Pawang

Aku banyak mengenal jenis gadis di Ibu Kota. Ada yang sejak kecil berkawan dengan segala tata krama kelas atas, akrab dengan sepatu hak tinggi dan gaun malam yang elegan. Ada juga yang bergaya retro, menyukai hal-hal yang lawas. Mulai dari gaya berpakaian, jenis musik, hingga pemilihan tempat yang akan dikunjungi, semuanya harus serba retro. Ada juga jenis gadis ibu kota yang sederhana, kemana-kemana mengandalkan kaus polos, celana pendek, sepatu kets dan topi untuk menutupi rambut yang tidak ditata. Lalu ada jenis lain yang begitu menyukai hal-hal yang berbau keperempuanan. Gadis jenis ini biasanya gemar mengenakan gaun panjang di bawah lutut, pilihan warna-warnanya selalu saja sejuk dipandang mata. Mereka biasanya sering kali membawa buku atau bunga bersama mereka. Gadis macam ini biasanya adalah jenis gadis yang terobsesi untuk memiliki hidup seperti gadis-gadis dalam novel yang dibacanya.

Aku pernah mengencani semua jenis gadis itu. Tanpa terkecuali. Juga jenis gadis lain yang tidak aku sebutkan di atas.

Lalu hari ini, saat duduk di kaki bukit kota kecil bernama Ayu Laga, aku tidak tahu gadis yang sosoknya sedang aku tatap ini masuk dalam kategori yang mana. Gadis itu tampak anggun, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, tertiup angin basah perbukitan. Cahaya temaram matahari sore menabrak wajah ayunya yang diberi sedikit polesan. Sore ini, gadis itu memilih untuk memadukan kaus putih polos dengan midi skirt berwarna hijau tua. Sepertinya, Adzkiya adalah perpaduan dari segala jenis gadis yang pernah aku temui. Ya, aku akan menyimpulkannya seperti itu saja.

Adzkiya nampak mengambil keranjang rotan dari bagian belakang sepedanya, yang terparkir di sebelah mobilku, untuk kemudian berjalan mendekat ke arahku yang sudah lebih dulu duduk di atas rerumputan. Saat sosoknya akhirnya mendekat dan hanya berjarak beberapa jengkal dariku, aku bisa mencium aroma floral yang lembut dari tubuhnya. Aroma itu entah kenapa membawa ketenangan aneh yang begitu saja aku rasakan. Ditambah lagi, wajah ayu yang penuh senyum itu selalu saja menampakkan ketenangan yang sama dengan yang aroma tubuhnya berikan.

“Kamu selama ini selalu duduk langsung di atas rumput begitu, Jev?” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Matanya memincing ke arah tempat aku duduk.

“Emang seharusnya gimana, Kak?”

Adzkiya berdecak, kemudian mengeluarkan sehelai kain dari dalam keranjang rotannya. Diletakkannya kain berwarna putih-biru itu di atas reremputan seraya berkata, “Pakai ini untuk alas duduk, biar celana kamu gak kotor.” Kain itu tidak terlalu lebar ukurannya, tapi cukup untuk kami berdua duduk.

Matahari makin tergelincir di arah barat, membuat semburat oranye yang dipancarkannya makin kental. Burung-burung terbang rendah, hendak menuju peraduan. Angin berhembus makin kencang, udara juga semakin dingin. Di kejauhan, aku mendengar suara ribut dari pengembala yang menuntun hewan peliharannya pulang.

“Kalau kamu disini selama seminggu, kerjaan kamu gimana?” Adzkiya bertanya tanpa menatapku. Sementara aku sejak tadi belum mengalihkan tatapanku dari wajahnya.

“Semua udah diatur sama staff kantor, Kak. Aku bisa kerja dari sini. Sisanya dikerjain sama mereka.”

“Oh, enak dong?” Suaranya terdengar antusias. “Kenapa gak liburan ke luar negeri aja kalau gitu? Dari pada di kota kecil begini, Jev, mall aja gak ada.”

Aku terkesiap. Benar juga, batinku. Kenapa pula satu bulan terakhir aku terus datang ke kota kecil ini? Awalnya, aku hanya kemari karena menurut kawan-kawanku, Ayu Laga adalah tempat yang baik untuk sekadar melepas penat. Penat dalam arti lain adalah aku yang butuh distraksi dari patah hatiku akan pertunangan Jelena dan Kak Markio. Tapi setelah itu? Kenapa setelah itu aku terus merasa Ayu Laga memanggilku untuk datang? Kenapa setelah pertemuanku dengan Adzkiya di toko bunganya seakan membuatku terus ingin kembali ke kota kecil ini?

“Gak ah, bosen. Gitu-gitu aja, mending disini, adem, orang-orangnya ramah, bawaannya tenang, terus gak jauh dari Jakarta juga,” jawabku sekenanya. Tidak menemukan jawaban yang lebih baik. “Tapi kalau malem, Ayu Laga emang sesepi itu ya, Kak?”

Ada anggukan samar yang dilakukan Adzkiya, membenarkan perkataanku. “Iya, orang-orang udah capek seharian kerja. Ada yang capek ngembala kambing, ada yang capek ngurusin kebun teh, ada yang capek ngurusin kebun bunga, ada yang capek buka toko roti, semua orang capek. Kalau di Jakarta, orang-orang sama capeknya, tapi mereka punya banyak pilihan untuk cari hiburan. Sementara disini, kita gak punya apa-apa, paling juga bazar kecil yang adanya sebulan sekali, jadi yaudah deh mereka milih untuk istirahat aja di rumah. Jalanan jadi sepi.”

