Good at Loving

Untuk ketiga kalinya Kenari duduk di kursi penumpang mobil milik seorang Jevander Novanda. Kali pertama adalah saat mereka akan pergi ke rumah Raechan, kali kedua saat diantar asisten Jevan menuju Bandara untuk pergi ke Melbourne, lalu yang ketiga adalah hari ini. Mereka baru selesai menghadiri acara potong pita pada salah satu cabang usaha baru milik keluarga Kenari. Acara itu berjalan baik, meskipun Kenari dan Jevan merasa lelah sekali harus berperan menjadi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka mendapat setidaknya tujuh pertanyaan tentang kapan mereka akan melangsungkan pertunangan. Untungnya, Kenari begitu lihai menjelaskan bahwa mereka masih terlalu dini untuk membicarakan hal seserius itu. Gadis yang tampil cantik dalam balutan gaun berwarna hitam itu dengan piawainya berkilah dari pertanyaan-pertanyaan sejenis tanpa harus merepotkan Jevan.

Acara selesai setelah makan malam, pukul setengah delapan. Mereka berdua langsung membelah jalanan Jakarta untuk menuju rumah Raechan, menemui si kecil Sergio. Tadi, Kenari bilang ingin ikut kesana dan Jevan tidak punya alasan untuk melarang. Toh pada pertemuan pertama Kenari dan Sergio, si kecil itu begitu menyukai keberadaan tante barunya. Jalanan Jakarta cukup lengang malam itu, Jevan bisa leluasa mengemudikan mobilnya di jalanan yang basah usai hujan sore tadi.

“Nar, saya boleh tanya sesuatu?”

Kenari yang duduk tenang di samping Jevan menggumam pelan sebagai jawaban.

“Kalau sedang girl's time, biasanya perempuan ngapain aja, ya?”

“Hmmm....” Kenari tampak berfikir sebentar. “Snack and movie time, karaoke, gossiping, gitu-gitu aja sih, kenapa?”

“Semua hal itu... emang gak seharusnya pasangannya tau, ya?”

Tawa terdengar dari samping kiri Jevan. “Kenapa gak boleh? Ya boleh dong.”

Jevan memukul setir mobilnya pelan. “Tuh kan...”

Ucapan Jevan tidak selesai, terinterupsi oleh panggilan masuk yang tampak dari perangkat di mobilnya yang tersambung pada ponsel. Nama Klarisa Ayumi Adetama muncul sebagai si penelepon.

Tanpa mengucap salam pembuka lebih dulu, Jevan langsung merepet panjang. “Ca, lo jujur sama gue deh, kemarin kalain girl's timenya ngapain aja? Gue udah tanya semua orang, ya, dan mereka semua bilang kalau gak ada satupun kegiatan girl's time yang cowoknya gak boleh tau! Sekarang lo jujur, kemarin lo ajak cewek gue ngapain? Kenapa sampe segala lo bilang kalau Kiya gak dalam keadaan proper untuk difoto dan dikirim ke gue? Sebenernya kalian ngapain?”

Tawa pecah terdengar dari seberang sana. Tidak hanya berasal dari suara Klarisa saja, tapi juga Adzkiya.

Jev... Jev... santai,” ujar Klarisa masih dengan sisa tawa. “Bukannya gak boleh tau, kok, gue cuma ngerasa lo gak akan sanggup aja kalau gue beneran kirim foto Kak Kiya ke lo.

Jevan merengut, tanpa sadar. “Emang kalian ngapain sih? Please jujur aja sama gue, gue kepikiran tau, sampe gak bisa tidur.”

Sukurin, selamat gak bisa tidur, Jevander. Gue sih bakal tidur nyenyak ya, tidur di kasur Kak Kiya, dipeluk Kak Kiya, bisa cium aroma tubuhnya Kak Kiya yang baru mandi ini. Eh Jev, serius deh, Kak Kiya kalau abis mandi dan rambutnya basah dan acak-acakan gini, sexy banget tau. Ditambah lagi piyama tidurnya yang...

