petrichorslines

“Kak, udah dong jangan senyum-senyum gitu.”

“Dih, kenapa emang kok udahan? Tadi katanya gue cantik kalau senyum.”

Ya iya sih, tapi alasan di balik senyumannya kan gak bagus, batin Raechan.

Menyembunyikan perasaan kesalnya, Raechan masih setia mengikuti langkah Kayana menuju area parkir. Sesuai dengan rencana awal, Kayana akan mengantarkan Raechan pulang karena tanpa Kayana ketahui, Raechan sudah mengirim pergi mobilnya bersama Jaenandra dan Klarisa lima menit lalu. Tepat ketika briefing untuk event jurusan pendidikan bahasa jepang selesai.

“Eh, Kak, saya nebengnya gak jadi ke rumah deh. Boleh tolong anterin saya ke studio temen saya aja gak? Deket kok, paling cuma sepuluh menit dari sini.”

Kayana menyerngitkan dahinya sambil menatap Raechan, sedangkan juniornya itu hanya mengangkat bahu dengan acuh, “Saya harus nyelesaiin masalah saya sama pengkhianat-pengkhianat itu.”

“Lo yakin banget kalau yang kirim foto-foto lo tadi tuh sahabat-sahabat lo?”

“Ya iyalah, siapa lagi? Itu foto-foto kebanyakan diambilnya di studio Jevan, jelas aja pasti mereka yang kirim ke Kak Kayana.”

Jawaban Raechan membuat Kayana mengingat perkataan Iren tentang persahabatan Raehan dengan teman-temannya yang dianggap begitu solid dan terkesan sulit ditembus orang lain yang ingin bergabung dengan mereka.

Sepertinya semua itu benar. Keyakinan Raechan tentang tidak mungkin ada lagi yang mengirimkan foto-fotonya yang diambil di studio temannya itu kepada Kayana berarti tidak lagi ada orang lain yang bisa masuk kesana selain mereka.

Mereka punya dunianya sendiri. Dunia yang tidak akan Kayana pahami karena seumur hidup Kayana tidak pernah berada di sebuah pertemanan seperti yang Raechan miliki.

“Kak? Kenapa kok bengong?” Raechan mengibaskan-ngibaskan tangannya di depan wajah Kayana karena sejak tadi perkataannya tidak mendapat jawaban dari gadis itu.

Kayana terkesiap, mengembalikan kembali kesadarannya, “Hm? Gak kok gak papa. Lo yang nyetir ya, Rae.”

Raechan mengangguk samar-samar, meskipun masih bingung dengan Kayana yang tiba-tiba kembali murung, “Ya.. yaudah.”

Mobil Kayana keluar dari gerbang kampus kemudian belok ke kiri untuk menyusuri jalanan utama yang malam itu tidak terlalu ramai. Di perempatan pertama, Raechan membelokkan mobil Kayana untuk kemudian kembali berbelok ke kiri dan masuk ke sebuah perumahan. Beberapa puluh meter dari pintu masuk perumahan, berdiri sebuah rumah yang dikelilingi pekarangan yang luas. Seolah-olah rumah itu sengaja dijauhkan dari rumah-rumah yang lain.

Raechan menginjak rem dan membuat mobil Kayana berhenti sepenuhnya. Dia membuka seat beltnya kemudian mengambil tas ranselnya dari jok belakang.

“Kak,” Raechan memandangi wajah Kayana yang tertimpa cahaya dari lampu taman, “Masuk dulu, yuk? Minum dulu. Rumah Kak Kayana kan masih lumayan jauh dari sini, istirahat dulu aja di dalem. Ya?”

Kayana tampak ragu, dia tidak kunjung menjawab hingga Raechan membukakan seat belt yang masih melingkari tubuh Kayana, “Udah ayo masuk dulu. Sekalian kita buktiin beneran mereka apa bukan yang sebar fotonya.”

Kayana masih diam. Pikirannya lumayan berkecamuk. Seharian tadi dia sudah kelelahan dengan jadwal kuliah dan breifing untuk event hingga semalam ini. Rasa-rasanya, dia ingin segera pulang dan berbaring di atas kasurnya yang empuk. Mengisi kembali energinya yang telah habis digunakan untuk bersosialisasi. Lagi pula, Kayana juga takut mengganggu teman-teman Raechan di dalam sana. Meskipun Raechan mengaku menyukainya, belum tentu teman-temannya juga menyukai dirinya, pikir Kayana.

“Ya tuhan, bengong lagi dia. Kak, kesambet loh kebanyakan bengong gitu.”

Kayana terkesiap saat menyadari ternyata Raechan sudah berdiri di sisinya dan membuka pintu mobil untuknya.

“Emang gak papa, Rae, gue masuk ke sana?”

Raechan terkekeh pelan, “Ya gak papa lah, Kak. Udah yuk masuk.”

Perlahan-lahan, Kayana turun dari mobil dan mengikuti Raechan yang berjalan mendahuluinya. Saat pintu terbuka, Kayana mendengar suara-suara dari dalam,

“NAH INI DIA SI BRENGSEK.”

“LAMA AMAT LO, KEMANA AJA? UDAH DITUNGGUIN JUGA DARI TADI! SINI LO! BERANTEM SAMA GUE!”

“HEH BAJINGAN, FOTO GUE KENAPA LO KIRIM KE KAK KAYANA HAH?”

“Ya biarin aja sih, sedekah kan kata si Juan.” Raechan berucap santai, masih di ambang pintu dan sibuk melepas sepatunya.

“Ya harusnya lo kirim foto lo sendiri aja, njir.” Seseorang di dalam sana menyahut lagi.

Kayana masih berdiri diam di dekat pintu dan sepertinya orang-orang di dalam sana belum menyadari kehadirannya.

“Tapi gak papa deh, udah impas sekarang, Kak Kiyo udah membalaskan dendam kita. Iya gak, Jev?”

“Oh jadi Kak Kiyo....” Raechan melirik Kayana, “Sebentar ya, Kak, saya ada urusan dikit.”

Sedetik kemudian, Raechan melesat masuk dan menyeruduk Markio yang sedang duduk santai di sebelah kekasihnya.

Saat Kayana melongok ke pintu, dia mendapati Raechan sedang sekuat tenaga berusaha meraih leher Markio untuk dia kunci di lengannya, “Kenapa lo kirim foto aib gue sih, Markio Baratama? Gue cakep aja Kak Kayana gak mau sama gue, apa lagi liat foto aib gue.....”

Dengan keadaan terjepit, Markio bersuara, “Wah playing victim, lo duluan anjing yang mulai.”

Kayana terlalu asik mengamati tingkah Raechan dan Markio sampai dia tidak sadar kalau seorang gadis menghampirinya dengan senyum manis, “Kak Kayana, ayo masuk...” ajak gadis itu.

“Klarisa?”

“Iya, Kak, ini saya.”

Kayana membalas senyum gadis yang sudah dia kenal itu.

Ah, ternyata Klarisa juga teman Raechan. Lagi-lagi perkataan Iren terbukti benar. Pertemanan Raechan melibatkan banyak orang.

Di belakang punggung Klarisa, Kayana masih bisa melihat Raechan bergumul dengan Markio yang berusaha dipisahkan oleh tiga orang lainnya.

