Conversation on Love
Melbourne International Airport, Bandara kedua tersibuk di Australia. Terletak berdekatan dengan pinggiran kota Tullamarine yang berjarak 23 KM dari pusat Kota Melbourne. Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit menggunakan taxi.
Jevan melirik ke arah gadis yang duduk bersebelahan dengannya di bangku penumpang taxi yang mereka naiki dari hotel tempat mereka menginap. Gadis itu tidak banyak bicara sejak tadi, hanya menatap ke arah luar, melalui jendela yang sedikit terbuka— atau lebih tepatnya sengaja dibuka oleh gadis itu.
Ada beberapa pertanyaan menggantung di benak Jevan kala manik matanya masih menangkap figur gadis itu.
Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?
Kemana dia pergi?
Apakah orang tuanya menelfonnya untuk menanyakan kabar anak gadis mereka? Atau, apakah justru ayah Jevan yang menghubungi gadis itu untuk mencari tahu kelanjutan hubungan Jevan dengannya?
“Kalau Adzkiya tau kamu liatin saya kayak gitu, dia bisa salah faham.” Jevan tersentak saat tiba-tiba saja suara Kenari membuyarkan pikirannya. Buru-buru pria itu mengalihkan wajah ke arah lain. “Kenapa sih? Ada yang mau kamu omongin ke saya?”
Jevan hanya menggeleng, lantas membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka selama sisa perjalanan. Dibacanya lagi pesan dari kekasihnya yang dia biarkan menggantung tanpa jawaban. Sedikit rasa bersalah terselip di benak Jevan karena justru Adzkiya yang menanyakan keadaan Kenari. Jevan merasa terlalu mengabaikan gadis yang sebetulnya berperan begitu besar pada jalan kehidupannya itu.
Apa yang gadis itu lakukan selama Jevan menghabiskan waktunya bersama Adzkiya dua hari kemarin?
Kemana dia pergi?
Pertanyaan itu terus terulang di kepalanya hingga Jevan dan Kenari tiba di Melbourne International Airport. Ketika taxi yang mereka kendarai memasuki area Bandara, dengan segera, Jevan membayar biaya argo taxi dan menuju bagasi mobil untuk mengeluarkan koper miliknya sekaligus milik Kenari.
“Kamu masuk duluan aja, ya? Saya masih nunggu Adzkiya, nanti kita ketemu di dalem.” Jevan memberi usul yang langsung disetujui oleh Kenari.
“Oke, saya mau coba liat-liat di dalem ada makanan yang saya pengen atau enggak. Kalau gak ada, saya langsung ke lounge, nanti saya kabarin deh, ya.”
Usai menemukan persetujuan, Kenari bergerak cepat membawa kopernya menuju check in counter, sementara Jevan mencari tempat untuknya, agar bisa menunggu kedatangan kekasihnya dengan nyaman. Pikirannya berkelana lagi, memikirkan Adzkiya dan Kenari secara bergantian. Sebetulnya, tujuan Jevan mengirim Kenari untuk melakukan check in terlebih dahulu karena dia belum mau Kenari bertemu dengan Adzkiya. Dia tahu Kenari adalah gadis yang baik, tapi sulit baginya untuk mempercayakan segalanya pada gadis itu. Jevan merasa harus melindungi Adzkiya dari segala hal yang berkaitan dengan papanya. Jevan tidak ingin Adzkiya terluka lagi. Pandangannya lurus terarah pada langit lepas seraya berdoa agar apa yang sedang dia usahakan ini mendapat amin dari Tuhannya. Semoga dia melakukan hal yang benar dan tidak menyakiti siapapun lagi.
Adzkiya muncul sepuluh menit kemudian, berlari ke arah Jevan diikuti Sagara di belakangnya. Sebuah pelukan langsung Adzkiya berikan pada Jevan, yang sudah secara otomatis membuka kedua lengannya, pada detik pertama manik matanya menangkap kedatangan gadis kesayangannya itu.
“Gak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Adzkiya kala pelukan mereka telah terlepas.
“Kamu. Kamu, Ki, yang ketinggalan.” Jevan menjawab dengan gerutuan kesal— kesal karena harus meninggalkan Adzkiya di kota yang cukup jauh dari Jakarta ini.
Kekehan Sagara terdengar dari balik punggung Adzkiya. “Nanti kalau semuanya udah baik-baik aja, lo jemput lagi dia kesini ya, Jev.”
Jevan ikut terkekeh. Dibelainya pipi Adzkiya dengan ibu jarinya. Kedua matanya juga masih menatap Adzkiya penuh rasa cinta. “Pasti, Bang. Pasti gue bakal bawa dia balik ke Ayu Laga lagi. Secepatnya.”
Senyum Adzkiya terulas tulus mendengar penuturan Jevan, namun tidak ada suara apapun yang keluar dari bibir ranumnya.
“Kamu baik-baik ya disini, jaga kesehatan.” Suara Jevan berubah dalam, seperti menahan sesuatu. “Aku bakal coba beresin semua masalah di Jakarta. Papa, Kenari, perjodohan aku dan Kenari, semuanya, aku bakal beresin satu-satu. Setelah itu, setelah semuanya baik-baik aja, aku jemput kamu.”
