Namanya Adzkiya, Pa.

Jakarta, Ruang Rapat Utama Novanda Group, pukul dua siang.

Jajaran direksi serta beberapa pemangku jabatan lain di bawahnya, sudah kembali berkumpul di ruang rapat utama Novanda Group sejak pukul satu siang tadi, usai makan siang bersama. Berkas lampu proyektor kembali mengarah lurus ke layar, menampilkan sebuah grafik saham yang menarik untuk dilihat. Alexander— pemegang saham terbesar dan utama Novanda Group— duduk tenang di kursinya. Sementara beberapa rekannya yang lain sibuk bercakap-cakap membahas tentang pemberhentian beberapa direksi serta pengangkatan CEO (Chief Executive Officer) yang akan menggantikan posisi seorang Alexander Novanda.

Beberapa hari kebelakang, rapat pemegang saham terus dilakukan, menimbang beberapa opsi kandidat yang akan menggantikan posisi penting tersebut. Jevan, Jevander Novanda, putra tunggal Alexander Novanda, merupakan kandidat terkuat. Ditentang oleh sebagian pemegang saham, namun juga didukung oleh yang sebagiannya lagi. Sementara Jevan sendiri selalu mangkir dari pertemuan penting itu, membuat kepala papanya seakan mau meledak.

Tidak terkecuali hari ini, Jevan baru muncul di ruang rapat saat waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore. Calon penerus Novanda group itu muncul dengan keadaannya yang berantakan, wajahnya sayu seperti kurang tidur, rambut pirangnya berantakan tidak disisir, dan lebih buruk dari itu semua... Jevan muncul hanya dengan mengenakan kaus hitam kusut yang dimasukkan ke dalam celana jeans robek-robek. Bau alkohol juga menguar dari tubuhnya yang belum tersentuh air.

“Maaf, saya baru bangun.” Itu adalah kalimat pertama yang Jevan ucapkan saat obrolan dari seluruh peserta rapat terhenti untuk menatapnya. “Saya bahkan gak mandi, gak gosok gigi, langsung lari kesini. Jadi maaf kalau saya seberantakan ini. Semalam saya ada jadwal manggung jadi saya...”

“Duduk, Novanda.” Alexander memotong ucapan anaknya dengan cepat.

Ruang rapat menjadi lengang, tidak ada satupun yang kembali bicara. Jarum jam berdetak lebih lambat dari yang seharusnya. Jevan bahkan bisa mendengar suara detakannya dari tempatnya duduk.

Alexander mengangkat muka, memberi kode pada salah seorang direksi yang bertugas memimpin pertemuan untuk melanjutkan tugasnya.

“Baik, karena Pak Jevander Novanda sudah bergabung bersama kita disini maka pemungutan suara bisa dilakukan.”

“Tunggu.” Sebuah suara mengiterupsi dari seberang sisi Jevan duduk. Seorang laki-laki seusia papanya, menatapnya dengan sinis. “Sebelum dilakukan pemungutan suara, saya ingin tahu dulu kemana perginya calon penerus perusahaan ini pada sidang-sidang sebelumnya?”

“Maaf, Pak Robert, tapi apakah ini ada kaitannya dengan pemungutan suara?” tanya pemimpin pertemuan dengan begitu hati-hati.

“Tentu, kami harus tau dulu, apakah ada alasan yang lebih penting bagi seorang Jevander Novanda hingga beliau mangkir dari rapat-rapat penting.”

Jevan hanya terkekeh pelan, lantas membalas tatapan orang yang mempertanyakan keberadaannya itu. “Saya punya beberapa jadwal tampil yang tidak bisa saya tinggalkan. Pak Robert pasti sudah tau kan kalau background saya sebetulnya adalah musik?”

Wajah Alexander mengeras begitu mendengar jawaban putranya yang terdengar begitu tolol. Kesabarannya sudah hampir habis, tergerus sikap Jevan yang semena-mena.

“Pak Alex, apakah hal ini luput dari pengawasan Pak Alex sebagai ayahnya? Anak Bapak ini akan jadi penerus perusahaan, Pak. Kami tau Pak Alex adalah pemegang saham terbesar, tapi maaf, kami tidak bisa begitu saja menyetujui usul Pak Alex untuk memberikan jabatan sepenting ini pada anak Bapak yang belum dewasa.”

