Desember.

Aku ingat bulan desember tiga tahun lalu. Kedua kakiku begitu dekat dengan perapian guna meraup hangat sebanyak-banyaknya. Ruas-ruas jariku keriput, pertanda terlalu banyak bermain air. Bibirku pucat kebiruan meski telah diolesi pewarna bibir yang kubeli siang tadi. Tubuhku dibalut sweater bulu berwarna biru tua sedang kakiku diselimuti kain hangat, yang dirajut sendiri oleh ibuku saat wanita yang mewariskan kecantikannya padaku itu tengah hamil muda. Mataku melirik ke arah dapur, mendapati seorang pria yang masih saja tak mau mengenakan barang selembar kain untuk menutupi bagian tubuh atasnya. Dibiarkannya saja, angin malam bulan desember itu membelai-belai dada kekarnya yang terbentuk alami. Aku sudah mengingatkannya tadi, pakai kausmu kataku pelan sembari membelai dadanya dengan tanganku yang gemetar menahan dingin. Tapi pria dengan rupa baik itu hanya menggeleng seraya menangkup sebelah tanganku. Ada kamu yang menghangatkanku lebih baik dari pada kaus itu, Sachi, ujarnya dengan suara dalam.

Aku lantas berlalu dari dapur lalu duduk di dekat perapian dan memandanginya seperti sekarang ini. Membiarkannya sibuk dengan apapun yang tengah dia kerjakan. Itu bulan Desember tiga tahun lalu. Saat aku masih bisa memanggilnya sebagai kekasihku. Hari ini, dia, Ranu Saban, bukan lagi wilayah teritorialku. Meskipun kami sedang duduk bersebelahan di dalam mobilku, di depan sebuah toko bunga bernama Kiya Florist.

Aku datang ke toko bunga ini setahun lalu, sama, juga di bulan Desember. Dalam sebuah upaya pelarian. Dimana seorang kawanku memberiku masukan untuk pergi ke sebuah kota kecil di pinggiran Ibu Kota. Ayu Laga namanya. Kota kecil itu dipayungi puluhan pohon tua, dijaga oleh perbukitan di tiap sudutnya serta diharumkan oleh berbagai jenis tanaman bunga yang ditanam berdampingan dengan kebun teh ratusan hektar. Warganya ramah sekali. Masuk ke kota kecil ini layaknya dipeluk oleh kawan lama hingga betah berlama-lama.

Kiya Florist yang letaknya tepat di pojok perempatan jalan utama sebelum masuk ke gerbang Ayu Laga menjadi hal paling mencolok yang menarik perhatianku. Di antara deretan cafe dan toko kue dengan berbagai konsep, toko bunga itu berdiri dengan kokoh namun meletupkan aura kewanitaan yang merayuku untuk masuk. Seorang gadis cantik dalam balutan gaun putih menyapaku dengan ramah, menanyakan unga jenis apa yang ingin aku jemput. Berawal dari sana, kami menjadi teman selama sisa hariku di Ayu Laga. Kami bercerita banyak hal, suka dan duka. Ceritanya begitu membekas di benakku hingga aku selalu mampu mengisi puluhan lembar di layar gawaiku dengan cerita miliknya. Hingga akhirnya berlembar-lembar kata itu bergandengan menjadi satu buku yang utuh. Yang dengan izinnya, aku kirimkan kepada sebuah penerbit di Ibu Kota dan berakhir nangkring di rak best seller hampir di seluruh toko buku di negara ini.

Bittersweet

Judul yang kami sepakati sama-sama.

“Kita disini aja?”

Suara itu memecah ingatanku, menarikku kembali pada keadaanku setahun selepas hari itu.

“Sebentar ya, saya selalu suka melihat Kak Kiya sibuk dengan bunga-bunganya. Dia kelihatan anggun sekali.”

Matanya, maksudku mata Ranu ikut ke arah mana aku menatap. Mengunci segala pergerakan Kak Adzkiya yang keibuan itu. Yang nampak memperlakukan bunga-bunga yang dirangkainya laiknya merawat seorang bayi. Begitu tenang dan hati-hati.

“Apa tokoh Nadeline di buku Bittersweet sepenuhnya gambaran Adzkiya?”

Aku mengangguk samar. Berharap Ranu menangkapnya. “Sepenuhnya yang saya tau. Karena saya yakin sekali masih banyak sisi darinya yang belum dia tampakkan ke permukaan.”

“Lalu, karakter Aaron Harold juga seratus persen sama dengan laki-laki yang meninggalkan Adzkiya di dunia nyata?”

“Ya, seratus persen sama. Jahatnya, baiknya, kebingungannya, semuanya sama. Saya bahkan menemui langsung Aaron Harold yang asli. Mencari tahu kisah mereka dari sudut pandang tokoh laki-laki,” jawabku mantap. Tanpa menatapnya.

