Wrong Schedule
Hoodie abu-abu di tanganku tergelincir ke lantai saat kedua tanganku yang selalu dipuji kekar ini, tidak lagi mampu menopangnya. Hoodie abu-abu yang pernah memeluk erat tubuh gadis yang begitu aku cintai itu teronggok di lantai seperti barang sisa yang tidak ada nilainya. Terabaikan olehku yang masih sibuk mencari-cari dimana letak surat yang katanya dikirimkan bersamaan dengan benda itu. Mataku melongok lebih dalam ke dasar kotak paket, tapi tidak kutemukan apapun lagi di sana. Kuambil kembali hoodie abu-abu tuaku, merogoh sakunya dengan harapan bisa menemukan surat dari gadis kecintaanku di sana. Dan benar saja, sepucuk surat yang dutulis di atas kertas berwarna putih itu terlipat rapi di dalam saku.
Buru-buru aku membuka lipatan surat. Mataku bergulir dari atas ke bawah membaca bait kata yang dirangkai dan ditulis oleh tangan gadis yang aku rindukan sentuhannya itu.
Saya kembalikan hoodie kamu. Maaf sempat mencurinya tanpa izin.
Saya pamit ya, Jevander. Saya akan berangkat ke Australia lusa. Semoga kamu selalu bahagia.
Ps. Kunci rumah saya selalu berada di tempat yang sama kalau-kalau kamu tergoda untuk datang.
Aku membolak-balik surat itu berharap menemukan kalimat lain. Namun sayang, nihil, pesan yang Adzkiya sampaikan melalui suratnya hanyalah itu. Sebuah pesan singkat yang memberitahukan mengenai keberangkatannya ke Australia. Sebuah pesan yang aku sudah tahu. Aku butuh lebih dari ini, Adzkiya. Aku butuh surat yang menyatakan betapa kamu masih menunggu aku.
Adzkiya, apakah kamu sudah tidak menunggu kehadiranku lagi? Tidak kah kamu bertanya-tanya tentang aku yang lepas kendali mengatakan bahwa kamu tidak menyukai lemon tea? Tidak kah kamu ingin tahu itu hanya ingatan acakku atau justru aku memang tidak pernah melupakanmu? Adzkiya, haruskah kamu pergi sejauh dan selama ini?
Masih lekat di ingatanku betapa kamu mencoba membuat aku ingat melalui pesan-pesan yang kamu kirimkan ke whatsappku hingga aku harus meminta Klarisa menyuruhmu untuk berhenti melakukannya. Dimana Adzkiyaku yang itu? Apakah kamu benar-benar sudah lelah dengan sandiwara ini? Apakah akhirnya kamu menyerah melawan arus dan memilih untuk terbawa arus air saja? Apakah aku sekejam itu kepadamu sampai aku akhirnya mengambil keputusan sebesar ini, Adzkiya?
Kepalaku berdenyut hingga aku harus memijatnya beberapa kali. Di dalam kepalaku yang sedang berdenyut ini, bisa kudengar otakku berisik sekali. Sebagain dari otakku memerintahkan tubuhku untuk segera berangkat ke Ayu Laga dan menemuimu. Memohon agar kamu tinggal. Lalu sebagian diriku yang lain menahan tubuhku untuk tetap bersandar pada sofa dan memberi alasan bahwa mungkin memang sebaiknya kamu pergi saja. Australia akan jauh lebih aman untukmu dari ada Ayu Laga. Papa tidak akan lagi datang mengganggu kamu. Kamu bisa hidup tenang di sana melalui hari-harimu bersama harumnya bunga.
Tapi...
Sayup-sayup dari kejauhan, kata-kata Om Tama berbisik pelan ke indra dengarku.
Penyesalan adalah neraka dunia, Jevander. Jangan lagi kamu hidup di dalamnya.
Otakku memutar acak memori saat aku tersungkur memeluk makam ibuku sambil meraung kala gadis yang dulu aku cintai akan menjadi milik orang lain. Diingatkannya lagi aku betapa sakitnya berada di situasi itu. Rasanya duniaku luruh, tubuhku terasa seperti seonggok raga tanpa nyawa.
Aku tidak lagi mau ada di sana. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus menemui Adzkiya.
**
Tujuan pertamaku adalah Kiya Florist yang terletak di tepi jalan besar utama Ayu Laga. Setibanya aku di sana, toko itu telah dikelilingi kain berwarna hitam yang menutupi jendela kaca besar, tempat biasa aku memandangi Adzkiya dari luar. Di dekat pintu masuk, tergatung sebuah tag yang menjelaskan bahwa Kiya Florist akan tutup sementara waktu. Sepertinya Adzkiya menutup toko kesayangannya ini lebih cepat dari keberangkatannya agar memiliki waktu untuk bersiap-siap.
Lantas aku menaiki mobilku lagi, mengarahkannya melewati jalan berbatu di antara puluhan hektar kebuh teh untuk sampai ke rumah Adzkiya. Dari luar, hunian itu tampak lengang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Lampu taman bahkan masih menyala pada pukul empat sore begini. Sebentar...
Jangan bilang....
Buru-buru aku melangkah mendekat pada taman kecil di sisi kiri rumah Adzkiya. Memiringkannya untuk mengambil kunci rumah yang selalu Adzkiya letakkan di sana. Kubuka pintu rumah, saat aku masuk, aku disambut lengang, tenang, kosong. Perabotan di rumah ini seluruhnya ditutupi kain hitam. Hanya ada sedikiy cahaya yang masuk melalui gorden jendela yang tersibak.