“Udah biarin aja mereka, Kak, nanti kalau mereka capek juga berhenti sendiri. Ayo, Kak, masuk, sepatunya lepas disitu aja.”

Seperti tersihir dengan perkataan lembut Klarisa, gadis berambut panjang itu melepas sepatunya kemudian malangkahkan kaki untuk memasuki sebuah ruangan berukuran 15x15 m. Kayana begitu takjub melihat studio yang Raechan sebut sebagai milik temannya itu.

Ruangannya terbagi menjadi dua, ruangan pertama terlihat seperti sebuah ruang keluarga yang berisi tiga sofa hitam panjang, TV, lemari pendingin, meja panjang berisi tumpukan buku, printer, laptop dan komputer yang diletakkan bersebelahan, serta hiasan-hiasan kecil. Di sudut ruangan pertama juga terdapat ranjang kecil yang berisi boneka dan bantal-bantal kecil yang terlihat begitu nyaman. Ruangan ini lebih seperti kamar kos-kosan yang nyaman untuk ditempati.

Sementara di sisi ruangan yang lain, dari pintu yang sedikit terbuka, Kayana bisa melihat satu set perlengkapan band. Sepertinya itu adalah ruangan untuk mereka bermain musik, karena kembali lagi, Raechan menyebut tempat ini sebagai sebuah studio.

“Kak Kayana mau minum apa?” seorang gadis lain yang sedang duduk di sofa bertanya pada Kayana dengan senyum manis yang sama. Jika tidak salah ingat, gadis itu adalah gadis yang Iren bilang sebagai pacar Markio.

“Apa aja yang ada boleh.” jawab Kayana sopan.

Klarisa membawa Kayana duduk di sofa dan ikut duduk di sebelahnya, “Kok Kak Kayana bisa ikut kesini? Raechan paksa Kakak ya?”

“Kepo lo...” sahut Raechan dari arah samping, lelaki itu sibuk merapihkan penampilannya lagi usai bergelut dengan Markio, “Eh iya, Kak, saya sampe lupa ngenalin cecunguk-cecunguk ini,”

“Itu, yang lagi ambil minum namanya Jelena, Kak. Panggil aja Elen.”

Kayana mengikuti arah tatapan Raechan dan tersenyum saat matanya bertatapan dengan gadis bernama Elen itu.

“Yang duduk di sebelah Kak Kayana itu Kakak tau lah ya siapa, anak LPP juga kan dia.”

Kayana mengangguk pelan.

“Kalau yang itu...” Jari telunjuk Raechan mengarah pada pria yang fotonya sempat dia kirimkan pada gue sore tadi, “Itu namanya Jaenandra, pacar Klarisa tuh.”

“Yang pake baju biru namanya Jevan, nah kalau yang pake kaos kuning.... namanya Juan, panggil Wawan juga gak papa.”

Ucapan Raechan dihadiahi pelototan tajam dari pria bernama Juan meskipun dia langsung tersenyum ketika Kayana menatapnya.

“Kalau ini... manusia pengkhianat ini... gak usah dikenalin lah ya.” ucap Raechan lagi merujuk pada Markio.

“Kak Kayana, saya juga punya banyak foto aibnya Raechan loh. Mau liat?” Si pria berbaju kuning tersenyum mencibir ke arah Raechan sebelum melesat duduk di sebalah Kayana. Juan mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum kemudian mengarahkan layar ponselnya kepada Kayana,

“Ini pas dulu dia SMA, lagi tugas drama, dia dandan jadi perempuan.”

Kayana terkekeh melihat foto Raechan yang dibalut gaun merah selutut dan dilengkapi rambut palsu yang dikucir dua. Pose fotonya yang begitu anggun juga membuat tawa kecil Kayana terdengar.

“Ini... beneran Raechan?”

“Bener, Kak.” sahut Kayana, “Wan cari lagi yang lain, Wan.”

“Jangan njir, aduh pesona gue ancur kalau gini mah.”

Raechan berusaha mengambil ponsel Juan tapi Juan lebih dulu berdiri di atas sofa dan mengelak.

Tawa di ruangan itu terdengar penuh.

Untuk kali ini, sepertinya informasi Iren salah.

Teman-teman Raechan jauh dari kata sulit didekati.

Bagi Raechan, sebaik-baiknya mata kuliah adalah mata kuliah yang tidak dihadiri oleh dosen pengampunya. Dengan kata lain, mata kuliah yang ditiadakan. Dengan senang hati, Raechan akan langsung keluar dari kelas tanpa rasa kesal seperti yang dirasakan teman-teman sekelasnya. Dia bahkan bingung, untuk apa juga dia harus kesal? Bukan kah hal seperti ini adalah hal yang seharusnya disyukuri?

Raechan melenggang membelah koridor kampus yang ramai, membawa Juan dalam rangkulannya karena tubuh sahabatnya itu cenderung mudah tersingkirkan bahkan dengan sedikit dorongan, jadi dia berinisiatif untuk melindungi Juan. Mereka berdua berbelok di pintu masuk fakultas dan melewati taman kecil untuk sampai di kantin fakultas. Di sana, Jevan sudah menunggu dengan gitar di pangkuannya.

“Dari pada paha lo dipake buat mangku gitar, mending buat alas gue tidur deh, Jev.” Tanpa izin, Raechan mengambil gitar dari Jevan dan meletakkan gitar kesayangan Jevan itu ke atas meja, “Nah, begini kan enak.” ucap Raechan saat dia sudah meletakkan kepalanya di atas paha kiri Jevan. Tubuhnya berbaring di atas kursi panjang berbahan kayu tempat Jevan duduk.

“Temen lo makin gak ada sopan santunnya ya, Jep, gue rasa-rasa.”

Jevan hanya memutar bola matanya malas. Dia memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah lain dan tatapannya jatuh pada seseorang yang sedang berjalan di koridor sebrang kantin,

“Eh, Rae, Kak Kayana tuh, kayaknya mau ke ruang briefing. Lo ada briefing kan hari ini?”

“Oh iya anjir untung lo bilang.” Raechan buru-buru bangkit dari posisi berbaringnya dan mengeluarkan ponsel dari saku celana, “Harus cakep nih gue, mau ketemu calon pacar.” Raechan berbicara pada dirinya sendiri sembari berkaca di pantulan layar ponsel untuk merapihkan rambutnya.

“Baju lo tuh rapihin juga, kaos lo udah mulai lecek.”

Ucapan Juan membuat Raechan melirik kaus putih yang tersembunyi di balik jaket berwarna hitam yang dia kenakan, “Perhatian banget deh, Wawan.”

Raechan terkekeh pelan, bermaksud menggoda sahabat karibnya itu.

Setelah selesai dengan kegiatan “merapihkan” penampilan, Raechan berlalu dari kantin untuk menghampiri Kayana. Sementara dua sahabatnya hanya memandangi punggungnya yang kian menjauh.

“Kak....” Belum sampai nama Kayana keluar dari mulut Raechan, matanya lebih dulu menangkap sesosok pria yang menghadang jalan Kayana. Kayana terlihat tidak nyaman karena gadis itu terlihat berusaha menghindar.

“Jalan sama siapa lo kemarin?” Samar-samar Raechan dapat mendengar suara berat pria itu.

“Temen.” jawab Kayana pendek, masih berusaha mencari celah agar dapat kabur dari pria berkemeja biru muda itu.

