Shine Muscat
Sama seperti makan malam kelas atas pada umumnya. Dari pada keakraban dan keselarasan, perjamuan jenis ini hanyalah mengutamakan kesopanan dan tata krama di atas segalanya. Di sini, tidak akan ditemukan suara sendok yang beradu dengan piring, apa lagi obrolan hangat di sela-sela makan malam. Mulut seluruh tamu hanya akan disibukkan dengan kunyahan tanpa suara untuk menyantap hidangan dengan porsi mini yang penyajiannya dibuat sangat mewah. Oh, tentu jangan lupakan setelan jas dan gaun mewah yang dianggap paling pantas digunakan untuk menghadiri jamuan ini.
Setelah acara yang membosankan itu, baru lah ada sedikit kelegaan yang diberikan. Biasanya, para tetua akan duduk bersama sambil minum teh di ruang keluarga, ditemani musik klasik dari piringan hitam. Sedangkan yang muda-muda biasanya akan mencari kesibukan yang lain. Jika mereka yang dipertemukan dalam jamuan ini saling tertarik untuk mendalami satu sama lain, mereka akan berbincang entah di taman belakang atau di gazebo dekat dengan kolam renang. Namun jika tidak merasa tertarik untuk saling mengenal— Jevan masuk dalam kelompok ini— biasanya mereka akan mencari kegiatan sendiri-sendiri yang tidak bersinggungan.
Karena itu, Jevan sebenarnya tidak mengerti dengan fikiran para tetua dalam dunia bisnis ini. Mereka seakan memberi kebebasan pada anak mereka untuk menentukan pada siapa hatinya akan berlabuh. Mereka tidak pernah memaksa anak mereka untuk langsung merasa cocok dengan calon pasangan yang diperkenalkan melalui acara perjamuan itu. Tapi, anehnya, mereka juga seperti tidak kehabisan akal dan cara untuk terus mencarikan pasangan untuk anak mereka, yang tentunya sama-sama dari kalangan atas.
Sama seperti ayahnya, entah sudah berapa gadis dari keluarga berbeda yang coba laki-laki itu coba kenalkan kepada Jevan.
Sasha dari keluarga Atmajaya.
Rania dari keluarga Atmojo.
Kalya dari keluarga Handaru.
Clara dari keluarga Yosasono.
Dan yang paling terakhir, Angelica dari keluarga Wisnujaya.
Selain yang disebutkan, sebetulnya masih banyak lagi. Tapi Jevan tidak lagi ingat, sebab dia memang tidak pernah tertarik.
Malam ini, usai makan malam, Jevan memilih untuk duduk di atas ayunan besi yang ada di taman belakang milik keluarga Elega. Menikmati angin malam yang menyapu lembut rambutnya yang mulai memanjang. Sebatang rokok Jevan gunakan sebagai kawan. Biasanya, Jevan akan menjauh dari para tetua dan gadis yang dijodohkan dengannya dengan duduk di halaman belakang seperti ini. Namun malam ini sedikit berbeda, dia duduk di sana justru untuk menunggu anak bungsu keluarga Elega— gadis yang dijodohkan dengannya.
“Mau?” Gadis bernama Kenari itu meletakkan bokongnya di sisi ayunan yang kosong sembari menawarkan anggur Shine Muscat yang sudah dicuci bersih.
Jevan mengambil satu buah tanpa canggung. “Saya harus matiin rokok saya atau gak usah?”
“Santai aja,” jawab gadis itu. “Jadi cewek itu dimana sekarang?” Kenari bertanya tanpa tendeng aling-aling. Matanya menatap lurus ke arah kolam ikan yang diterangi lampu taman.
Jevan memberi jeda sebelum menjawab, matanya ikut kemana Kenari sedang menatap. “Kamu yakin sekali sepertinya kalau saya punya seseorang yang saya cintai.”
