melbourne

Melbourne, pukul tiga sore.

Bulan April, suhu rata-ratanya berkisar 14 hingga 21 derajat celcius. Masih sama dengan suhu Ayu Laga. Jevan masih meringkuk di atas ranjang, tubuhnya yang sudah berhoodie masih perlu dia tutupi dengan selimut tebal yang sudah Adzkiya siapkan. Sementara di sisi ranjang yang lain sudah kosong—seharusnya ada Juan disana, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu bangun sejak pukul satu tadi. Perutnya berisik minta diisi.

Empat puluh menit kemudian, hampir pukul empat sore. Jevan baru menggeliat pelan, matanya menggerjap berusaha menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Ada secercah senyum dalam wajah kantuknya tatkala dia sadar bahwa hari ini, dia terbangun di bawah atap yang sama dengan kekasihnya. Meskipun sejak datang tadi, sekitar pukul sepuluh pagi, Jevan sama sekali belum bersitatap dengan Adzkiya— sebab gadisnya itu telah berangkat untuk florist course. Sementara teman serumah Adzkiya, juga sedang berada di Universitasnya untuk mengikuti perkuliahan. Maka itu, usai berganti pakaian serta sedikit bersih-bersih, Jevan dan Juan memilih untuk langsung tidur saja. Mengganti energi yang mereka habiskan untuk menempuh hampir 17 jam perjalanan.

“Wan?”

Tidak ada sahutan.

“JUAN?!”

Masih tetap tidak ada sahutan.

Jevan bergerak bangun, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang lantas meraih ponsel dari meja nakas. Satu pesan muncul di layar, pesan dari Juan yang berisi,

Gue tadi laper banget, terus gue cari makan ke luar, soalnya gak ada Kak Kiya mau minta masakin. Eh ternyata cuaca di luar bagus, abis makan gue langsung jalan-jalan, gak usah kaget kalau gue gak di flat.”

Jevan membalas pesan itu, kemudian turun dari ranjang. Hal pertama yang dia lakukan adalah mencari susu segar— seperti yang selalu dia lakukan. Senyuman lagi-lagi menghiasi wajahnya saat dia membuka lemari pendingin, ada dua botol susu segar di sana, keduanya masih penuh. Ini pasti Adzkiya yang baru menyiapkannya saat tahu Jevan akan datang. Selesai dengan urusan itu, Jevan kembali ke kamar, dia harus mandi, sebab sebentar lagi Adzkiya akan pulang.

Sementara itu, di sisi lain, seorang gadis tengah mengantre di sebuah kedai makanan. Ada dua orang lagi di depannya, gadis itu bergerak-gerak gelisah, matanya terus-terusan melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Jevan pasti udah bangun, dia pasti laper.” Gadis itu bergumam pelan pada dirinya sendiri. Makin tidak sabar untuk mendapat giliran memesan.

Lima menit kemudian tiba gilirannya untuk memesan. Gadis itu mengucap pesanannya dengan cepat, karena sudah menghafalnya di luar kepala.

Two Brisket Beef, one Brekky Tortilla Wrap, and one Smoked Salmon Bagel, please?

Si pelayan mengangguk dan sibuk menggerakkan jemarinya di atas layar komputer, menginformasikan nilai uang yang harus dibayar lalu memberikan struk pembayaran. Setelah itu Adzkiya bergeser ke bagian pick up untuk menunggu makanan yang dipesannya. Tidak perlu waktu lama, kurang dari sepuluh menit pesanan telah siap. Adzkiya lalu bergerak cepat untuk pulang ke flat. Langkah cepatnya sampai menarik perhatian beberapa orang.

Ketika tiba di flat, Adzkiya disambut sepasang sepatu yang begitu dia kenali, Air Jordan Hyper Royal berwarna perpaduan biru dan abu-abu, sepatu kesayangan seorang Jevander Novanda. Sebentar, tapi seharusnya ada sepasang sepatu lagi di sana. Kemana sepatu milik Juan?

