Kamar 401
Kamar 401.
Kode masuk 010877.
Dingin, terang dan berantakan. Kesan pertama yang muncul saat Kenari masuk ke dalam apartemen itu. Dingin, sebab si pemilik apartemen membirkan pintu pembatas balkon terbuka lebar saat hujan deras mengguyur kota. Air hujan tempias membuat lantai basah. Terang, sebab si pemilik apartemen membuka seluruh tirai penutup jendela, juga menyalakan seluruh lampu bahkan di siang hari. Dan berantakan, sebab si pemilik apartemen tampaknya belum sempat membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Sebotol wine terletak di atas meja, bersebelahn dengan gelas tinggi yang kosong. Tidak jauh dari sana, bungkus makanan cepat saji teronggok di sisi meja yang lain. Kaus dan jaket diletakkan dengan asal di sofa. Kaus kaki dan sepatu juga bertebaran di atas karpet, di saat seharusnya mereka ada di rak sepatu di dekat pintu masuk.
Lalu dimana si pemilik apartemen itu?
Dia ada di sofa, meringkuk kedinginan. Matanya terpejam, rambutnya berantakan, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang bertelanjang dada. Kenari berjalan ke arah kamar, meraih selimut rajut, lalu kembali ke ruang depan dan menyelimuti Jevan. Berharap agar laki-laki itu tidak perlu lagi repot-repot memeluk dirinya sendiri guna mengusir dingin. Lalu gadis yang tampil cantik dalam balutan pakaian santai itu menutup pintu yang mengarah ke balkon. Juga menutup seluruh tirai. Ruangan seketika menjadi hening, temaram dan hangat.
Apartemen Jevan yang berantakan tidak luput dari perhatian Kenari. Gadis itu meletakkan kaus, jaket dan kaus kaki Jevan ke keranjang baju kotor. Mengembalikan botol wine yang masih sisa setengah, ke dapur, mencuci gelas kotor yang Jevan gunakan untuk minum-minum, juga membuang bungkus makanan cepat saji. Lantas setelah semuanya selesai, Kenari duduk di atas karpet, di dekat Jevan tertidur. Mengambil satu foto untuk dia kirimkan kepada Alexander, papa Jevan, sebab itulah alasan dia datang ke apartemen ini. Dikabarkannya pada Alexander bahwa anak semata wayangnya ini dalam keadaan baik, tentu dengan meninggalkan fakta bahwa Jevan tertidur usai menenggak alkohol yang entah seberapa banyak.
Sekian menit terlewat, Kenari hanya sibuk membuka aplikasi sosial media di ponselnya. Sampai akhirnya dia bosan. Entah kenapa, saat itu dia memutuskan untuk memandangi wajah Jevan yang terlelap saja. Seolah pemandangan itu justru lebih menarik dari pada konten yang disajikan pada sosial media. Ketika tidur, wajah Jevan tidak ubahnya wajah anak-anak yang polos. Bulu matanya yang panjang seakan mampu menyapu pipinya yang mulus. Hidungnya tinggi, bibirnya mengatup sempurna dan tetap terlihat kemerahan meskipun Jevan adalah seorang perokok. Jika Kenari boleh memuji, dia pasti akan bilang bahwa Jevan terlihat begitu tampan bahkan dengan rambut yang acak-acakan dan bau alkohol menyengat dari tubuhnya.
Jemari Kenari lancang, menyentuh kesempurnaan wajah Jevan itu dengan ujung-ujung jarinya. Mulai dari kening, hidung, hingga turun membelai bibir. Gadis itu berani, sebab dia tahu Jevan sedang mabuk berat. Jevan tidak akan merasakan sentuhannya ini. Jikapun dia merasakan, laki-laki ini akan lupa ketika dia bangun nanti. Maka itu Kenari bergerak lebih berani, jari-jemarinya merapihkan rambut Jevan yang berantakan. Lalu beralih membetulkan selimut yang menutupi tubuh bagian atas Jevan yang telanjang. Dia sudah sempat melihat tubuh kekar itu tadi, sempat tergoda untuk membayangkan akan sangat nyaman bersandar disana. Tapi dienyahkannya pemikiran itu jauh-jauh, sebab jatuh cinta pada seorang Jevander Novanda tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Lebih dari itu semua, Jevan sudah memiliki kekasih hati, yang posisinya mustahil untuk digeser. Maka disini dia sekarang, hanya untuk menikmati ciptaan Tuhan yang Maha Baik.
“Mungkin lebih baik saya cari kesibukan lain.” Kenari berbisik pada dirinya sendiri, lantas berdiri dari duduknya dan hendak berjalan menjauh. Tepat saat itulah, pergelangan tangannya ada yang menahan. Jevan, laki-laki itu meraih pergelangan tangan Kenari tanpa sadar.
