petrichorslines

Dua insan tengah saling menghangatkan tubuh masing-masing di atas ranjang. Tubuh keduanya telanjang di bawah selimut tebal. Masih ada bulir keringat sisa-sisa percintaan mereka yang bergairah. Si istri menyandarkan kepalanya di dada bidang si suami— dalam keadaan sedekat dan seintim itu, dia bisa mendengar irama degup jantung suaminya. Malam makin larut, jam digital di atas nakas menunjukkan bahwa saat itu sudah pukul satu pagi.

“Tapi dari semua hal itu, ada gak satu hal aja yang kamu syukuri soal papa kamu?”

Si suami, yang ditanyai begitu tiba-tiba, merasa terkejut. Tangannya yang tadi tengah membelai lembut rambut istrinya seketika terhenti. Fikirannya mengawang, berusaha mencari jawaban paling baik untuk menjawab pertanyaan istrinya. Laki-laki itu menatap langit-langit kamar, sementara bibirnya masih terkatup rapat. Butuh beberapa waktu lagi sampai akhirnya jawaban itu didapatkan.

“Satu hal yang aku syukurin dari Papa ya, hmmm, mungkin... Papa yang gak pernah menikah lagi setelah Mama meninggal.”

“Kenapa hal itu jadi hal yang kamu syukuri, Van? Apa karena itu artinya papa kamu gak bisa lupain mama kamu?”

Laki-laki yang dipanggil Van itu menggeleng pelan. Dia mengecup bahu telanjang istrinya sebelum kemudian menjawab, “Bukan karena itu artinya Papa gak bisa lupain Mama, Ki. Tapi aku bersyukur Papa gak menikah lagi karena itu artinya aku gak harus manggil perempuan lain dengan sebutan mama. Itu artinya aku gak harus punya mama baru. Itu artinya gak ada yang gantiin posisi mama di tatanan keluarga Novanda.”

Sang istri, Adzkiya, sedikit mendongakkan kepala untuk menatap suaminya. Tangannya terulur untuk bergantian mengelus rambut Jevan. Rambut suaminya itu sedikit basah, nampaknya percintaan mereka tadi cukup gila. Tangan itu kemudian turun, mengelus bahu Jevan yang menjadi sandarannya selama ini. Mata mereka bertautan, diiringi senyum mereka yang mengembang.

“Walaupun Papa dekat sama banyak perempuan, Papa gak pernah meresmikan hubungannya sama wanita manapun. Cuma ada satu istri selama dia hidup, dan itu adalah Mama. Mamaku, Ki. Karena hal itu, sampai kapanpun, perempuan yang akan dunia tau sebagai pendamping seorang Alexander Novanda tuh ya cuma Mama. Aku bersyukur untuk itu.”

“Apa kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama kalau aku pergi duluan?”

“Aku jawab pertanyaan ini bukan berarti aku mau kamu pergi duluan ya, Sayang. Aku mau jawab karena kamu pasti maunya aku gak lari dari pertanyaan ini.”

Adzkiya terkekeh pelan.

“Seandainya kamu pergi duluan nanti, aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Papa lakukan. Aku gak akan bikin anak kita manggil perempuan lain dengan sebutan Bunda, selain itu...”

“Tapi kamu juga bakal kayak papa kamu yang deket sama banyak perempuan gitu dong?”

“Aku belum selesai ngomong ya, Adzkiya!” Jevan memberengut. “Dengerin dulu dong makanya.”

Adzkiya terkekeh lagi, kali ini sedikit lebih keras.

“Selain itu... Aku juga gak bakal dekat sama perempuan manapun. Bukan karena aku gak mau, tapi karena aku gak bisa. Gak ada perempuan manapun yang bisa bikin aku semenggila ini, Adzkiya.”

Setelah ucapannya selesai, Jevan membimbing tubuh Adzkiya untuk duduk di atas pahanya. Selimut yang tadi menjaga tubuh telanjang Adzkiya, melorot hingga ke batas perutnya. Menyisakan pemandangan apik yang membuat sebelah bibir Jevan terangkat. Kedua payudara Adzkiya menggantung bebas tanpa penghalang apapun.

Round two?”

Alih-alih menjawabnya dengan suara, Adzkiya memilih untuk memberi jawaban lewat gerakan. Bak profesional, perempuan cantik itu menyibak rambut panjangnya, lalu kemudian mendekatkan wajahnya pada sang suami. Kecupan pertama didaratkan di kening, kemudian turun mengecup ujung hidung Jevan yang tinggi, lalu kecupannya turun ke bibir, dan berkahir menjadi lumatan panjang kala bibir mereka berdua saling bertaut.

Suara lenguhan kecil di sela-sela ciuman mereka menciptakan irama yang memanjakan serta memuaskan pendengaran keduanya. Permainan bibir dan lidah itu berlangsung beberapa lama, sebelum akhirnya terlepas sebentar, untuk sekadar meraup udara. Adzkiya bisa merasakan nafas Jevan menabrak lembut wajahnya.

You have me under your control, my lady.”

Sebelah bibir Adzkiya terangkat— senyuman penuh kemenangan. Malam ini, ah atau lebih tepatnya dini hari ini, permainan yang sebenarnya akan segera dimulai.

Adzkiya akan membuktikan ucapan Jevan tentang tidak akan ada perempuan manapun yang bisa membuat Jevan semenggila saat bersama dirinya.

Dada telanjang Jevan menjadi target kecupan Adzkiya yang selanjutnya. Kedua puting Jevan yang mengeras juga tak luput dari permain bibir dan lidahnya. Puas bermain di sana, kecupan Adzkiya turun, memanjakan perut Jevan yang otot-ototnya langsung mengencang pada detik pertama bibir Adzkiya mendarat di sana.

Selimut yang tadi menutupi tubuh keduanya telah teronggok tidak berdaya, terjatuh ke lantai. Bibir Adzkiya akhirnya mendarat di titik paling fatal yang bisa membuat Jevan menahan nafasnya mati-matian. Kecupan itu bergeriliya dari paha luar, bergulir ke paha dalam, dan berakhir pada inti Jevan yang tegang sempurna.

Tidak puas hanya dengan bibirnya, tangan Adzkiya menggantikan setelahnya. Sesuatu yang tampak begitu keras namun terasa begitu lembut di telapak tangan Adzkiya itu, dipijatnya beberapa kali. Gerakannya terukur, naik dan turun. Sesekali bibir Adzkiya kembali mencecap ujung kejantanan Jevan.

Di bawah kendali Adzkiya itu, Jevan bergerak-gerak gelisah. Kepalanya mendongak menekan bantal yang menjadi alas kepalanya. Matanya terpejam sempurna, meresapi setiap sentuhan Adzkiya yang membuatnya gila.

“Jangan tutup mata kamu, Sayang, liat aku,” bisik Adzkiya pelan sebelum akhirnya bibirnya dia gunakan untuk mengulum kejantanan Jevan sepenuhnya.

Jevan membuka mata, kemudian sedikit menegakkan tubuh untuk menatap Adzkiya. Di bawah sana, perempuan yang digilainya itu tampak asik menaik turunkan kepala sementara sesuatu tengah menjejali mulutnya. Gerakannya ahli, mengirim sinyal kenikmatan tiada tara bagi tubuh Jevan.

Jemari Jevan mencengkram seprei di bawah tubuhnya saat dia merasakan sesuatu dalam dirinya hendak meledak. Hanya butuh beberapa detik saja. Dan sepertinya Adzkiya paham betul akan hal itu, gerakannya makin menggila. Kejantanan Jevan terasa makin besar dan akhirnya meledak di mulut Adzkiya. Cairannya yang tidak sempat tertelan, lumer menuruni dagu dan meleleh melewati leher jenjang Adzkiya.

Jevan jatuh terlentang, tubuhnya terasa ringan. Pandangannya sempat kabur sebentar saat kenikmatan itu mencapai puncak kepalanya.

“Jadi, ronde duanya cuma sampai pakai bibir ya, Tuan Jevander?”

Adzkiya kembali duduk di atas pangkuan Jevan, sementara laki-laki itu masih berusaha kembali menguasai dirinya.

Jevan bisa merasakan tubuhnya kembali menegang saat kedua pantat sintal Adzkiya duduk tepat di atas pusat dirinya. Rambut istrinya itu semakin berantakan. Bekas cairan kenikmatan yang tadi dia keluarkan membentuk bercak di sudut bibir, leher, hingga dada Adzkiya.

Ini bukan pertama kali baginya melihat pemandangan seperti ini. Tapi hanya dengan Adziya, Jevan merasakan sebuah percintaan yang melibatkan perasaan.

Sisanya, Jevan hanya mendapat kebutuhan biologis. Tanpa cinta.

“Kalau digesekin gini, masih kuat nggak?” tanya Adzkiya, tangannya menuntun kejantanan Jevan dan menggesekkan sesuatu yang kembali tegang itu, ke bibir kewanitaannya.

“Kayaknya... ahhh... kamu yang gak akan tahan untuk gak masukin dia sepenuhnya, Adzkiya.” Jevan mencibir.

“Tahan aku mah.”

“Oh ya?”

Adzkiya tidak menanggapi, perempuan itu terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bibir kemaluannya terasa gatal, dan kejantanan Jevan justru membuat semuanya semakin buruk. Dia kira, dengan gerakan ini, dia akan bisa menyiksa Jevan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, gerakan ini justru membuat nafsunya tidak terkendali.

Kejantanan Jevan yang sedang dia cengkram sesekali menggesek pusat dirinya yang paling sensitif. Tapi gerakan itu hanya sambil lalu, seperti mengejek. Adzkiya ingin lebih dari ini.

“Ahhh...”

Persetan dengan senyuman kemenangan yang Jevan tampakkan pada wajahnya, Adzkiya tidak tahan lagi. Tangannya mendorong kejantanan Jevan untuk masuk lebih dalam. Gerakan pinggangnya menyusul setelahnya. Adzkiya berada di atas tubuh Jevan, memimpin permainan dengan bantuan tangan Jevan yang membimbing pinggulnya.

“Katanya tahan... ahhh... Cantikku, do it, right.”

Akhirnya, yang memenuhi ruangan itu hanyalah desahan dan erangan dari dua insan yang tengah berusaha memenuhi nafsu diri dan pasangannya. Percintaan mereka berlangsung lama, dengan berbagai posisi dan gaya.

Entah pukul berapa, akhirnya tubuh Jevan ambruk menimpa Adzkiya. Nafas mereka bertabrakan. Detak jantung mereka berlomba. Lutut keduanya lemas. Tapi senyum keduanya merekah.

Mereka puas.

Malam ini mereka benar-benar bercinta.

Jevan membetulkan posisi Adzkiya agar berbaring dengan nyaman. Laki-laki itu lantas mengambil tisu untuk membersihkan kewanitaan Adzkiya dari bekas-bekas cairan percintaan mereka.

“Di sini, sakit gak, Sayang? Aku takut terlalu keras sama kamu.”

Adzkiya menggeleng sebagai jawaban.

Jevan tersenyum, dikecupnya kewanitaan Adzkiya dengan penuh sayang.

“Kita bersih-bersih dulu ya, abis itu baru kita tidur.”


Sergio Leenandar, putra pertama salah satu kawan baik ayahku, Om Raechan Leenandar. Sergio, atau aku harus memanggilnya Kak Gio, sebab dia terpaut usia lebih tua lima tahun dariku. Kak Gio tidak memiliki darah ayahku di tubuhnya, tapi kasih sayang yang ayahku berikan padanya bisa dibilang lebih besar dari yang ayah berikan padaku.

Sebentar, aku harus meluruskan sesuatu, aku berkata seperti ini bukan berarti aku merasa iri atas kenyataan itu. Sungguh, aku sama sekali tidak keberatan ayahku lebih menyanyangi Kak Gio. Aku tahu semua ceritanya, karena Ayah selalu menceritakannya sebagai dongeng penghantar tidur. Kata Ayah, Kak Gio lahir saat ayahku dan kawan-kawannya sedang berada di usia rentan— peralihan dari mahasiswa menjadi pekerja. Kata Ayah, pada masa itu, mereka lelah secara fisik dan mental. Mereka, maksudku ayahku dan kawan-kawannya, banyak sekali melewati hari buruk. Dan kehadiran Kak Gio adalah penghiburan paling mujarab untuk mereka.

Kata Ayah, dulu, pada masa itu, rumah Om Raechan sudah seperti rumah mereka sendiri. Sepulang kerja, saat istirahat makan siang, akhir pekan, atau kapanpun mereka sempat, mereka selalu datang ke rumah Om Raechan untuk menengok Kak Gio kecil. Menurut cerita ayahku lagi, Kak Gio kecil adalah sebetul-betulnya penggambaran seorang malaikat. Rupanya putih bersih, dengan ketampanan luar biasa, tidak heran sebab orang tua kandungnya juga punya rupa yang menawan. Selain itu, Kak Gio kecil adalah sosok yang periang dan mudah dekat dengan siapapun. Bagi ayahku, hanya dengan memandang Kak Gio saja, sudah membuat hati bahagia.

Sosok yang aku ceritakan dengan sepenuh hati ini, sekarang sedang bersandar di badan mobilnya. Tangannya bersidekap di depan dada. Kepalanya sibuk menengok ke kanan dan ke kiri— untuk mencari diriku. Angin yang lolos dari pepohonan di balik mobilnya, menerbangkan rambut depan Kak Gio, membuatnya sedikit acak-acakan. Sementara laki-laki itu tampak tidak perduli. Matanya masih sibuk memindai sekitar hingga akhirnya menangkap sosokku yang berjalan ke arahnya.

Mata dan bibir Kak Gio membentuk lengkung senyum. Tangannya yang kekar dan berurat melambai ke arahku, seolah aku tidak akan bisa menemukan sosoknya yang selalu terlihat menonjol itu. Padahal, entah dia menyadarinya atau tidak, Kak Gio selalu menjadi pusat perhatian bagiku bahkan ketika dia ada di antara ribuan orang. Tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang tampan itu... ah.... oke, aku mulai terndengar menggelikan.

Hal pertama yang selalu Kak Gio lakukan ketika aku mendekat ke arahnya, adalah mengambil barang apapun yang sedang aku bawa. Untuk hari ini, dia mengambil tas punggung dari gendonganku. Tangannya yang kekar itu dengan suka rela menggantikan tugas bahuku untuk memanggul beban berat. Sekarang tubuhku terasa lebih ringan, bibirku jadi makin mudah tersenyum untuknya.

“Langsung ke rumah ya, Mama Kayana udah nungguin anak perempuan kesayangannya.” Kak Gio membukakan pintu mobil untukku, telapak tangannya diletakkan tepat di sisi atas bingkai pintu agar kepalaku tidak mengenainya.

Ketika di dalam mobil, Kak Gio selalu bergumam mengikuti lagu apapun yang aku putar. Bukan karena selera musik kita sama, melainkan karena Kak Gio selalu berusaha menyukai lagu yang sedang aku sukai. Dan aku sangat berterimakasih kepadanya karena hal ini, sebab berkalipun aku mencoba menyukai lagu yang menjadi seleranya, aku selalu berakhir gagal. Lagu yang Kak Gio pilih sering kali terlalu keras bagi pendengar musik tenang seperti aku.

