Future Meet the Past
Sejak pagi, flat yang menjadi tempat tinggal Adzkiya selama di Australia telah terlihat begitu sibuk. Sepeninggal Lucia pergi ke Universitas untuk mengikuti kelas pagi, Adzkiya langsung membereskan beberapa sudut yang beberapa hari kemarin dia biarkan sedikit berantakan. Tidak lupa kamar tamu, yang sebelumnya menjadi kamar Sagara, juga Adzkiya bersihkan serta mengganti seprai dengan yang baru.
Uap mengepul di dapur saat jam menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Aroma gurih sup menguar memenuhi dapur. Mangkuk dan sendok serta garpu telah ditata rapi di atas meja. Hari ini, Adzkiya memutuskan akan menyajikan sup ayam panas sebagai makanan penyambut untuk Klarisa dan Jelena. Udara di luar cukup dingin, maka sup panas akan menjadi makanan paling cocok untuk mereka, terlebih setelah menempuh penerbangan yang cukup panjang.
Bunyi ketukan pada pintu terdengar tepat saat Adzkiya meletakkan semangkuk besar sup ke atas meja makan. Gadis itu lantas berlari kecil untuk menuju pintu depan. Pelukan hangat langsung Klarisa berikan saat tubuh Adzkiya melongok dari pintu yang terbuka kala menyambut mereka. “Finally I meet you, Kak!” ujarnya penuh semangat.
Adzkiya menyilakan Klarisa dan Jelena masuk, menunjukkan dimana kamar tamu agar mereka bisa meletakkan koper lalu membimbing keduanya ke meja makan. Mata dua gadis yang seusia dengan kekasih Adzkiya itu berkilat penuh semangat saat mata mereka menangkap semangkuk besar sup ayam yang kepul asapnya membumbung tinggi di ruang makan flat. Aromanya mampu membuat mulut berliur. Kedua gadis itu betul-betul seraya dihipnotis hingga lupa untuk duduk.
“Loh, kok berdiri aja? Ayo duduk, Ca, El. Kita makan siang sama-sama, laper kan pasti? Dingin banget lagi di luar.”
Siang itu, tiga wanita paling penting di hidup seorang Jevander Novanda itu makan bersama diselingi obrolan ringan. Klarisa sibuk menjelaskan kegundahan hatinya serta segala rasa bersalahnya terhadap Adzkiya yang dia simpan selama ini. Adzkiya menanggapai dengan sabar, juga melempar candaan beberapa kali untuk mencairkan aura kesedihan dalam suara Klarisa. Sementara Jelena sesekali ikut menanggapi, juga menggoda Klarisa. Mereka tampak akrab sekali. Tawa terdengar memenuhi ruang makan yang hangat. Mereka baru selesai makan saat sup di mangkuk besar telah tandas. Klarisa pamit untuk mandi, sementara si baik hati Jelena menawarkan diri untuk membantu Adzkiya membersihkan dapur. Jika ada Raechan disini, pasti laki-laki itu akan sibuk menggoda Jevan dengan berkata, wih masa lalu lo sama masa depan lo akur ya, Jev.
Seusai membersihkan meja makan dan mencuci piring, Adzkiya dan Jelena duduk bersebelahan di ruang TV. Ada sepiring anggur hijau yang juga telah dicuci bersih sebagai pendamping mereka.
“Betah, Kak, disini?” Jelena memulai pembicaraan.
Adzkiya mengangguk samar lalu berkata, “Sejauh ini betah, seru kok disini. Cuma masih lebih enak di Ayu Laga.”
“Nothing feels like home, ya, Kak.” Jelena tertawa lagi, untuk kesekian kalinya.
“Betul, hahahah.” Tawa Adzkiya berkawan dengan milik Jelena. “Disini juga kejauhan, Jevan gak bisa nyamperin tiap weekend.”
Adzkiya mengenang waktu-waktunya di Ayu Laga bersama Jevan. Tentang bagaimana Jevan merelakan waktu istirahatnya setiap Jumat untuk langsung pergi ke Ayu Laga demi menghabiskan waktunya bersama Adzkiya pada hari Sabtu dan Minggunya. Kini, tentu saja hal seperti itu tidak bisa dilakukannya lagi, jarak Jakarta dan Melbourne tidak memungkinkannya.
“Anak itu... Dia betul-betul mencintai Kak Adzkiya sebagaimana mestinya.”
Adzkiya menoleh pada Jelena, gurat wajahnya ramah dan tenang. “Dulu dia juga mencintai kamu sebaik-baiknya, Elen. Iya, kan?”
Jelena menyambut tatapan Adzkiya, ikut menoleh. “Iya, Kak.” Jelena merasa tidak perlu lagi sok mengelak. “Tapi gak sedalam ke Kak Adzkiya.”
“Kenapa bisa bilang begitu?”
“Waktu dulu, Jevan selalu merasa ada seseorang yang lebih pantas untuk aku, Kak. Dia gak percaya diri, dia ngerasa dirinya rusak sampai rela ngelepas aku buat orang lain yang dia anggap bakal lebih bisa mencintai aku. Dia gak ngerasa cukup baik untuk mencintai aku. Dia sibuk mencari orang lain yang baik, sampai lupa untuk memperbaiki dirinya sendiri.” Jelena mengenang. Adzkiya diam mendengarkan.
