Well Paid
Melbourne, pukul sepuluh pagi.
Ruang makan apartemen yang biasanya sepi, pagi ini ramai oleh suara tawa Jevander yang sibuk menggoda Adzkiya. Mulai dari menarik pita ikatan rambut, melepas tali apron, menggelitik pingging sampai menyembunyikan alat masak yang Adzkiya perlukan. Entahlah, Adzkiya juga tidak habis fikir kenapa energi laki-laki itu bak terisi penuh pagi ini. Padahal seingat Adzkiya, semalam, kekasihnya itu masih bersungut-sungut kesal saat tidak dia perbolehkan tidur di kamar bersamanya.
“Jevan, ini lama-lama nasi goreng kamu bisa tumpah kalau kamu gak bisa diem, ya!” Itu adalah peringatan kesekian yang Adzkiya berikan, yang kesekian kalinya juga Jevan abaikan.
“Mending kamu duduk anteng di meja makan sana deh!”
“Cium dulu, abis itu aku duduk.”
Adzkiya memutar bola matanya, namun tetap melakukan apa yang Jevan mau. Tidak apa lah, satu ciuman demi kedamaian proses memasak sarapan yang sudah berlangsung lebih dari satu jam itu.
Cup
Senyum Jevan melebar, lalu dengan riang, laki-laki itu berjalan ke arah meja makan dan duduk dengan tenang di sana. Sebelah tangannya digunakan untuk menopang dagu, manik matanya tidak lepas menatap seluruh gerak-gerik yang Adzkiya lakukan. Aneh ya, padahal Jevan hanya bisa menatap punggung Adzkiya, tapi baginya pemandangan pagi ini jauh lebih indah dari pada pemandangan menakjubkan negara manapun yang pernah dia kunjungi.
Senyum Jevan merekah penuh, dan semakin lebar saat akhirnya sepiring nasi goreng dengan ekstra keju terhidang di depannya. Aroma nasi goreng hasil masakan Adzkiya menguar, memenuhi indra penciumannya dan memberi efek pada dirinya. Mulut Jevan terasa berliur, tidak sabar untuk menerima gebrakan dari makanan kesukaannya itu.
“Makan, abis itu mandi. Juan bahkan udah keliling Melbourne, kamunya malah sibuk gangguin aku di dapur.”
“Tujuan aku sama dia kan beda. Dia kesini nemenin aku, sekalian explore Melbourne. Sementara aku kan kesininya buat habisin waktu sama kamu.”
Adzkiya tidak menjawab, gadis itu hanya duduk di sebelah Jevan. Menyajikan segelas susu segar dingin sebagai pendamping nasi goreng yang dimasaknya.
“Aku makan ya,” ujar Jevan semangat, lantas mengambil satu sendok penuh nasi untuk disuapkan ke mulutnya sendiri.
Adzkiya masih diam. Matanya menikmati ekspresi wajah Jevan yang terlihat kegirangan. Mulutnya sibuk menguyah, tapi senyumnya tidak luntur. Bahkan matanya sampai membentuk bulan sabit, khas sekali seorang Jevander Novanda ketika tersenyum senang.
“Setelah pulang dari sini, apa yang pertama kamu mau lakuin, Van?”
Jevan menelan makanannya kemudian menjawab tenang, “Ketemu Kenari mungkin, buat mikirin cara batalin pertunangan itu. Setelah tau caranya, langsung dilakuin aja sebelum Papa yang gerak duluan. Setelah beres urusan perjodohan itu, aku mulai mikirin cara buat bilang ke Papa tentang kita, tanpa bikin aku dan kamu dalam bahaya.”
“Kayaknya itu yang susah ya.” Adzkiya tersenyum lembut, tangannya terulur untuk membersihkan ujung bibir Jevan dengan ibu jarinya.
Jevan mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke samping. Tidak lagi menghadap meja makan, sebab pemandangan di sampingnya lebih enak dipandang. Sebelah kakinya naik ke atas kursi, kemudian dia meletakkan dagunya di atas lututnya sendiri.
“Iya, kayaknya agak susah. Bakal butuh waktu. Kamu sabar, kan, nungguin aku?”
Lagi-lagi Adzkiya tersenyum lembut. “Harus berapa kali aku bilang, Van? Aku sabar nungguin kamu. Waiting is my middle name, aku udah biasa nunggu,” gurau Adzkiya guna memperbaiki suasana.
