjalanan nganter gue ke Bandara, gue sampe gumoh.”

Ya lo tuh kudu sering-sering diingetin soalnya. Inget ya, cewek gue pagi bangun jam 6, itu jadwal dia minum teh sama baca buku, abis itu dia bikin sarapan dan pergi buat kelas florist, pulangnya sore. Dia lebih suka makan malem di rumah, tapi kalau lo mau ajak makan malem juga gak papa, dia suka makan...”

“Heh Jevan.” Klarisa menyela keras. “Gue tuh lebih dulu kenal Kak Kiya dibanding lo ya. Waktu dulu sebelum lo tau Kak Kiya siapa, dia udah main sama gue duluan, udah tidur seranjang sama gue duluan, udah piknik sama gue duluan, yang tau Kak Kiya gak suka lemon tea juga gue duluan. Lo jangan lupa kalau Kak Adzkiya udah hampir menyandang nama keluarga gue. Nama dia tuh dulu hampir jadi Adzkiya Judith Adetama tau gak? Jadi lo gak usah sok ngajarin gue soal Kak Kiya deh, gue udah lebih dulu hafal.”

Adzkiya dan Jelena hanya terkekeh mendengar Klarisa yang menyalak kesal lengkap dengan sebelah tangannya yang diletakkan di pinggang, sementara tangannya yang lain mengarahkan layar ponsel ke wajahnya.

“Dari pada lo ngomelin gue lagi, mending sana lo cari cara gimana biar bisa bawa Kak Kiya pulang sebelum cewek lo kepincut cowok Australia. Cowok disini tuh cakep-cakep, gue sih khawatir ya posisi lo kegeser.”

Waaahhh mulutnya... Dasar Klarisa jelek!” Tanpa harus melihat layar, Adzkiya yakin sekali Jevan sedang bersungut-sungut di sebrang sana. Khas sekali dirinya jika sudah kalah dalam beragumen. Sisi bayi dalam diri Jevan akan muncul tanpa dia sadari.

“Biarin! Biar jelek-jelek begini gue mah gak insecure ke matan Jaenan. Gak kayak lo yang insecure sama kegantengan Kak Sagara! Jevan denger ya.... IH KOK MALAH DIMATIIN?”

Teriakan Klarisa menggema bersamaan dengan getaran pada ponsel Adzkiya. Sebuah pesan masuk, dari Jevander, berisi Sayang, aku diledekin terus sama Ica. Usir aja deh dia dari flat kamu, ngeselin.

Desember.

Aku ingat bulan desember tiga tahun lalu. Kedua kakiku begitu dekat dengan perapian guna meraup hangat sebanyak-banyaknya. Ruas-ruas jariku keriput, pertanda terlalu banyak bermain air. Bibirku pucat kebiruan meski telah diolesi pewarna bibir yang kubeli siang tadi. Tubuhku dibalut sweater bulu berwarna biru tua sedang kakiku diselimuti kain hangat, yang dirajut sendiri oleh ibuku saat wanita yang mewariskan kecantikannya padaku itu tengah hamil muda. Mataku melirik ke arah dapur, mendapati seorang pria yang masih saja tak mau mengenakan barang selembar kain untuk menutupi bagian tubuh atasnya. Dibiarkannya saja, angin malam bulan desember itu membelai-belai dada kekarnya yang terbentuk alami. Aku sudah mengingatkannya tadi, pakai kausmu kataku pelan sembari membelai dadanya dengan tanganku yang gemetar menahan dingin. Tapi pria dengan rupa baik itu hanya menggeleng seraya menangkup sebelah tanganku. Ada kamu yang menghangatkanku lebih baik dari pada kaus itu, Sachi, ujarnya dengan suara dalam.

Aku lantas berlalu dari dapur lalu duduk di dekat perapian dan memandanginya seperti sekarang ini. Membiarkannya sibuk dengan apapun yang tengah dia kerjakan. Itu bulan Desember tiga tahun lalu. Saat aku masih bisa memanggilnya sebagai kekasihku. Hari ini, dia, Ranu Saban, bukan lagi wilayah teritorialku. Meskipun kami sedang duduk bersebelahan di dalam mobilku, di depan sebuah toko bunga bernama Kiya Florist.