“Jalan sama guenya kapan?” tanya pria itu lagi, kali ini Raechan dapat mendengar lenguhan kesal keluar dari mulut Kayana, “I've told you, Ki, sikap lo ini bikin gue gak nyaman.”

Si pria berkemeja biru muda tersenyum miring, disentuhnya bahu Kayana dengan tangan kanannya, “Terus gue harus apa biar lo nyaman sama gue, Kayana Aburima Gati?”

Dada Raechan bergemuruh. Dia jengah. Bukan perasaan cemburu kekanak-kanakan, tapi ini lebih kepada perasaan tidak suka melihat seorang gadis diperlakukan seperti itu. Meskipun bukan Kayana, Raechan tetap akan merasakan perasaan yang sama jika dia melihat seorang gadis diperlakukan tidak sopan seperti itu.

Sementara di sisi lain, Kayana menepis lengan pria berkemeja biru muda itu. Ditatapnya lekat-lekat mata pria yang dia sudah kenal selama dua tahun belakangan, Lukio.

“Minggir, gue ada briefing sejam lagi. Gue harus siapin ruangan sama materinya.”

Semakin ditolak, Lukio justru semakin berani. Kali ini, dia menarik lengan Kayana dan menarik tubuhnya hingga tubuh mereka berjarak beberapa cm saja, “You look prettier when you mad.” Bisik Lukio pelan.

Kayana muak. Benar-benar muak. Sikap teman satu angkatannya itu selalu saja membuat dia geram. Kayana membenci perasaan “dipaksa” yang membuatnya tidak nyaman. Kayana benci perasaan dimana dia merasa privasinya diobrak-abrik oleh orang lain seperti ini.

“Lepas atau gue bakal....”

“Kak Kayana!”

Panggilan itu membuat Kayana menoleh. Dia mendapati Raechan mendekat ke arahnya dengan raut wajah kesal yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

“Maaf, tadi dosennya telat keluar, jadi saya baru beres kelas. Jadi ke ruang briefing bareng, kan?”

Tanpa menunggu jawaban dari Kayana, Raechan sudah lebih dulu menarik tangan Kayana untuk menjauh dari sana. Langkah demi langkah mereka ambil tanpa repot-repot menoleh ke arah Lukio yang menatap kepergian mereka dengan geraman tertahan.

Kayana menatap tangan Raechan yang mengenggam pergelangan tangannya. Jika dipikir-pikir lagi, Raechan tidak ada bedanya dengan Lukio. Pria yang baru saja menyelamatkan dirinya dari Lukio itu juga sering melanggar privasi yang Kayana bangun. Tapi Raechan tidak pernah membuat Kayana muak. Raechan mungkin membuat Kayana kesal karena kehadirannya yang tiba-tiba di sekretariat dan rumahnya, tapi Raechan tidak pernah membuat Kayana merasa “terancam” seperti yang Lukio lakukan.

“Itu tadi siapa sih, Kak?”

Mereka berdua sudah berada di depan pintu Ruang Pertemuan Umun (RPU) ketika akhirnya Raechan melepaskan genggaman tangannya dari Kayana.

“Lukio.”

“Dia naksir sama Kak Kayana juga, ya? Tapi caranya norak banget.” suara Raechan terdengar kesal, “Kenapa gak dijauhin aja sih, Kak, orang kayak gitu?”

“Udah,” Kayana mengehela napas pendek, “Tapi emang orangnya keras kepala. Mungkin dia bakal berhenti kalau gue punya pacar.”

“Yaudah bilang aja saya pacar Kak Kayana biar dia gak ganggu Kakak lagi.”

Kayana menatap Raechan yang menatapnya serius. Kayana tidak terkekeh ataupun menganggap omongan adik tingkatnya itu omong kosong, karena tatapan Raechan terlampau serius.

Kayana merasa bahwa apa yang diucapkan Raechan bukan lah sebuah modus atau sejenisnya.

“Jangan, nanti dia jadi ngincer lo. Anak itu lebih bahaya dari yang lo pikir.”

“Itu lebih baik dari pada dia gangguin Kak Kayana terus. Biar aja dia jadi ganggu saya.” ucap Raechan lagi dengan penuh keyakinan.

Dan diam-diam, Kayana merasa terbujuk.

“Lo semalem kemana, Rae? Ditungguin di studio malah gak muncul.”

“Tau nih, jalan sama cewek mana lagi lo?”

Baru saja bokong Raechan mendarat di sofa, pertanyaan-pertanyaan itu sudah memberondong dirinya.

“Di kampus, sampek jam delapan, nungguin Kak Kayana beres ngurus berkas LPJ.” jawab Raechan santai, padahal teman-temannya yang lain langsung saling pandang saat mendengar jawabannya.

“Rae... Lo beneran deketin Kayana?” tanya Markio mewakili sahabat-sahabatnya.

“Ya Tuhan, kalian belum percaya juga kalau gue beneran serius sama Kak Kayana? Image gue sejelek apa deh di mata lo pada? Sedih sih gue.”

“Yeee lagak lo paling tersakiti,” Juan menoyor kepala Raechan pelan, “Ya lo aja sehari pacaran besoknya putus, gimana kita bisa nganggep lo serius sama cewek.”

Raechan diam, tidak lagi mampu menyanggah apa yang Lord Juan katakan. Manusia itu jarang berbicara, tapi sekali berucap, hanya fakta yang keluar dari bibir tipisnya.

Jika direnungi lagi, memang aneh rasanya seorang Raechan yang bisa mendekati lima wanita sekaligus dan mendapatkan semuanya bertekuk lutut di hadapannya bisa jatuh bertekuk lutut untuk satu wanita.

Tapi sungguh, segala hal tentang Kayana benar-benar membuat Raechan menggila. Sikapnya yang acuh dan seolah tidak roboh bahkan ketika Raechan mendobrak pertahannya berkali-kali itu justru membuat Raechan semakin bersemangat.

“Yaudah gini deh, biar enak nih, biar kita percaya, tunjukin deh ke kita kalau lo beneran serius.” Jaenandra berusaha menengahi.

“Gue udah ketemu orang tuanya, bokapnya suka banget sama gue, malah udah diajak main golf bareng.”

“APAA????”

Raechan mengosok telinganya pelan, merasa terganggu dengan teriakan dari semuanya sahabat-sahabatnya. Terlebih suara Klarisa yang melengking.

“Rae? Lo beneran..... ah gila. Baru ini lo ngelibatin orang tua di hubungan lo.” Jevan tak habis pikir, ditatapnya laki-laki yang sudah dia kenal luar dan dalam itu.

“Udah gue bilang, gue beneran serius sama Kak Kayana. Tapi masalahnya, dia nih yang susah banget dideketin. Restu bokap-nyokapnya udah ada, tapi bocahnya masih jauh banget dari jangkauan gue.”

Punggung Raechan meringsut di sofa, matanya menatap ke langit-langit studio Jevan yang berwarna putih. Dia hampir kehabisan akal, tidak tahu lagi cara apa yang bisa dia gunakan untuk menaklukan Kayana.

Biasanya, gadis-gadis akan senang jika diajak makan malam. Tapi Kayana menolak mentah-mentah ajakan itu.