Angin berhembus melalui jendela mobil yang kami buka. Membawa udara basah seolah mengabarkan bahwa bumi indah ini akan diguyur lagi oleh airnya. Nampaknya Desember sedang menunjukkan dirinya sebagai bulan yang membawa musim hujan ke bumi. Menuju pukul empat sore pada bulan Desember ini, keriuhan jalanan utama Ayu Laga mulai mereda. Penduduknya mulai mencari kehangatan di rumah mereka masing-masing, baik mendekat pada perapian ataupun dalam rengkuhan orang tersayang. Dan aku bersama Ranu Saban masih duduk di dalam mobilku.

“Kamu selalu mendengarkan orang lain, tapi kamu tidak pernah memberi saya waktu menjelaskan kesalah fahaman di antara kita.” Ucapan Ranu menusuk relungku begitu saja. Protesannya kental sekali.

“Kesalah fahaman macam apa yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri?” balasku berusaha tak mau terintimidasi olehnya.

Kuingat lagi kejadian malam itu, malam dimana Ranu pertama kali pulang ke Indonesia setelah menempuh program paska sarjananya di Jepang. Malam itu dia bersama keluarganya mengadakan pesta perayaan kelulusan. Aku datang terburu-buru setelah absen menjemputnya di bandara pada pagi harinya— karena harus mengikuti seminar yang sama sekali tidak bisa kutinggalkan. Mobilku masuk ke area parkirnya dengan sama terburu-burunya, aku betul-betul tidak ingin mengecewakan laki-laki yang telah kukencani selama tiga tahun itu. Naas, ketika aku keluar dari mobilku, mataku justru menangkap adegan yang menyebalkan. Ranu, berada di balkon lantai dua rumahnya, tengah merengkuh seorang wanita asing yang belum pernah kulihat. Meninggalkan pesta yang justru diadakan di lantai dasar kediamannya.

“Kamu hanya melihat saya memeluk gadis itu, tapi kamu tidak pernah mau mendengar penyebabnya, Sachi.”

“Apa ada alasan yang pantas untuk perlakuan kamu itu, Ranu?” Aku menolehkan wajah, menatapnya yang ternyata sudah dulu menatap aku dari tempatnya duduk.

Waktu seakan berhenti berdetak. Mata kami terkunci pada sosok satu sama lain. Laki-laki yang gemar mengenakan kaus lengan pendek berwarna hitam itu tampak menahan sesuatu yang telah lama dia pendam.

“Ada,” ujarnya pelan. “Memeluknya untuk mengabulkan permintaan terakhirnya setelah saya menolak pernyataan cintanya.”

Manik mataku goyah. Aku berusaha menatap ke arah lain namun tangannya yang kekar menyentuh sisi wajahku yang dingin.

“Namanya Haruka, teman saya selama program paska sarjana. Dia ikut saya ke Jakarta karena dia bilang dia ingin berlibur. Tapi malam itu, dia malah menyatakan perasaannya pada saya. Saya tolak dia, saya bilang saya sudah punya kamu. Dia menangis, dia minta saya peluk dia untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu dia ingin bertemu kamu, meminta maaf, tapi malam itu kamu malah menghilang.”

“Saya....”

Sometimes, even salt looks like sugar, sweetheart. Seharusnya kamu dengar saya. Dengar penjelasan saya.” Aku merasakan usapan lembut yang jari-jemari Ranu berikan pada sisi wajahku yang menghangat karena sentuhannya. “Tapi gak papa, sekarang kamu sudah tau yang sebenarnya. Ini lebih dari cukup untuk saya.”

“Sachi...”

Suara lembut menginterupsi tatapanku dan Ranu. Wajahku bergerak ke arah suara itu berasal, meninggalkan tangan Ranu yang mengambang di udara.

“Kak Kiya.” Aku melihat sosoknya berdiri di depan mobilku, masih lengkap dengan apron coklat yang membungkus tubuh rampingnya.

“Kok di dalem mobil aja? Sini, Sayang, masuk ke florist. Kamu sama siapa?”

Aku mengabaikan pertanyaan itu dan beralih pada Ranu yang masih setia menatapku bahkan ketika ada gadis cantika lain di sekitarnya. “Kita turun ya,” ujarku padanya seraya membuka pintu mobil.

“Dan ingat, panggil dia Kak Adzkiya. Dengan kak, bukan hanya Adzkiya. Kak Kiya menghirup udara dua tahun lebih dulu dari pada kita.”

Ranu terkekeh lagi dan membalas ucapanku dengan suara dalam, “Dasar penulis, untuk bilang dia lebih tua dua tahun saja harus sepuitis itu.”

Aku mengabaikan racauan Ranu dan menghambur dalam dekap Kak Adzkiya yang hangat. Sehangat Ayu Laga dalam menyambut siapapun.