How was your day, El?” tanya Kak Gio ketika ada jeda pergantian lagu.

“Seru, hari ini mata kuliahnya aku suka. Kak Gio gimana tadi di kantor?”

“Seru, hari ini kerjaan di kantor juga Kakak suka.”

Aku dan dia lalu tertawa bersama.

Ini rahasia kita saja ya, aku beritahukan padamu bahwa Kak Gio tidak pernah suka pekerjaannya yang sekarang. Dia mengatakan kalimatnya barusan, hanya mengikuti kalimatku untuk menghibur dirinya sendiri.

Sebagai informasi, Kak Gio bekerja di sebuah perusahaan jasa yang bergerak di bidang pariwisata. Posisinya cukup baik, di usianya yang baru genap seperempat abad, Kak Gio adalah seorang Senior Travel Consultant. Mungkin bagi sebagian orang, sangat disayangkan apabila Kak Gio tidak merasa bahagia ada di posisinya sekarang. Tapi bagiku, yang tahu persis apa mimpinya, aku bisa memahami mengapa dia tidak terlalu menyukai posisinya yang sekarang.

Mimpi Kak Gio yang sebenarnya adalah menjadi seorang pemandu wisata. Kak Gio suka sekali bertemu dengan berbagai karatker manusia yang menjadi tamunya. Dia senang melihat tamunya merasa antusias dengan paket wisata yang telah dia rancang. Dalam penjelasan sederhana, Kak Gio lebih suka turun langsung ke lapangan, menikmati indahnya alam, dari pada duduk di meja kerjanya yang menurutnya makin lama makin sesak.

Sebetulnya, mimpi Kak Gio itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan, mengingat Kakek Andar— ayah Om Raechan sekaligus kakek Kak Gio, adalah pemilik sebuah agen perjalanan yang cukup punya nama. Kak Gio juga sebetulnya ingin langsung bekerja di agen perjalanan milik kakeknya itu, tepat setelah menyandang gelar sarjana. Sayangnya, Om Raechan menantang keras keinginan Kak Gio. Om Raechan mengharuskan Kak Gio untuk bekerja di perusahaan lain agar Kak Gio tidak merasa dimudahkan dan tahu caranya berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Kata Om Raechan, hal ini dilakukan agar Kak Gio tidak tumbuh menjadi anak yang ketergantungan pada fasilitas yang bisa diberikan oleh keluarganya.

**

Kami tiba di rumah keluarga Leenandar ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Awan abu-abu bergelayut di atas kepala kami. Angin basah berhembus menggoyangkan pepohonan di depan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Kak Gio buru-buru membimbingku masuk ke dalam rumah setelah memarkir mobilnya.

Aku melepas sepatu, meletakkanya di rak sepatu yang terletak tepat di sebelah pintu masuk, dan mencuci tanganku di wastafel. Aroma masakan adalah hal pertama yang menyambutku dan Kak Gio ketika kami tiba di ruang tamu. Suara Tante Kayana, atau dia lebih suka kupanggil Mama Kayana, dan Om Raechan terdengar tengah bercakap-cakap di dapur.

“Ke dapur gih, Kakak mau mandi dulu,” pamit Kak Gio yang kujawab dengan anggukan.

Aku berjalan ke arah dapur. Suara Mama Kayana dan Om Raechan makin keras terdengar, mereka tengah membahas tentang apa yang kurang dari rasa makanan yang sedang mereka berdua siapkan.

Mama Kayana memekik senang saat akhirnya melihatku datang. “Yaampun, si cantik Elysia! Awas-awas, Pa, minggir dulu.” Respon Mama Kayana selalu menyenangkan. Aku senyum-senyum sendiri saat Mama Kayana merangkulku dan mengajakku mendekat ke panci yang sedang mengepulkan uap panas.

“Karena tau Elys mau dateng, Mama Kayana sengaja masak sup iga. Nanti makan yang banyak, ya, Sayang,” ucapnya seraya mengelus rambut panjangku.

Aku melingkarkan lengaku di pinggang Mama Kayana. Membisikkan rasa terimakasih karena mama kesayangan Kak Gio itu sudah mau repot-repot menyiapkan makanan kesukaanku.

“Gia mana, Ma?”

“Gia? Tuh diungsiin ke rumah neneknya sama Om kamu.”

Aku menoleh ke arah Om Raechan. “Diungsiin kenapa, Om?” tanyaku.

“Biasa, lagi bandel. Pusing deh, Om dengerin dia nangis berjam-jam. Ungsiin aja.”

“Om kamu itu mau bikinnya doang, ngurusinnya gak mau.” Mama Kayana mencibir Om Raechan sambil menatapnya jengkel.

Aku dan Om Raechan hanya tertawa saja. Kami lalu lanjut bercakap-cakap, membicarakan ini dan itu. Lalu beberapa saat kemudian, Mama Kayana memintaku menyusul Kak Gio ke kamar untuk memberitahunya bahwa makan makan sudah siap.

Kamar Kak Gio terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar tamu. Saat aku sampai di sana, pintu kamarnya terbuka. Kulongokkan kepala melalu celah pintu dan tidak kudapati Kak Gio di dalam kamarnya. Nampaknya laki-laki itu masih berada di dalam kamar mandi.

“Kak Gio?” panggilku agak keras.

“Ya, Cantik? Sebentar, Kakak masih cukuran.” Kak Gio juga menjawab dengan menaikkan suaranya agar terdengar sampai luar.

“Oke.”

Sambil menunggu Kak Gio selesai, aku melihat-lihat kamarnya. Suasananya masih sama seperti terakhir kali aku masuk kesini. Kamar Kak Gio selalu rapi, sebab Mama Kayana selalu memeriksanya setiap hari dan mengomel apa bila kamar ini berantakan. Buku-buku milik Kak Gio tertata rapi di rak buku bercat putih. Di sisi kamar yang lain, meja rias sederhana menjadi tempat Kak Gio menyimpan beberapa kebutuhannya, seperti pomade, parfume, sisir, dan beberapa produk perawatan wajah dan badan. Di dekat kamar mandi, diletakkan sebuah keranjang plastik yang digunakan untuk wadah pakaian kotor.

Di kamar ini juga terdapat dua jendela besar yang mengarah ke taman. Kak Gio selalu membukanya setiap pagi sehingga sirkulasi udara di kamarnya sangat baik— sama sekali tidak ada bau apek dan kesan lembab. Tirai jendela itu bergerak-gerak saat angin bertiup cukup kencang. Rupanya hujan mulai turun, rintiknya menabrak kaca jendela. Aku buru-buru menutupnya agar tidak tempias ke dalam kamar.

Di luar sudah gelap sepenuhnya saat Kak Gio keluar dari kamar mandi. Dia lantas mendekatiku yang berdiri di dekat jendela. Lengannya melingkari pinggangku. Dagunya diletakkan di bahuku. Hembusan nafasnya bisa kudengar dari jarak sedekat ini.

“Malem ini nginep aja, ya? Gak usah pulang,” katanya pelan sementara aku hanya terkekeh.

Kalimat ini selalu dia ucapkan ketika aku berkunjung ke rumahnya.

“Nanti Kakak yang telfon ayah kamu.”

“Kakak mau bilang apa ke Ayah?”

Kak Gio diam sebentar sebelum menjawab dengan suara yang masih sama pelannya, “Om, Elys nginep di rumah aja, ya? Ujannya deres banget, nanti Elys jadi duyung lagi kalau kecipratan air.

“Menurut Kak Gio, Ayah bakal jawab apa?”

Gio, kamu pikir Om Pan sama Tante Kiya ini keturunan duyung, kah? Lagian ya, kamu nganterin dia kan pakai mobil, gak akan kecipratan air. Gak usah alasan, ayo anter dia pulang, besok dia kuliah” Kak Gio menirukan suara ayahku dengan fasih.

Lagi-lagi, aku terkekeh. Entahlah, saat bersama Kak Gio dan keluarganya, tawaku selalu saja tidak mau berhenti.

“Ah, iya, Kak...”

“Hm?”

“Tadi Alana tanya ke aku soal hubungan kita. Aku gak tau harus jawab apa.”

Alana adalah anak Om Juan dan Tante Kenari. Dia satu angkatan denganku, di jurusan yang sama. Kami juga mengambil mata kuliah dan jumlah SKS yang sama. Kami selalu bersama. Alana adalah seseorang yang paling dekat denganku, karena dia adalah wanita satu-satunya di antara anak-anak kawan ayahku yang lain. Ah.. Ada Sergia, tapi usianya baru tujuh tahun.

“Kamu gak tau mau jawab apa karena kamu gak tau hubungan kita ini apa atau karena kamu gak mau jujur ke Alana?”

“Karena aku gak tau sebenernya kita ini apa, Kak.” Aku mengutarakan perasaanku sesungguhnya tanpa rasa malu. Biarlah, biar Kak Gio tahu.

Aku dan Kak Gio terlalu jauh untuk dianggap sepasang kekasih tapi terlalu dekat untuk sekadar berteman. Aku lupa kapan pastinya aku dan Kak Gio berada di hubungan semacam ini. Dulu, Kak Gio hanya melihatku sama dengan dia melihat Alana dan Sergia. Aku hanya seorang adik perempuan bagi seorang Sergio Leenandar yang selalu tertarik pada gadis-gadis yang berusia lebih tua darinya. Aku lupa sejak kapan Kak Gio melihatku sebagai seorang perempuan dan memberi perhatian lebih dari yang dia berikan pada Alana dan Sergia.

Aku juga tidak ingat sejak kapan aku membuka hati padanya lebih lebar dan memperlakukannya berbeda dari caraku memperlakukan Aaron dan Gentala. Aaron adalah anak Om Markio dan Tante Jelena. Sementara Gentala adalah putra semata wayang keluarga Derovano, dengan kata lain dia adalah buah hati Om Jaenandra dan Tante Klarisa.

“Untuk sekarang, kamu bisa jawab kamu pacar Kak Gio, kamu bisa jawab kalau kamu adik Kak Gio, terserah kamu, Sayang. Apapun itu, Kakak suka. Bukannya Kakak gak mau memperjelas hubungan kita, tapi Kakak gak mau membebani kamu sama sebuah hubungan yang belum siap kamu jalani. Kak Gio tau kamu masih mau fokus kuliah, tanpa gangguan hubungan cinta.” Kak Gio membubuhkan kecupan kecil pada bahuku di akhir kalimatnya.

“Jangan terlalu dipikirin, kita jalani aja kayak gini. Kak Gio pake baju dulu, abis itu kita turun.”

Tubuhku langsung terasa dingin ketika lengan Kak Gio tidak lagi berada di pinggangku. Di luar hujan masih terus mengguyur dengan derasnya. Beberapa kali cahaya kilat menembus jendela kaca.

Aku membalikkan tubuh, hendak kembali ke ruang makan. Tapi pemandangan di depan mataku terlalu indah untuk dilewatkan. Kak Gio... laki-laki itu tengah berdiri di depan lemarinya yang terbuka. Sepertinya sedang memilih pakaian untuk dikenakan. Punggungnya yang kekar tepat berada di depan mataku. Berbeda dengan punggung ayahku yang memiliki bekas luka, punggung Kak Gio mulus tanpa cela. Bahunya kekar, tapi pinggangnya ramping.

“Mau makan malem di bawah, apa di sini aja? Kamu keliatannya lebih tergoda sama badan Kakak dari pada sup iga buatan Mama Kayana.”

Ups, aku tertangkap basah, sebaiknya aku segera keluar dari kamar ini sebelum aku tidak akan bisa keluar sama sekali.

Rest Area, pukul enam pagi.

Laki-laki yang mengenakan kaus putih polos tengah menatap kekasihnya yang tertidur di bangku penumpang. Laki-laki itu bahkan melepas sabuk pengamannya agar bisa menjangkau si gadis secara lebih dekat. Sementara si gadis cantik yang terlelap dalam dekapan selimut lembut itu, sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi kecantikannya sedang dikagumi. Mata hitam si laki-laki bergulir menelusuri tiap inci wajah gadisnya yang polos tanpa polesan riasan. Bibirnya membentuk lengkung senyum, sebuah rasa syukur sebab wajah cantik ini bisa dinikmati sedekat ini, setiap hari.

Kenari Ruth Elega, kekasih Alexander Parajuan, terlihat begitu tenang ketika tidur, tarikan nafasnya beraturan, dan dengkuran halusnya terdengar. Juan begitu menikmati apa yang ada dihadapannya saat ini hingga tanpa sadar wajahnya semakin maju untuk menggapai sesuatu yang tampak begitu ranum. Gerakan kecil itu membuat si gadis menggeliat, lantas membuka matanya perlahan sembari berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos kaca depan.

“Udah sampe, ya, Ju?” tanya Kenari.

Juan menggeleng, menandakan bahwa mereka belum tiba di tujuan. Tangannya bergerak untuk merapikan anak rambut Kenari yang jatuh menutupi dahi. “Belum, Sayang, abis ini kita keluar gerbang TOL. Nanti tiga atau empat jam lagi baru sampe. Kamu jadi mau bersih-bersih dulu gak? Mumpung di rest area, katanya gak mau keliatan kucel di depan calon mertua.”

Usai kesadarannya sepenuhnya kembali, Kenari merenggangkan badan, melenturkan otot punggungnya yang sedikit kaku sebab tertidur dengan posisi duduk selama berjam-jam lamanya. Tubuhnya terasa lebih segar setelah melakukan hal itu. Rasa kantuk yang tadi menggelayuti matanya berangsur-angsur menghilang. Di sampingnya, sang kekasih hati, dengan sabar menunggu.

“Iya, aku gosok gigi sama cuci muka dulu, ya. Nanti abis itu biar aku gantian yang nyetir.”

Juan menggeleng tegas. Penolakan yang tidak bisa dibantah lagi oleh Kenari. “Gak usah, Sayang, kamu istirahat aja. Badannya sakit gak?” tanya Juan khawatir. Sebab dia yang memaksa untuk menggunakan jalur darat dalam perjalanan kali ini. Padahal seorang tuan putri macam Kenari, selama ini diberi segala fasilitas yang memudahkan.

“Enggak, kok, kamu nyetirnya halus banget. Aku bisa tidur nyenyak, badan aku juga sama sekali gak sakit.”

Glad to know that, my love. Yaudah yuk kita bersih-bersih dulu. Setelah itu kita cari sarapan dan morning coffee. Sounds good?”

Anggukan semangat Kenari berikan pada Juan yang menatap puas setelah mengetahui respon kekasihnya. Mereka berdua lantas pergi ke kamar mandi umum yang disediakan oleh area peristirahatan. Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, Juan dan Kenari telah kembali bersama untuk mencari menu sarapan yang terlihat paling menggiurkan.