Biasanya, gadis-gadis akan senang jika orang tua mereka didekati, tapi Kayana justru melarangnya datang lagi.

Biasanya, gadis-gadis akan merasa bahagia ketika digoda, tapi Kayana justru membalas kalimat-kalimat manis yang didengarnya dengan kalimat tajam.

Lalu dengan apa Raechan bisa meluluhkan hati gadis cantik itu? Raechan benar-benar baru kali ini merasa mati kutu.

Sangking frustasinya, Raechan sempat berpikir bahwa apa yang dialaminya saat ini adalah sebuah karma. Karma buruk dari gadis-gadis yang sudah dia campakkan begitu saja. Karma buruk karena mengabaikan perasaan tulus dari gadis-gadis yang menyukainya. Hingga akhirnya, ketika dia tulus mencintai seseorang, perasaannya diabaikan begitu saja.

“Cara lo deketin dia gak sesuai sama seleranya kali, Rae.”

“Maksudnya, El?”

“Ya kan selama ini, cewek-cewek duluan kan yang naksir ke lo? Jadi apapun cara lo deketin mereka, ya mereka suka-suka aja. Tapi Kak Kayana kan beda, Rae. She doesn't pay attention to you, at all. Bahkan setelah usaha yang lo lakuin. Ya berarti cara lo deketin dia itu gak sesuai sama seleranya. Yang lo lakuin tuh standar banget buat dia.”

“Rae, Kak Kayana tuh cantik, baik, pinter, dipuja-puja sama sesama mahasiswa dan bahkan dosen. Yang deketin dia banyak banget, jadi pasti dia udah ngerasain tuh rasanya modus-modus standar cowok. Jadi lo harus cari cara baru buat dapet perhatiannya. Nah lo pikirin deh tu caranya.”

“Sebagai sesama cewek, gue setuju sama Elen.”

Raechan terperanjat dan langsung menegakkan punggungnya. Perkataan Klarisa menamparnya hingga dia tersadar.

Bukan hati Kayana yang sulit diluluhkan. Tapi cara Raechan saja yang tidak tepat.

“Gue cabut, ya!” kata Raechan sembari meraih jaket dan kunci mobilnya dari gantungan di dekat pintu studio.

“Kemana lo?”

“Praktekin teori Elen. Tar malem gue kabarin gimana hasilnya! Bye!”

Manusia-manusia yang tersisa di studio Jevan hanya menatap jenaka ke arah pintu yang tertutup kencang. Suara mobil yang menjauh dari pekarangan juga membuat mereka terkekeh.

“Temen lo beneran tobat tuh.”

“Haha, yoi, bagus deh.”

Sementara di dalam mobil, Raechan tampak menghubungi seseorang yang dia anggap paling dekat dengan Kayana.

Matahari sudah menyembunyikan dirinya ketika Kayana keluar dari ruang rapat. Tidak lagi ada mahasiswa yang berlalu lalang, hanya tersisa dirinya yang baru saja menyelesaikan Laporan Pertanggung Jawaban dari sebuah event yang baru digelar LPP.

Kayana merapatkan jaket jeans berwarna hitam yang dia kenakan. Angin malam cukup membuat tubuhnya kedinginan. Belum lagi rasa ngeri yang tercipta karena lorong panjang gedung FEB terlihat begitu gelap.

Butuh sekitar lima menit untuk melalui lorong panjang itu, belum lagi perjalanan keluar hingga mencapai area parkir. Setidaknya, Kayana masih harus berjalan selama hampir sepuluh menit untuk sampai ke mobilnya. Tentu saja, seorang diri.

Kayana merutuki dirinya sendiri yang mengizinkan Iren- rekan di organisasinya- untuk pulang lebih dulu. Tapi apa boleh buat, menyesali hal itu tidak akan membuat dirinya lebih cepat sampai ke mobil. Jadi dia memutuskan untuk menyambungkan headset ke ponselnya dan memakainya di telinga. Memutar sebuah lagu dan berharap bahwa itu akan cukup untuk mengusir rasa takutnya.

“Oke, tenang, gak ada apa-apa.” bisik Kayana pada dirinya sendiri.

Tiga menit pertama dia lalui dengan baik, tidak ada gangguan apapun yang dia rasakan. Kampus ini masih cukup aman ternyata, Kayana berbisik dalam hatinya. Namun tepat setelah dia bernapas lega, sesosok manusia yang sedang duduk dan menyembunyikan wajah di lipatan tangannya yang dia letakkan di atas meja membuat Kayana kaget setengah mati.

“Aaaaaaaaa.” teriaknya ketakutan, Kayana bahkan beringsut mundur beberapa langkah.

Sesosok manusia yang merasa terganggu dengan teriakan itu menegakkan punggung, menggosok matanya lalu bergumam pelan, “Astaga, udah malem ternyata. Lama amat sih, Kak, di dalem.”

“Raechan.......” Kayana berucap tak percaya, “Lo ngapain di sini?” tanyanya masih tak habis pikir.

Karena sungguh, Kayana benar-benar tidak mengerti kenapa laki-laki itu masih berada di kampus bahkan ketika lampu gedung sudah sepenuhnya dimatikan. Ketiduran? Atau kenapa?

“Udah beres, kan, Kak? Yuk pulang.” Bukannya menjawab, Raechan justru membahas hal lain. Dia menggendong tas punggungnya lalu berjalan mendahului Kayana.

“Heh! Gue tanya! Lo ngapain di sini?” Kayana terburu-buru menjajarkan langkahnya dengan Raechan, masih merasa takut akan lorong gelap yang belum juga terlihat ujungnya.

“Nungguin Kak Kayana beres, tadi saya ketemu Kak Iren pas dia mau balik. Saya tanya Kak Kayana dimana, terus kata dia lagi ngurus LPJ sampe malem. Yaudah saya tungguin.”

“Lo nungguin gue?” tanya Kayana penasaran, “Dari tadi?”

Raechan terkekeh pelan sambil merapihkan rambutnya yang acak-acakan, “Iya, dari sore.”

Kayana melirik laki-laki yang berjalan gontai di sebelahnya itu. Merasa sedikit lega karena ada seseorang yang memperhatikan dirinya sampai seperti ini. Apa lagi, Raechan menunggunya sampai selarut ini. Tapi tetap saja, itu tidak cukup untuk menghapus sikap menyebalkan yang Raechan tunjukkan kemarin malam, saat tiba-tiba dia datang ke rumahnya.

“Gue bawa mobil, jadi lo gak usah anter gue pulang.” ucap Kayana saat akhirnya mereka tiba di area parkir.

“Tapi saya gak bilang mau anter Kak Kayana pulang deh kayaknya.”

Bener juga, pikir Kayana.

“Eeeyyyy, Kak Kayana pengen banget ya saya anter pulang?” Raechan mesam-mesem. Mencondongkan tubuhnya ke arah Kayana yang langsung membuang pandangannya ke sembarang arah. Merasa malas meladeni sikap Raechan.

“Lo kan tadi bilang, yuk pulang, gitu. Gue kira itu ajakan buat pulang bareng. Jadi lo gak usah geer, deh.” jelas Kayana cepat.

“Iya, emang ajakan buat pulang bareng sih. Tapi maksudnya, Kak Kayana yang anter saya pulang, soalnya saya yang gak bawa mobil.”