“Setuju,” ucap Jevan tanpa takut akan seperti apa respon papanya. “Saya juga sebetulnya lebih suka bermusik dari pada mengurus perusahaan sebesar ini.”

Alexander tidak tahan lagi. Kepalanya bukan hanya terasa akan meledak, tapi sekarang rasa-rasanya seperti ditarik paksa dari tubuhnya. Dengan terpaksa, laki-laki gagah itu berdiri dari duduknya dan berkata tegas, “Mohon maaf, pemungutan suara terpaksa saya tunda. Saya akan agendakan untuk pertemuan selanjutnya. Hari ini saya harus bicara empat mata dengan anak saya. Mohon pengertiannya.”

Tanpa mengatakan apapun lagi, Alexander keluar dari ruangan setelah memberi kode pada Jevan untuk mengikutinya.

**

“Kamu apa-apaan, Novanda?” Alexander menatap geram Jevan yang duduk santai di sofa yang berada di ruangan papanya.

Warna rambut dan penampilan anaknya itu sungguh menganggu penglihatan Alexander.

“Papa sudah minta assistant kamu untuk informasikan ke kamu tentang pertemuan penting selama seminggu ini, kenapa kamu tidak datang?” Suara Alexander tidak keras, dia sadar bahwa mereka masih berada di kantor. Tapi tatapan mata yang dia berikan kepada Jevan seperti siap menerkam kapan saja.

“Dan lihat penampilan kamu, rambut aneh, tidak mandi, berantakan, kamu kira kamu pantas masuk ke ruang pertemuan dengan keadaan seperti ini? Lalu apa kata kamu tadi? Jadwal manggung kamu banyak? Sejak kapan kamu kembali ke musik? Papa sudah bilang untuk lupakan soal musik!”

“Jevan gak tertarik sama perusahaan, Pa. Jevan mau main musik aja.”

Plak

Telapak tangan Jevander melayang begitu saja, menghantam keras pipi kanan Jevan sebagai balasan atas jawabannya yang kurang ajar.

“Pukul aja, Pa, gak papa. Toh Papa pernah hampir bunuh Jevan.”

Ayah dan anak itu saling pandang dalam waktu yang lama. Kebencian tergambar jelas pada wajah mereka masing-masing. Sementara di lubuk hati mereka ada perasaan saling menyayangi yang tertutupi kebencian.

“Jevan gak pernah lupa, Pa. Jevan gak pernah lupa alasan Jevan sampai harus dirawat di John Medical waktu itu.” Urat-urat di leher Jevan mengeras, sebelah tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. “Jevan cuma pura-pura lupa supaya Papa gak ganggu Adzkiya lagi.”

“Kamu...”

“Jevan gak pernah lupa sama Adzkiya, Pa. Bahkan sedetik pun.”

Sudut bibir Jevan terangkat, merasa puas akan respon papanya. “Selama ini, Papa yang minta Jevan untuk ngelakuin ini dan itu, memilih ini dan itu. Hari ini, hari ini Jevan yang akan minta Papa untuk melakukan dan memilih sesuatu.”

Jevan bergerak menuju meja kerja papanya, mengetik beberapa hal pada komputer yang juga milik papanya, lalu beberapa saat kemudian, mesin pencetak mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat perjanjian. Jevan membawa kertas itu ke hadapan papanya.

“Dengan surat perjanjian ini, Jevan gak akan pernah membangkang lagi ke Papa soal perusahan, Jevan akan jadi anak yang baik untuk seorang Alexander Novanda dan menjadi CEO yang baik untuk Novanda Group. Jevan pastiin, Papa akan hidup nyaman sampai kapanpun tanpa harus khawatir soal bisnis yang Papa bangun ini akan jatuh ke orang yang salah. Jevan akan tinggalin musik sepenuhnya dan fokus ke perusahaan. Tapi sebagai gantinya, Papa harus janji sama Jevan untuk gak mengurusi kehidupan pribadi Jevan lagi.”