“Jangan kemana-kemana, disini dingin.” Jevan bergumam pelan, gumaman yang lirih sekali, namun Kenari masih bisa mendengarnya. “Dingin,” lenguh Jevan lagi, kali ini sambil menarik pelan pergelangan tangan Kenari hingga membuatnya terduduk begitu dekat dengan Jevan yang masih saja memejamkan matanya.
“Kamu gak matiin AC, ya?” Pertanyaan itu dilayangkan dengan sedikit lebih jelas.
Kenari melirik ke arah pendingin ruangan dan mendapati alat itu memang masih menyala dengan suhu rendah. Dia lalu mematikannya. Kenari beralih kepada Jevan yang kini tengah memeluk lengannya selayaknya guling. Gadis itu bisa merasakan bahwa telapak tangannya bersentuhan langsung dengan kulit perut Jevan yang terasa kokoh dengan enam kotak yang terbentuk. Kenari menelan ludah, posisi ini cukup membuatnya.... bingung.
“Katanya kamu gak mau dateng, ternyata kamu dateng, ya?”
“You come to kiss me?“
“Where? On the lips?“
Rancauan Jevan membuat perasaan Kenari makin aneh. Rancauan itu seperti upacara pembangkitan sesuatu dalam dirinya yang telah lama Kenari matikan. Ucapan Jevan, sentuhan Jevan... Kenari hampir hilang akal. Didekatkannya wajahnya pada wajah Jevan, tinggal berjarak beberapa sentimeter saja sebelum dia berhasil merengkuh bibir ranum itu. Sayang, Jevan lebih dulu menyadarkannya dengan cara yang halus... Tepat saat bibirnya akan mendarat pada milik Jevan, laki-laki itu malah bergumam pelan... Memanggil nama kekasihnya, dengan penuh cinta.
“Adzkiya, you are mine and i'm yours. Jangan kemana-kemana, ya.”
Kenari tersenyum, tersadar dari kebodohannya sendiri. Menarik diri dari Jevan dan menuju dapur. Melakukan hal lain untuk mendistraksi diri. Sambil sesekali merutuki diri sendiri.
Jevan sudah jatuh sedalam-dalamnya untuk sosok yang bernama Adzkiya. Adzkiya telah tumbuh terlalu besar dalam diri Jevan. Seharusnya Kenari ingat itu. Selamanya.
**
Pukul tujuh malam, hujan di luar sudah reda, menyisakan satu-dua rintiknya yang menabrak jendela. Kenari sedang menyiapkan sup panas di dapur saat Jevan perlahan membuka kedua matanya. Mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Kepalanya pusing, untungnya tidak terlalu parah. Laki-laki itu masih bisa melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya untuk melihat waktu. Lantas dia menegakkan tubuh, bersandar pada sofa sambil memijit kepalanya pelan. Pandangannya berpendar mengelilingi seisi apartemen yang kini tampak rapi. Jevan menyerngit bingung, terlebih saat dia menyadari ada aktivitas di dapur apartemennya.
“Wan? Jaen? Kak Kiyo? Rae?” panggil Jevan acak, menebak siapa di antara mereka yang datang ke apartemennya.
“Kamu sudah bangun?”
“Kenari?”
“Ya, ini saya.”
Jevan makin bingung, dia kemudian menyusul ke dapur dan mendapati Kenari tampak lihai menata meja makan.
“Kamu mau mandi dulu atau langsung mau dengar alasan kenapa saya ada disini sekarang?” Kenari bertanya tanpa memandang Jevan.
“Disuruh Papa?” terka Jevan langsung.
Kenari mengangguk mengiyakan. “Papa kamu sedang di Singapura dan katanya kamu semalam tidak pulang. Papa kamu minta saya datang, lengkap dengan supir yang mengantar saya kesini.”
“Saya pikir dia sudah kasih saya kelonggaran, ternyata enggak.” Jevan bergumam pelan. “Yaudah saya mandi dulu, ya. Saya bau alkohol.”
Jevan menyelinap keluar dari dapur tanpa menunggu jawaban Kenari. Gadis itu sempat melirik punggung Jevan yang ternyata memiliki bekas luka yang cukup mengerikan. Ada seperti luka sabetan yang sudah mengering, tapi bekasnya tidak mau hilang. Kenari penasaran dari mana bekas luka itu berasal, tapi dia tidak mungkin menanyakannya.
Kenari tidak ingin terlibat lebih jauh dalam hidup Jevan. Dia tidak ingin lagi hilang kendali seperti tadi. Sudah cukup, sudah cukup hubungan mutualisme antara mereka. Kenari tidak akan berharap lebih dari itu.