Kayana memutar matanya sebal. Sungguh tidak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Raechan. Sikapnya selalu di luar dugaan.

“Itung-itung balas budi karena udah saya tungguin loh, Kak.” kata Raechan lagi. Membuat kepala Kayana semakin pusing.

“Kalau lo gak ikhlas ngelakuin sesuatu, mending gak usah deh, dari pada minta balas budi gitu.”

“Hehehe, maaf, tapi saya orangnya emang perhitungan banget.” Raechan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan semakin mendekatkan tubuhnya pada Kayana. Kali ini Kayana tidak hanya membuang pandangannya, tapi juga melangkah mundur sampai bagian belakang tubuhnya bersentuhan dengan kap mobil, “Apa lagi kalau soal perasaan. Saya udah kasih hati saya sepenuhnya buat Kak Kayana, jadi saya juga mau Kak Kayana bales perasaan saya. Saya seperhitungan itu.” kalimat Raechan diakhiri dengan kerlingan nakal darinya.

“Ahhh... gitu, ya? Kebetulan cowok perhitungan itu ada di urutan paling atas tipe cowok yang gue hindarin.” Kayana mendorong tubuh Raechan, “Masuk, gue anter lo pulang. Gue gak suka utang budi.”

Ayah Kayana bekerja di salah satu kantor besar yang jam kerjanya tidak pernah lebih dari jam lima sore dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan hampir seluruh harinya di rumah. Hal tersebut menjadikan Kayana sebagai manusia terakhir yang pulang ke rumah.

Tapi meskipun begitu, Kayana selalu berusaha untuk pulang sebelum jam makan malam, karena baginya makan malam adalah waktu paling baik untuk bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak tunggal, Kayana tidak ingin ibu dan ayahnya merasa kehilangan sosok anak yang beranjak dewasa dan mulai sibuk dengan hidupnya sendiri.

Tapi malam ini, Kayana merasa terkejut bukan main saat mobil yang dikendarainya masuk ke pekerangan rumah. Di sana sudah terparkir sebuah mobil yang belum pernah dia lihat.

“Mobil siapa nih?” Dengan rasa penasaran, Kayana turun dari mobil dan berlari ke rumah. Menerka-nerka siapa kemungkinan yang datang malam-malam begini.

Tapi sialnya, keberuntungan sedang tidak berkawan baik dengan Kayana hari ini. Sosok yang beberapa hari ini coba dia hindari sudah duduk dengan manis di samping ayahnya. Menyesap sedikit kopinya sambil sesekali mengomentari pertandingan bulu tangkis yang sedang mereka tonton.

“Wah, Om, gila juga ya si Kevin itu.”

Kayana semakin terkejut saat ucapannya itu masuk dengan begitu jelas ke telinganya. Kayana tidak menangkap adanya nada takut atau malu-malu dalam suara pria asing itu. Dia berbicara begitu tenang dan santai.

Smash! OKE!!! MENANG RAE!!”

Ya. Raechan. Mobil yang terpakir di depan adalah milik Raechan. Seorang junior yang dalam beberapa hari selalu mencoba mencari perhatian Kayana dengan berbagai cara.

Mata Kayana terbelalak saat dia melihat Raechan dan ayahnya melakukan tos dan kemudian saling merangkul satu sama lain. Mereka tidak tampak seperti dua orang yang baru saja saling mengenal.

“Eh makan dulu lah kita, Rae! Sambil nungguin Kayana pulang. Bu, makanannya udah— loh ini dia udah pulang!”

Ayah Kayana baru menyadari kehadiran anak semata wayangnya saat beliau berdiri dari duduknya dan hendak berjalan ke arah meja makan. Di sampingnya terlihat Raechan berjalan dengan santai sambil menaikkan sebelah alis. “Kamu ini kok gak bilang-bilang punya temen kayak Raechan! Sering-sering ajak dia kemari!” Ayah Kayana mengacak-acak rambut Kayana pelan kemudian melanjutkan langkahnya untuk menuju meja makan.

“Lo ngapain di sini?” tanya Kayana cepat, namun masih dengan suara pelan karena takut ayah dan ibunya mendengar.

“Makan malam, lah. Kan kemarin Kak Kayana undang.” jawab Raechan santai, masih dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Kayana menghela nafas kesal, menahan tangan Raechan agar ia berhenti melangkah. “Gue gak pernah ngundang lo, gue cuma bilang kalau gue selalu makan malam di rumah. Apa itu kedengeran sebagai sebuah undangan buat lo? Dan satu lagi, gue gak suka lo dateng ke rumah gue tanpa izin kayak gini! Bisa gak lo berhenti bersikap seenak—”

Ucapan Kayana tidak selesai karena Reachan memotong ucapannya dengan berbisik, “Saya cuma akan minta izin untuk dua hal, Kak. Ketika saya akan mencium Kak Kayana untuk pertama kali dan ketika saya butuh izin dari orang tua Kak Kayana ketika kita akan menikah. Hanya itu. Jadi bersiaplah untuk hal-hal yang akan saya lakukan tanpa izin.”

Pegangan tangan Kayana di lengan Raechan mengendur, terlalu terkejut dengan kalimat yang Raechan ucapkan barusan.

“Ay, weekend besok Ayah sama Raechan mau main golf bareng, kamu sama Ibu ikut, ya?”

Kyana terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga mengabaikan pertanyaan dari ayahnya.

Bau matahari yang berasal dari tubuh manusia-manusia yang tampak kering terpanggang panasnya matahari bercampur dengan bau pengharum ruangan di ruangan ber-AC yang sesak. Mata-mata sayup dan helaan nafas lelah dapat dilihat dan terdengar dari sana-sini. Beberapa dari mereka bahkan menguap dengan terang-terangan tanpa mau repot-repot menutup mulut mereka dengan sebelah tangan.

“Hahahahah capek, ya? Sabar ya, sebentar lagi pembinanya dateng kok. Kalian kalau ada yang bawa makanan, makan aja dulu gak papa.” Gadis cantik di depan sana tersenyum seraya merapihkan beberapa kertas yang ada di tangannya.

Gadis itu- Dia masih tampak begitu cantik dan segar. Berbanding terbalik dengan keadaan Raechan yang sudah mulai kumal dan bau badan.

“Rae, mau gak?” Bisikan lembut dari arah samping membuat Raechan menolehkan wajah, menatap malas ke arah seorang gadis lain yang menyodorkan sebungkus permen karet. “Gak ada yang lain? Nasi padang gitu kek.” tanyanya dengan malas.

“Nih jigong gue mau?”

“Jorok lo!” hardik Reachan ketus, menambahkan sedikit toyoran ke kepala gadis yang sudah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun itu.

Namanya Klarisa, tapi Raechan dan sahabat Klarisa yang lain memanggilnya Ica. Raechan tidak terlalu ingat bagaimana akhirnya gadis dengan kepribadian yang sangat berbanding terbalik dengan dirinya itu bisa menjadi sahabatnya.

“Selamat sore, Pak.”

Sapaan sopan yang serempak itu menyadarkan Raechan kalau pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok pria berkemeja putih yang terlihat terburu-buru. Beliau duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap kami satu-persatu seolah berusaha menguasai seisi ruangan.

