Van

Bulan Maret di Melbourne terasa sama seperti hari-hari biasa di Ayu Laga. Suhu tertingginya hanya mencapai 20 derajat sedangkan suhu terendahnya bisa sampai 10 derajat. Tidak membutuhkan pakaian tebal seperti padding jacket, cukup pakaian hangat yang dapat menghalau hawa dingin merasuki badan. Seperti sweater, hoodie, leather jacket, dan coat. Hari ini, Adzkiya memilih coat berwarna beige untuk melapisi kemeja putih yang dia padukan dengan jeans berwarna deep blue. Sepatu kets putih dan sling bag hitam melengkapi penampilannya.

Adzkiya melirik jam tangan yang melingkar di lengannya, pukul lima sore. Pagi tadi pesawat Jevan take off pada pukul tujuh, jika diakumulasi, waktu penerbangan dan transitnya adalah sepuluh jam, maka seharusnya sebentar lagi laki-laki yang ditunggu Adzkiya itu akan tiba di Bandara Melbourne. Gadis itu kembali menyibukkan diri dengan kelas yang sedang dia ikuti, guna membunuh waktu. Toh, masih butuh waktu bagi Jevan untuk tiba ke daerah tempat Adzkiya tinggal, bagian timur Victoria.

Kelas Adzkiya hari ini selesai pukul enam sore waktu setempat, usai membereskan barang bawaan serta bunga yang baru saja dia rangkai, gadis itu keluar dari gedung Floral Art School Australia dan menyusuri jalur pedestrian. Pandangannya menunduk, menghitung tiap langkah yang dia ambil. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas...

Hitungannya terhenti. Sepatu sport dengan merk Adidas berwarna hitam menghentikan langkah kaki Adzkiya. Aroma parfum yang begitu Adzkiya kenali langsung memenuhi indra penciumannya. Adzkiya belum berani mendongak, matanya masih tertaut pada sepatu hitam yang menahan langkahnya.

“Sepatu aku lebih menarik ya dari pada muka aku?”

Suara ini...

Suara yang sudah Adzkiya tunggu...

“Aku gak nyangka ternyata aku beneran gak dapet welcoming hug.”

Protesan ini...

Protesan khas Jevander Novanda.

Perlahan, Adzkiya menggerekkan kepalanya. Ditangkapnya pemandangan mulai dari skinny jeans hitam yang dipadukan dengan kaus putih dengan gambar kucing di bagian depan. Adzkiya juga menyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini menenteng hoodie berwarna abu-abu tua di tangan kanananya. Gadis itu menikmati waktu yang dia habiskan sampai akhirnya wajah tampan Jevan bisa dia tangkap dengan kornea matanya.

Wajah tampan itu...

Wajah yang Adzkiya begitu ingin lihat selama berbulan-bulan ini.

“Halo, Adzkiya. Aku disini loh?????” Jevan menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Adzkiya karena gadis itu hanya memandanginya sejak tadi.

“Kamu beneran kesini ternyata,” ucap Adzkiya pelan lalu kembali bejalan.

Di tiap langkah yang Adzkiya ambil, gadis itu berusaha menghapus keinginannya untuk langsung memeluk Jevan. Di kepalanya, Adzkiya terus mengulang peringatan dari Sagara dan Lucia untuk tidak langsung luluh dengan kehadiran Jevan yang nyata seperti ini. Adzkiya harus mencari distraksi, dia tidak boleh terlalu lama menatap mata Jevan karena yang timbul dari kegiatan itu hanyalah dirinya yang kembali menggila akan seorang Jevander Novanda.

“Gak dapet pelukan aja udah cukup buruk, sekarang kamu malah ninggalin aku gitu aja, Adzkiya Judith Hartoni?” Suara Jevan terdengar samar-samar karena laki-laki itu sudah tertinggal di belakang.

Jarak mereka semakin jauh, lantas Jevan mengambil langkah lebar untuk menyusul Adzkiya. Ditariknya siku gadis itu pelan. “Aku gak bisa ya diginiin, ikut aku.”

Jevan menyelipkan jari-jemarinya di antara milik Adzkiya lalu mengenggamnya dengan lembut. Dibimbingnya gadis itu melalui jalur pedestrian sampai mereka tiba di sebuah hotel mewah yang jaraknya tidak begitu jauh.

“Sekarang boleh aku bicara?” Jevan duduk menumpu di salah satu lututnya dan berhadapan dengan Adzkiya yang duduk di sofa. “Aku bakal jelasin semuanya sama kamu sebelum meminta maaf dengan benar. Boleh, ya?”

Adzkiya mengangguk. Sikap Jevan membuatnya lupa dengan peringatan kedua sahabatnya. Laki-laki itu lantas mencium kedua tangannya lembut sebelum akhirnya menjelaskan segalanya dengan rinci. Jevan menceritakan alasannya pura-pura lupa akan Adzkiya. Jevan menceritakan bagaimana kawan-kawannya tidak setuju dengan idenya itu tapi dia tetap memaksa demi kebaikan Adzkiya. Jevan menceritakan bagaimana dia menangis di pelukan si kecil Sergio karena merasa begitu merindui Adzkiya. Jevan menceritakan tentang dia yang ingin langsung terbang ke Australia setelah membaca surat yang Adzkiya tinggalkan namun terhalang karena papanya menyuruh bawahannya untuk pergi ke Ayu Laga membuntutinya. Jevan menceritakan kalau setelah mendengar kabar dari laras itu, dia langsung pergi ke rumah Garend agar papanya tahu bahwa tujuan dia ke Ayu Laga adalah mengunjungi Garend. Jevan juga menceritakan bagaimana akhirnya dia bisa berada disini, lengkap dengan cerita tentang Kenari.