“Ica!” Adzkiya menggeram. Yang terdengar setelahnya adalah suara dua orang gadis yang saling berebut ponsel.

Adzkiya menang, gadis itu berhasil merebut ponsel Klarisa dari genggaman. “Van, jangan dengerin Ica ya, Sayang.

Jevan terkekeh, bibirnya tidak lagi cemberut. “Aku jadi ngebayangin apa yang diomongin Ica barusan, Ki.”

Jangan! Gak boleh ngebayangin! Kamu dimana sekarang? Udah makan malem?” Adzkiya nampak berupaya membelokkan percakapan.

Jevan mengangguk, meskipun Adzkiya tidak akan bisa melihatnya. “Udah, ini aku lagi jalan ke rumah Gio. Nanti aku kabarin kalau udah sampe sana, ya. Kamu baik-baik, awas digigit Ica. I love you.”

I love you more, J! Salam anak-anak.

“Iya, Sayang.”

Bip

Panggilan terputus, menyisakan Jevan dengan senyumnya yang masih mengembang. Bahkan hanya dengan mendengar suara Adzkiya saja sudah membuatnya sebahagia ini. Belum lagi bayangan Adzkiya yang tengah mengenakan pakaian malam dan rambut basahnya yang berantakan.... Sudah cukup, atau Jevan akan sulit tidur malam ini.

“Waktu kamu berbicara dengan mereka tadi, kamu kelihatan berbeda sekali ya, Van.” Suara itu terdengar, menyadarkan Jevan bahwa dia tidak sendirian. Sejak tadi ada Kenari yang ikut bersemu mendengar cara Jevan berbicara pada seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan Ica, juga cara Jevan berbicara pada kekasihnya.

“Beda gimana?” Jevan bertanya, masih dengan wajah penuh senyum.

“Kamu terdengar relax, kekanak-kanakan in a good way dan kamu terlihat begitu... senang.”

“Saya selalu senang dengan semua hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan juga sahabat-sahabat saya,” jawab Jevan lugas.

“Selain Raechan dan Kak Kayana, orang tua Sergio, ada berapa lagi sahabat kamu?”

“Ada Ica, yang berbicara dengan saya tadi. Jaenandra, suaminya. Jelena, Markio, mereka suami istri. Lalu ada satu lagi sahabat saya yang masih single, Juan namanya. Jadi semuanya ada... tujuh. Sahabat saya ada tujuh.”

“Adzkiya? Dia bukan sahabat kamu? Saya kira kalian sahabat yang menjadi kekasih.” Entah kenapa, Kenari menjadi antusias sekali. Baru kali ini melihat sisi lain seorang Jevander Novanda, yang selama ini dikenalnya sebagai anak tunggal keluarga Novanda yang terkenal sulit didekati.

“Bukan...” Jevan mengenang. “Adzkiya dulu adalah kekasih kakak kandung Klarisa. Dari sana kami saling mengenal. Tapi hubungan mereka tidak berjalan baik, mereka putus, setelah itu saya datang ke kehidupan Adzkiya dan ya... beginilah kami sekarang.”

Kenari manggut-manggut, paham dengan penjelasan singkat yang Jevan berikan. “Entah kenapa saya merasa hubungan kalian manis sekali. Kamu tidak pernah tidak tersenyum ketika menyebut nama Adzkiya. Mata kamu, bibir kamu, raut wajah kamu, kamu terlihat sekali memuja Adzkiya.”

“Saya betul-betul mencintai Adzkiya, Kenari.”

Malam itu, ketika kurang dari dua kilometer lagi untuk tiba di rumah Raechan, Kenari seperti disadarkan bahwa ada cinta sebesar yang diberikan Jevan pada Adzkiya.

**

Sergio berlarian menyambut Jevan yang baru saja masuk ke dalam rumah. Si kecil itu baru saja dipanggil oleh ayahnya untuk mengabarkan bahwa salah satu om kesayangannya baru saja tiba.