“Maaf, ya, saya tadi harus ke kelas dulu.” Beliau membuka briefing sore ini dengan permintaan maaf lalu melanjutkan, “Jadi gimana? Yang lolos seleksi pertama segini nih ya?”

Lalu briefing dimulai dari sana, membahas hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan. Telinga Raechan fokus pada penjelasan dosen muda itu tapi sayangnya indera penglihatannya justru tertaut pada figure cantik yang berdiri di pojok ruangan.

Hati Raechan berdesir tiap kali gadis itu mengulas senyum, mengangguk setuju ataupun menyanggah dan berpendapat. Dia tampak sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Bahkan Raechan mengagumi bagaimana jari-jari cantiknya bekerja sama ketika gadis itu menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga.

Gadis itu terlalu cantik untuk sekedar dipandangi, gadis seperti dia lebih layak untuk dijaga dan dilindungi. Dan entah mendapat wangsit dari mana, Raechan Leenandar merasa percaya diri bahwa dia tahu cara memperlakukan wanita secantik dia dengan baik.

Lama briefing itu berlangsung, hingga akhirnya Pak Wishnu- nama dosen muda itu- beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan.

**

“Kenapa lo, Rae, cengengesan aja? Kesambet setan Ruangan Pertemuan Umum lo?”

Seorang pria dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana kain hitam merasa terganggu dengan tingkah aneh salah seorang junior yang juga merupakan sahabat baiknya.

Sedangkan di sisi lain, pria dengan kemeja abu-abu tua yang kancingnya dibiarkan terbuka hingga menampakkan kaus putih di dalamnya hanya sibuk mengipas-ngipaskan selembar kertas yang dia ambil dari dalam tas. Tidak tampak tertarik dengan rasa penasaran si penanya.

“Ca, sahabat lo kenapa tuh?” Belum habis rasa penasaran Markio- si pria berkemeja putih- dia melanjutkan bertanya pada gadis yang tadi datang bersamaan dengan Raechan.

“Gak tau, Kak. Dari tadi juga begitu.” jawabnya asal. Klarisa sibuk dengan ponselnya sendiri, terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang, “Iya, aku di kantin fakultas Kak Kiyo.... Iya kesini aja, ajak Jevan sama Juan sekalian. Elen masih ospek jurusan.”

Tidak lama berselang, tiga orang pria dengan name tag menggantung di leher mereka masing-masing berjalan gontai ke arah kantin.

Seorang pria dengan name tag bertulisan Jaenandra Derovano Utama langsung duduk di sebelah Klarisa, kekasihnya, yang sudah siap dengan tisu basah dan handsanitizer di tangannya, “Lap dulu tangannya.” titah Klarisa yang langsung dituruti oleh Jaenandra.

Seorang pria lainnya melepas name tag bertuliskan Jevander Novanda dengan asal dan langsung menyambar gelas berisi milo dingin milik Raechan, “Gila, ya, ospek jurusan lebih capek ternyata.”

“Bersyukur, Jep, kan masih dibantuin tuh sama kakak-kakak senior yang naksir sama lo.” ledek pria dengan name tag bertuliskan Alexander Parajuan di lehernya.

“Wih, bulan pertama kuliah aja udah jadi inceran kating ya lo.” timpal Markio.

“Eh ngomong-ngomong soal kating, kating cewek yang mimpin briefing tadi siapa dah, Ca, namanya?” Setelah sekian lama, Raechan baru bersuara, “Cakep banget.”

“Kak Kayana.”

“Oh, namanya secakep orangnya ya.” Raechan terkekeh pelan, “Jadi makin semangat gue ikut Lembaga Pusat Perbantuan.”

Sebuah kotak tisu mendarat pelan ke kepala Raechan yang langsung disambar dengan ocehan, “Jadi dari tadi lo nyengir-nyengir mikirin itu, Nyet?”

“Hehe.”

“Target baru, Rae?” tanya Juan yang tampak tertarik dengan sikap sahabatnya yang tidak pernah berhenti mencari wanita untuk dikencani sejak umurnya genap tujuh belas tahun itu.

“Tapi yang ini bukan buat dipacarin.”

“Terus?”

“Dinikahin.”

Jevan tampak ingin muntah sedetik setelah ucapan Raechan terolah di otaknya. Sedangkan tiga pria lainnya menyeringai tidak percaya atas apa yang baru saja mereka dengar.

“Eh.... Muka lo pada kenapa? Serius loh ya gue!” hardik Raechan tidak terima, “Yang ini tuh beda. Tipikal cewek yang gak mau gue ajak main-main. Cantiknya tuh minta gue seriusin.”

“Cewek-cewek yang kemarin juga lo bilang begitu Rae.”

“Wah, enggak, Ca. Sumpah deh. Yang ini tuh ya, pas pertama kali liat dia, yang ada di otak gue langsung hobi bapaknya nih cewek apa ya? Gitu.”

“Emang kalau pas liat yang dulu-dulu, yang ada di otak lo apaan?” tanya Jevan penasaran.

Raechan diam sebentar, dia menarik sebelah alisnya ke atas, “Ni cewek enaknya gue ajakin di mobil apa booking hotel, ya?”

Plak.

Tangan kanan Klarisa mendarat mulus di bibir Raechan, “Sembarangan banget mulut!”

“Bercanda, njir. Sebandel-bandelnya gue, mana pernah sih gue sembarangan nidurin cewek.” Raechan bangkit dari duduknya kemudian menggendong tas hitamnya di punggung, “Udah, udah, pokoknya buat yang satu ini gue beneran serius. Gue gak bakalan nyerah sampek nama Leenandar ada di belakang nama Kak Kayana.”

“Mau kemana lo?” tanya Juan sebelum Raechan benar-benar menjauh.

“Nyari kontaknya Kak Kayana.”

“Ati-ati, Rae. Saingan lo banyak! Dari jaman ospek, Kayana udah banyak yang ngincer tapi ditolak semua.” teriak Markio lantang.

“Kalem. Mereka bukan Raechan Leenandar, makanya ditolak!” sombong Raechan sebelum akhirnya punggungnya hilang di tikungan kantin.

Manik mata milik seorang laki-laki terpatri pada cermin panjang yang ada di hadapannya. Kedua tangannya sibuk menarik-narik sisi jas yang terlihat sedikit kusut akibat dipakai duduk terlalu lama. Lalu tangannya merayap naik, menggerayangi area dada hingga leher. Membenahi dasi yang tampak sedikit miring.

Helaan nafas gugupnya terdengar lagi, meskipun sedetik kemudian dia menarik ujung-ujung bibirnya hingga membentuk lengkung senyuman. Menatap puas dirinya yang tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lengkap dengan sepatu mengkilap dan rambut yang ditata dengan begitu apiknya.

“Ayo, Rae, lo pasti bisa. Berjuang buat Kayana selama dua tahun aja bisa, masa ngelewatin upacara pernikahan selama beberapa jam aja grogi sih?” Tak ada orang lain yang dapat mendengar bisikannya yang sepelan hembusan angin. Karena Raechan hanya membisikkan kalimat penyemangat itu untuk dirinya sendiri.

Ketukan pada pintu merebut perhatiannya dari pantulan cermin. Dia menolehkan kepala, mendapati seseorang muncul dari balik pintu dengan senyuman lebar, “Ayo turun, sebentar lagi upacara dimulai.”