“Tapi waktu sama Kak Kiya, dia gak begitu. Dia gak mau ada orang lain yang ngambil Kak Kiya dari dia. Dia gak merasa ada orang lain yang lebih bisa bahagiain Kak Kiya dari pada dirinya sendiri. Karena itu, waktu sama Kak Kiya, Jevan berubah jadi versi terbaik dirinya sendiri. Dia berubah, dia memperbaiki diri, supaya bisa mencintai Kak Kiya sebaik-baiknya. Itu gak dia lakuin ke aku, Kak.” Sebelah tangan Jelena terulur untuk mengelus pelan punggung tangan Adzkiya yang berada di pangkuannya. Mata mereka masih saling bertaut.
“Jevan yang sama Kak Kiya sekarang adalah Jevan dengan versi terbaiknya, Kak. Tunggu Jevan, ya, anak itu lagi coba buat beresin semua masalahnya untuk bisa sama-sama sama Kak Kiya lagi.”
Rintik hujan mulai turun di luar flat. Butirannya menabrak jendela kaca yang buram karena cuaca dingin. Suara rintiknya terdengar syahdu membelai rungu dua gadis yang saling tatap dalam rasa syukur itu. Senyum mereka masih setia terlukis di wajah masing-masing.
“Jevan bener, El, kamu adalah perempuan paling baik setelah Mamanya. Aku bahkan gak merasa keberatan kalau di salah satu sudut hati Jevan masih ada kamu di dalamnya.”
“Kak,” Jelena menggeleng tegas, “Kakak sama Jevan itu sama. Dulu Kak Kiya juga melepaskan Kak Garend untuk bahagia sama Kak Vivian, kan? Apa dengan begitu Kak Kiya masih aja nyimpen Kak Garend di sudut hati Kak Kiya?”
Kali ini Adzkiya yang menggelengkan kepalanya.
“Nah, Jevan juga sama. Hati Jevan sekarang pasti udah penuh sama Kak Kiya. Kak Kiya harus tau kemarin dia sengerengek apa pengen ikut kesini lagi.”
Keharuan diusir telak oleh ledekan yang Jelena lontarkan. Mereka kembali tertawa bersamaan dengan Klarisa yang baru saja keluar dari kamar usai mandi. Gadis itu tampak sedang berbicara kepada seseorang melalui ponselnya.
“Nanti malem gue tidur sama Kak Kiya, wleeeee. Nanti gue pap deh kamar Kak Kiya kayak apa, lo pasti belum diizinin liat kamarnya, kan?”
“Enak aja, udah ya, kalau liat doang mah boleh. Ikut tidur disana yang gak boleh.” Seseorang menimpali ucapan Klarisa dengan suara yang begitu Adzkiya kenali. “Lo jangan ngerepotin cewek gue ya, Ca, cewek gue tuh sibuk disana lagi belajar. Jangan malah lo bikin ngurusin lo mulu.”
“Iya, Tuan Muda Jevander Novanda. Lo ngomong itu mulu selama perjalanan nganter gue ke Bandara, gue sampe gumoh.”
“Ya lo tuh kudu sering-sering diingetin soalnya. Inget ya, cewek gue pagi bangun jam 6, itu jadwal dia minum teh sama baca buku, abis itu dia bikin sarapan dan pergi buat kelas florist, pulangnya sore. Dia lebih suka makan malem di rumah, tapi kalau lo mau ajak makan malem juga gak papa, dia suka makan...”
“Heh Jevan.” Klarisa menyela keras. “Gue tuh lebih dulu kenal Kak Kiya dibanding lo ya. Waktu dulu sebelum lo tau Kak Kiya siapa, dia udah main sama gue duluan, udah tidur seranjang sama gue duluan, udah piknik sama gue duluan, yang tau Kak Kiya gak suka lemon tea juga gue duluan. Lo jangan lupa kalau Kak Adzkiya udah hampir menyandang nama keluarga gue. Nama dia tuh dulu hampir jadi Adzkiya Judith Adetama tau gak? Jadi lo gak usah sok ngajarin gue soal Kak Kiya deh, gue udah lebih dulu hafal.”
Adzkiya dan Jelena hanya terkekeh mendengar Klarisa yang menyalak kesal lengkap dengan sebelah tangannya yang diletakkan di pinggang, sementara tangannya yang lain mengarahkan layar ponsel ke wajahnya.
“Dari pada lo ngomelin gue lagi, mending sana lo cari cara gimana biar bisa bawa Kak Kiya pulang sebelum cewek lo kepincut cowok Australia. Cowok disini tuh cakep-cakep, gue sih khawatir ya posisi lo kegeser.”
“Waaahhh mulutnya... Dasar Klarisa jelek!” Tanpa harus melihat layar, Adzkiya yakin sekali Jevan sedang bersungut-sungut di sebrang sana. Khas sekali dirinya jika sudah kalah dalam beragumen. Sisi bayi dalam diri Jevan akan muncul tanpa dia sadari.
“Biarin! Biar jelek-jelek begini gue mah gak insecure ke matan Jaenan. Gak kayak lo yang insecure sama kegantengan Kak Sagara! Jevan denger ya.... IH KOK MALAH DIMATIIN?”
Teriakan Klarisa menggema bersamaan dengan getaran pada ponsel Adzkiya. Sebuah pesan masuk, dari Jevander, berisi Sayang, aku diledekin terus sama Ica. Usir aja deh dia dari flat kamu, ngeselin.