Pada pukul tujuh lebih dua puluh lima menit, mobil Juan keluar dari gerbang tol. Mobil hitam itu melaju sedang di jalanan kota sebelum akhirnya berbelok untuk menyusuri jalanan yang lebih sempit. Rumah-rumah sederhana mulai menjadi pemandangan yang bisa mereka nikmati, Kenari bahkan bisa melihat hewan-hewan seperti sapi, kerbau dan kambing dibiarkan berkeliaran di lahan terbuka. Anak-anak kecil nampak bermain di depan rumah yang berupa lahan tanah yang cukup luas. Sebagain besar rumah yang mereka lewati tidak memiliki gerbang, hingga bisa terlihat aktivitas apapun yang ada di sekitar rumah-rumah itu.

Beberapa kilometer setelah menikmati pemandangan asing itu, mobil Juan berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil lagi. Tugu selamat datang bercat putih menyambut mereka. Jalanan berbatu yang mereka lewati diapit sawah yang membentang di kiri dan kanannya.

Ini lah kampung halaman Juan.

Selamat Datang di Desa Sendang Biru

Begitu tertulis di tugu selamat datang yang tadi mereka lewati.

**

Desa dimana seorang Alexander Parajuan menghabiskan masa kanak-kanaknya adalah sebuah desa kecil bernama Sendang Biru. Sendang memiliki arti sumber air yang tidak pernah kekeringan, dan Biru menambahkan kesan bahwa sumber air yang dimaksudkan itu berwarna jernih. Seperti namanya, Sendang Biru merupakan area kecil di salah satu kaki gunung yang berada di Pulau Jawa, memiliki sumber air langsung dari pegunungan. Airnya jernih, segar dan selalu mengalir tanpa mengenal musim.

Mata pencaharian masyarakat di desa tersebut didominasi oleh petani. Beberapa dari mereka menanam padi dan sebagiannya lagi memilih untuk menanam berbagai jenis sayuran. Di sela-sela menunggu musim panen, biasanya para petani juga mencari penghasilan lain dari menyadap pohon nira yang kemudian diolah menjadi gula atau pun minuman tradisional.

Beberapa dari mereka, yang tidak tertarik atau pun tidak memiliki keterampilan dalam bidang pertanian, memilih untuk menjadi pengarajin rotan. Hasil kerajinannya akan dijual ke luar desa hingga ke luar kota.

Orang tua Juan termasuk dalam kelompok ini. Mereka pernah mencoba untuk bercocok tanam, tetapi selalu gagal panen, hingga akhirnya menyerah dan menekuni kerajinan rotan. Awalnya, bisnis ini juga tidak berjalan baik. Tidak banyak yang bisa mereka jual dalam satu bulan, bahkan untuk kehidupan sehari-hari saja tidak cukup. Kemudian pada suatu hari, paman Juan yang tinggal di pulau Bali memberi masukan bahwa ada baiknya keluarga Juan mengirimkan beberapa produk kerajinan rotan kepadanya, yang kemudian akan dia bantu penjualannya. Sebab di Pulau Bali sendiri banyak turis luar negeri yang tertarik dengan kerajian tradisional macam ini.

Bisnis itu akhirnya berjalan baik, pemasukan yang didapat oleh orang tua Juan naik secara signifikan. Pada bulan ke enam, orang tua Juan bahkan mulai memperkerjakan beberapa penduduk desa untuk membantu produksi. Hasil dari penjualan kerajinan rotan itu digunakan oleh orang tua Juan untuk mengirimnya sekolah ke Kota Jakarta. Orang tua Juan merasa perlu melakukan itu sebab pendidikan di desa mereka masih minim sekali.

Bermula dari perjalanan panjang itu, di sinilah Alexander Parajuan sekarang. Menyandang gelar sarjana di belakang namanya. Sudah mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan bahkan menaikkan taraf hidup kedua orang tuanya— yang secara tidak langsung juga membantu perekonomian Sendang Biru, sebab bisnis kedua orang tuanya makin besar setelah Juan berhasil mengekspor kerajinan rotan milih keluarganya ke beberapa negara di Asia dan Eropa.

“Kalau dingin, sweaternya dipake lagi aja, Sayang.” Juan berbisik pada gadis yang setia berada di rangkulannya sejak mereka turun dari mobil.

Si gadis, yang hari ini memilih pakaian kasual, hanya tersenyum lembut sebagai jawaban. Matanya masih sibuk mengitari sebuah lahan luas tempat dimana kediaman kekasihnya itu didirikan. Kediaman Juan berdiri kokoh di tengah-tengah dua gedung lainnya. Menurut penjelasan Juan, gedung di sebelah kiri rumahnya adalah pabrik produksi kerajinan rotan, sementara bangunan di sebelah kanan adalah ruang istirahat serta ruang makan bagi seluruh pengrajin.

Di belakang rumah keluarga Juan, sebuah gunung nampak menjulang dengan gagahnya. Berselimut hijaunya pepohonan yang memanjakan mata. Berkat pohon-pohon itu, udara yang bisa dihirup di desa ini juga berbeda sekali dengan yang selama ini gadis itu, Kenari, biasa nikmati sebagai seorang gadis kota. Udaranya bersih dan segar, jauh dari polusi udara akibat aktivitas pabrik-pabrik besar dan asap kendaraan.

“Mas Juan! Loh, sudah sampai! Kok ndak masuk, Mas?” Seorang ibu tua yang mengenakan kain batik dan atasan kebaya sederhana, berjalan dengan hati-hati ke arah dua muda-mudi yang masih saja berdiri di halaman itu. Gerakannya halus dan tertata, bahkan ketika beliau sedang berjalan seperti itu. Tiap langkah yang diambil tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Ketika sudah begitu dekat, Kenari bisa melihat kerutan di wajah ibu itu. Matanya juga sudah menua, ditambah kantung mata yang cukup besar menggelayut di bawah matanya. Aroma yang menguar dari tubuh ibu itu adalah bau melati yang lembut. Rambutnya yang didominasi uban disanggul dengan asal. Seorang ibu yang menyambut mereka ini adalah seorang ibu khas perempuan jawa yang santun dan bermartabat meskipun tampil dalam segala kesederhanaan.

“Si cantik ini belum mau diajak masuk, Bude, masih mau lihat-lihat.” Juan mengelus pelan bahu Kenari, sementara tangan kanannya menyalami si ibu yang dipanggilnya dengan sebutan bude. “Bude Retno sehat?”

“Sehat, Mas. Bapak sama Ibu sekedap meleh wangsol. Mbaknya diajak makan dulu saja, monggo.”

Bude Retno juga mendekat pada Kenari kemudian berkata perlan sembari tersenyum, “Makan dulu ayo, Mbak, Bude tunggu di dalam ya.” Dan berlalu pergi.

“Makan dulu, ya? Nanti dilanjutin lagi liat-liatnya.” Juan ikut membujuk.

Alih-alih mengindahkan ucapan kekasihnya, Kenari malah melontarkan pertanyaan lain ketika Bude Retno telah kembali masuk ke dalam rumah. “Tadi... Bude Rento bilang apa, Ju?”

“Makan, Bude suruh kita makan.”

“Bukan, bukan yang itu, yang bukan pakai bahasa Indonesia tadi itu loh.”

Kenari, yang dikencani Juan sejak enam bulan lalu itu memang lah seorang gadis yang penuh rasa ingin tahu. Bahkan kedekatan mereka juga awalnya bermula karena Kenari melontarkan begitu banyak pertanyaan kepada Juan hingga membuat Juan tertarik untuk terus berbicara padanya. Dalam enam bulan, Juan sudah terbiasa dengan sifat Kenari yang seperti itu, maka dia hanya akan tersenyum dan menjelaskan dengan sabar.

“Yang Bude Retno bilang Bapak sama Ibu sekedap meleh wangsol?”

“Nah iya-iya itu,” jawab Kenari dengan antusiasme yang tinggi.

“Itu artinya, Ibu sama Bapak sebentar lagi pulang. Itu tadi bahasa jawa, yang halus.”

“Emang bahasa jawa ada yang kasar sama yang halusnya gitu, Ju?”

Lihat, kan? Bahkan setelah mendapatkan jawaban pun, rasa penasaran Kenari bukannya berkurang, tapi malah makin bertambah. Mata gadis itu berkilat penuh semangat. Kedua telinganya terbuka lebar siap mendengarkan penjelasan Juan. Gadis itu juga berpindah posisi menjadi berhadapan dengan Juan, tidak lagi berada dalam rangkulannya.

Juan membetulkan posisi tali tas punggung yang mulai menyakiti bahunya sebelum kembali berkosentrasi pada Kenari. Juan berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman akibat beban berat tas yang digendongnya. Dia harus menyuapi hasrat penasaran Kenari lebih dulu agar gadis kesayangannya ini mau diajak masuk ke dalam rumah dan makan siang.

“Iya, bahasa jawa yang kasar biasanya dipakai untuk orang yang lebih muda, orang yang seumuran atau orang yang udah akrab banget. Nah, bahasa jawa halus dipakai untuk yang sebaliknya, untuk orang yang lebih tua dan untuk orang yang dihormati.”

“Berarti tadi Bude Retno pakai bahasa jawa halus karena kamu orang yang beliau hormati?”

“Bisa dibilang begitu, Sayang. Tapi sebetulnya karena Bude Retno segan aja untuk ngomong pakai bahasa jawa yang kasar ke aku, soalnya Bude Retno udah ngabdi sama Bapak sama Ibu dari lima tahun lalu.”

“Ah... Kayak Pak Rudi yang selalu manggil aku Non gitu ya, Ju?”

Juan tersenyum, juga membelai rambut Kenari yang ditiup angin. “Iya, Sayang, kayak gitu. Sekarang makan dulu, yuk? Sambil nungguin Bapak sama Ibu pulang.”

Sang tuan rumah membimbing tamunya untuk masuk ke dalam rumahnya yang kental sekali dengan adat jawa. Seluruh furnitur yang digunakan di rumah utama terbuat dari kayu jati yang diukir. Dinding ruang tamu dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang misterius, juga beberapa wayang kulit yang disusun apik. Pada salah satu sudut, terdapat satu set gamelan yang diletakkan berdekatan dengan sebuah keranjang rotan. Lampu ruangan merupakan lampu gantung terbuat dari perak, berisi lima lampu yang disusun melingkar.

Bersebelahan dengan ruang tamu, hanya dipisahkan oleh pembatas yang lagi-lagi terbuat dari ukiran kayu jati, merupakan ruang perjamuan. Meja makan berbentuk oval berada di tengah-tengah ruangan, lengkap dengan delapan kursi kayu. Ada sebuah almari besar berisi kerajinan keramik, yang sengaja dipajang, bukan untuk digunakan sehari-hari.

Juan menarik salah satu kursi dan mempersilakan Kenari untuk duduk. Juan meletakkan tas ranselnya di sudut ruangan, bersebelahan dengan koper kekasihnya, kemudian menyusul Kenari untuk duduk di salah satu kursi yang lain. Makanan rumahan yang sederhana tersaji di atas meja. Sop ayam hangat, tempe goreng tepung serta cabai potong segar yang dicampur dengan kecap manis. Ketika Kenari masih sibuk menatap sekeliling, Bude Retno muncul dari dapur, membawa minuman dua buah kelapa muda yang sudah dilubangi bagian atasnya.

Niki enten degan, Mas Juan. Monggo diminum, seger.”

Nggih, Bude, matur nuwun.”

Sami-sami, kalau butuh apa-apa panggil Bude saja, ya.”

Bude Retno pamit kembali ke dapur. Menyisakan rasa penasaran yang lagi-lagi menguasai kepala Kenari. Gadis itu meraih lengan Juan, hendak menayakan apa arti ucapan Bude Retno barusan. Dan karena hal itu sudah Juan hafal di luar kepala, dia menjelaskan lebih dulu bahkan sebelum pertanyaan Kenari terlontar.

“Tadi Bude Retno bilang, ini ada es kelapa muda, silakan diminum katanya, seger.”

“Ahh... gitu.” Kenari manggut-manggut. “Bude Retno manggil kamu Mas gitu lucu ya.”

“Kamu mau panggil aku Mas juga?”

“Boleh?”

“Boleh. Coba gih.”

“Mas Juan.”

Senyum Juan merekah.

“Mas Juan mau makan? Aku ambilin, ya?”

#

Dua insan tengah saling menghangatkan tubuh masing-masing di atas ranjang. Tubuh keduanya telanjang di bawah selimut tebal. Masih ada bulir keringat sisa-sisa percintaan mereka yang bergairah. Si istri menyandarkan kepalanya di dada bidang si suami— dalam keadaan sedekat dan seintim itu, dia bisa mendengar irama degup jantung suaminya. Malam makin larut, jam digital di atas nakas menunjukkan bahwa saat itu sudah pukul satu pagi.

“Tapi dari semua hal itu, ada gak satu hal aja yang kamu syukuri soal papa kamu?”

Si suami, yang ditanyai begitu tiba-tiba, merasa terkejut. Tangannya yang tadi tengah membelai lembut rambut istrinya seketika terhenti. Fikirannya mengawang, berusaha mencari jawaban paling baik untuk menjawab pertanyaan istrinya. Laki-laki itu menatap langit-langit kamar, sementara bibirnya masih terkatup rapat. Butuh beberapa waktu lagi sampai akhirnya jawaban itu didapatkan.

“Satu hal yang aku syukurin dari Papa ya, hmmm, mungkin... Papa yang gak pernah menikah lagi setelah Mama meninggal.”

“Kenapa hal itu jadi hal yang kamu syukuri, Van? Apa karena itu artinya papa kamu gak bisa lupain mama kamu?”

Laki-laki yang dipanggil Van itu menggeleng pelan. Dia mengecup bahu telanjang istrinya sebelum kemudian menjawab, “Bukan karena itu artinya Papa gak bisa lupain Mama, Ki. Tapi aku bersyukur Papa gak menikah lagi karena itu artinya aku gak harus manggil perempuan lain dengan sebutan mama. Itu artinya aku gak harus punya mama baru. Itu artinya gak ada yang gantiin posisi mama di tatanan keluarga Novanda.”

Sang istri, Adzkiya, sedikit mendongakkan kepala untuk menatap suaminya. Tangannya terulur untuk bergantian mengelus rambut Jevan. Rambut suaminya itu sedikit basah, nampaknya percintaan mereka tadi cukup gila, hingga rambut Jevan sebasah ini. Tangan itu kemudian turun, mengelus bahu Jevan yang menjadi sandarannya selama ini. Mata mereka bertautan, diiringi senyum mereka yang mengembang.

“Walaupun Papa dekat sama banyak perempuan, Papa gak pernah meresmikan hubungannya sama wanita manapun. Cuma ada satu istri selama dia hidup, dan itu adalah Mama. Mamaku, Ki. Karena hal itu, sampai kapanpun, perempuan yang akan dunia tau sebagai pendamping seorang Alexander Novanda tuh ya cuma Mama. Aku bersyukur untuk itu.”

Adzkiya tidak mengatakan apapun. Dia hanya melingkarkan lengannya yang lain pada tubuh kekar Jevan. Sementara sebelah tangannya lagi, masih memberi elusan untuk bahu suaminya itu.

“Apa kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama kalau aku pergi duluan?”

“Aku jawab pertanyaan ini bukan berarti aku mau kamu pergi duluan ya, Sayang. Aku jawab karena kamu pasti maunya aku gak lari dari pertanyaan ini.”