“Jadi tolong, jangan cuekin aku lagi. Aku minta maaf.”

Jevan mengeluarkan jurus andalannya. Wajahnya dia buat sememelas mungkin, bibirnya mengerucut gemas, kedua tangannya masih setia mengenggam jari-jemari Adzkiya. “Aku bahkan tadi di pesawat gak tidur sama sekali, aku kepikiran kamu.”

“Sini.” Adzkiya menghela Jevan untuk duduk di sofa bersamanya. “Kamu beneran udah sadar sekarang kalau apa yang kamu lakuin kemarin tuh salah dan nyakitin aku banget?”

Jevan mengangguk dengan semangat lalu berkata, “Aku sadar, Ki, aku nyakitin kamu banget. Temen-temen aku juga tiap hari marahin aku dan suruh aku balik ke kamu. Rasanya aku hampir gak bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai kamu kenapa-kenapa karena aku yang pengecut ini malah lari dari masalah kita.”

Adzkiya melepaskan sebelah tangannya dari genggaman Jevan. Dielusnya sebelah pipi Jevan dengan lembut. “Aku udah maafin kamu, tapi kalau sekali lagi kamu pergi dari aku, aku beneran gak akan nungguin kamu lagi ya, Van.”

Elusan Adzkiya membuat Jevan memejamkan mata. Elusan ini akhirnya laki-laki itu rasakan kembali. Jevan begitu menikmatinya.

“Aku gak akan kemana-kemana lagi.” Hari ini, Jevan tidak hanya berjanji pada gadis cantik di sampingnya. Hari ini, Jevan juga berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah lagi pergi dari sisi Adzkiya. Sudah cukup lima bulan kemarin dia terjerembab pada lubang kerinduan yang menjijikkan. Dia tidak ingin lagi berada di sana. Dia ingin bersama Adzkiya, selamanya.

“Kenari dimana sekarang?” tanya Adzkiya.

“Jalan-jalan mungkin, aku gak tau.”

“Van, kamu kesini sama dia. Kita bisa ketemu atas bantuan dia. Mau gimana juga, itu artinya kamu punya tanggung jawab atas dia. Gih telfon, tanya dia ada dimana. Pastiin dia baik-baik aja.”

Jevan menggeleng. “Let's talk only about us. Aku kesini buat kamu, buat jelasin semuanya dan minta maaf sama kamu.”

You already did.”

Let's move to another step, then.” Jevan menghela Adzkiya untuk duduk di pangkuannya lantas melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Adzkiya. “I do really miss you, Ki. So bad.”

Setelahnya, yang terdengar dalam kamar hotel kelas atas itu hanyalah suara dua bibir yang beradu. Menciptakan irama merdu bagi keduanya. Gelombang cinta dan gelenyar panas mereka salurkan melalui elusan pada figur masing-masing. Selang beberapa menit, bibir Jevan berpindah ke leher Adzkiya. Posisi Adzkiya yang berada di pangkuannya memberi Jevan keuntungan karena leher gadis itu lebih mudah terjangkau olehnya. Tangan Jevan juga sudah menanggalkan coat yang dikenakan Adzkiya, menyisakan kemeja putihnya saja. Kemeja yang menurut Jevan sangat menganggu— karena harus membuka kancingnya satu-persatu. Sayang, saat jemarinya hendak meraih kancing pertama, sebuah panggilan masuk ke ponselnya yang berada di saku celana. Getaran karena panggilan itu mengangetkan Adzkiya dan membuatnya langsung menarik diri.

“Biarin aja,” ujar Jevan seraya mengambil ponsel itu dari saku dan melemparkannya asal. Persetan dengan siapapun nama yang muncul sebagai penelepon, Jevan sungguh tidak perduli. Yang diperlukannya hanyalah dia ingin cepat-cepat menanggalkan kemeja putih Adzkiya karena hari ini untuk pertama kalinya Adzkiya memberinya izin bertindak lebih jauh dari sekedar ciuman di bibir.

Namun berbeda dengan gadis itu, matanya tertaut pada layar ponsel dan mendapati nama si penelepon adalah....

Kenari Ruth Elega.

Gadis yang berjasa dalam hidupnya karena telah membawa Jevan ke dalam pelukannya seperti ini.

“Angkat dulu, Van,” pinta Adzkiya pelan.

“Gak usah lah, biarin aja.”

“Angkat, siapa tau penting.”

Jevan mengacak rambutnya frustasi. Diambilnya ponselnya dengan malas dan langsung menyentuh layar untuk menerima panggilan dari Kenari itu.

“Halo?”

Van, saya nyusul kesana, ya? Kita lupa foto berdua, nanti papa kamu curiga lagi.”

Dalam posisi ini, Adzkiya bisa mendengar suara ramah gadis di sebrang sana meskipun Jevan tidak menyalakan speaker mode.

Boleh gak, Van? Kok kamu diem aja? Halo, Van?

Van...

Bukan Jev.