“Jevan? Juan?” Adzkiya mencoba memanggil, tapi tidak mendapat sahutan. Rungunya menangkap suara berisik dari kamar mandi yang berada di kamar tamu. Dia melangkah kesana, melongokkan kepala setelah mengetuk pintu kamar.

“Siapa yang ada di kamar mandi? Juan? Jevan?” Kali ini Adzkiya sedikit mengeraskan suaranya, sebab seseorang di dalam sana tampaknya sedang menggunakan alat shaving electric yang menimbulkan suara cukup berisik.

“Van?” panggil Adzkiya lagi, kali ini benar-benar dengan suara keras.

“Ya? Aku di kamar mandi, Sayang.” Jevan akhirnya menyahut, membuat Adzkiya punya keberanian untuk mendekat.

Pintu kamar mandi dibiarkan terbuka, menampilkan Jevan yang terlihat segar usai mandi. Rambutnya masih basah, beberapa tetes air membasahi punggung dan dadanya yang telanjang, handuk putih melilit di pinggang laki-laki itu. Posisi Jevan membelakangi Adzkiya, tapi dia bisa melihat kekasihnya itu dari pantulan cermin. Mereka melempar senyum lewat sana.

“Juan mana?” tanya Adzkiya seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi, mendekat pada Jevan yang masih sibuk dengan alat shavingnya di depan vanities bathroom.

“Tadi katanya cari makan, kelaperan dia. Terus lanjut jalan-jalan sendirian. Akunya ditinggal, soalnya aku baru bangun.” Jevan sempat melirik ke arah Adzkiya yang beridiri di belakangnya, melirik melalui kaca. “Sebentar, ya, nanggung nih, abis ini aku peluk.”

Adzkiya tidak menjawab, perhatiannya teralih pada hal lain— punggung Jevan, serta bekas luka sabetan di sana. Jarinya bergerak menyentuh ujung bekas luka, lalu bergerak sesuai jalur bekas lekas itu. Setelah selesai pada bekas luka yang satu, jarinya berpindah pada bekas luka yang lain.

“Luka ini... pasti dulunya sakit banget ya, Van?”

Jevan mematikan alat shavingnya kemudian meletakkannya dengan asal. Laki-laki itu lantas mengambil sebelah lengan Adzkiya yang tidak sibuk menyentuh bekas lukanya. “Sini deh,” ucapnya seraya mengangkat tubuh Adzkiya dan mendudukannya di atas vanities.

“Dari pada liat punggung aku, mending kamu liat yang ini,” Jevan melirik ke arah dada dan perutnya yang telanjang. “Yang depan masih mulus, gak kayak yang belakang. Pemandangan ini jauh lebih bagus buat kamu,” katanya dengan sebelah alis terangkat.

Adzkiya terkekeh, teringat obrolan mereka kemarin pagi saat membahas enam kotak di perut Jevan.

“Sayang banget yang keliatan cuma empat,” Adzkiya melingkarkan lengannya pada leher Jevan.

Kali ini Jevan yang terkekeh saat menangkap arti ucapan kekasihnya. Empat kotak yang terlihat, sebab dua lainnya tertutup lilitan handuk.

“Mau liat semuanya? Aku bisa buka kalau kamu mau.” Jevan melingkarkan lengannya pada pinggang Adzkiya.

“Belum siap,” bisik Adzkiya lirih.

Jevan kembali terkekeh seraya mengangguk. “Bilang ke aku kapan pun kamu siap. Nanti aku buka.”

“Aku lebih suka kamu buka apa yang ada di sini dari pada apa yang ada di bawah sana.” Adzkiya menyentuh kening Jevan dengan jari telunjuknya. “Bilang ke aku apapun yang bikin kepala kamu berisik sampai kamu gak bisa tidur, Van.”

Jevan mencium kening Adzkiya dan menahannya beberapa saat. Saat ciuman itu terlepas, Jevan berkata pelan, “Papa datengin keluarga Kenari dan ngebahas tentang pertunangan aku dan Kenari.”