Adzkiya masih membiarkan Jevan terus bicara.
“Aku janji gak akan lama. Tunggu aku, ya. Jangan kemana-kemana.”
“Aku gak pernah kemana-kemana. Kan kemarin kamu yang pura-pura lupa.”
Jevan tertawa keras lagi, menyebabkan beberapa orang yang sedang berlalu-lalang menoleh ke arah mereka. Mungkin penasaran, mungkin juga terganggu. Tapi biar lah, Jevan sama sekali tidak perduli. Yang diperdulikannya hanya gadisnya yang tengah ia rengkuh pinggangnya ini.
“Tapi gak papa deh, kata The Weekend kan everytime you try to forget who I am, I'll be right there to remind you again.“
Adzkiya mengerutkan hidungnya membuat Jevan gemas setengah mati.
“Aku pengen cium kamu sekarang, tapi di sini rame, nanti kamu malu.”
“Kenapa harus malu? This is Australia, bro, they won't care.” Adzkiya memajukan wajah, mengalungkan lengannya di leher kekasihnya itu.
“Tapi ada Bang Saga di sini,” bisik Jevan pelan sekali.
“Ah, kamu lama,” ucap Adzkiya sesaat sebelum mendaratkan kecupannya di pipi kanan Jevan. “Baik-baik juga di Jakarta ya, salam buat anak-anak.”
Mereka berpelukan sekali lagi. Lebih lama dari yang sebelumnya. Setelah selesai, Jevan memberikan sebuah paper bag untuk Adzkiya.
“Ini hoodie aku dan album foto kado valentine kamu. Jangan pernah lagi balikin mereka ke aku, ya.”
Adzkiya tersenyum seraya mengangguk. Tangannya menyambut paper bag itu.
“Kenari udah check in duluan, ya?”
“Iya, udah. Tadi katanya mau makan dulu, laper,” jelas Jevan sedikit berbohong.
“Yaudah aku titip ini aja deh buat dia, ya.” Adzkiya memberikan sebuah box berwarna merah maroon yang langsung diterima Jevan. “Tolong kasih ke Kenari.”
“Ini apa?”
“Ucapan terimakasih.”
Jevan tidak berkomentar lagi. Laki-laki itu hanya memberi kecupan di pelipis Adzkiya lalu berpamitan kepada Sagara. Setelah itu, Jevan masuk ke area check in tanpa menoleh lagi. Jevan tahu benar, jika sekali lagi dia menatap Adzkiya dari balik kaca pembatas, semuanya akan semakin berat.
Di lounge, Jevan menyerahkan pemberian Adzkiya pada Kenari yang menyambutnya dengan begitu bahagia. Mata gadis itu berbinar seraya menatap kotak berhias pita hitam di pangkuannya. Setelah puas mengambil beberapa foto dengan poselnya, Kenari lantas membuka penutup kotak tersebut dan mendapati sebuah buku berjudul Conversation on Love dan sebuah surat.
Jari-jari lentiknya membuka lipatan surat dan matanya menyusuri tiap kata yang tertulis di sana.
Kenari...
Saya banyak dengar tentang kamu dari Jevan. Maaf, bukan bermaksud apa-apa, hanya saja Jevan merasa harus menjelaskan segalanya pada saya.
Kenari, saya sungguh-sungguh berterimakasih atas kebaikan kamu. Terimakasih telah membawa Jevan pada saya hingga kami bisa menyelesaikan segala kesalah fahaman. Kamu sungguh berjasa besar.
Kenari, dari cerita Jevan, saya menyimpulkan bahwa kamu adalah seseorang yang begitu menghargai cinta. Maka saya ingin memberi kamu buku ini sebagai ucapan terimakasih. Buku ini membahas tentang cinta secara menyeluruh. Semoga kamu menyukainya.
Sekali lagi, terimakasih.
Semoga selalu berbahagia.
Salam,
Adzkiya.
Kenari melirik Jevan yang tengah sibuk dengan ponselnya. Seulas senyum tulus terlukis pada rupa ayu gadis itu. Selama ini, dia merasa Adzkiya begitu beruntung memiliki Jevan dalam hidupnya. Tapi melalui surat ini, Kenari tau bahwa Jevan juga begitu beruntung memiliki seorang gadis bernama Adzkiya— yang selalu dia sebut namanya dengan senyuman di bibirnya itu.
Malam tadi, Alexander, papa Jevan, menghubunginya dan bilang bahwa esok hari Alex akan menjemput mereka di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan lanjut untuk makan siang bersama. Kenari belum mengatakan ya atas usul Alexander itu, karena dia merasa bahwa dia harus mendiskusikannya dengan Jevan terlebih dahulu. Namun setelah menerima surat ini, gadis itu langsung mengambil ponselnya dari saku dan mengirim pesan pada Alexander untuk menginformasikan bahwa setibanya di Jakarta, dia harus menghandiri sebuah acara hingga tidak akan sempat untuk makan siang bersama Alex— yang tentu saja bohong.
Kenari merasa bahwa tidak sepatutnya dia mengisi tempat yang seharusnya diisi oleh Adzkiya.