Studio

Jakarta, pukul sembilan malam.

Jalanan mulai lengang, tidak seramai saat jam pulang kantor. Mobil Juan membelah jalanan dengan gemulai, meliuk-liuk mendahului satu-dua mobil yang menghalangi jalan. Di sebelah kursi kemudi, Kenari duduk dengan tenang. Suasana yang terbangun dalam kendaraan roda empat itu tidak terlalu canggung, sebab dibantu alunan lagu yang Juan sengaja nyalakan. Mereka berdua bergumam mengikuti bait lagu yang mereka sama-sama hafal di luar kepala. Ini pertemuan kedua bagi Kenari dan Juan, setelah yang pertama di kediaman Raechan beberapa hari lalu.

“Juan, maaf saya jadi merepotkan.” Kenari berucap saat ada hening sesaat ketika lagu berganti. Suara Keshi digantikan oleh oleh Post Malone menyanyikan lagunya yang berjudul Circle.

“Tadi Jepan sudah minta maaf, kamu jangan ikut-ikutan minta maaf. Orang gak buat salah juga kamunya, ngapain minta maaf?” Juan menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari jalanan.

Kenari mengangguk pelan. “Kamu... Sudah lama ya bersahabat dengan Jevan?” Entahlah, Kenari juga sebetulnya tidak mengerti kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Gadis itu hanya merasa harus mengajak bicara orang yang sudah berbaik hati mengantarnya pulang- di saat sebetulnya dia bisa mengurus dirinya sendiri.

“Kalau dihitung sejak masuk SMA, artinya kami sudah berteman selama.... hampir sepuluh tahun.”

Kenari terkejut. Mulutnya menganga takjub. “Wah, sepuluh tahun? Pantas kalian akrab sekali.”

Ada senyum terulas pada wajah Juan mendengar pujian itu. Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya selain mendapat pujian semacam itu untuk hubungan pertemanan yang dia bangun.

“Kalian pernah berantem gak, Juan?”

“Saya dan Jepan?”

“Enggak harus kamu dan Jevan, siapapun di antara kalian, pernah berantem?”

“Pernah,” jawab Juan dengan santainya. “Kak Kiyo sama Jepan pernah tonjok-tonjokan di rooftop sampai babak belur.”

“Oh ya? Karena apa?” Kenari antusias sekali, membuat Juan menoleh sebentar padanya.

“Biasa, karena perempuan. Tapi lucunya, masalah mereka selesai saat itu juga. Setelah adu jotos, mereka baikan. Padahal sebelumnya mereka perang dingin.”

“Oh saya pernah dengar soal itu. Ternyata betul ya, lebih baik adu fisik dari pada perang dingin.”

Juan menyetujui, sebab dia menyaksikan sendiri peristiwa macam itu.

“Selain itu, pernah lagi gak?”

Juan diam sebentar, berusaha mengingat-ingat. “Hmm... Seingat saya, cuma satu kali itu saja. Sisanya, kami selalu membicarakan apa yang gak kami suka tentang satu sama lain. Misalnya saat Raechan punya salah, kami ajak dia bicara secara langsung atau lewat group chat. Masalah selesai. Begitu aja. Sisanya mah ribut-ribut biasa. Tapi kalau berantem eksternal, sama geng lain, Raechan, Jepan dan Jaenandra pernah beberapa kali.”

“Sama geng lain? Karena masalah apa? Tawuran?”

Pembicaraan itu makin seru. Kenari sampai harus memiringkan tubuh sepenuhnya untuk menatap Juan. Baginya, cerita ini adalah pengalaman baru. Sebab sejak Kenari lahir, hidupnya lurus-lurus saja. Penuh tata krama dan kesopanan tinggi, boro-boro membahas tentang perkelahian antar geng, mendengar orang tuanya berbicara dengan nada tinggi saja, gadis itu tidak pernah.

“Bukan tawuran, tapi berantem aja. Pernah suatu kali Jaenan sama Raechan mukulin satu geng, mereka berdua lawan delapan orang. Penyebabnya karena geng itu ngeroyok Jepan waktu Jepan lagi mabuk. Raechan sama Jaenan marah banget. Dari cerita Jaenan, Raechan hampir aja nginjek dada ketua gengnya sampai hampir mati.”

“Separah itu?”

Juan menyalakan lampu sign lalu berbelok ke arah kiri mengikuti maps sebelum menjawab pertanyaan Kenari. “Separah itu, soalnya mereka pukulin Jepan sama parahnya. Tubuh Jepan dicambuk pakai rotan, sampai sekarang luka di punggungnya itu bahkan gak hilang.”

Kenari tertegun. Gadis cantik itu teringat luka sabetan di punggung Jevan yang dia lihat beberapa jam lalu. Terjawab sudah pertanyaan di kepala Kenari tanpa harus terlibat lebih jauh dalam kehidupan seorang Jevander.

“Kenapa gak lapor polisi saja, Juan?”