Adzkiya terkekeh pelan.

“Seandainya kamu pergi duluan nanti, aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Papa lakukan. Aku gak akan bikin anak kita manggil perempuan lain dengan sebutan Bunda, selain itu...”

“Tapi kamu juga bakal kayak papa kamu yang deket sama banyak perempuan gitu dong?”

“Aku belum selesai ngomong ya, Adzkiya!” Jevan memberengut. “Dengerin dulu dong makanya.”

Adzkiya terkekeh lagi, kali ini sedikit lebih keras.

“Selain itu... Aku juga gak bakal dekat sama perempuan manapun. Bukan karena aku gak mau, tapi karena aku gak bisa. Gak ada perempuan manapun yang bisa bikin aku semenggila ini, Adzkiya.”

Setelah ucapannya selesai, Jevan membimbing tubuh Adzkiya untuk duduk di atas pahanya. Selimut yang tadi menjaga tubuh telanjang Adzkiya, melorot hingga ke batas perutnya. Menyisakan pemandangan apik yang membuat sebelah bibir Jevan terangkat. Kedua payudara Adzkiya menggantung bebas tanpa penghalang apapun.

Round two?”

Alih-alih menjawabnya dengan suara, Adzkiya memilih untuk memberi jawaban lewat gerakan. Bak profesional, perempuan cantik itu menyibak rambut panjangnya, lalu kemudian mendekatkan wajahnya pada sang suami. Kecupan pertama didaratkan di kening, kemudian turun mengecup ujung hidung Jevan yang tinggi, kecupannya turun ke bibir, dan berkahir menjadi lumatan panjang kala bibir mereka berdua saling bertaut.

Suara lenguhan kecil di sela-sela ciuman mereka menciptakan irama yang memanjakan serta memuaskan pendengaran keduanya. Permainan bibir dan lidah itu berlangsung beberapa lama, sebelum akhirnya terlepas sebentar, untuk sekadar menghirup udara. Dalam keadaan itu, Adzkiya memanfaatkan waktu untuk menikmati setiap

Hari minggu itu masih pukul sepuluh, pagi yang cukup sendu sebab matahari memilih untuk bersembunyi di balik awan gelap. Angin dingin berhembus melewati jendela yang dibiarkan terbuka. Gemuruh terdengar di kejauhan, membawa sedikit rasa takut untuk seorang gadis cilik yang meringkuk di sebalah sang ayah. Sedang ibu si gadis kecil itu masih sibuk berdebat dengan anak sulungnya.

“Kalau Mama bilang enggak, artinya tetep enggak, ya, Sergio!”

Si anak sulung yang dipanggil Sergio itu langsung mengatupkan kedua tangan kala mata sang ibu melotot menyeramkan. Wajahnya ia buat sememelas mungkin, bibirnya mengerucut sedih, wajah memohon yang sulit sekali ditolak. Sementara sang ibu bercakak pinggang dengan aura penolakan yang tegas. Tidak dapat diganggu gugat. Tidak, berarti tidak. Sampai kapanpun akan tetap tidak.

“Elys itu baru ulang tahun yang ke dua puluh ya, Gio! Kamu mau digorok Om Pan emangnya?”

“Ma, aku kan cuma ajak Elys main ke pantai, berdua, masa iya cuma gara-gara itu Om Pan gorok aku, sih?”

Sang ibu memutar mata dengan malas. Sudah lebih dari tiga puluh menit perdebatan itu belum juga usai. Darah sang ibu mulai mengalir deras ke atas kepala, hanya tinggal hitungan waktu sampai amarahnya benar-benar meledak.

“Masalahnya, pantai yang mau kamu datengin itu ada di Bali, Sergio Leenandar! Om Pan tau banget ada darah mantan playboy mengalir deras di tubuh kamu. Gak mungkin lah Om Pan izinin anaknya yang super-duper cantik itu ke Bali sama keturunan buaya kayak kamu. Lagian, ya, kamu juga selama ini curhat soal cewek ke Om Pan, jelas aja dia tau kamu ini cowok macam apa.”

Wajah memelas Sergio berubah menjadi helaan putus asa. Kedua tangannya tidak lagi terkatup memohon— kini sudah terkulai lemah di sisi tubuh. Angan-angannya untuk merayakan ulang tahun gadis cantik anak dari sahabat Papa dan Mamanya itu kandas sudah. Bahu Sergio makin merunduk. Dia sudah kalah, dia menyadarinya sekarang. Ucapan ibunya barusan seperti tamparan bertubi-tubi yang menyadarkannya dari mimpi indah.

“Papa sih! Kenapa coba ngewarisin darah playboy ke aku! Sekarang repot kan, gak ada yang percaya sekalinya aku mau serius.”

Sang ayah, Raechan Leenandar, hanya tersenyum malu-malu. Ujung bibirnya bergetar menahan tawa. “Dulu juga gak ada yang percaya waktu Papa mau serius tobat.”

Di luar, rintik hujan mulai turun. Butirnya menabrak genting, menciptakan suara ramai namun menenangkan. Bau tanah yang terguyur hujan menimbulkan nostalgia masa kanak-kanak, ketika hujan masih menjadi sesuatu yang harus dirayakan dengan bermain di bawah rintiknya yang datang bersamaan. Dedaunan dan bunga-bunga di halaman depan ikut basah.

Sementara di dalam rumah, Kayana Aburima Leenandar, ibu dari dua anak, buah cintanya dengan seorang Raechan Leenandar, tengah sibuk mengeluarkan kue coklat dari dalam oven. Kue-kue kering itu lantas diletakkan di atas piring putih dan dibawa ke ruang keluarga. Di sana sudah menunggu suami dan kedua anaknya.

Sergio melirik ke arah ibunya yang kembali ke dapur untuk mengambil kopi dan susu segar. Laki-laki berusia 25 tahun itu segera memanfaatkan suasana. Sergio menggeser posisi duduknya untuk semakin dekat dengan sang ayah. Suaranya berbisik lirih hampir tidak terdengar, “Pa, tolong bantuin aku yakinin Mama, dong. Serius deh, Pa, aku gak bakal macem-macemin Elys. Gak berani juga aku, udah jiper duluan sama ototnya Om Pan.”

Raechan ikut-ikutan melirik Kayana, lalu setelah yakin suasana masih aman, dia membalas bisikan Sergio dengan sama lirihnya. Bibirnya hanya berjarak beberapa milimeter saja dari telinga Sergio. “Gini aja deh, kamu langsung minta izin aja sama Om Pan. Kalau Om Pan kasih izin, nanti Papa yang bakal yakinin Mama untuk biarin kamu pergi liburan sama Elys.”

Binar mata Sergio kembali cerah, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana yang makin menggelap. Ada pekikan senang yang meluncur begitu saja dari bibirnya. Sebelah tangannya bahkan tanpa sadar mengepal penuh semangat. Jiwa muda dalam dirinya sedang berkobar.

Sergio sudah lama menyimpan rasa pada gadis cantik bernama Elysia itu. Di antara anak Om dan Tantenya yang lain, Elysia adalah yang paling bisa menarik perhatiannya. Gadis itu memiliki perawakan tinggi dengan proporsi tubuh yang baik. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, berwarna hitam legam dan lurus alami. Saat berada pada jarak tertentu, Sergio bisa mencium aroma sampo yang menggiurkan dari rambut gadis itu. Wajah Elysia adalah perpaduan sempurna dari ayahnya, Jevander Novanda dan ibunya, Adzkiya Judith Novanda. Mata sayu yang cantik dan bibir ranum merah alami menuruni milik Adzkiya. Sementara hidung tinggi dan rahang sempurna menuruni milik Jevander.

Elysia juga menuruni hobi ibunya, merangkai bunga, dan hobi ayahnya dalam bermusik. Menjadikan hidup anak tunggal keluarga Novanda itu terlihat begitu berestetika. Saat ini Elysia duduk di tahun ketiganya di Universitas. Karena itu, gadis ranum dengan hidup aesthetic macam Elysia Judith Novanda, tidak mungkin tidak menggetarkan jiwa seorang Sergio Leenandar yang menuruni sifat pemuja wanita dari ayahnya.

“Gio, ujan-ujan gini kamu mau kemana?”

Kayana memekik kencang saat menyadari tubuh tinggi Sergio menyelinap melewati pintu depan, ketika dia baru saja kembali dari dapur. Tidak lama kemudian, suara mobil anak sulungnya itu berderu menjauh dari rumah dan hilang tergerus suara hujan. Lagi-lagi, Kayana hanya bisa memutar bola matanya dengan kesal. Sergio betul-betul versi muda dari suaminya.

Ngeyel, punya kemauan besar, tidak bisa dicegah.

“Mas, kamu tau Gio mau kemana?”

“Gak tau, Sayang. Udah biarin aja,” jawab Raechan cengengesan.

**

Kediaman keluarga Novanda sedikit berbeda dengan kediaman keluarga Leenandar, jika dinilai dari jenis bangunannya.

Raechan dan Kayana memilih rumah sederhana dengan dua lantai, memiliki halaman depan dan belakang yang luas, serta kolam renang. Mereka berdua mengusung tema homey yang tenang dan temaram.

Sementara Jevan dan Adzkiya mendiami hunian mewah dengan tiga lantai. Halaman depannya adalah sebuah halaman luas dengan gaya modern, dihiasi air mancur dan dua buah taman berbentuk melingkar di kanan dan kirinya. Area parkir yang luas berada di selatan gerbang masuk, sementara di sebelah timur dihiasi area hijau yang memanjang hingga area belakang. Beberapa jenis tanaman buah-buahan ditanam di sana. Di area belakang, dekat dengan kolam renang, disisakan sepetak tanah yang khusus digunakan untuk Adzkiya menanam tanaman hias yang cantik.

Gerbang masuk kediaman itu dibangun begitu tinggi, berwarna hitam dan keemasan. Menambah kesan megah dan misterius. Jika boleh digambarkan, kediaman keluarga Novanda mirip dengan kastil-kastil di negeri dongeng. Dan Elys adalah putri yang hidup di kastil itu.

Mobil Sergio meluncur dengan lancar melewati pintu gerbang yang terbuka otomatis. Ada mesin pendeteksi dipasang di gerbang megah itu, jika nomor dan jenis kendaraannya dikenali, maka gerbang akan dibuka melalui alat yang dikelola oleh dua satpam yang selalu siap sedia di pos depan. Sergio membunyikan klakson sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dua satpam yang mengenalinya melambaikan tangan sembari tersenyum. Setelah memakirkan mobil pada tempatnya, Sergio berlari dengan semangat memasuki area rumah.

“Eh, bau nasi goreng Tante Kiya, nih.”

Derap langkah Sergio memecah ruang tamu utama dan ruang keluarga yang lengang. Atas frekuensi kedatangannya yang terhitung sering, bisa lima kali dalam sepekan, Sergio tidak lagi perlu menekan bel ketika masuk. Dia sudah mengantongi izin itu dari sang tuan rumah. Langkahnya langsung saja menuju dapur, tempat dimana aroma sedap itu berasal.

Benar saja, ketika tubuh Sergio tiba di dapur, matanya menangkap sosok tantenya, Adzkiya, tengah sibuk menata nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas, ke piring. Ibu kandung Elysia itu tersenyum girang kala menyadari kehadiran Sergio.

“Nak, hujan-hujan begini kamu nyetir kesini? Gak dimarahin Mama?”

“Aku kabur sebelum Mama sadar, Tante,” gurau Sergio.

“Sudah sarapan?”

Sergio mengangguk seraya menambahkan, “Udah sih, Tan, tapi perut aku kayaknya gak bakal nolak nasi goreng buatan Tante, deh.”

Adzkiya terkekeh pelan. Tangannya dengan cekatan meraih satu piring kosong lagi dan mengisinya dengan nasi goreng keju yang dibuatnya dengan penuh cinta.

“Om Pan mana, Tante?”

“Om Pan? Di teras belakang, Nak. Lagi ngerokok, makanya Tante usir ke sana. Susulin aja.”

Setelah pamit kepada Adzkiya, Sergio melanjutkan langkahnya ke teras belakang. Jevander benar ada di sana, sedang merokok seorang diri.

“Om Pan,” panggil Sergio.

Senyum yang Jevander tunjukkan sama lebarnya dengan yang tadi Adzkiya tunjukkan. Semua Om dan Tantenya memang seperti itu ketika berjumpa dengan Sergio. Laki-laki yang kini telah tumbuh dewasa dan bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan besar itu dulunya adalah keponakan pertama mereka. Tak ayal, semua Om dan Tantenya seperti memiliki soft spot tersendiri untuk Sergio.

“Halo, Nak, sendiri?”

“Iya, Om, sendiri.”

“Sudah sarapan? Tadi kayaknya Tante Kiya bikin nasi goreng keju.”

Sergio duduk di sebelah Jevan, ikut mengeluarkan rokok dari saku celananya. “Iya, Om, tadi aku udah ketemu Tante Kiya di dapur.”

Asap yang berasal dari dua rokok yang menyala, mengepul ke udara. Mengghantarkan kehangatan bagi si penikmat. Rintik hujan masih satu-dua turun membasahi bumi. Awan gelap juga masih bergelayut di langit, menutup jalannya cahaya matahari untuk sampai ke bumi. Daun-daun berembun, bunga-bunga basah, dan tanah becek berlumpur.

Jevander duduk tenang di sebelah Sergio, sahabat baik Raechan itu tampak santai dengan pakaian rumahan.

“Om.”

“Hm?”

“Aku boleh ajak Elys liburan gak?”

“Kemana? Dufan?”

“Bali.”

“Hah?”

“Bali, Om.”

Plak

Suara nyaring itu berasal dari telapak tangan Jevander yang mendarat dengan mulus di tengkuk Sergio. Ya, jangan salah faham, hubungan mereka memang sedekat itu.

“Gio, Om memang sayang sama kamu, bahkan mungkin lebih dari sayangnya Om ke Elys. Tapi, Gio... Kamu ini miniatur Papamu, dan kamu juga pasti udah tau kalau dulu Papa kamu dan Om ini brengseknya sama... Jadi apa yang ada di otak kamu sekarang, Om tau sekali.”

“Masa iya? Emang apa coba yang ada di otak aku sekarang, kalau Om Pan beneran tau?”

Jevander mendesah pelan, melonggarkan sedikit keterkejutannya. “Liburan berdua, di Bali, booking satu kamar terus...”

“Kotor ih,” Sergio memotong sambil bergidik geli, “jadi dulu pikiran Om sama Papa kalau liburan berdua sama cewek tuh sekedar urusan ranjang, ya?”

Mulut Jevander terbuka, hendak protes. Tapi karena ucapan Sergio bak anak panah yang menusuk tepat di kerongkongannya, yang keluar dari rongga mulutnya hanyalah udara kosong tanpa arti. Jevander buru-buru mengibaskan tangan sebagai bentuk penyangkalan. Sementara Sergio menggeser duduknya sedikit menjauh agar bisa menatap omnya itu dengan lebih intens.

“Ckckck, gak heran sih dulu Mama sama Tante Kiya susah percaya sama Papa dan Om Pan. Pikirannya aja begini.”