“Kak Kiya juga gitu? Tiap abis dari florist pasti langsung pulang ke rumah?”

Adzkiya mengangguk lagi untuk kedua kalinya. “Iya, masak buat makan malam, makan malam sendiri, terus mandi, abis itu baca buku di ruang tengah. Maleman dikit tidur deh, begitu aja tiap hari. Tapi anehnya gak bosen loh.”

“Pasti Kak Kiya MBTInya I deh,” terkaku yakin.

“Bukan, Kak Kiya mah C.”

“C?”

“Iya,” jawab Adzkiya serius. “C U T E.”

Sore itu, bibirku yang awalnya berada pada ukuran normal langsung melebar karena tersenyum. Aku bahkan bisa merasakan bahwa lebarnya sampai ke telingaku. Sungguh, sore itu aku tersenyum lebar sekali karena lelucon kecil yang Adzkiya lontarkan.

“Narsis juga ya ternyata,” olokku diiringi tawa kecil.

Adzkiya menoleh padaku dengan pandangan tidak terima. Alisnya menyatu di tengah, wajahnya murung. “Loh, serius ya, MBTI Kak Kiya tuh itu! C U T E, cute!”

“Iya-iya. Lucu banget sih, Kak.”

“Tuh kan, udah dibilang emang Kak Kiya lucu!”

Adzkiya tersenyum lagi, bukan hanya bibirnya, tapi juga matanya. Hatiku berdesir dibuat olehnya. Selama ini, aku menganggap Adzkiya adalah sosok kakak, karena pembawaannya yang tenang, juga karena usianya memang terpaut empat tahun lebih tua dariku. Tapi hari ini, akhirnya aku bisa melihat sisi lain dari dirinya. Sisinya yang begitu menggemaskan. Aku bahkan mendebat diriku sendiri, haruskah aku mencubit pipinya yang seputih susu itu atau bolehkah aku mengelus surai panjangnya yang tampak begitu lembut itu?

“Udah ada kabar kapan Elen sama Kiyo nikah?”

Yah udah jauh-jauh kemari, malah ditanyain soal mereka lagi,” jawabku pelan. Yang sebetulnya juga bukan sebuah jawaban.

Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang membentang. Dengan posisiku ini, aku bisa memandang ke langit lepas yang menggelap. “Tanya yang lain aja deh, Kak, jangan bahas itu.”

“Hmm...” Aku dengar Adzkiya menggumam. “Kamu nginep di rumah Garend seminggu ini?”

“Enggak, mulai nanti malem aku nginep di Laga Homestay.”

“Sendiri?”

“Kak Kiya mau nemenin?”

Tanpa menoleh, Adzkiya memukul pahaku yang berada tepat di sebelahnya duduk. “Ngaco.”

“Ya siapa tau kan, kayak sekarang, Kak Kiya mau nemenin aku lagi.”

Adzkiya menolehkan wajahnya, menatap aku yang masih saja berbaring beralaskan sebelah lenganku. “Bener kata Ica ya, kamu emang buaya.”

Ketika menatap wajahnya dari tempatku berbaring, aku akhirnya menyadari bahwa Adzkiya adalah seorang gadis cantik tidak perduli dia masuk ke dalam kelompok yang mana. Entah itu gadis-gadis pengagum retro, entah itu gadis kalangan atas, entah juga gadis yang terobsesi pada tokoh utama novel-novel yang mereka baca. Adzkiya adalah gadis cantik, dan itu saja. Aku rasa, dia akan tetap cantik dengan gaya apapun yang dia kenakan. Karena lihatlah, bahkan dengan melihatnya dari posisi berbaring seperti ini saja dia terlihat begitu cantik.

“Haaaahhh, udah lah, gagal ni aku membangun image baru. Udah terlalu melekat kayaknya julukan buaya buat aku.”

“Bukan julukan buayanya yang melekat di kamu, tapi bibir dan body language kamu itu yang udah terbiasa jadi buaya.”

“Emang iya ya?”

Adzkiya mengangguk, untuk ketiga kalinya jika aku tidak salah hitung. Dia kemudian mengalihkan tatapannya lagi ke arah depan. Mungkin untuk menatap semburat oranye terakhir yang senja itu tawarkan. “Iya. Tuh baru aja kamu secara gak langsung ngajak aku nginep di homestay. Kamu gak sadar, kan? Buat kamu itu terjadi tanpa sadar, padahal efeknya bisa bahaya.”

“Bahaya kenapa?”

“Ya bahaya, kalau ceweknya mau gimana?”

“Yaudah tinggal nginep aja.”

“Tuh kan! Tuh, tuh, tuh. Dasar buaya.”

Aku terkekeh, lalu bangkit untuk kembali duduk di sebelahnya. “Tapi kan Kak Kiya gak mau tadi, jadi aman dong?” Aku menyenggol lengannya dengan sikuku.

“Iya, untung aja cewek yang kamu ajak itu Kak Kiya, jadi bisa nolak hasrat buaya kamu.”

“Berarti cowok kayak aku harus dihandle sama cewek kayak Kak Kiya, ya, biar gak jadi buaya lagi?”

“Betul. Cowok buaya kayak kamu harus ada pawangnya, biar jinak.” Adzkiya menatap ke arahku.

Kami bertatapan cukup lama. Sampai akhirnya aku berujar pelan. “Kalau gitu, Kak Kiya mau gak jadi pawang buat buaya kayak aku?”

Adzkiya tidak menjawab. Bahkan hingga matahari tenggelam sepenuhnya dan digantikan bulan yang berteman bintang-bintang.