Sergio dan Omnya.

Sebuah mobil Honda Civic Type R berwarna putih memasuki area parkir sebuah Sekolah Menengah Atas di selatan Jakarta. Seorang laki-laki berusia kepala tiga keluar dari mobil tersebut, tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lantas menyapa dua kawannya yang telah dulu tiba.

“Gio mana?” tanyanya seraya merapikan dasi.

“Barusan gue telfon, lagi jalan kesini katanya,” jawab seorang laki-laki lainnya yang tampil baik dengan kemeja putih yang digulung sampai siku.

Si pengemudi Civic hanya mengangguk mengerti. Tidak lama berselang, sebuah suara muncul dari balik punggungnya.

“Om Van! Om Yo! Om Jaen!”

Ketiganya menoleh bersamaan. Tersenyum ke arah laki-laki remaja yang memanggil nama mereka.

“Kita kemana?” tanya si pengendara Civic— Jevander— pada keponakannya.

Sergio menunjuk suatu arah dengan dagunya lalu berucap malas, “Ruang BK. Nanti kalau Pak Sapto ngomel, dengerin aja ya, Om. Kayaknya beliau juga udah capek ngomelin aku.”

“Oke,” balas Jaenandra santai diiringi kekehan pelan.

Ketiga Om yang mewakili ayah Sergio itu berjalan mengikuti keponakan mereka membelah koridor sekolah. Beberapa kali mereka menyapa guru yang berpapasan dengan mereka secara sopan. Juga beberapa siswa seusia Sergio yang menatap takjub pada mereka. Memang, meskipun usia ketiga om Sergio sudah hampir memasuki kepala empat, tapi ketampanan mereka justru semakin menjadi. Jangan lupakan aura mereka yang semakin memnonjol karena seluruh barang yang menempel pada tubuh mereka adalah segala sesuatu yang mahal.

Di ujung koridor, Sergio dan ketiga omnya berbelok untuk menuju ruang Bimbingan Konseling sekolah. Setelah mengetuk pintu dua kali, Sergio membimbing ketiga omnya untuk masuk ke dalam, bertemu dengan Pak Sapto yang sudah siap sedia di meja kerjanya.

“Selamat Siang, Pak Sapto. Saya Jaenandra, ayah Sergio.”

“Saya Jevan, ayah Sergio. Dan ini....”

“Saya Markio, ayah Sergio.”

Pak Sapto menatap ketiganya dengan bingung. Ada senyum terpaksa yang menghiasi wajah Guru Bimbingan Konseling yang sudah cukup sepuh itu.

“Ayah Sergio... ada empat, termasuk dengan Pak Raechan?”

“Sahabat ayah saya, Pak. Semuanya, sudah seperti ayah saya sendiri.” Sergio mencoba menjelaskan.

Raut kebingungan Pak Sapto luntur, berganti dengan anggukan samar. “Oh, ya, ya, silakan duduk bapak-bapak semua.”

Pak Sapto mempersilakan ketiga om Sergio untuk duduk di sofa bersamanya. Lantas guru Sergio itu menjelaskan duduk perkara dan alasan kenapa beliau harus memanggil wali Sergio untuk datang ke sekolah.

“Saya yakin sekali Sergio ini anak yang baik, karena prestasinya di kelas pun menjadi yang nomor satu. Tapi betul, keresahannya tentang anak-anak nakal di sekolah harus mulai dikurangi. Karena kekerasan bukan jawaban, Pak. Saya juga khawatir dengan keselamatan Sergio sendiri kalau terus-menerus melibatkan diri dalam bahaya,” ucap Pak Sapto penuh penekanan. Ditatapnya satu-persatu ketiga om Sergio yang mendengarkan dengan seksama.

“Iya, Pak, saya paham. Mungkin ini juga salah kami karena sejak kecil Sergio kami jejali dengan film-film pahlawan. Jadi besarnya ya begini, Pak... Bawaannya mau menegakkan keadilan.” Jevan membalas ucapan Pak Sapto dengan nada murung yang dibuat-buat. Wajah om Sergio yang paling tampan itu dipaksa untuk menampilkan rasa bersalah yang kentara.

“Betul, Pak. Kami benar-benar menyesal dengan apa yang terjadi.” Jaenandra menyambung dengan nada suara yang sama dengan yang Jevan buat. “Nanti akan kami nasehati Sergio atas perlakuannya ini ya, Pak.”

Sungguh, Sergio mati-matian menahan tawanya. Ingatannya kembali pada beberapa bulan lalu saat papanya bertemu dengan Pak Redika, wali kelas Sergio, dengan masalah yang sama. Papanya itu melakukan persis yang seperti om-omnya sedang lakukan. Pura-pura memelas, merasa bersalah, dan merenungi perbuatan Sergio. Padahal mereka semua tahu, bahwa apa yang Sergio lakukan selalu beralasan dan demi kebaikan.

“Ya sudah, hari ini Sergio pulang saja dulu. Nanti masuk lagi hari Senin, ya. Walaupun apa yang Sergio lakukan itu baik, tetap ada konsekuensinya.” Pak Sapto berkata lagi setelah menghembuskan nafas panjang yang terdengar lelah.

Setelah berpamitan dengan Pak Sapto, Sergio diantar ketiga Omnya untuk ke kelas mengambil tasnya. Ketika itulah, Sergio mendengar bisikan dari kawan-kawannya yang memuji ketiga laki-laki dewasa yang menunggui Sergio di luar kelas.

“Gio, kenalin dong ke sepupu lo itu. Kerja dimana tuh? Ganteng banget padaan.”

“Gio, itu kakak lo?”

“Gio, cakep banget yang pake jas item.”

Dan beberapa bisikan genit lain yang Sergio bungkam dengan, “Itu ayah gue.”

“Gio mau pulang sama siapa, Nak?” Jevan bertanya kala mereka telah kembali membelah koridor sekolah untuk menuju area parkir.

Sergio tampak berfikir sebentar sampai tanpa sadar langkahnya memelan.

“Anaknya Raechan tuh ye, disuruh milih balik sama siapa aja mikirnya ampe begitu. Giliran nonjok orang gak pake mikir lagi.” Jaenandra berkomentar pelan.

“Persis bapaknya,” timpal Markio.

“Dulu kan, hampir aja bapaknya jadi kriminal karena balas dendam ke orang yang mukulin gue.” Jevan mengenang kejadian lebih dari lima belas tahun lalu itu dengan senyum mengembang. “Darah Leenandarnya kentel bener emang si Gio.”

“Aku pulang sama Om Kiyo aja deh. Mau makan siang pakai masakannya Tante El.”

“Wah kalau itu sih, Om juga mau, Gio.” Jaenandra menyambar penuh semangat. Membayangkan menu rumahan hasil olahan istri Markio itu membuat mulutnya berair.

“Yaudah, ke rumah aja, yuk, semua.” Markio merangkul Sergio menuju mobil. Namun sesaat sebelum anak Raechan itu memasukkan tubuhnya ke dalam mobil Markio, dia mendengar om Jevannya berkata lagi,

“Gio, kamu kan diskors nih tiga hari. Ikut Om sama Tante Kiya ke Malang aja mau gak? Liburan kita.”

“Mau dong!” Sergio berucap semangat.

Jevan mengangkat jempolnya ke udara lalu masuk ke mobilnya. Jaenandra hanya terkekeh melihat kelakuan dua orang itu dan ikut masuk ke mobil pribadinya. Sementara di dalam mobil Markio, Sergio mengantupkan kedua tangannya dan mendoakan semua omnya, termasuk Juan yang sedang ada urusan, agar selalu diberi kebahagiaan.