“Gio...”

“Om,” ucap Sergio lugas. “Aku tuh mau ajak Elys ke Bali buat rayain ulang tahunnya. Dia sekarang udah legal, Om. She deserves something bigger than just a cake, mumpung aku bisa cuti dan Elys lagi libur semester, aku mau ajak dia liburan ke Bali sebagai hadiah ulang tahunnya.”

Jevander masih belum berbicara sebab tiap kali suara akan keluar dari rongga mulutnya, Sergio menyambar lebih cepat. Anak Raechan Leenandar itu bahkan memegang kedua tangan Jevander dengan lembut. Menyalurkan keyakinan dari dalam lubuk hatinya. “Om, percaya sama aku. Aku cuma mau ajak Elys liburan, jalan-jalan, healing. There is nothing dirty like you imagining it in your head, Om.”

“Oke, berapa hari?”

“Tiga hari, gak lama kok. Cuma main-main aja.”

Jevander menatap lurus ke arah mata Sergio. Mencari-cari keseriusan, ketulusan, kebohongan, akal bulus, atau apapun yang bisa dia temukan disana. Mata Sergio jernih dan jujur. Ketika membalas tatapan mata Jevander, mata itu juga tidak goyah. Tidak ada kebohongan disana, tidak ada sama sekali.

Jevander akhirnya membalas genggaman tangan Sergio dengan sama lembutnya. Ayah Elysia itu juga menepuk-nepuknya pelan. “Ya udah, Om izinkan. Om percaya sama kamu, tolong jangan kecewakan Om Pan, ya.”

“YES! Aku gak akan ngeceain Om Pan, janji.”

Ujung bibir Jevander naik, membentuk lengkung senyum yang cantik. Senyum itu juga berkawan dengan milik Sergio. Om dan keponakan itu saling pandang dengan senyum merekah di wajah masing-masing. Darah pemain seorang Raechan Leenandar memang benar mengalir deras di tubuh seorang Sergio Leenandar. Dan hal paling membahayakan dari seorang pemain adalah rayuannya yang sulit ditolak. Sergio baru saja mempraktekkannya.

Hujan sudah reda sepenuhnya, tapi mendung masih menaungi kota. Jevander mengajak Sergio untuk ke meja makan, menyantap nasi goreng yang sudah mendingin sebab mereka terlalu larut dalam percakapan. Elysia bergabung di meja makan beberapa menit kemudian. Gadis itu tampil ayu dalam gaun rumahan yang sederhana. Rambutnya diikat satu, menyisakan poni depan yang menutupi dahi. Aroma vanilla menguar dari tubuh Elysia dan mampu diterima dengan baik oleh indra penciuman Sergio. Mereka duduk bersebalahan tanpa rasa canggung.

Obrolan di meja makan didominasi oleh hal-hal yang santai. Ini hari minggu, waktunya rehat, tidak diperbolehkan untuk percakapan yang terlalu berat.

“Seumur kamu ini, dulu Papa kamu sudah punya istri loh, Gio.”

“Dulu, seumur Om Pan, Opa Alex juga udah punya cucu loh, Om.”

Adzkiya terkekeh melihat respon suaminya yang langsung merengut mendengar balasan sindiran dari Sergio.

“Gini aja deh, untuk dapet win-win solution, gimana kalau minggu depan aku nikahin Elys aja? Di umur segini aku bakal punya istri seperti yang Om bilang, dan di umur Om Pan yang segitu, Om bakal punya cucu seperti yang aku bilang. Deal?”

Adzkiya menghentikan tawanya, Elysia tersedak hingga terbatuk-batuk, sementara Jevander.... dia hampir membalik meja makan.

Tiga tahun lalu, patah hati membawaku menemuinya yang menyambutku dengan kelembutan. Tiga tahun lalu, sentuhan pertamanya pada rambutku dapat kurasakan. Tiga tahun lalu, sebuah senyuman menyadarkan aku bahwa hidupku yang kuanggap rusak ini masih layak untuk dijalani.

Sudah tiga tahun berlalu ternyata. Sudah tiga tahun sejak hari itu.

Malam ini, di penerbanganku dari Singapura menuju Melbourne, aku mengulas kembali apa-apa saja yang sudah aku alami bersama kekasihku, Adzkiya, pada hari-hari itu. Kami melewati banyak sekali babak yang tidak hanya melibatkan kami, tapi juga orang-orang yang kami sayangi. Ada luka, ada bahagia, ada pula perpaduan dari keduanya. Hari-hari yang kami lewati itu membuat aku lebih mengilhami hari ini, sebaik-baiknya, sebijak-bijaknya. Hari ini, hari yang dulu hanya berani aku bayangkan, akhirnya datang. Hari yang dulu hanya berani aku andai-andaikan akhirnya bisa kurengkuh dengan senang.

Hanya butuh kurang dari tiga jam, pesawat yang aku tumpangi akan mendarat di Bandar Udara Melbourne. Kekasihku akan menemuiku disana, sebab dia bilang dia akan menjemputku. Padahal biasanya, aku tidak pernah mengizinkannya. Aku lebih suka dia menyambutku di muka pintu apartemennya. Tapi khusus hari ini, hari yang menurutnya juga sangat membahagiakan, dia bersikeras ingin menjumpaiku langsung di Bandara. Tidak sabar baginya untuk duduk diam menungguku datang.

Besok, usai mengemas barang-barangnya, aku akan membawa kekasihku kembali. Kembali ke negeri tempat dia dilahirkan. Aku akan membawanya pulang. Pulang ke tempat seharusnya dia tinggal. Akan aku bunuh jarak yang membentang di antara kami. Sebagaimana aku berhasil merobohkan dinding tinggi yang papaku sengaja bangun di antara aku dan Adzkiya.

Sudah cukup, tidak akan ada lagi air mata. Akan kuganti dengan senyum bahagia. Menunggu tidak lagi akan menjadi nama tengah Adzkiya. Sebagai gantinya, akan kuberi nama belakangku untuk melengkapi nama indahnya.

Adzkiya Judith Novanda.

Istri dari seorang Jevander Novanda.

Lalu nanti, nama belakangku juga akan digunakan oleh buah hati kami.

Pada harinya nanti, ketika janji itu aku ikrarkan, akan kubuai gadis kesayangku itu dalam mahligai indah bernama pernikahan. Tidak akan kubuat dia menyesal telah memilihku dan bertahan untuk laki-laki seperti aku. Di saat sebetulnya, banyak yang rela memberikan nama belakangnya untuk dipakai Adzkiya.

Ah, aku baru saja berangan-angan lagi, ya? Maaf, kekasihku itu memang selalu membuatku ingin merancang masa depan yang indah bersamanya.

Suara kapten pesawat yang aku tumpangi menarikku kembali pada kenyataan. Saat aku mengalihkan tatapan ke jendela pesawat, bisa kulihat semburat matahari menembus gumpalan awan. Pagi hari di Melbourne, pesawat yang aku tumpangi siap mendarat. Itu artinya, setelah ini aku hanya perlu mengantre di bagian Imigrasi, sebelum akhirnya menemui kekasihku yang mungkin saja sudah menungguku di terminal kedatangan. Jangan bertanya-tanya kenapa aku tidak perlu mengambil bagasi, sebab aku memang hanya membawa ransel yang bisa kugendong. Aku tidak membawa banyak barang, karena aku bisa membelinya di kota ini. Toh, aku juga tidak akan berlama-lama. Keperluanku disini hanya untuk membawa kekasihku pulang.

Langkah kakiku berderap di lantai bandara yang dingin. Tubuhku meliuk-liuk di antara ramainya orang untuk segera keluar. Aku tidak sabar lagi, aku harus segera menangkap sosok kekasihku itu dengan mata kepalaku sendiri.

Dan ya....

Dia ada di sana.

Berdiri tenang di antara beberapa orang lain yang juga sedang menunggu.

Matanya langsung menatap sosokku saat kami hanya terhalang pintu kaca yang terbuka otomatis. Senyum teduhnya masih sama seperti tiga tahun lalu. Seolah selama tiga tahun itu tidak ada air mata yang membasahi pipinya. Seolah tiga tahun yang kami lewati susah payah itu tidak meremukkan hatinya. Adzkiya, kekasihku, dia berdiri dengan tegapnya menungguku. Seolah dia tidak pernah kubuat terduduk menangis di lorong John Medical beberapa bulan lalu. Kekasihku, Adzkiyaku, dia masih sama seperti tiga tahun lalu.

Adzkiya masih seperti rumah yang daun pintunya selalu terbuka untuk menyambutku datang. Selaras dengan lengannya yang juga langsung terbuka saat kakiku melangkah mendekat padanya.

Akhirnya, akhirnya, hari ini bisa kurengkuh tubuhnya tanpa rasa bersalah. Akhirnya bisa kuhirup aroma tubuhnya tanpa ketakutan.

War is over.

Tanpa kata-kata, tanpa suara, kami rayakan berakhirnya perang ini.

Aku telah pulang ke pelukan Adzkiya, membawa kemenangan. Akan kurayakan kemenangan ini bersamanya. Semewah-mewahnya, seramai-ramianya. Bisa lewat pelukan yang enggan kulepas. Atau dengan ciuman yang harus dia balas. Terserahlah, dengan apapun caranya, asal dengan Adzkiya, aku suka.

**

“Berarti abis itu, Ayah bawa Bunda pulang?”

Aku mengangguk sembari mengelus surai gadis berusia sepuluh tahun yang berbaring beralaskan lenganku. Lampu kamarnya telah kubuat temaram, selimut telah menutupi kami berdua, dia telah siap untuk tidur. Tapi gadis kecil ini justru memaksaku untuk kembali menceritakan bagaimana kisahku dengan Bundanya bertahun silam itu.

“Iya, setelah itu Ayah bawa Bunda pulang, ke Ayu Laga.”

“Berarti Tante Cia sendirian di Melbourne dong, Yah, waktu itu?”

Lagi-lagi aku mengangguk. “Iya, Tante Cia baru pulang setahun setelahnya.”

Gadis kecil itu melingkarkan lengannya ke leherku. Dia diam selama beberapa saat lantas kemudian kembali berkata pelan, “Makasih ya, Yah, udah jemput Bunda. Makasih udah bawa Bunda pulang. Dan makasih juga udah menikah sama Bunda.”

Usianya baru sepuluh tahun, tapi entah dari mana darah dagingku ini mendapatkan kata-kata seindah itu. Aku sampai tidak bisa membalas kalimat indahnya, sebab bukan aku yang harus dia ucapi terimakasih. Justru bundanya lah yang lebih pantas mendengar kalimat indah itu.

“Elys harusnya ucapin makasih itu ke Bunda. Karena Bunda yang udah sabar nunggu Ayah selesai sama semua masalah Ayah dulu sebelum akhirnya bisa jemput Bunda.”

“Iya, besok Elys bilang makasih ke Bunda ya, Yah.”

Malam makin larut, pelukan Elysia, anakku, juga semakin erat. Aku menepuk-nepuk pelan punggungnya agar gadis cilik yang menuruni mata indah Adzkiya ini cepat tertidur. Walaupun tampaknya dia belum mau pergi ke alam mimpi.

“Yah...”

“Ya, Sayang?”

“Ayah udah pernah cerita tentang Om Jaenan dan Tante Ica, pernah juga tentang Om Raechan dan Tante Aya... Soal Om Kiyo dan Tante El juga pernah... Hari ini, Ayah cerita lagi soal Ayah dan Bunda... Tapi Ayah belum pernah cerita soal Om Wan...”

“Elys mau denger soal cerita Om Wan?”

Samar-samar aku bisa merasakan anggukan Elysia.

“Yaudah, besok kita cerita tentang Om Wan, ya. Sekarang Elys tidur dulu, udah malem.”

“Iya.”

Malam ini, baru pukul sepuluh aku bisa kembali ke kamar. Mendapati istriku sedang mengeringkan rambutnya usai mandi. Gaun tidurnya terasa lembut saat bersentuhan dengan lenganku yang melingkari pinggangnya.

Malam ini, sebelas tahun sejak aku menjemputnya kembali ke Ayu Laga, seluruh tubuhku tetap menginginkannya sebesar hari itu. Adzkiya tetap mendiami rongga dadaku yang terasa penuh olehnya.

Rasanya, bahkan seribu tahun setelah hari ini, aku akan mencintainya sebesar ini. Selalu, selamanya. Ya, selamanya....

Sebab bersama Adzkiya, kata seumur hidup tidak terasa lama.

Jakarta, Ruang Rapat Utama Novanda Group, pukul dua siang.

Jajaran direksi serta beberapa pemangku jabatan lain di bawahnya, sudah kembali berkumpul di ruang rapat utama Novanda Group sejak pukul satu siang tadi, usai makan siang bersama. Berkas lampu proyektor kembali mengarah lurus ke layar, menampilkan sebuah grafik saham yang menarik untuk dilihat. Alexander— pemegang saham terbesar dan utama Novanda Group— duduk tenang di kursinya. Sementara beberapa rekannya yang lain sibuk bercakap-cakap membahas tentang pemberhentian beberapa direksi serta pengangkatan CEO (Chief Executive Officer) baru yang akan menggantikan posisi seorang Alexander Novanda.

Beberapa hari kebelakang, rapat pemegang saham terus dilakukan, menimbang beberapa opsi kandidat yang akan menggantikan posisi penting tersebut. Jevan, Jevander Novanda, putra tunggal Alexander Novanda, merupakan kandidat terkuat. Ditentang oleh sebagian pemegang saham, namun juga didukung oleh yang sebagiannya lagi. Sementara Jevan sendiri selalu mangkir dari pertemuan penting itu, membuat kepala papanya seakan mau meledak.

Tidak terkecuali hari ini, Jevan baru muncul di ruang rapat saat waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore. Calon penerus Novanda group itu muncul dengan keadaannya yang berantakan, wajahnya sayu seperti kurang tidur, rambut pirangnya berantakan tidak disisir, dan lebih buruk dari itu semua... Jevan muncul hanya dengan mengenakan kaus hitam kusut yang dimasukkan ke dalam celana jeans robek-robek. Bau alkohol juga menguar dari tubuhnya yang belum tersentuh air.

“Maaf, saya baru bangun.” Itu adalah kalimat pertama yang Jevan ucapkan saat obrolan dari seluruh peserta rapat terhenti untuk menatapnya. “Saya bahkan gak mandi, gak gosok gigi, langsung lari kesini. Jadi maaf kalau saya seberantakan ini. Semalam saya ada jadwal manggung jadi saya...”

“Duduk, Novanda.” Alexander memotong ucapan anaknya dengan cepat.

Ruang rapat menjadi lengang, tidak ada satupun yang kembali bicara. Jarum jam berdetak lebih lambat dari yang seharusnya. Jevan bahkan bisa mendengar suara detakannya dari tempatnya duduk.

Alexander mengangkat muka, memberi kode pada salah seorang direksi yang bertugas memimpin pertemuan untuk melanjutkan tugasnya.

“Baik, karena Pak Jevander Novanda sudah bergabung bersama kita disini maka pemungutan suara bisa dilakukan.”