Juan terkekeh. Kenari adalah sebenar-benarnya gadis dari kalangan atas. Semua masalah harus selesai sesuai jalurnya.

“Kok ketawa, Juan?”

“Pemikiran kamu berbanding terbalik sama pemikiran Jaenan dan Raechan waktu itu. Mereka bilang, lapor polisi itu sulit, birokrasinya berbelit-belit. Makanya, mereka balas dendam sendiri.”

Tawa kenari beriringan dengan tawa Juan yang belum juga selesai. Kenangan itu menggelitik relung Juan. Masa itu, saat dimana mereka belum sedewasa sekarang. “Kamu masih tertarik sama cerita ini?”

“Masih.” Kenari menyahut antusias. “Ada lagi?”

“Sisanya nanti saya ceritakan lain waktu, ya. Kita sudah mau sampai. Rumah kamu nomor berapa tadi?”

Sangking antusiasnya Kenari pada cerita-cerita menakjubkan Juan, dia bahkan tidak sadar bahwa mobil yang ditumpanginya ini telah masuk ke gerbang perumahan mewah tempat dia tinggal.

“Oh? Nomor 14, Juan. Warna gerbangnya putih.”

Juan mengangguk, lantas melihat ke arah kiri jalan dimana jajaran rumah dengan nomor genap berada. “Yang itu?”

“Iya! Yang itu.”

Juan memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang bercat putih. Lantas pria itu turun, berjalan ke arah kursi penumpang dan membukakan pintunya untuk Kenari.

“Mau mampir dulu? Minum teh mungkin?”

“Lain kali saja, saya masih ada janji lain.”

“Semalam ini?”

“Dengan kawan-kawan saya, kami memang selalu memilih jam malam.”

“Termasuk Gio?” terka Kenari begitu polos.

“Hanya ayahnya. Kalau Gio, anak itu pasti sudah mendengkur di samping ibunya.”

Mereka lalu tertawa bersama. Menertawakan sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu lucu.

“Yasudah, saya pamit ya, Kenari.”

“Iya, terimakasih ya, Juan.”

**

“Lama banget lo nyampenya, dingin nih martabak.” Ocehan Raechan menyambut Juan.

Semantara yang disambut merasa enggan dengan penyambutan macam itu. Tangan Juan dengan cekatan meraih bantal kursi, lantas melemparkannya ke arah Raechan.

“Orang kayak Raechan emang kudu disambit dulu baru diem.” Jaenandra berkomentar sambil menatap puas.

“Minum dulu, Wan.” Minuman, beralkohol, dituangkan ke dalam gelas tinggi, tidak lupa didekatkan ke arah Juan duduk. Sebuah service spesial dari si peminta tolong— Jevander. “Kenari lo anter sampe rumah, kan? Gak lo turunin di tengah jalan, kan?”

“Aman.” Juan menjawab pendek, kemudian menenggak minumannya hingga tanggal. “Lain kali, kalau perlu kabur dari tugas nganter lagi, kabarin aja.”

“Ini lo nyindir gue apa gimana ya, Wan?”

“Kagak, gue serius. Keputusan lo tadi udah bener, lo ngejaga perasaan Kak Kiya.”

Jevan tersenyum bangga, jarang sekali Juan memujinya seperti ini. “Gue jadi geer deh, Wan, kalau lo muji gue begitu.”

“Gue gak muji lo, gue mikirin Kak Kiya,” balas Juan cepat, dilengkapi toyoran pelan kepada kepala Jevan.

“Ya, ya, apapun itu deh, makasih udah ngomong gitu.”

Ruangan lengang sebentar. Jevan lantas mengambil gitar, memetik senarnya menciptakan alunan yang menyejukkan telinga.

Dari kejauhan tergambar cerita tentang kita Terpisah jarak dan waktu Ingin kuungkapkan rinduku lewat kata indah Tak cukup untuk dirimu Sebab kau terlalu indah dari sekedar kata Dunia berhenti sejenak menikmati indahmu

Suara Raechan secara otomatis mengisi irama gitar Jevan dengan begitu sopan, membelai rungu semua yang ada disana.

Dan apabila tak bersamamu Kupastikan kujalani dunia tak seindah kemarin Sederhana tertawamu sudah cukup Lengkapi......

“Kenapa sih, Jev, berhenti?” Raechan protes, sebab iringan gitar Jevan tiba-tiba terhenti.

“Eh, eh, bentar deh, lagunya cocok buat Kiya. Ulang ya, gue rekam dulu, nanti mau gue kirim ke Kiya.”

Raechan mendengus, Markio dan Jaenandra hanya tertawa melihat Jevan sibuk mengotak-atik ponselnya sebelum kembali memetik senar gitar.

Sementara Juan hanya menatap semua itu dalam diam. Tapi, dalam diamnya ada kesenangan, karena sahabat baiknya, Jevander, telah jatuh sejatuh-jatuhnya untuk sosok yang tepat.

Dan dia, sebagai kawan baik Jevan, harus ikut menjaga hubungan baik itu.