Aku datang ke toko bunga ini setahun lalu, sama, juga di bulan Desember. Dalam sebuah upaya pelarian. Dimana seorang kawanku memberiku masukan untuk pergi ke sebuah kota kecil di pinggiran Ibu Kota. Ayu Laga namanya. Kota kecil itu dipayungi puluhan pohon tua, dijaga oleh perbukitan di tiap sudutnya serta diharumkan oleh berbagai jenis tanaman bunga yang ditanam berdampingan dengan kebun teh ratusan hektar. Warganya ramah sekali. Masuk ke kota kecil ini layaknya dipeluk oleh kawan lama hingga betah berlama-lama.

Kiya Florist yang letaknya tepat di pojok perempatan jalan utama sebelum masuk ke gerbang Ayu Laga menjadi hal paling mencolok yang menarik perhatianku. Di antara deretan cafe dan toko kue dengan berbagai konsep, toko bunga itu berdiri dengan kokoh namun meletupkan aura kewanitaan yang merayuku untuk masuk. Seorang gadis cantik dalam balutan gaun putih menyapaku dengan ramah, menanyakan unga jenis apa yang ingin aku jemput. Berawal dari sana, kami menjadi teman selama sisa hariku di Ayu Laga. Kami bercerita banyak hal, suka dan duka. Ceritanya begitu membekas di benakku hingga aku selalu mampu mengisi puluhan lembar di layar gawaiku dengan cerita miliknya. Hingga akhirnya berlembar-lembar kata itu bergandengan menjadi satu buku yang utuh. Yang dengan izinnya, aku kirimkan kepada sebuah penerbit di Ibu Kota dan berakhir nangkring di rak best seller hampir di seluruh toko buku di negara ini.

Bittersweet

Judul yang kami sepakati sama-sama.

“Kita disini aja?”

Suara itu memecah ingatanku, menarikku kembali pada keadaanku setahun selepas hari itu.

“Sebentar ya, saya selalu suka melihat Kak Kiya sibuk dengan bunga-bunganya. Dia kelihatan anggun sekali.”

Matanya, maksudku mata Ranu ikut ke arah mana aku menatap. Mengunci segala pergerakan Kak Adzkiya yang keibuan itu. Yang nampak memperlakukan bunga-bunga yang dirangkainya laiknya merawat seorang bayi. Begitu tenang dan hati-hati.

“Apa tokoh Nadeline di buku Bittersweet sepenuhnya gambaran Adzkiya?”

Aku mengangguk samar. Berharap Ranu menangkapnya. “Sepenuhnya yang saya tau. Karena saya yakin sekali masih banyak sisi darinya yang belum dia tampakkan ke permukaan.”

“Lalu, karakter Aaron Harold juga seratus persen sama dengan laki-laki yang meninggalkan Adzkiya di dunia nyata?”

“Ya, seratus persen sama. Jahatnya, baiknya, kebingungannya, semuanya sama. Saya bahkan menemui langsung Aaron Harold yang asli. Mencari tahu kisah mereka dari sudut pandang tokoh laki-laki,” jawabku mantap. Tanpa menatapnya.

Angin berhembus melalui jendela mobil yang kami buka. Membawa udara basah seolah mengabarkan bahwa bumi indah ini akan diguyur lagi oleh airnya. Nampaknya Desember sedang menunjukkan dirinya sebagai bulan yang membawa musim hujan ke bumi. Menuju pukul empat sore pada bulan Desember ini, keriuhan jalanan utama Ayu Laga mulai mereda. Penduduknya mulai mencari kehangatan di rumah mereka masing-masing, baik mendekat pada perapian ataupun dalam rengkuhan orang tersayang. Dan aku bersama Ranu Saban masih duduk di dalam mobilku.