“Tunggu.” Sebuah suara mengiterupsi dari seberang sisi Jevan duduk. Seorang laki-laki seusia papanya, menatapnya dengan sinis. “Sebelum dilakukan pemungutan suara, saya ingin tahu dulu kemana perginya calon penerus perusahaan ini pada sidang-sidang sebelumnya?”

“Maaf, Pak Robert, tapi apakah ini ada kaitannya dengan pemungutan suara?” tanya pemimpin pertemuan dengan begitu hati-hati.

“Tentu, kami harus tau dulu, apakah ada alasan yang lebih penting bagi seorang Jevander Novanda hingga beliau mangkir dari rapat-rapat penting.”

Jevan hanya terkekeh pelan, lantas membalas tatapan orang yang mempertanyakan keberadaannya itu. “Saya punya beberapa jadwal tampil yang tidak bisa saya tinggalkan. Pak Robert pasti sudah tau kan kalau background saya sebetulnya adalah musik?”

Wajah Alexander mengeras begitu mendengar jawaban putranya yang terdengar begitu tolol. Kesabarannya sudah hampir habis, tergerus sikap Jevan yang semena-mena.

“Pak Alex, apakah hal ini luput dari pengawasan Pak Alex sebagai ayahnya? Anak Bapak ini akan jadi penerus perusahaan, Pak. Kami tau Pak Alex adalah pemegang saham terbesar, tapi maaf, kami tidak bisa begitu saja menyetujui usul Pak Alex untuk memberikan jabatan sepenting ini pada anak Bapak yang belum dewasa.”

“Setuju,” ucap Jevan tanpa takut akan seperti apa respon papanya. “Saya juga sebetulnya lebih suka bermusik dari pada mengurus perusahaan sebesar ini.”

Alexander tidak tahan lagi. Kepalanya bukan hanya terasa akan meledak, tapi sekarang rasa-rasanya seperti ditarik paksa dari tubuhnya. Dengan terpaksa, laki-laki gagah itu berdiri dari duduknya dan berkata tegas, “Mohon maaf, pemungutan suara terpaksa saya tunda. Saya akan agendakan untuk pertemuan selanjutnya. Hari ini saya harus bicara empat mata dengan anak saya. Mohon pengertiannya.”

Tanpa mengatakan apapun lagi, Alexander keluar dari ruangan setelah memberi kode pada Jevan untuk mengikutinya.

**

“Kamu apa-apaan, Novanda?” Alexander menatap geram Jevan yang duduk santai di sofa yang berada di ruangan papanya.

Warna rambut dan penampilan anaknya itu sungguh menganggu penglihatan Alexander.

“Papa sudah minta assistant kamu untuk informasikan ke kamu tentang pertemuan penting selama seminggu ini, kenapa kamu tidak datang?” Suara Alexander tidak keras, dia sadar bahwa mereka masih berada di kantor. Tapi tatapan mata yang dia berikan kepada Jevan seperti siap menerkam kapan saja.

“Dan lihat penampilan kamu, rambut aneh, tidak mandi, berantakan, kamu kira kamu pantas masuk ke ruang pertemuan dengan keadaan seperti ini? Lalu apa kata kamu tadi? Jadwal manggung kamu banyak? Sejak kapan kamu kembali ke musik? Papa sudah bilang untuk lupakan soal musik!”

“Jevan gak tertarik sama perusahaan, Pa. Jevan mau main musik aja.”

Plak

Telapak tangan Jevander melayang begitu saja, menghantam keras pipi kanan Jevan sebagai balasan atas jawabannya yang kurang ajar.

“Pukul aja, Pa, gak papa. Toh Papa pernah hampir bunuh Jevan.”

Ayah dan anak itu saling pandang dalam waktu yang lama. Kebencian tergambar jelas pada wajah mereka masing-masing. Sementara di lubuk hati mereka ada perasaan saling menyayangi yang tertutupi kebencian.

“Jevan gak pernah lupa, Pa. Jevan gak pernah lupa alasan Jevan sampai harus dirawat di John Medical waktu itu.” Urat-urat di leher Jevan mengeras, sebelah tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. “Jevan cuma pura-pura lupa supaya Papa gak ganggu Adzkiya lagi.”

“Kamu...”

“Jevan gak pernah lupa sama Adzkiya, Pa. Bahkan sedetik pun.”

Sudut bibir Jevan terangkat, merasa puas akan respon papanya. “Selama ini, Papa yang minta Jevan untuk ngelakuin ini dan itu, memilih ini dan itu. Hari ini, hari ini Jevan yang akan minta Papa untuk melakukan dan memilih sesuatu.”

Jevan bergerak menuju meja kerja papanya, mengetik beberapa hal pada komputer yang juga milik papanya, lalu beberapa saat kemudian, mesin pencetak mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat perjanjian. Jevan membawa kertas itu ke hadapan papanya.

“Dengan surat perjanjian ini, Jevan gak akan pernah membangkang lagi ke Papa soal perusahan, Jevan akan jadi anak yang baik untuk seorang Alexander Novanda dan menjadi CEO yang baik untuk Novanda Group. Jevan pastiin, Papa akan hidup nyaman sampai kapanpun tanpa harus khawatir soal bisnis yang Papa bangun ini akan jatuh ke orang yang salah. Jevan akan tinggalin musik sepenuhnya dan fokus ke perusahaan. Tapi sebagai gantinya, Papa harus janji sama Jevan untuk gak mengurusi kehidupan pribadi Jevan lagi.”

Ruangan tiba-tiba terasa panas bagi Alexander, ayah Jevan itu bahkan harus melepas jas yang sejak tadi dikenakannya. Diliriknya mesin pendingin yang ternyata sudah berada di suhu terendah. Tenggorokan Alexander juga mengering, dia butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Tapi tidak ada apapun di atas meja selain surat perjanjian yang baru saja diberikan oleh Jevan.

“Jevan tau Pa kalau salah satu pemegang saham di perusahaan ini ada yang berkhianat di belakang Papa sampai Papa harus buru-buru mengangkat Jevan jadi CEO yang baru. Jevan juga tau kalau Papa gak bisa percaya sama siapapun lagi sekarang makanya Papa sampai harus ambil keputusan secepat ini. Maaf, Jevan gak bermaksud mengambil keuntungan dari keadaan Papa. Jevan cuma ingin hidup tenang sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, Jevan juga akan pastikan Papa untuk hidup tenang.”

Fakta yang baru terucap dari bibir Jevan itu menggetarkan hati Alexander. Laki-laki itu tidak lagi bisa berkilah, bibirnya kelu. Alexander terjepit keadaan. Anaknya yang pembangkang ini justru menjadi satu-satunya orang yang dia percaya tidak akan pernah menusuk dirinya dari belakang. Sepembangkang apapun seorang Jevander Novanda, tidak akan pernah mengkhianati ayah kandungnya sendiri. Alexander percaya itu.

“Pa, Jevan tumbuh dari orang tua yang menikah karena bisnis. Jevan tumbuh tanpa melihat cinta di antara Papa sama Mama. Karena itu Jevan gak ingin anak-anak Jevan tumbuh seperti Jevan, Pa. Jevan ingin anak-anak Jevan tumbuh di keluarga yang hangat, yang penuh cinta. Dan Jevan sendiri gak ingin hidup seperti Papa dan Mama yang terpaksa tinggal satu atap tapi saling menyakiti. Jevan gak ingin berakhir seperti itu, Pa. Karena itu, Jevan mohon izinin Jevan sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, terserah Papa mau gunain Jevan sebagai apa.”

Jevan menghembuskan nafas lelah sebelum melanjutkan, “Jevan sebetulnya malu harus melakukan ini ke Papa, tapi Jevan terpaksa, Pa. Jevan gak mau Papa ganggu perempuan yang Jevan sayang. Jadi sekarang Papa harus memilih, menyelematkan perusahaan ini atau melihatnya hancur perlahan-lahan.”

“Papa harus tanda tangan dimana?” Setelah sekian menit terlewat tanpa adanya percapakan, akhirnya Alexander berkata lemah. Perkataan yang cukup untuk membuat Jevan menghujaninya dengan tatapan tidak percaya.

Sebetulnya, sama dengan Jevan, Alexander juga merasa lelah sekali. Dia lelah harus terus-terusan mengintai kegiatan anak kandungnya, dia lelah harus terus-terusan meluangkan waktu untuk membicarakan bisnis dengan semua orang yang ditemuinya, dia juga lelah harus terus-menerus bersitegang dengan darah dagingnya sendiri. Usianya semakin tua, Alexander sudah tidak sekuat dulu. Hal itu dibuktikan dengan adanya pengkhianatan dari jajaran direksi yang selama ini dipercayanya. Itu artinya, pengaruh Alexander tidak lagi sekuat dulu. Dia butuh Jevan, yang lebih kuat secara fisik dan psikis untuk melanjutkan kepemimpinannya. Meskipun dengan itu, artinya dia harus merelakan Jevan bersama dengan perempuan yang tidak memenuhi kriterianya.

Tapi setidaknya, hal itu sedikit lebih baik dari pada melihat Jevan terus-terusan membangkang dan berakhir menghancurkan diri serta kokohnya perusahaan.

Alexander menyerah. Mengambil keputusan paling bijak yang bisa dia lakukan sekarang ini.

“Papa kasih kamu waktu satu minggu, ubah warna rambut kamu, tinggalin musik, dan ambil hati para pemegang saham supaya mereka setuju kamu menggantikan Papa.” Alexander berucap sembari menggerakkan tangannya untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian.

“Setelah itu kamu bisa ke Ayu Laga untuk menemui penjual bunga itu.”

“Namanya Adzkiya, Pa.”

“Ya, Adzkiya.”

Jakarta, Ruang Rapat Utama Novanda Group, pukul dua siang.

Jajaran direksi serta beberapa pemangku jabatan lain di bawahnya, sudah kembali berkumpul di ruang rapat utama Novanda Group sejak pukul satu siang tadi, usai makan siang bersama. Berkas lampu proyektor kembali mengarah lurus ke layar, menampilkan sebuah grafik saham yang menarik untuk dilihat. Alexander— pemegang saham terbesar dan utama Novanda Group— duduk tenang di kursinya. Sementara beberapa rekannya yang lain sibuk bercakap-cakap membahas tentang pemberhentian beberapa direksi serta pengangkatan CEO (Chief Executive Officer) yang akan menggantikan posisi seorang Alexander Novanda.

Beberapa hari kebelakang, rapat pemegang saham terus dilakukan, menimbang beberapa opsi kandidat yang akan menggantikan posisi penting tersebut. Jevan, Jevander Novanda, putra tunggal Alexander Novanda, merupakan kandidat terkuat. Ditentang oleh sebagian pemegang saham, namun juga didukung oleh yang sebagiannya lagi. Sementara Jevan sendiri selalu mangkir dari pertemuan penting itu, membuat kepala papanya seakan mau meledak.

Tidak terkecuali hari ini, Jevan baru muncul di ruang rapat saat waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore. Calon penerus Novanda group itu muncul dengan keadaannya yang berantakan, wajahnya sayu seperti kurang tidur, rambut pirangnya berantakan tidak disisir, dan lebih buruk dari itu semua... Jevan muncul hanya dengan mengenakan kaus hitam kusut yang dimasukkan ke dalam celana jeans robek-robek. Bau alkohol juga menguar dari tubuhnya yang belum tersentuh air.

“Maaf, saya baru bangun.” Itu adalah kalimat pertama yang Jevan ucapkan saat obrolan dari seluruh peserta rapat terhenti untuk menatapnya. “Saya bahkan gak mandi, gak gosok gigi, langsung lari kesini. Jadi maaf kalau saya seberantakan ini. Semalam saya ada jadwal manggung jadi saya...”

“Duduk, Novanda.” Alexander memotong ucapan anaknya dengan cepat.

Ruang rapat menjadi lengang, tidak ada satupun yang kembali bicara. Jarum jam berdetak lebih lambat dari yang seharusnya. Jevan bahkan bisa mendengar suara detakannya dari tempatnya duduk.

Alexander mengangkat muka, memberi kode pada salah seorang direksi yang bertugas memimpin pertemuan untuk melanjutkan tugasnya.

“Baik, karena Pak Jevander Novanda sudah bergabung bersama kita disini maka pemungutan suara bisa dilakukan.”

“Tunggu.” Sebuah suara mengiterupsi dari seberang sisi Jevan duduk. Seorang laki-laki seusia papanya, menatapnya dengan sinis. “Sebelum dilakukan pemungutan suara, saya ingin tahu dulu kemana perginya calon penerus perusahaan ini pada sidang-sidang sebelumnya?”

“Maaf, Pak Robert, tapi apakah ini ada kaitannya dengan pemungutan suara?” tanya pemimpin pertemuan dengan begitu hati-hati.

“Tentu, kami harus tau dulu, apakah ada alasan yang lebih penting bagi seorang Jevander Novanda hingga beliau mangkir dari rapat-rapat penting.”

Jevan hanya terkekeh pelan, lantas membalas tatapan orang yang mempertanyakan keberadaannya itu. “Saya punya beberapa jadwal tampil yang tidak bisa saya tinggalkan. Pak Robert pasti sudah tau kan kalau background saya sebetulnya adalah musik?”

Wajah Alexander mengeras begitu mendengar jawaban putranya yang terdengar begitu tolol. Kesabarannya sudah hampir habis, tergerus sikap Jevan yang semena-mena.

“Pak Alex, apakah hal ini luput dari pengawasan Pak Alex sebagai ayahnya? Anak Bapak ini akan jadi penerus perusahaan, Pak. Kami tau Pak Alex adalah pemegang saham terbesar, tapi maaf, kami tidak bisa begitu saja menyetujui usul Pak Alex untuk memberikan jabatan sepenting ini pada anak Bapak yang belum dewasa.”

“Setuju,” ucap Jevan tanpa takut akan seperti apa respon papanya. “Saya juga sebetulnya lebih suka bermusik dari pada mengurus perusahaan sebesar ini.”

Alexander tidak tahan lagi. Kepalanya bukan hanya terasa akan meledak, tapi sekarang rasa-rasanya seperti ditarik paksa dari tubuhnya. Dengan terpaksa, laki-laki gagah itu berdiri dari duduknya dan berkata tegas, “Mohon maaf, pemungutan suara terpaksa saya tunda. Saya akan agendakan untuk pertemuan selanjutnya. Hari ini saya harus bicara empat mata dengan anak saya. Mohon pengertiannya.”

Tanpa mengatakan apapun lagi, Alexander keluar dari ruangan setelah memberi kode pada Jevan untuk mengikutinya.

**

“Kamu apa-apaan, Novanda?” Alexander menatap geram Jevan yang duduk santai di sofa yang berada di ruangan papanya.

Warna rambut dan penampilan anaknya itu sungguh menganggu penglihatan Alexander.

“Papa sudah minta assistant kamu untuk informasikan ke kamu tentang pertemuan penting selama seminggu ini, kenapa kamu tidak datang?” Suara Alexander tidak keras, dia sadar bahwa mereka masih berada di kantor. Tapi tatapan mata yang dia berikan kepada Jevan seperti siap menerkam kapan saja.