Jevan menurunkan kakinya dari kursi lalu meraih tangan kiri Adzkiya, mengelus jari manis gadis itu. “Walaupun gitu, aku boleh gak isi jari manis kamu sekarang? Aku gak pengen kamu keliatan kayak perempuan single, aku pengen orang-orang tau kamu ada yang punya, Ki. Jujur, aku takut banget sebenernya ngelepas kamu disini sendirian, tiap hari aku kepikiran. Gimana ya kalau Kiya ketemu sama cowo lain, gimana ya kalau waktu gue jauh ternyata ada yang bisa bikin Kiya nyaman di Melbourne, gimana ya....”
“Kamu bawa cincinnya gak?” potong Adzkiya cepat. Tidak ingin mendengar kekhawatiran Jevan yang sama sekali jauh dari kenyataan itu.
Jevan lantas mengeluarkan kotak beludru dari saku hoodienya. Ketika kotak itu dibuka, sebuah benda mengkilap menyilaukan mata. Benda mungil itu tampak cantik tertimpa cahaya matahari yang menelisik masuk melalui jendela yang terbuka. Jevan memilih cincin keluaran merek terkemuka, Cartier, jenis white gold rings dengan sentuhan batu permata di atasnya.
“Aku milih yang ini karena rasa-rasanya design ini bakal cantik banget di jari kamu. Kamu suka gak?”
“Suka. Cantik, Van, cincinnya.”
“Boleh aku pakein?”
Adzkiya menjawab pertanyaan itu dengan mendekatkan jemarinya ke arah Jevan, yang langsung tersenyum senang. Dipasangkannya cincin yang telah dia pilih ke jari manis Adzkiya. Cincin permata itu langsung menyatu dengan jari manis Adzkiya yang lentik dan putih bersih.
“Sekarang udah tenang, kan? Di jari aku ada cincin dari kamu, di leher aku ada bekas ciuman kamu. Ck, fix sih abis ini aku gak bakalan laku lagi.” Adzkiya pura-pura mengeluh, padahal jauh di lubuk hatinya dia senang bukan kepalang.
Untuk pertama kalinya, hubungan yang dia bangun dibawa sejauh ini. Untuk pertama kalinya, perjuangan yang dia lakukan tidak berjalan sendirian. Untuk pertama kalinya, keadaan menunggunya dijanjikan sesuatu yang manis.
Adzkiya tahu, jalan mereka mungkin lebih parah dari sekadar kata panjang. Tapi seperti kata Jevan, selagi mereka bersama, semuanya akan terasa lebih ringan. Mungkin tidak mudah, tapi ringan saja sudah cukup.
“Tapi bekas ciuman itu paling lama cuma bertahan dua minggu, Ki. Aku tambahin ya?”
“Ngaco woooo.”
Adzkiya mengacak rambut Jevan, membuat kekasihnya itu lagi-lagi tertawa.
“Serius, mau gak? Mumpung gak ada orang di apartemen nih.” Jevan memajukan wajahnya, mendekati Adzkiya yang menatapnya nyinyir.
“Sekarang emang gak ada, tapi nanti kalau kamu macem-macem, pasti ada aja halangannya. Gak inget emang kejadian kemarin sama yang waktu Kenari telfon?”
Jevan mendengus, ucapan Adzkiya ada benarnya. Baiklah, dari pada harus berhenti di tengah jalan, lebih baik untuk tidak memulainya sama sekali. Jevan mengembalikkan perhatiannya pada nasi goreng lezat yang tersisa di piringnya. Meyakinkan diri bahwa nasi goreng ini lebih menggiurkan dari pada seorang Adzkiya Judith Hartoni. Sebelah kakinya kembali dia naikkan, tangan kanannya juga kembali sibuk menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
“Ngomong-ngomong soal Kenari, sekarang kamu udah yakin, kan, kalau dia baik?”
Jevan mengangguk. “Ya lumayan lah, 70 persen.”
“Be nice to her, jangan galak-galak.”
“Iya, Tuan Putri, siap.”
Pagi itu, di antara cuaca sejuk Melbourne City, Adzkiya menatap kembali cincin yang melingkar di jemarinya. Ada harapan besar di sana, besar sekali. Dan dia berdoa, semoga harapan itu tidak akan mengkhianatinya.