Adzkiya diam, mendengarkan.

“Tapi Kenari gak mau nerima pertunangan itu, begitu juga aku. Kita berdua lagi cari cara untuk ngebatalin rencana Papa. Tapi kita harus mikirin caranya baik-baik, supaya gak jadi masalah baru. Kenari gak mau kamu kena masalah, Ki. Kenari bilang, Papa sempet ngebahas tentang aku yang lupa sama kamu. Dia pengen aku cepet-cepet terikat sama Kenari, jadi sekalipun nanti aku inget sama kamu lagi, aku udah gak bisa kemana-kemana, karena ada Kenari.”

“Kalau gitu, ada baiknya aku tetep di sini aja ya, Van? Keberadaan aku di sekitar kalian cuma akan nambah masalah.” Adzkiya bertanya takut-takut. “Aku takut Kenari juga ada dalam bahaya karena ikut masuk ke permainan ini. Aku takut Papa kamu akhirnya tau kalau selama ini Kenari bantu kamu untuk ketemu sama aku. Aku gak mau Kenari diusik juga sama Papa kamu, Van.”

“Aku denger dari Elen, kamu gak keberatan untuk nunggu aku lebih lama. Kamu beneran gak papa kalau harus disini lebih lama?”

“Gak papa,” Adzkiya menjawab cepat. Sebab dia memang sudah membahas hal ini dengan Klarisa dan Jelena. “Aku gak papa disini lebih lama lagi, asal kamu, sahabat-sahabat kamu dan Kenari baik-baik aja.”

Jevan mengangguk. “Maaf ya harus bikin kamu nunggu lagi.”

“Aku yang seharusnya minta maaf karena aku gak bisa bantu apa-apa.”

“Keberadaan kamu udah sangat cukup buat aku, Ki.”

Jevan and his smart mouth. What should we do with this smart Jevan, hm?”

Kiss me.”

Saat bersama Jevan, tawa Adzkiya tidak pernah surut dari bibir ranumnya. Biasanya, ketika Adzkiya melontarkan pertanyaan what should we do with this smart, Jevan? Maka Jevan akan berkata, come and kiss me. Tapi sekarang, karena dia telah ada tepat di depan Adzkiya, hanya kiss me yang Jevan ucapkan, membuang kata come entah kemana. Dan itu... begitu lucu bagi Adzkiya.

Setelah tawanya reda, Adzkiya menyentuh bibir Jevan dengan ujung jarinya. “Where? Here?”

Lalu jari itu turun, membelai leher jenjang Jevan. “Here?

Selesai di sana, jemari Adzkiya turun lagi. Mengelus pelan bahu hingga dada Jevan. “Here?

Or.... here?” Pada akhirnya, jemari Adzkiya berhenti di atas otot perut Jevan yang terasa keras di telapak tangannya.

Atas semua belaian itu, Jevan menggeram. Sentuhan Adzkiya membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang coba dia padamkan. Berjalan dua tahun hubungan mereka, Jevan sebetulnya telah menahan diri selama ini. Tiap kali Adzkiya di sekitarnya, ingin rasanya langsung dia sergap saja tubuh mungil itu. Tapi perasaan cintanya berhasil mengontrol Jevan selama ini. Selama hampir dua tahun, Jevan telah berhasil menjaga batas yang Adzkiya bangun di antara mereka— meskipun beberapa kali dia hampir melewatinya.

Dan hari ini, perasaan untuk melewati batas itu datang lagi. Adzkiya ada di depannya. Tampil cantik dalam balutan kemeja biru muda yang kancingnya dia biarkan terbuka, tanktop putih mengintip dari baliknya. Rambut Adzkiya yang biasanya dibiarkan tergerai, hari ini dikuncir kuda. Membuat leher jenjang Adzkiya berada tepat di depan mata Jevan. Leher yang seputih susu itu seakan mengundang Jevan untuk memberi jejak di sana. Jejak kemerahan yang bisa dia ciptakan dengan isapan pelan dari bibirnya. Isapan yang akan memancing lenguhan mesra dari bibir Adzkiya.