“Dan lihat penampilan kamu, rambut aneh, tidak mandi, berantakan, kamu kira kamu pantas masuk ke ruang pertemuan dengan keadaan seperti ini? Lalu apa kata kamu tadi? Jadwal manggung kamu banyak? Sejak kapan kamu kembali ke musik? Papa sudah bilang untuk lupakan soal musik!”

“Jevan gak tertarik sama perusahaan, Pa. Jevan mau main musik aja.”

Plak

Telapak tangan Jevander melayang begitu saja, menghantam keras pipi kanan Jevan sebagai balasan atas jawabannya yang kurang ajar.

“Pukul aja, Pa, gak papa. Toh Papa pernah hampir bunuh Jevan.”

Ayah dan anak itu saling pandang dalam waktu yang lama. Kebencian tergambar jelas pada wajah mereka masing-masing. Sementara di lubuk hati mereka ada perasaan saling menyayangi yang tertutupi kebencian.

“Jevan gak pernah lupa, Pa. Jevan gak pernah lupa alasan Jevan sampai harus dirawat di John Medical waktu itu.” Urat-urat di leher Jevan mengeras, sebelah tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. “Jevan cuma pura-pura lupa supaya Papa gak ganggu Adzkiya lagi.”

“Kamu...”

“Jevan gak pernah lupa sama Adzkiya, Pa. Bahkan sedetik pun.”

Sudut bibir Jevan terangkat, merasa puas akan respon papanya. “Selama ini, Papa yang minta Jevan untuk ngelakuin ini dan itu, memilih ini dan itu. Hari ini, hari ini Jevan yang akan minta Papa untuk melakukan dan memilih sesuatu.”

Jevan bergerak menuju meja kerja papanya, mengetik beberapa hal pada komputer yang juga milik papanya, lalu beberapa saat kemudian, mesin pencetak mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat perjanjian. Jevan membawa kertas itu ke hadapan papanya.

“Dengan surat perjanjian ini, Jevan gak akan pernah membangkang lagi ke Papa soal perusahan, Jevan akan jadi anak yang baik untuk seorang Alexander Novanda dan menjadi CEO yang baik untuk Novanda Group. Jevan pastiin, Papa akan hidup nyaman sampai kapanpun tanpa harus khawatir soal bisnis yang Papa bangun ini akan jatuh ke orang yang salah. Jevan akan tinggalin musik sepenuhnya dan fokus ke perusahaan. Tapi sebagai gantinya, Papa harus janji sama Jevan untuk gak mengurusi kehidupan pribadi Jevan lagi.”

Ruangan tiba-tiba terasa panas bagi Alexander, ayah Jevan itu bahkan harus melepas jas yang sejak tadi dikenakannya. Diliriknya mesin pendingin yang ternyata sudah berada di suhu terendah. Tenggorokan Alexander juga mengering, dia butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Tapi tidak ada apapun di atas meja selain surat perjanjian yang baru saja diberikan oleh Jevan.

“Jevan tau Pa kalau salah satu pemegang saham di perusahaan ini ada yang berkhianat di belakang Papa sampai Papa harus buru-buru mengangkat Jevan jadi CEO yang baru. Jevan juga tau kalau Papa gak bisa percaya sama siapapun lagi sekarang makanya Papa sampai harus ambil keputusan secepat ini. Maaf, Jevan gak bermaksud mengambil keuntungan dari keadaan Papa. Jevan cuma ingin hidup tenang sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, Jevan juga akan pastikan Papa untuk hidup tenang.”

Fakta yang baru terucap dari bibir Jevan itu menggetarkan hati Alexander. Laki-laki itu tidak lagi bisa berkilah, bibirnya kelu. Alexander terjepit keadaan. Anaknya yang pembangkang ini justru menjadi satu-satunya orang yang dia percaya tidak akan pernah menusuk dirinya dari belakang. Sepembangkang apapun seorang Jevander Novanda, tidak akan pernah mengkhianati ayah kandungnya sendiri. Alexander percaya itu.

“Pa, Jevan tumbuh dari orang tua yang menikah karena bisnis. Jevan tumbuh tanpa melihat cinta di antara Papa sama Mama. Karena itu Jevan gak ingin anak-anak Jevan tumbuh seperti Jevan, Pa. Jevan ingin anak-anak Jevan tumbuh di keluarga yang hangat, yang penuh cinta. Dan Jevan sendiri gak ingin hidup seperti Papa dan Mama yang terpaksa tinggal satu atap tapi saling menyakiti. Jevan gak ingin berakhir seperti itu, Pa. Karena itu, Jevan mohon izinin Jevan sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, terserah Papa mau gunain Jevan sebagai apa.”

Jevan menghembuskan nafas lelah sebelum melanjutkan, “Jevan sebetulnya malu harus melakukan ini ke Papa, tapi Jevan terpaksa, Pa. Jevan gak mau Papa ganggu perempuan yang Jevan sayang.”

“Papa harus tanda tangan dimana?” Setelah sekian menit terlewat tanpa adanya percapakan, akhirnya Alexander berkata lemah. Perkataan yang cukup untuk membuat Jevan menghujaninya dengan tatapan tidak percaya.

Sebetulnya, sama dengan Jevan, Alexander juga merasa lelah sekali. Dia lelah harus terus-terusan mengintai kegiatan anak kandungnya, dia lelah harus terus-terusan meluangkan waktu untuk membicarakan bisnis dengan semua orang yang ditemuinya, dia juga lelah harus terus-menerus bersitegang dengan darah dagingnya sendiri. Usianya semakin tua, Alexander sudah tidak sekuat dulu. Hal itu dibuktikan dengan adanya pengkhianatan dari jajaran direksi yang selama ini dipercayanya. Itu artinya, pengaruh Alexander tidak lagi sekuat dulu. Dia butuh Jevan, yang lebih kuat secara fisik dan psikis untuk melanjutkan kepemimpinannya. Meskipun dengan itu, artinya dia harus merelakan Jevan bersama dengan perempuan yang tidak memenuhi kriterianya.

Tapi setidaknya, hal itu sedikit lebih baik dari pada melihat Jevan terus-terusan membangkang dan berakhir menghancurkan diri serta kokohnya perusahaan.

Alexander menyerah. Mengambil keputusan paling bijak yang bisa dia lakukan sekarang ini.

“Papa kasih kamu waktu satu minggu, ubah warna rambut kamu, tinggalin musik, dan ambil hati para pemegang saham supaya mereka setuju menggantikan Papa.” Alexander berucap sembari menggerakkan tangannya untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian.

“Setelah itu kamu bisa ke Ayu Laga untuk menemui penjual bunga itu.”

“Namanya Adzkiya, Pa.”

“Ya, Adzkiya.”

Melbourne, pukul sepuluh pagi.

Ruang makan apartemen yang biasanya sepi, pagi ini ramai oleh suara tawa Jevander yang sibuk menggoda Adzkiya. Mulai dari menarik pita ikatan rambut, melepas tali apron, menggelitik pingging sampai menyembunyikan alat masak yang Adzkiya perlukan. Entahlah, Adzkiya juga tidak habis fikir kenapa energi laki-laki itu bak terisi penuh pagi ini. Padahal seingat Adzkiya, semalam, kekasihnya itu masih bersungut-sungut kesal saat tidak dia perbolehkan tidur di kamar bersamanya.

“Jevan, ini lama-lama nasi goreng kamu bisa tumpah kalau kamu gak bisa diem, ya!” Itu adalah peringatan kesekian yang Adzkiya berikan, yang kesekian kalinya juga Jevan abaikan.

“Mending kamu duduk anteng di meja makan sana deh!”

“Cium dulu, abis itu aku duduk.”

Adzkiya memutar bola matanya, namun tetap melakukan apa yang Jevan mau. Tidak apa lah, satu ciuman demi kedamaian proses memasak sarapan yang sudah berlangsung lebih dari satu jam itu.

Cup

Senyum Jevan melebar, lalu dengan riang, laki-laki itu berjalan ke arah meja makan dan duduk dengan tenang di sana. Sebelah tangannya digunakan untuk menopang dagu, manik matanya tidak lepas menatap seluruh gerak-gerik yang Adzkiya lakukan. Aneh ya, padahal Jevan hanya bisa menatap punggung Adzkiya, tapi baginya pemandangan pagi ini jauh lebih indah dari pada pemandangan menakjubkan negara manapun yang pernah dia kunjungi.

Senyum Jevan merekah penuh, dan semakin lebar saat akhirnya sepiring nasi goreng dengan ekstra keju terhidang di depannya. Aroma nasi goreng hasil masakan Adzkiya menguar, memenuhi indra penciumannya dan memberi efek pada dirinya. Mulut Jevan terasa berliur, tidak sabar untuk menerima gebrakan dari makanan kesukaannya itu.

“Makan, abis itu mandi. Juan bahkan udah keliling Melbourne, kamunya malah sibuk gangguin aku di dapur.”

“Tujuan aku sama dia kan beda. Dia kesini nemenin aku, sekalian explore Melbourne. Sementara aku kan kesininya buat habisin waktu sama kamu.”

Adzkiya tidak menjawab, gadis itu hanya duduk di sebelah Jevan. Menyajikan segelas susu segar dingin sebagai pendamping nasi goreng yang dimasaknya.

“Aku makan ya,” ujar Jevan semangat, lantas mengambil satu sendok penuh nasi untuk disuapkan ke mulutnya sendiri.

Adzkiya masih diam. Matanya menikmati ekspresi wajah Jevan yang terlihat kegirangan. Mulutnya sibuk menguyah, tapi senyumnya tidak luntur. Bahkan matanya sampai membentuk bulan sabit, khas sekali seorang Jevander Novanda ketika tersenyum senang.

“Setelah pulang dari sini, apa yang pertama kamu mau lakuin, Van?”

Jevan menelan makanannya kemudian menjawab tenang, “Ketemu Kenari mungkin, buat mikirin cara batalin pertunangan itu. Setelah tau caranya, langsung dilakuin aja sebelum Papa yang gerak duluan. Setelah beres urusan perjodohan itu, aku mulai mikirin cara buat bilang ke Papa tentang kita, tanpa bikin aku dan kamu dalam bahaya.”

“Kayaknya itu yang susah ya.” Adzkiya tersenyum lembut, tangannya terulur untuk membersihkan ujung bibir Jevan dengan ibu jarinya.

Jevan mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke samping. Tidak lagi menghadap meja makan, sebab pemandangan di sampingnya lebih enak dipandang. Sebelah kakinya naik ke atas kursi, kemudian dia meletakkan dagunya di atas lututnya sendiri.

“Iya, kayaknya agak susah. Bakal butuh waktu. Kamu sabar, kan, nungguin aku?”

Lagi-lagi Adzkiya tersenyum lembut. “Harus berapa kali aku bilang, Van? Aku sabar nungguin kamu. Waiting is my middle name, aku udah biasa nunggu,” gurau Adzkiya guna memperbaiki suasana.

Jevan menurunkan kakinya dari kursi lalu meraih tangan kiri Adzkiya, mengelus jari manis gadis itu. “Walaupun gitu, aku boleh gak isi jari manis kamu sekarang? Aku gak pengen kamu keliatan kayak perempuan single, aku pengen orang-orang tau kamu ada yang punya, Ki. Jujur, aku takut banget sebenernya ngelepas kamu disini sendirian, tiap hari aku kepikiran. Gimana ya kalau Kiya ketemu sama cowo lain, gimana ya kalau waktu gue jauh ternyata ada yang bisa bikin Kiya nyaman di Melbourne, gimana ya....”

“Kamu bawa cincinnya gak?” potong Adzkiya cepat. Tidak ingin mendengar kekhawatiran Jevan yang sama sekali jauh dari kenyataan itu.

Jevan lantas mengeluarkan kotak beludru dari saku hoodienya. Ketika kotak itu dibuka, sebuah benda mengkilap menyilaukan mata. Benda mungil itu tampak cantik tertimpa cahaya matahari yang menelisik masuk melalui jendela yang terbuka. Jevan memilih cincin keluaran merek terkemuka, Cartier, jenis white gold rings dengan sentuhan batu permata di atasnya.

“Aku milih yang ini karena rasa-rasanya design ini bakal cantik banget di jari kamu. Kamu suka gak?”

“Suka. Cantik, Van, cincinnya.”

“Boleh aku pakein?”

Adzkiya menjawab pertanyaan itu dengan mendekatkan jemarinya ke arah Jevan, yang langsung tersenyum senang. Dipasangkannya cincin yang telah dia pilih ke jari manis Adzkiya. Cincin permata itu langsung menyatu dengan jari manis Adzkiya yang lentik dan putih bersih.

“Sekarang udah tenang, kan? Di jari aku ada cincin dari kamu, di leher aku ada bekas ciuman kamu. Ck, fix sih abis ini aku gak bakalan laku lagi.” Adzkiya pura-pura mengeluh, padahal jauh di lubuk hatinya dia senang bukan kepalang.

Untuk pertama kalinya, hubungan yang dia bangun dibawa sejauh ini. Untuk pertama kalinya, perjuangan yang dia lakukan tidak berjalan sendirian. Untuk pertama kalinya, keadaan menunggunya dijanjikan sesuatu yang manis.

Adzkiya tahu, jalan mereka mungkin lebih parah dari sekadar kata panjang. Tapi seperti kata Jevan, selagi mereka bersama, semuanya akan terasa lebih ringan. Mungkin tidak mudah, tapi ringan saja sudah cukup.

“Tapi bekas ciuman itu paling lama cuma bertahan dua minggu, Ki. Aku tambahin ya?”

“Ngaco woooo.”

Adzkiya mengacak rambut Jevan, membuat kekasihnya itu lagi-lagi tertawa.

“Serius, mau gak? Mumpung gak ada orang di apartemen nih.” Jevan memajukan wajahnya, mendekati Adzkiya yang menatapnya nyinyir.

“Sekarang emang gak ada, tapi nanti kalau kamu macem-macem, pasti ada aja halangannya. Gak inget emang kejadian kemarin sama yang waktu Kenari telfon?”

Jevan mendengus, ucapan Adzkiya ada benarnya. Baiklah, dari pada harus berhenti di tengah jalan, lebih baik untuk tidak memulainya sama sekali. Jevan mengembalikkan perhatiannya pada nasi goreng lezat yang tersisa di piringnya. Meyakinkan diri bahwa nasi goreng ini lebih menggiurkan dari pada seorang Adzkiya Judith Hartoni. Sebelah kakinya kembali dia naikkan, tangan kanannya juga kembali sibuk menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.

“Ngomong-ngomong soal Kenari, sekarang kamu udah yakin, kan, kalau dia baik?”

Jevan mengangguk. “Ya lumayan lah, 70 persen.”

Be nice to her, jangan galak-galak.”

“Iya, Tuan Putri, siap.”

Pagi itu, di antara cuaca sejuk Melbourne City, Adzkiya menatap kembali cincin yang melingkar di jemarinya. Ada harapan besar di sana, besar sekali. Dan dia berdoa, semoga harapan itu tidak akan mengkhianatinya.

Melbourne, pukul tiga sore.