“Jevander Novanda, dengan pengikut lebih dari dua ratus ribu tapi cuma punya satu foto yang dia unggah. A faceless girl holding white lily. I thought that is the girl, am I right?“
Jevan mengambil sebuah anggur lagi dari keranjang rotan. “Does my father asked you to do this?“
“Apa maksudnya? Ayah kamu suruh saya mata-matain kamu gitu?”
“Kind of?“
Kenari terkekeh, keras sekali, keranjang rotan yang dipegangnya sampai hampir tergelincir dari tangannya yang lentik. Butuh beberapa waktu sampai gadis itu mampu menguasai dirinya dan berhenti dari kekehannya.
“Jevan, saya gak tahu ya, ayah kamu udah melakukan hal buruk apa ke kamu. Tapi tuduhan kamu tadi benar-benar membuat saya geli,” ujar Kenari.
“Saya udah bilang ke kamu, mari lakukan hal ini sama-sama sebagai bentuk win-win solution. Saya udah capek hampir tiap minggu harus ikut acara seperti ini. Saya mau berhenti dan satu-satunya cara adalah dengan pura-pura tertarik kepada laki-laki yang dijodohkan dengan saya.”
Kenari menolehkan wajahnya untuk menatap Jevan dari samping. Cahaya lampu taman bisa membantu Kenari mengenali keseluruhan wajah tampan Jevan. Gadis itu lantas terkekeh lagi karena Jevan tidak kunjung memberinya jawaban.
“Saya sudah bilang, cara ini akan menyelamatkan kamu dan saya. Kita bisa pura-pura bersama di depan orang tua kita sementara di belakang mereka kita bisa terus mencintai seseorang di luaran sana. Dengan begitu kita gak perlu lagi ikut acara seperti ini, Jevander.” Kenari berucap penuh keyakinan. Berharap kali ini Jevan akan mau mendengarkannya dengan baik dan memberi respon yang baik pula.
“Kasih tahu saya untuk siapa kamu melakukan ini baru nanti saya akan kasih tau siapa perempuan yang saya cintai.”
“Oke,” Kenari berucap lugas. Dikeluarkannya ponsel dari saku jas yang melapisi gaun malamnya. Gadis itu nampak memilih satu di antara ribuan foto di ponselnya. “Ini, saya melakukan ini semua untuk dia.”
Jevan menerima ponsel yang diulurkan Kenari, dipandanginya sosok yang ada pada layar. Lantas dahinya mengerut, dia menoleh pada Kenari. “Ini, kan, foto kamu sendiri?”
Kenari mengangguk seraya mengulas senyum. “Ya, seseorang yang saya cintai sampai saya harus melakukan sandiwara ini adalah diri saya sendiri. Saya gak ingin lagi menyiksa diri saya.”
“Saya gak ngerti.”
“Saya anak bungsu di rumah ini. Kedua kakak saya sudah menikah dan semuanya menikah karena urusan bisnis. Gak ada satupun dari mereka yang hidup bahagia atas pernikahan mereka. Saya gak mau menyiksa diri saya dalam pernikahan macam itu. Lebih dari semuanya, sebenarnya saya gak ingin menikah. Saya gak percaya sama pernikahan.”
Jevan diam. Membiarkan suara gemercik kolam dan suara gadis ini memenuhi rungunya.
“Semua laki-laki yang ayah saya kenalkan pada saya, they do believe on marriage, padahal mereka semua sadar kalau pernikahan mereka gak berdasar pada cinta. Saya muak, saya gak suka sama hal itu.”
“Lalu kenapa saya? Kenapa kamu memilih saya untuk melakukan kepura-puraan ini?” tanya Jevander pada akhirnya setelah paham duduk permasalahan yang Kenari alami.
“Karena di antara mereka semua, kamu satu-satunya laki-laki yang ingin memberi tahu dunia bahwa kamu punya perempuan yang kamu cintai. Kalau bukan karena ayah kamu, saya yakin, kamu pasti sudah menikahi gadis itu, kan?”
Tanpa sadar, Jevander mengangguk.
“Karena itu saya memilih kamu, Jevander. Kita bisa sama-sama menyelamatkan diri dan gak terjebak sama perjodohan konyol ini.”