Crap

Jevan telah masuk dalam imajinasinya sendiri. Sentuhan Adzkiya betul-betul memberi efek besar padanya.

“Ki, none home, could I....” ucap Jevan seraya tangannya menyentuh kerah kemeja Adzkiya. “I... can't think staright right now... Could I....”

Tell me what you want, Jevander.”

I want you,” ucap Jevan cepat.

Adzkiya mengangguk, mengerti. “I'm yours,” balasnya pelan. Lalu dia membiarkan Jevan melepas kemeja biru yang dia kenakan.

Bibir mereka sudah saling menjamah. Tangan Adzkiya setia melingkari leher Jevan, sementara tangan Jevan sibuk meremas pinggang Adzkiya pelan. Tangan itu juga dengan berani berusaha meraih sesuatu di punggung Adzkiya— sebuah pengait menuju sesuatu yang Jevan dambakan. Bibir Jevan berpindah ke leher Adzkiya, memujanya. Kecupan-kecupan kecil dia daratkan di sana, sebelum akhirnya melakukan sesuatu yang sejak dulu diinginkannya, memberi jejak di sana. Jevan melakukannya di beberapa tempat, sampai dia puas. Adzkiya melenguh pelan, meremas rambut belakang Jevan.

Tepat saat Adzkiya menyentuh ikatan handuk yang Jevan kenakan, ponsel di sakunya berdering...

Bukan hanya getaran, tapi dering yang kencang.

Membuat mereka terkejut setengah mati. Jevan bahkan hampir mengumpat ketika Adzkiya dengan terkejut mendorong pelan tubuhnya.

“Siapa, sih?” tanya Jevan frustasi.

Adzkiya menggeleng, pertanda tidak tahu, lalu diraihnya ponsel dari saku. Nama Juan ada di sana.

“Gak usah diangkat.” Jevan meraih ponsel Adzkiya, mematikannya. Lalu meletakkan ponsel itu di sebelah alat pencukur yang juga sudah dia campakkan.

Tanpa basa-basi, Jevan kembali meraih tubuh Adzkiya, hendak melanjutkan apa yang sempat tertunda. Tapi lagi-lagi, sesuatu menghadang mereka. Bel pintu berbunyi berkali-kali, gedoran pada pintu juga terdengar tidak sabar.

“Jep! Buka Jep! Lo denger gue gak?”

“Kayaknya Juan di luar, mungkin dia lupa passcodenya, aku buka dulu pintunya. Kalau dia terus teriak kayak gitu, tetangga flat bisa keganggu.”

Belum sempat Jevan memprotes, Adzkiya sudah lebih dulu turun dari vanities, meraih kemejanya dan mengenakannya kembali, kali ini dengan memasang seluruh kancingnya. Lalu gadis itu menyentuh sebelah pipi Jevan, megecup bibirnya sekilas, dan berucap pelan, “Pake baju, terus keluar, makan. Tadi aku beli makanan.”

Adzkiya baru akan melangkah menjauh saat Jevan menahan pergelangan tangannya. “Kamu aja yang ganti baju, biar aku yang bukain.”

“Kenapa?”

“Kamu mau Juan liat apa yang baru aja kita lakuin?” Jevan menunjuk leher Adzkiya dengan matanya.

Gadis itu terkesiap, baru tersadar. “Oh iya! Yaudah aku ke kamar ya, tolong buka pintunya.”

Akhirnya Adzkiya berlalu, meninggalkan Jevan yang siap mendamprat sahabatnya yang baru datang itu.

Sudah dua kali dia gagal. Yang pertama saat Kenari meneleponnya, dan kali ini karena Juan. Sungguh, seharusnya dia membawa Adzkiya ke negeri antah brantah di saat tidak ada siapapun di sana.