Melbourne Park
Australia, sebuah negara yang letaknya ribuan kilometer dari Ayu Laga. Membutuhkan lebih dari enam jam penerbangan untuk tiba disini. Memilik ambience yang mirip dengan Ayu Laga di beberapa wilayahnya, sementara wilayah yang lain adalah bentuk yang lebih baik dari Jakarta. Selama beberapa hari di sini, Adzkiya cukup menikmati segala hal yang wilayah ini tawarkan. Keberadaan Lucia dan Sagara juga membatunya untuk sedikit demi sedikit menata hidupnya di sini.
Hari ini, Lucia disibukkan dengan pengurusan berkas-berkas untuk program masternya. Gadis itu telah meninggalkan flat yang mereka sewa sejak pukul sembilan pagi. Sementara si tampan Sagara baru menggeliat di kasurnya saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Lantas pria itu buru-buru mandi dan memakan sehelai roti tawar yang diolesi selai cokelat. Setelahnya, dia terburu-buru dia mengajak Adzkiya mengelilingi Melbourne. Tujuan pertama mereka adalah Royal Botanic Gardens. Sagara hendak mengambil beberapa foto dengan tema alam yang akan dia pajang di dinding cafenya kelak. Mereka berdua menyusuri jalan setapak yang dikelilingi rerumputan hijau. Sagara sibuk mencari objek untuk diabadaikan melalui lensanya sementara Adzkiya mengabadikan semuanya melalui manik mata coklat miliknya.
Butuh waktu sekitar satu jam sampai Sagara merasa puas. Lantas laki-laki itu mengajak Adzkiya untuk duduk di pinggir danau beralaskan sehelai kain putih yang dia bawa dari flat. Mereka berdua duduk bersebelahan, menatap tenangnya air danau yang memantulkan kembali cahaya matahari. Siang itu matahari cukup terik, tapi cuaca hari ini cukup dingin. Adzkiya menarik rapat cardigan yang dia kenakan untuk menghalau udara dingin.
“Jevan udah kontak lo lagi, Ki?”
Pertanyaan sama yang dilayangkan oleh dua orang berbeda. Pagi tadi, Lucia telah menanyakan hal yang sama.
“Belum, atau mungkin dia gak akan pernah hubungin gue lagi.”
Sagara meletakkan kameranya ke dalam tas kemudian berucap pelan. “Lo capek gak nunggu Jevan?”
Adzkiya menggeleng. “Gue pernah bertahun-tahun nunggu keluarga yang mau adopsi gue dari panti asuhan, gue pernah nunggu lo berbulan-bulan buat sadar, gue pernah nunggu Garend selama dua tahun sampai dia kembali ke Ayu Laga. Ini bukan pertama kali gue menunggu sesuatu, Ga.”
Senyum getir menghiasi wajah gadis itu kala ia mengenang masa lalunya. “Sayangnya, semua hal yang gue tunggu itu gak menghasilkan sesuatu yang baik.”
“Dan lo berharap kali ini hasilnya akan baik?”
Ada hening yang panjang saat pertanyaan itu terlontar dari bibir Sagara. Adzkiya tidak kunjung memberi jawaban dan hanya membiarkan danau tenang di depan sana merampas fokusnya.
Sebetulnya, Adzkiya juga heran kenapa Tuhan selalu menyuruhnya untuk menunggu dan bersabar. Dalam hal apapun. Seolah tidak cukup waktu yang telah dia buang cuma-cuma selama ini. Selalu saja, selalu saja ada sesuatu yang harus Adzkiya tunggu.
“Ki?” Sagara menyenggol pelan lengan Adzkiya dengan sikunya.
“Hm?” Adzkiya terkesiap, memanggil kembali kesadarannya yang sempat hilang. “Ya... kalau itu gak terdengar serakah, gue berharap penantian gue kali ini kasih akhir yang bahagia.”
“Jevan spesial ya, Ki?” tanya Sagara lagi.
Ada gelengan samar yang Adzkiya berikan tanpa mampu ditangkap Sagara. “Gak ada yang spesial dari dia, Ga. Dan gak ada juga perlakuan spesial yang gue kasih ke dia. Selama ini, setiap kali ada di suatu hubungan, gue selalu berusaha memberikan diri gue yang seutuhnya untuk pasangan gue itu. Ke lo, ke Garend, termasuk ke Jevan, gue selalu berlaku sama. Dengan harapan, pasangan gue juga bisa memberikan seutuhnya diri mereka ke gue. Dan Jevan....”
Sagara menolehkan wajah untuk menatap Adzkiya yang sempat ragu-ragu menlanjutkan ucapanya. Dielusnya bahu sahabat yang pernah menjadi kekasihnya itu.
“Jevan kenapa?”
“Jevan memberi lebih dari yang gue harapkan. Gue cuma berharap dia bisa memberi gue seutuhnya dia, tapi dia memberi gue lebih dari itu. Jevan... dia selalu nemuin gue ke Ayu Laga setiap weekend padahal lo tau jarak dari Jakarta ke Ayu Laga sejauh apa. He was such a player back then but when he is with me, he is just a soft boy who respect all the boundaries that I set for him. Anak itu, anak itu baru 23 tahun waktu dateng ke gue dengan muka lusuhnya karena perempuan yang dia cintai memilih orang lain yang adalah sahabatnya sendiri. Waktu itu, gue seperti melihat diri gue sendiri waktu Garend lebih memilih Vivian. Dan entah gimana, kita justru jadi dua orang yang saling menyembuhkan dari luka yang sama.”
Elusan pada bahu Adzkiya berhenti. Sagara menyentuh kedua bahu Adzkiya dan membuat gadis itu berhadapan dengannya.
“Dan lo berharap kalian gak akan mengulang luka yang sama gitu, ya? Karena sakit ya, Ki, ngebayangin masa depan yang gak ada Jevannya? Sakit ya, Ki, ngerasain luka baru dari orang yang dulu pernah buat lo sembuh?”
Adzkiya tidak menjawab. Cahaya yang dipancarkan matanya meredup dan genangan air menumpuk di pelupuk matanya. Adzkiya menggigit bibirnya kuat-kuat.
“Gue cuma pengen bisa ngejalanin hubungan yang selayaknya sama Jevan, Ga. Is that something too big to ask?“
Sagara menggeleng, dihalaunya air mata yang sudah membasahi pipi Adzkiya. “Lo perempuan paling baik dan sabar yang pernah gue temuin. You deserve all the love in this world, Ki. Tunggu sebentar lagi ya, sabar sebentar lagi, mungkin Jevan sekarang juga lagi berusaha untuk menemukan diri lo di dirinya lagi. Kita tunggu sama-sama, ya?”
Siang itu, di bawah langit Kota Melbourne Adzkiya menumpahkan tangisnya dalam pelukan Sagara.