Ucapan Kenari terasa seperti aliran sungai yang menawarkan ribuan liter air di tengah hidup Jevan yang bak gurun pasir. Segala kalimat yang bergulir dari bibir ranum gadis itu terdengar seperti bisikan dsri surga yang menawarkan kebahagiaan untuk hidup Jevan yang seperti berada di neraka dunia. Laki-laki itu tergoda sekali untuk ikut dalam permainan yang Kenari cipatakan.
Jika difikir lagi, gadis itu ada benarnya. Jika ayahnya melihat Jevan bersama seorang gadis pilihannya, tidak akan lagi ada acara perjodohan macam ini. Jevan bisa mencuri waktu untuk menemui Adzkiya dengan bantuan Kenari. Dan dengan begitu, Jevan juga membantu Kenari menyelamatkan hidupnya.
Win-win solution
“Saya bisa percaya kamu, kan?”
“Seratus persen, saya bersumpah atas nama Tuhan saya, saya gak akan khianatin kamu.”
Mereka bertatapan dalam. Jevan sedang mencari kebohongan di mata Kenari dan untung sekali laki-laki itu hanya menemukan kejujuran. Sudahlah, mungkin gadis ini memang jujur. Mungkin gadis ini sama lelahnya dengan dirinya.
“Oke.”
Senyum Kenari merekah. Gadis itu hampir menjerit kegirangan tapi dia menahan diri. Dilahapnya sebuah lagi anggur Shine Muscat dari keranjang rotan.
“Sekarang tolong ceritakan pada saya, siapa gadis beruntung itu.”
Kali ini Jevan yang mengulas senyum. Bahkan dengan memikirkan gadisnya saja sudah membuatnya bahagia. “Namanya Adzkiya, dia sekarang ada di Australia untuk ambil florist course.”
“Wah, dia mau buka toko bunga sendiri?”
“Dia sudah punya toko bunga. Dia pergi kesana untuk menemani sahabatnya mengambil program master sekaligus mengambil course itu. Tapi sebenarnya dia...”
Ucapan Jevan menggantung di udara. Dia ragu, harus kah dia bercerita sedetail itu pada Kenari yang tengah menatapnya dengan tatapan berbinar itu?
“Dia kenapa? Dia pergi kesana karena kamu, ya? Atau karena ayah kamu?”
“Dia kesana untuk menenangkan diri. Dan saya belum bisa menyusulnya karena ayah saya.” Jevan menjawab seadanya. Dia belum berani terlalu terbuka meskipun dia sudah merasa bahwa Kenari adalah gadis yang baik.
Mungkin cukup sebatas ini dulu saja, batinnya.
“Ayah kamu tahu Adzkiya ada disana?”
Jevan menggeleng..
“Good, kalau gitu kamu bisa pakai saya untuk menemui pacarmu. Bilang saja kita mau liburan berdua, di sana kamu bisa menemui Adzkiya. Gimana?”
“Kamu serius?”
“Tentu saja. Mau assistant saya saja yang urus semuanya?”
“Biar Laras saja yang urus, assistant saya.”
Keduanya tersenyum sambil saling berpadangan. Angin malam membelai lembut rambut mereka serta membawa pergi segala keresahan yang selama ini mereka rasakan. Ketenangan menghinggapi keduanya. Menyisakan kelegaan luar biasa atas baiknya takdir yang tiba-tiba menyapa.
Malam ini, nampaknya mereka akan tidur nyenyak setelah sekian lama tidak merasakannya.
“Oke, kalau gitu, selamat malam, Jevander. Saya pamit ke kamar.”
Sebuah kecupan mendarat di pipi kanan Jevander. Membuat laki-laki itu sedikit berjingkat.
“Ayah kita ada di balkon lantai dua, mereka melihat ke arah kita sejak tadi. Maaf, ini hanya penyempurnaan sandiwara.”
Kenari berlalu, meninggalkan Jevander yang kembali berteman dengan asap rokok.