Ruangan tiba-tiba terasa panas bagi Alexander, ayah Jevan itu bahkan harus melepas jas yang sejak tadi dikenakannya. Diliriknya mesin pendingin yang ternyata sudah berada di suhu terendah. Tenggorokan Alexander juga mengering, dia butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Tapi tidak ada apapun di atas meja selain surat perjanjian yang baru saja diberikan oleh Jevan.

“Jevan tau Pa kalau salah satu pemegang saham di perusahaan ini ada yang berkhianat di belakang Papa sampai Papa harus buru-buru mengangkat Jevan jadi CEO yang baru. Jevan juga tau kalau Papa gak bisa percaya sama siapapun lagi sekarang makanya Papa sampai harus ambil keputusan secepat ini. Maaf, Jevan gak bermaksud mengambil keuntungan dari keadaan Papa. Jevan cuma ingin hidup tenang sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, Jevan juga akan pastikan Papa untuk hidup tenang.”

Fakta yang baru terucap dari bibir Jevan itu menggetarkan hati Alexander. Laki-laki itu tidak lagi bisa berkilah, bibirnya kelu. Alexander terjepit keadaan. Anaknya yang pembangkang ini justru menjadi satu-satunya orang yang dia percaya tidak akan pernah menusuk dirinya dari belakang. Sepembangkang apapun seorang Jevander Novanda, tidak akan pernah mengkhianati ayah kandungnya sendiri. Alexander percaya itu.

“Pa, Jevan tumbuh dari orang tua yang menikah karena bisnis. Jevan tumbuh tanpa melihat cinta di antara Papa sama Mama. Karena itu Jevan gak ingin anak-anak Jevan tumbuh seperti Jevan, Pa. Jevan ingin anak-anak Jevan tumbuh di keluarga yang hangat, yang penuh cinta. Dan Jevan sendiri gak ingin hidup seperti Papa dan Mama yang terpaksa tinggal satu atap tapi saling menyakiti. Jevan gak ingin berakhir seperti itu, Pa. Karena itu, Jevan mohon izinin Jevan sama Adzkiya, Pa. Setelah itu, terserah Papa mau gunain Jevan sebagai apa.”

Jevan menghembuskan nafas lelah sebelum melanjutkan, “Jevan sebetulnya malu harus melakukan ini ke Papa, tapi Jevan terpaksa, Pa. Jevan gak mau Papa ganggu perempuan yang Jevan sayang.”

“Papa harus tanda tangan dimana?” Setelah sekian menit terlewat tanpa adanya percapakan, akhirnya Alexander berkata lemah. Perkataan yang cukup untuk membuat Jevan menghujaninya dengan tatapan tidak percaya.

Sebetulnya, sama dengan Jevan, Alexander juga merasa lelah sekali. Dia lelah harus terus-terusan mengintai kegiatan anak kandungnya, dia lelah harus terus-terusan meluangkan waktu untuk membicarakan bisnis dengan semua orang yang ditemuinya, dia juga lelah harus terus-menerus bersitegang dengan darah dagingnya sendiri. Usianya semakin tua, Alexander sudah tidak sekuat dulu. Hal itu dibuktikan dengan adanya pengkhianatan dari jajaran direksi yang selama ini dipercayanya. Itu artinya, pengaruh Alexander tidak lagi sekuat dulu. Dia butuh Jevan, yang lebih kuat secara fisik dan psikis untuk melanjutkan kepemimpinannya. Meskipun dengan itu, artinya dia harus merelakan Jevan bersama dengan perempuan yang tidak memenuhi kriterianya.

Tapi setidaknya, hal itu sedikit lebih baik dari pada melihat Jevan terus-terusan membangkang dan berakhir menghancurkan diri serta kokohnya perusahaan.

Alexander menyerah. Mengambil keputusan paling bijak yang bisa dia lakukan sekarang ini.

“Papa kasih kamu waktu satu minggu, ubah warna rambut kamu, tinggalin musik, dan ambil hati para pemegang saham supaya mereka setuju menggantikan Papa.” Alexander berucap sembari menggerakkan tangannya untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian.

“Setelah itu kamu bisa ke Ayu Laga untuk menemui penjual bunga itu.”

“Namanya Adzkiya, Pa.”

“Ya, Adzkiya.”