“Kamu selalu mendengarkan orang lain, tapi kamu tidak pernah memberi saya waktu menjelaskan kesalah fahaman di antara kita.” Ucapan Ranu menusuk relungku begitu saja. Protesannya kental sekali.

“Kesalah fahaman macam apa yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri?” balasku berusaha tak mau terintimidasi olehnya.

Kuingat lagi kejadian malam itu, malam dimana Ranu pertama kali pulang ke Indonesia setelah menempuh program paska sarjananya di Jepang. Malam itu dia bersama keluarganya mengadakan pesta perayaan kelulusan. Aku datang terburu-buru setelah absen menjemputnya di bandara pada pagi harinya— karena harus mengikuti seminar yang sama sekali tidak bisa kutinggalkan. Mobilku masuk ke area parkirnya dengan sama terburu-burunya, aku betul-betul tidak ingin mengecewakan laki-laki yang telah kukencani selama tiga tahun itu. Naas, ketika aku keluar dari mobilku, mataku justru menangkap adegan yang menyebalkan. Ranu, berada di balkon lantai dua rumahnya, tengah merengkuh seorang wanita asing yang belum pernah kulihat. Meninggalkan pesta yang justru diadakan di lantai dasar kediamannya.

“Kamu hanya melihat saya memeluk gadis itu, tapi kamu tidak pernah mau mendengar penyebabnya, Sachi.”

“Apa ada alasan yang pantas untuk perlakuan kamu itu, Ranu?” Aku menolehkan wajah, menatapnya yang ternyata sudah dulu menatap aku dari tempatnya duduk.

Waktu seakan berhenti berdetak. Mata kami terkunci pada sosok satu sama lain. Laki-laki yang gemar mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam itu tampak menahan sesuatu yang telah lama dia pendam.

“Ada,” ujarnya pelan. “Memeluknya untuk mengabulkan permintaan terakhirnya setelah saya menolak pernyataan cintanya.”

Manik mataku goyah. Aku berusaha menatap ke arah lain namun tangannya yang kekar menyentuh sisi wajahku yang dingin.

“Namanya Haruka, teman saya selama program paska sarjana. Dia ikut saya ke Jakarta karena dia bilang dia ingin berlibur. Tapi malam itu, dia malah menyatakan perasaannya pada saya. Saya tolak dia, saya bilang saya sudah punya kamu. Dia menangis, dia minta saya peluk dia untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu dia ingin bertemu kamu, meminta maaf, tapi malam itu kamu malah menghilang.”

“Saya....”

Sometimes, even salt looks like sugar, sweetheart. Seharusnya kamu dengar saya. Dengar penjelasan saya.” Aku merasakan usapan lembut yang jari-jemari Ranu berikan pada sisi wajahku yang menghangat karena sentuhannya. “Tapi gak papa, sekarang kamu sudah tau yang sebenarnya. Ini lebih dari cukup untuk saya.”

“Sachi...”

Suara lembut menginterupsi tatapanku dan Ranu. Wajahku bergerak ke arah suara itu berasal, meninggalkan tangan Ranu yang mengambang di udara.

“Kak Kiya.” Aku melihat sosoknya berdiri di depan mobilku, masih lengkap dengan apron coklat yang membungkus tubuh rampingnya.

“Kok di dalem mobil aja? Sini, Sayang, masuk ke florist. Kamu sama siapa?”

Aku mengabaikan pertanyaan itu dan beralih pada Ranu yang masih setia menatapku bahkan ketika ada gadis cantika lain di sekitarnya. “Kita turun ya,” ujarku padanya seraya membuka pintu mobil.

“Dan ingat, panggil dia Kak Adzkiya. Dengan kak, bukan hanya Adzkiya. Kak Kiya menghirup udara dua tahun lebih dulu dari pada kita.”

Ranu terkekeh lagi dan membalas ucapanku dengan suara dalam, “Dasar penulis, untuk bilang dia lebih tua dua tahun saja harus sepuitis itu.”

Aku mengabaikan racauan Ranu dan menghambur dalam dekap Kak Adzkiya yang hangat. Sehangat Ayu Laga dalam menyambut siapapun.