Bulan April, suhu rata-ratanya berkisar 14 hingga 21 derajat celcius. Masih sama dengan suhu Ayu Laga. Jevan masih meringkuk di atas ranjang, tubuhnya yang sudah berhoodie masih perlu dia tutupi dengan selimut tebal yang sudah Adzkiya siapkan. Sementara di sisi ranjang yang lain sudah kosong—seharusnya ada Juan disana, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu bangun sejak pukul satu tadi. Perutnya berisik minta diisi.

Empat puluh menit kemudian, hampir pukul empat sore. Jevan baru menggeliat pelan, matanya menggerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Ada secercah senyum dalam wajah kantuknya tatkala dia sadar bahwa hari ini, dia terbangun di bawah atap yang sama dengan kekasihnya. Meskipun sejak datang tadi, sekitar pukul sepuluh pagi, Jevan sama sekali belum bersitatap dengan Adzkiya— sebab gadisnya itu telah berangkat untuk florist course. Sementara teman serumah Adzkiya, juga sedang berada di Universitasnya untuk mengikuti perkuliahan. Maka itu, usai berganti pakaian serta sedikit bersih-bersih, Jevan dan Juan memilih untuk langsung tidur saja. Mengganti energi yang mereka habiskan untuk menempuh hampir 17 jam perjalanan.

“Wan?”

Tidak ada sahutan.

“JUAN?!”

Masih tetap tidak ada sahutan.

Jevan bergerak bangun, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang lantas meraih ponsel dari meja nakas. Satu pesan muncul di layar, pesan dari Juan yang berisi,

Gue tadi laper banget, terus gue cari makan ke luar, soalnya gak ada Kak Kiya mau minta masakin. Eh ternyata cuaca di luar bagus, abis makan gue langsung jalan-jalan, gak usah kaget kalau gue gak di flat.”

Jevan membalas pesan itu, kemudian turun dari ranjang. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari susu segar— seperti yang selalu dia lakukan. Senyuman lagi-lagi menghiasi wajahnya saat dia membuka lemari pendingin, ada dua botol susu segar di sana, keduanya masih penuh. Ini pasti Adzkiya yang baru menyiapkannya saat tahu Jevan akan datang. Selesai dengan urusan itu, Jevan kembali ke kamar, dia harus mandi, sebab sebentar lagi Adzkiya akan pulang.

Sementara itu, di sisi lain, seorang gadis tengah mengantre di sebuah kedai makanan. Ada dua orang lagi di depannya, gadis itu bergerak-gerak gelisah, matanya terus-terusan melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Jevan pasti udah bangun, dia pasti laper.” Gadis itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. Makin tidak sabar untuk mendapat giliran memesan.

Lima menit kemudian tiba gilirannya untuk memesan. Gadis itu mengucap pesanannya dengan cepat, karena sudah menghafalnya di luar kepala.

Two Brisket Beef, one Brekky Tortilla Wrap, and one Smoked Salmon Bagel, please?

Si pelayan mengangguk dan sibuk menggerakkan jemarinya di atas layar komputer, menginformasikan nilai uang yang harus dibayar lalu memberikan struk pembayaran. Setelah itu Adzkiya bergeser ke bagian pick up untuk menunggu makanan yang dipesannya. Tidak perlu waktu lama, kurang dari sepuluh menit pesanan telah siap. Adzkiya lalu bergerak cepat untuk pulang ke flat. Langkah cepatnya sampai menarik perhatian beberapa orang.

Ketika tiba di flat, Adzkiya disambut sepasang sepatu yang begitu dia kenali, Air Jordan Hyper Royal berwarna perpaduan biru dan abu-abu, sepatu kesayangan seorang Jevander Novanda. Sebentar, tapi seharusnya ada sepasang sepatu lagi di sana. Kemana sepatu milik Juan?

“Jevan? Juan?” Adzkiya mencoba memanggil, tapi tidak mendapat sahutan. Rungunya menangkap suara berisik dari kamar mandi yang berada di kamar tamu. Dia melangkah kesana, melongokkan kepala setelah mengetuk pintu kamar.

“Siapa yang ada di kamar mandi? Juan? Jevan?” Kali ini Adzkiya sedikit mengeraskan suaranya, sebab seseorang di dalam sana tampaknya sedang menggunakan alat shaving electric yang menimbulkan suara cukup berisik.

“Van?” panggil Adzkiya lagi, kali ini benar-benar dengan suara keras.

“Ya? Aku di kamar mandi, Sayang.” Jevan akhirnya menyahut, membuat Adzkiya punya keberanian untuk mendekat.

Pintu kamar mandi dibiarkan terbuka, menampilkan Jevan yang terlihat segar usai mandi. Rambutnya masih basah, beberapa tetes air membasahi punggung dan dadanya yang telanjang, handuk putih melilit di pinggang laki-laki itu. Posisi Jevan membelakangi Adzkiya, tapi dia bisa melihat kekasihnya itu dari pantulan cermin. Mereka melempar senyum lewat sana.

“Juan mana?” tanya Adzkiya seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi, mendekat pada Jevan yang masih sibuk dengan alat shavingnya di depan vanities bathroom.

“Tadi katanya cari makan, kelaperan dia. Terus lanjut jalan-jalan sendirian. Akunya ditinggal, soalnya aku baru bangun.” Jevan sempat melirik ke arah Adzkiya yang beridiri di belakangnya, melirik melalui kaca. “Sebentar, ya, nanggung nih, abis ini aku peluk.”

Adzkiya tidak menjawab, perhatiannya teralih pada hal lain— punggung Jevan, serta bekas luka sabetan di sana. Jarinya bergerak menyentuh ujung bekas luka, lalu bergerak sesuai jalur bekas lekas itu. Setelah selesai pada bekas luka yang satu, jarinya berpindah pada bekas luka yang lain.

“Luka ini... pasti dulunya sakit banget ya, Van?”

Jevan mematikan alat shavingnya kemudian meletakkannya dengan asal. Laki-laki itu lantas mengambil sebelah lengan Adzkiya yang tidak sibuk menyentuh bekas lukanya. “Sini deh,” ucapnya seraya mengangkat tubuh Adzkiya dan mendudukannya di atas vanities.

“Dari pada liat punggung aku, mending kamu liat yang ini,” Jevan melirik ke arah dada dan perutnya yang telanjang. “Yang depan masih mulus, gak kayak yang belakang. Pemandangan ini jauh lebih bagus buat kamu,” katanya dengan sebelah alis terangkat.

Adzkiya terkekeh, teringat obrolan mereka kemarin pagi saat membahas enam kotak di perut Jevan.

“Sayang banget yang keliatan cuma empat,” Adzkiya melingkarkan lengannya pada leher Jevan.

Kali ini Jevan yang terkekeh saat menangkap arti ucapan kekasihnya. Empat kotak yang terlihat, sebab dua lainnya tertutup lilitan handuk.

“Mau liat semuanya? Aku bisa buka kalau kamu mau.” Jevan melingkarkan lengannya pada pinggang Adzkiya.

“Belum siap,” bisik Adzkiya lirih.

Jevan kembali terkekeh seraya mengangguk. “Bilang ke aku kapan pun kamu siap. Nanti aku buka.”

“Aku lebih suka kamu buka apa yang ada di sini dari pada apa yang ada di bawah sana.” Adzkiya menyentuh kening Jevan dengan jari telunjuknya. “Bilang ke aku apapun yang bikin kepala kamu berisik sampai kamu gak bisa tidur, Van.”

Jevan mencium kening Adzkiya dan menahannya beberapa saat. Saat ciuman itu terlepas, Jevan berkata pelan, “Papa datengin keluarga Kenari dan ngebahas tentang pertunangan aku dan Kenari.”

Adzkiya diam, mendengarkan.

“Tapi Kenari gak mau nerima pertunangan itu, begitu juga aku. Kita berdua lagi cari cara untuk ngebatalin rencana Papa. Tapi kita harus mikirin caranya baik-baik, supaya gak jadi masalah baru. Kenari gak mau kamu kena masalah, Ki. Kenari bilang, Papa sempet ngebahas tentang aku yang lupa sama kamu. Dia pengen aku cepet-cepet terikat sama Kenari, jadi sekalipun nanti aku inget sama kamu lagi, aku udah gak bisa kemana-kemana, karena ada Kenari.”

“Kalau gitu, ada baiknya aku tetep di sini aja ya, Van? Keberadaan aku di sekitar kalian cuma akan nambah masalah.” Adzkiya bertanya takut-takut. “Aku takut Kenari juga ada dalam bahaya karena ikut masuk ke permainan ini. Aku takut Papa kamu akhirnya tau kalau selama ini Kenari bantu kamu untuk ketemu sama aku. Aku gak mau Kenari diusik juga sama Papa kamu, Van.”

“Aku denger dari Elen, kamu gak keberatan untuk nunggu aku lebih lama. Kamu beneran gak papa kalau harus disini lebih lama?”

“Gak papa,” Adzkiya menjawab cepat. Sebab dia memang sudah membahas hal ini dengan Klarisa dan Jelena. “Aku gak papa disini lebih lama lagi, asal kamu, sahabat-sahabat kamu dan Kenari baik-baik aja.”

Jevan mengangguk. “Maaf ya harus bikin kamu nunggu lagi.”

“Aku yang seharusnya minta maaf karena aku gak bisa bantu apa-apa.”

“Keberadaan kamu udah sangat cukup buat aku, Ki.”

Jevan and his smart mouth. What should we do with this smart Jevan, hm?”

Kiss me.”

Saat bersama Jevan, tawa Adzkiya tidak pernah surut dari bibir ranumnya. Biasanya, ketika Adzkiya melontarkan pertanyaan what should we do with this smart, Jevan? Maka Jevan akan berkata, come and kiss me. Tapi sekarang, karena dia telah ada tepat di depan Adzkiya, hanya kiss me yang Jevan ucapkan, membuang kata come entah kemana. Dan itu... begitu lucu bagi Adzkiya.

Setelah tawanya reda, Adzkiya menyentuh bibir Jevan dengan ujung jarinya. “Where? Here?”

Lalu jari itu turun, membelai leher jenjang Jevan. “Here?

Selesai di sana, jemari Adzkiya turun lagi. Mengelus pelan bahu hingga dada Jevan. “Here?

Or.... here?” Pada akhirnya, jemari Adzkiya berhenti di atas otot perut Jevan yang terasa keras di telapak tangannya.

Atas semua belaian itu, Jevan menggeram. Sentuhan Adzkiya membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang coba dia padamkan. Berjalan dua tahun hubungan mereka, Jevan sebetulnya telah menahan diri selama ini. Tiap kali Adzkiya di sekitarnya, ingin rasanya langsung dia sergap saja tubuh mungil itu. Tapi perasaan cintanya berhasil mengontrol Jevan selama ini. Selama hampir dua tahun, Jevan telah berhasil menjaga batas yang Adzkiya bangun di antara mereka— meskipun beberapa kali dia hampir melewatinya.

Dan hari ini, perasaan untuk melewati batas itu datang lagi. Adzkiya ada di depannya. Tampil cantik dalam balutan kemeja biru muda yang kancingnya dia biarkan terbuka, tanktop putih mengintip dari baliknya. Rambut Adzkiya yang biasanya dibiarkan tergerai, hari ini dikuncir kuda. Membuat leher jenjang Adzkiya berada tepat di depan mata Jevan. Leher yang seputih susu itu seakan mengundang Jevan untuk memberi jejak di sana. Jejak kemerahan yang bisa dia ciptakan dengan isapan pelan dari bibirnya. Isapan yang akan memancing lenguhan mesra dari bibir Adzkiya.

Crap

Jevan telah masuk dalam imajinasinya sendiri. Sentuhan Adzkiya betul-betul memberi efek besar padanya.

“Ki, none home, could I....” ucap Jevan seraya tangannya menyentuh kerah kemeja Adzkiya. “I... can't think staright right now... Could I....”

Tell me what you want, Jevander.”

I want you,” ucap Jevan cepat.

Adzkiya mengangguk, mengerti. “I'm yours,” balasnya pelan. Lalu dia membiarkan Jevan melepas kemeja biru yang dia kenakan.

Bibir mereka sudah saling menjamah. Tangan Adzkiya setia melingkari leher Jevan, sementara tangan Jevan sibuk meremas pinggang Adzkiya pelan. Tangan itu juga dengan berani berusaha meraih sesuatu di punggung Adzkiya— sebuah pengait menuju sesuatu yang Jevan dambakan. Bibir Jevan berpindah ke leher Adzkiya, memujanya. Kecupan-kecupan kecil dia daratkan di sana, sebelum akhirnya melakukan sesuatu yang sejak dulu diinginkannya, memberi jejak di sana. Jevan melakukannya di beberapa tempat, sampai dia puas. Adzkiya melenguh pelan, meremas rambut belakang Jevan.

Tepat saat Adzkiya menyentuh ikatan handuk yang Jevan kenakan, ponsel di sakunya berdering...

Bukan hanya getaran, tapi dering yang kencang.

Membuat mereka terkejut setengah mati. Jevan bahkan hampir mengumpat ketika Adzkiya dengan terkejut mendorong pelan tubuhnya.

“Siapa, sih?” tanya Jevan frustasi.

Adzkiya menggeleng, pertanda tidak tahu, lalu diraihnya ponsel dari saku. Nama Juan ada di sana.

“Gak usah diangkat.” Jevan meraih ponsel Adzkiya, mematikannya. Lalu meletakkan ponsel itu di sebelah alat pencukur yang juga sudah dia campakkan.

Tanpa basa-basi, Jevan kembali meraih tubuh Adzkiya, hendak melanjutkan apa yang sempat tertunda. Tapi lagi-lagi, sesuatu menghadang mereka. Bel pintu berbunyi berkali-kali, gedoran pada pintu juga terdengar tidak sabar.

“Jep! Buka Jep! Lo denger gue gak?”

“Kayaknya Juan di luar, mungkin dia lupa passcodenya, aku buka dulu pintunya. Kalau dia terus teriak kayak gitu, tetangga flat bisa keganggu.”

Belum sempat Jevan memprotes, Adzkiya sudah lebih dulu turun dari vanities, meraih kemejanya dan mengenakannya kembali, kali ini dengan memasang seluruh kancingnya. Lalu gadis itu menyentuh sebelah pipi Jevan, megecup bibirnya sekilas, dan berucap pelan, “Pake baju, terus keluar, makan. Tadi aku beli makanan.”

Adzkiya baru akan melangkah menjauh saat Jevan menahan pergelangan tangannya. “Kamu aja yang ganti baju, biar aku yang bukain.”

“Kenapa?”

“Kamu mau Juan liat apa yang baru aja kita lakuin?” Jevan menunjuk leher Adzkiya dengan matanya.

Gadis itu terkesiap, baru tersadar. “Oh iya! Yaudah aku ke kamar ya, tolong buka pintunya.”

Akhirnya Adzkiya berlalu, meninggalkan Jevan yang siap mendamprat sahabatnya yang baru datang itu.

Sudah dua kali dia gagal. Yang pertama saat Kenari meneleponnya, dan kali ini karena Juan. Sungguh, seharusnya dia membawa Adzkiya ke negeri antah brantah di saat tidak ada siapapun di sana.