Dan di sinilah Raechan sekarang, berdiri di titik akhir wedding asile yang sudah dihias dengan begitu cantik. Dipayungi kain berwarna pastel serta juntaian bunga berwarna putih, tidak lupa dilengkapi dengan petal floor dan standing flower yang berdiri di setiap sisi kursi tamu.

Mata Raechan berpendar, menatap sekeliling ball room hotel yang saat ini akan menjadi saksi bisu puncak kisahnya dengan seorang gadis yang begitu dia cintai. Ruangan ini akan menjadi salah satu tempat yang akan dikenanangnya seumur hidup.

Lalu saat denting piano terdengar, tatapan Raechan jatuh pada seorang gadis yang menautkan jemari lentiknya di lengan seorang laki-laki. Kayana, dia berdiri di ujung sana, bersama dengan satu-satunya laki-laki yang Raechan perbolehkan menyentuh gadis cantiknya.

Gaun putih membungkus tubuh Kayana dengan sempurna. Riasan wajah yang tidak terlalu kentara juga membuat penampilannya semakin sempurna. Bahkan hari ini, Kayana terlihat jauh lebih cantik dari seikat bunga yang dia genggam dengan sebelah tangannya yang bebas.

Mata Raechan tak sanggup melepaskan sosok itu. Dipandanginya terus menerus, hingga tanpa sadar setetes air bening menetes menuruni pipinya. Setitik demi setitik. Beriringan dengan langkah kaki Kayana yang membawa dirinya semakin dekat pada Raechan.

Suasana ruangan menjadi begitu haru saat akhirnya laki-laki yang menggandeng Kayana di wedding aisle akhirnya menyelesaikan tugas. Anak kesayangannya sudah berdiri bersebelahan dengan Raechan. Gati— Ayah Saera— menatap keduanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelah tangannya menggenggam mic namun laki-laki itu tak kunjung bersuara.

“Ayah,” Kayana berbisik lirih pada ayahnya yang langsung mengangguk mengerti.

Gati akhirnya membawa mic itu mendekat pada bibirnya, “Maaf, saya terlalu terbawa suasana.“  Dia terkekeh pelan, meskipun air mata justru menetes membasahi jas putihnya. “Anak saya, Kayana, saya tidak menyangka hari seperti ini akan datang begitu cepat dalam hidupnya.”

“Usianya baru dua puluh satu tahun, dia masih begitu muda, tapi saya bangga karena dia sudah berani mengambil keputusan sebesar ini.” Gati menatap putri semata wayangnya dengan senyum yang tulus, “Ayah lega, Nak. Ayah lega bisa mengantarkan kamu untuk menjemput bahagiamu. Ayah lega, kamu bahkan bisa memilih laki-laki sebaik Raechan untuk menjadi pendampingmu. Ayah lega karena laki-laki yang akhirnya bersanding dengan kamu tidak perlu melakukan banyak hal untuk meyakinkan Ayah melepaskan kamu. Karena padanya, Ayah berani menitipkan kamu sepenuhnya.”

Lalu tatapan Gati teralih pada Raechan, “Tapi kamu jangan besar kepala ya, Rae! Ayah masih akan selalu di belakang Kayana. Kalau sampai dia tidak bahagia, Ayah jewer telinga kamu. Mohon izin ya, Mas Adi.”

“Tenang saja mas Gati, nanti saya bantu. Mas Gati telinga kanan, nanti saya yang telinga kiri!” Adi— Ayah Raechan menimpali dari kursi tamu, membuat seluruh tamu undangan tertawa terbahak-bahak.

Dibalik semua tawa itu, diam-diam Raechan menggenggam tangan Kayana. Meremasnya pelan seolah meyakinkan gadisnya itu sekali lagi sebelum janji suci pernikahan mereka.

Karena selain janji suci pernikahan di depan altar itu, Raechan sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Bahwa ia tidak akan memberikan perasaan lain selain perasaan bahagia untuk Kayana.

Dan janji itu akan dipegangnya seumur hidup.

Bukan karena takut dijewer oleh Papa dan mertuanya sendiri,

tapi karena pantang baginya membuat gadis yang amat dia cintai itu merasakan kesedihan.

Beberapa dari adikku merasa marah Bahkan juga kedua orang tuaku “Kenapa tak kau paksa saja dia untuk meridhoi kisah cintamu?” tanya mereka malam itu Diam-diam aku juga memaki diriku sendiri Kenapa tak melawan? Kenapa hanya diam?

Lalu sayup-sayup Dari kejauhan Tepatnya dari ingatan masa lalu Aku seperti tertampar Teringat air mata yang menetes tak karuan

Lalu sebuah suara muncul “Apa kamu yakin air mata itu tak akan turun lagi?”

Aku diam Tak tahu harus berkata apa Keyakinan diri yang bak bagunan tua roboh tanpa sisa

Aku ingin kamu, Saera Tapi orang tuamu juga mau kamu

Bila bisa ku memohon, pasti akan aku lakukan

Tapi si bodoh ini terlalu pecundang untuk menjadi kesatria Dia tak percaya dengan dirinya sendiri, Saera

Tak apa ya? Kamu cari saja bahagiamu Agar aku terkungkung penyesalan tiada akhir

Mikaelo duduk sendirian di atas sebuah bangku yang berada tak jauh dari dermaga kapal tua yang sudah tak dipakai. Dia memilih tempat ini karena pemandangannya terarah langsung ke laut lepas. Birunya laut yang dijatuhi sinar matahari secara langsung membuatnya menyipitkan mata karena silau. Tapi dia senang berada di sana.

Entah sudah berapa jam Mikaelo habiskan di sana, tanpa seorang pun menemaninya. Hanya ada dirinya dan kicau burung serta debur ombak yang terdengar ramai.

Mikaelo menghembuskan nafas panjang, melonggarkan dadanya yang akhir-akhir ini selalu terasa sesak.

Ingatannya terlempar jauh ke belakang, mengingat malam dimana semua rasa sesak itu berasal.

Flaahback On

Malam itu dia berhadap-hadapan dengan Nata— Ayah Saera. Keduanya sama-sama diam setelah Mikaelo selesai menceritakan semua permasalahnnya dengan Saera. Nata tidak banyak bereaksi, jauh dari yang Mikaelo perkirakan.

“Om sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, toh semuanya juga sudah terjadi, iya to?” Nata akhirnya bersuara, merasa jengah dengan keheningan yang malah memekakkan telinganya.

“Om hanya heran, bagaimana bisa kamu menyembunyikan semuanya serapih ini. Ndak nyangka saja.“  Nata melanjutkan, menatap Mikaelo yang juga menatapnya dengan perasaan bersalah yang kentara.

“Maafkan Kael, Om. Tapi sekarang Kael janji, Kael gak akan nyakitin Saera lagi.” ucap Mikaelo sungguh-sungguh.

“Cuma ada satu cara supaya kamu ndak nyakitin dia lagi.”

“Apa itu, Om?”

“Jangan terikat hubungan apapun dengan Saera lagi.”

Seperti tertimpa batu yang ukurannya sangat besar, dada Mikaelo terasa sesak. Dia kesulitan bernafas, bahkan sekarang ada air bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Mikaelo tidak pernah menyangka kalau Om Nata, seseorang yang selalu terbuka kepada siapapun mengatakan hal seperti itu kepadanya.