“Om Pan!” panggilnya penuh semangat. “Ada Om Jaen, Om Yo sama Om Wan di kamal.”

Jevan tekekeh gemas melihat tingkah anak sahabatnya itu. Tapi keinginan untuk langsung memeluk dan menciumi Sergio dia urungkan lebih dulu, sebab tadi Jevan sempat merokok beberapa batang. Nikotin pasti menempel di pakaiannya dan itu tidak akan baik bagi malaikat kecilnya. Lantas lai-laki dewasa itu hanya menekuk lututnya, agar tingginya setara dengan Sergio, dan menyentuh kedua tangan Sergio. “Om Pan kotor abis dari luar. Om Pan mandi dulu ya, di kamar atas, nanti Om Pan kesini lagi main sama Gio.”

Si kecil Sergio mengangguk mengerti, tanpa merengek. Kemudian si kecil itu beralih pada Kenari. “Te, main sama Gio, ya.”

Kenari mengangguk senang ketika lengannya ditarik oleh Sergio untuk menuju kamar bermainnya. Namun sebelum dia berlalu mengikuti tarikan Sergio, Jevan lebih dulu menahan tangannya. Jevan memberikan jas hitam yang tadi dia kenakan kepada Kenari sambil berucap, “Pakai untuk nutupin kaki kamu, dress kamu pendek, kamu gak akan nyaman duduk di karpet kalau gak ditutup pakai ini. Ditambah lagi, di dalam kamar Gio ada tiga sahabat saya yang lain, mereka semua laki-laki.”

Belum sempat Kenari berterimakasih, Jevan sudah lebih dulu berlalu ke lantai atas. Meninggalkan Kenari yang sibuk menatap jas Jevan yang sudah berpindah tangan padanya.

Tiga puluh menit kemudian, Jevan muncul lagi ke kamar bermain Sergio. Nampak segar usai mandi, rambutnya basah dan hanya disisir asal dengan jari, setelan jasnya telah diganti dengan pakaian rumahan yang nyaman- kaus lengan pendek berwarna putih dan celana olahraga panjang.

“Gimana? Lo udah tau belum girl's daynya mereka apa?” Pertanyaan yang keluar dari mulut laki-laki yang Kenari ketahui namanya sebagai Jaenandra itu menyambut kedatangan Jevan.

Yang ditanyai hanya terkekeh pelan kemudian menjawab, “Belom, bodo ah, kayaknya gue cuma dikerjain deh sama bini lo.”

“Ya lagian lo sih, penasaran amat, namanya juga girl's day, biar aja kek mereka yang tau mereka ngapain,” timpal kawan Jevan yang lain lagi, Juan.

“Ya gue sih gak papa ya sebenernya gak tau juga, cuma gara-gara bininya dia nih, bininya si Jaenan pake segala bilang Kiya gak berada di keadaan yang proper untuk difoto. Kan gue kepo jadinya. Keadaan apa coba begitu?”

“Lagi bikini party mungkin, Jev.” Suara seorang wanita terdengar beriringan dengan sosoknya yang masuk ke ruang beramin Sergio sambil membawa keranjang buah, berisi jeruk dan anggur hijau. “Jadi Ica gak bisa kirim fotonya ke lo, karena keadaan Kak Kiya emang bahaya kalau difoto.”

Tawa Jaenandra pecah, diikuti tawa kawannya yang lain. “Kalau gitu mah bener dong apa kata bini gue mah, Kak Kiya emang gak dalam keadaan proper buat difoto, apa lagi dikirim ke lo.”

Jevan bersungut kesal, laki-laki itu lalu menutup kedua telinga Sergio dan mengumpat pelan. “Bangsat lo,” katanya.

Tawa mereka pecah lagi, membuat si kecil Sergio kebingungan tidak mengerti. Sementara Kenari hanya mengamati semuanya. Ternyata benar, Jevan memang selalu bahagia dengan hal-hal yang berkaitan dengan Adzkiya dan kawan-kawannya.