Tunggu, bukankah gadis kesayanganku itu baru akan berangkat lusa? Kenapa keadaan rumahnya seperti sudah ditinggalkan macam begini? Aku sudah hendak membuat panggilan ke nomor Adzkiya saat mataku tanpa sengaja memandang ke arah lemari kaca di dekat pintu kamar Adzkiya. Aku melihat sebuah album foto yang begitu familiar. Album foto itu, album foto yang aku berikan pada Adzkiya saat hari valentine yang lalu.
Tanganku gemetar kala aku mengambil album foto itu dari rak. Kuusap sampulnya yang menampilkan lukisanku yang seadanya. Aku memilih untuk duduk di sebelah rak kaca. Beralas lantai dingin dan bersandar pada tembok. Di halaman pertama, aku menemukan sepucuk surat dengan warna kertas yang sama dengan yang Adzkiya tinggalkan di hoodieku.
Hai,
if you find this letter after you got your hoodie back, that means I'm already on my flight. Saya sengaja memberi tahu jadwal keberangkatan yang salah pada Laras dan kawan-kawanmu.
Saya berangkat pukul sepuluh pagi tadi, Jevander. Mungkin tepat saat kamu membaca surat saya yang saya letakkan di dalam kantung hoodie. Bukan lusa seperti yang saya bilang. Saya hanya ingin tahu saja bagaimana reaksi kamu atas hal ini.
Ngomong-ngomong, saya tidak tahu juga harus berekasi seperti apa jika kamu membaca surat ini. Karena jika kamu membaca surat ini, artinya kamu berhasil masuk ke rumah saya. Itu artinya kamu tahu dimana tempat saya biasa meletakkan kunci. Itu artinya kamu tidak lupa pada saya, Jevander. Karena dalam surat yang saya kirimkan bersamaan dengan hoodie kamu, saya hanya mengatakan bahwa kunci rumah saya berada di tempat yang biasanya, tanpa memberi tahu dimana letak spesifiknya.
Saya tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika akhirnya saya tahu bahwa kamu pura-pura lupa pada saya. Saya tidak tahu apakah saya harus merasa marah karena kamu membohongi saya atau justru merasa bersyukur dan berterimakasih karena kamu melakukan ini untuk saya. Karena itu saya memutuskan untuk memalsukan hari keberangkatan saya agar saya tidak bertemu kamu sebelum keberangkatan saya.
Jevan, jika sekalipun benar kamu memobohongi saya demi kebaikan saya. Tolong sudahi. Tolong jangan lagi. Jika kamu rasa kamu melakukan ini agar saya aman dan tenang, maaf, saya harus katakan pada kamu bahwa kamu salah. Saya tidak merasa aman. Saya tidak merasa tenang. Because my life without you is scarier, Jevander.
Tapi jika kamu memang mau seperti ini saja, mungkin saya akan belajar menerima.
Maka itu, saya kembalikan semuanya pada kamu. Kamu tahu kemana saya akan tinggal di Australia, karena saya pernah menceritakan seluruh detailnya pada kamu. Kamu tahu dimana akan menemukan saya. Tapi jika kamu memutuskan untuk tidak datang, maka saya anggap mungkin ini sebenar-benarnya akhir dari “kita”.
P.S. Saya sengaja meninggalkan album foto ini untuk kamu. Kamu memberikan album foto ini agar saya bisa mengingat kembali kebersamaan kita dulu. Tapi saya rasa, sekarang justru kamu yang butuh album foto ini, Jevander. Sepertinya kamu yang butuh diingatkan seberapa berartinya hubungan kita dulu. Maka silakan dilihat-lihat, barangkali kamu makin ingat.
Salam,
Adzkiya
Aku meremat kertas surat itu. Entah karena marah, entah karena kecewa, entah karena merasa bodoh atau entah karena apa. Rasanya baru kemarin Adzkiya mengatakan bahwa dia akan berangkat minggu depan dan baru saja dia katakan pada Laras bahwa dia akan berangkat lusa. Lalu apa sekarang? Dia bilang bahwa mungkin saja sekarang dia telah ada di dalam penerbangannya. Itu artinya, saat paket tadi datang, saat dia berkirim pesan dengan Laras, dia telah berada di Bandara?
Lelucon macam apa ini?
Telingaku berdengung. Pundakku merunduk. Kepalaku makin bising.
Baru saja ingin aku fikirkan apa yang harus aku lakukan sebelum keberangkatan Adzkiya tapi nyatanya waktuku lagi-lagi sudah habis. Aku harus apa sekarang? Menyusul Adzkiya? Ya, sepertinya harus begitu. Sesuai yang dia bilang, aku tahu benar kemana dia akan pergi. Maka tidak akan sulit bagiku untuk menemukannya.
Aku lantas mengeluarkan ponsel dari sakuku, mencari jadwal penerbangan dari Jakarta menuju Melbourne. Memilih salah satu penerbangan yang aku anggap memiliki waktu terbaik dan segera mengisi data diri untuk proses pemesana, namun saat itu lah sebuah panggilan masuk dari Laras aku terima.
“Halo, Ras?”
Suara Laras menjawabku dengan lirih dari sebrang sana. “Pak Alex mengirim orang suruhannya untuk menyusul Bapak ke Ayu Laga, hati-hati, Pak.“
Oke, tidak akan semudah itu bagiku untuk menyusul Adzkiya ke Australia.