Memberi larangan keras untuknya terhadap Saera.

Saat itulah Mikaelo sadar, kesalahan yang dia lakukan sangatlah besar.

Karena selama ini Mikaelo hampir lupa kalau sebelum menjadi perempuan yang dia cintai, Saera adalah seorang anak perempuan dari seorang ayah yang juga begitu mencintainya.

“Maaf, Om. Tapi tolong izinin Kael untuk perbaiki semuanya.”

“Apa kamu yakin kalau perasaanmu itu bukan cuma perasaan bersalahmu yang lain, El? Apa kamu yakin perasaan sayangmu untuk Saera yang kamu coba perlihatkan itu bukan hasil rasa bersalahmu karena sempat menyakitinya?”

Mikaelo diam lagi. Pertanyaan Nata begitu tiba-tiba hingga membuatnya kelabakan. Mulutnya terkatup rapat, seolah seluruh keyakinan yang sudah dia persiapan untuk menghadapi Nata lenyap.

“Lihat, to? Kamu saja ndak bisa jawab pertanyaan Om yang itu. Om ndak akan melepaskan anak Om untuk laki-laki yang bahkan ndak bisa mengerti perasaannya sendiri.”

Nata berdiri setelah menyelesaikan kalimatnya, menatap Mikaelo yang masih duduk menunduk dalam diam.

“Om ndak melarang kamu atau adik-adikmu untuk berteman dengan Saera, tapi tolong, jangan lebih dari teman.” Nata berkata lagi, menegaskan apa maksud dari perkataan yang sebelumnya.

“Anak itu terlalu baik, dia bahkan ndak cerita apapun ke orang tuanya. Dia masih berperilaku baik ke kamu dan keluargamu. Jadi tolong lepaskan dia, biarkan dia cari kebahagiannya sendiri. Karena anak itu ndak mungkin mampu melepaskan kamu, El.”

Mikaelo mengangguk mengerti. Disekanya air mata yang kini sudah jatuh dan mengalir menuruni pipinya, “Iya, Om. Kael paham.”

“Mungkin sekarang kamu merasa Om jahat, tapi kamu juga calon ayah, El. Kamu akan tahu nanti kenapa Om bersikap sekeras ini.”

Malam itu Mikaelo duduk sendirian di bangku taman belakang keluarga Minanta. Dia duduk disana hingga jam tiga pagi. Menata hatinya, menata pikirannya. Menelaah lebih jauh semua perkataan yang diucapkan oleh ayah Saera.

Lalu menjelang jam tujuh pagi, saat ayah Saera kembali menemuinya di meja makan untuk sarapan, Mikaelo berkata dengan pelan, “Kael akan lepaskan Saera, Om.”

Flashback Off

Mikaelo kembali mengingat kejadian menyedihkan itu, air mata kembali menuruni pipinya. Disekanya dengan buru-buru. Takut kalau-kalau gadis yang sedang ditunggunya melihat air mata sialan yang tidak tahu malu itu.

“El?”

Benar saja, beberapa detik setelah Mikaelo menyadarkan dirinya kembali, Saera memanggil namanya dari arah belakang.

Mikaelo menampilkan senyum palsunya lalu menolehkan wajah, “Hei, duduk sini.”

Saera menurut, berjalan mendekat kemudian duduk di sebelah Mikaelo. Tatapan mereka berdua mengarah ke laut lepas.

“Ra, kamu inget gak, aku pernah bilang kalau kita punya anak perempuan aku gak akan pernah izinin dia untuk pacaran?”

“Iya inget, kenapa?”

Mikaelo tidak langsung menjawab, digenggamnya sebelah tangan Saera, membuat si empunya tangan menatap Mikaelo bingung.

“Ternyata itu perasaan semua ayah. Mereka takut anak perempuan mereka akan disakiti oleh laki-laki lain. Gak ada ayah yang rela anak perempuan yang dia besarkan dengan kasih sayang malah dibuat sakit hati sama laki-laki bodoh yang baru aja masuk ke hidupnya.”

“El?”

“Dan ngeliat anaknya dibuat kecewa sama laki-laki yang menjajikan kebahagiaan, ngebuat hati seorang ayah seribu kali lipat lebih kecewa. Karena meskipun pada akhirnya anak perempuannya akan memaafkan laki-laki bodoh itu, seorang ayah gak akan melakukan hal yang sama.”

“El, lo ngomong apa sih?” Saera menatap Mikaelo dengan wajah yang semakin kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan Mikaelo.

Mikaelo membalas tatapan Saera,  “Aku udah cerita semuanya ke Papa kamu, Ra. Tentang kita.”

“Terus?”

“Papa kamu melakukan tugasnya sebagai seorang ayah. Sama persis dengan apa yang aku lakukan kalau aku ada di posisi beliau.”

“Maksudnya?”

Mikaelo diam lagi, sekarang dia kembali mengalihkan tatapannya ke laut lepas. Menikmati birunya laut yang perlahan tertimpa warna orange dari matahari yang bergerak kembali ke peraduan. Dia tersenyum samar, “The sunset is beautiful, isn't it?

Saera baru mengerti arah pembicaraan Mikaelo sekarang, setelah pria itu mengutip sebuah kalimat menyakitkan yang memiliki arti “I love you but I'm letting you go.

“El, kita bisa yakinin Papa. Kalau lo beneran sayang sama gue dan mau serius perbaikin semuanya Papa pasti akan ngerti dan kasih izin.”

“Gak ada jaminan kalau aku gak akan menyakiti kamu lagi di masa depan, karena itu, melepaskan kamu untuk mencari kebahagiaan kamu sendiri adalah jalan yang paling tepat.”

Mikaelo yakin pada cintanya untuk Saera, tapi dia tidak begitu yakin dengan dirinya sendiri. Mikaelo takut kalau ketidak yakinan itu hanya akan menyakiti Saera di kemudian hari. Dia takut kalau apa yang dikatakan ayah Saera adalah benar. Jadi mungkin ini cara paling baik untuk membahagiakan Saera. Melepaskannya terbang untuk menemukan cinta yang baru, cinta yang sempurna, bukan cinta yang cacat.

“Cari kebahagiaan kamu sendiri ya, Ra? Cari kebahagiaan yang gak bikin kamu takut untuk merasa bahagia. Cari kebahagiaan yang terasa jelas, yang gak bikin kamu bertanya-tanya alasan dibalik semuanya. Cari kebahagiaan yang gak akan pernah aku bisa berikan ke kamu.”

Mikaelo melepaskan genggaman tangannya dari Saera, tapi kini tangannya menarik lembut lengan Saera untuk membantunya berdiri, “Last hug?”, bisiknya lembut, tak lupa menampilkan senyuman yang sangat jelas dipaksakan.

Saera maju beberapa langkah, menghapus jaraknya dengan Mikaelo. Menabrakkan tubuhnya ke dada bidang laki-laki itu, air matanya tumpah di sana.

“Kael.” dia memanggil nama itu di sela isak tangisnya.

“Iya, aku di sini. Aku gak akan pernah kemana-mana, sebagai seorang teman.” Mikaelo mengelus pelan punggung Saera, berusaha menenangkan gadis kesayangannya itu.

Mikaelo menahan dirinya untuk tidak ikut teriask, digigitnya bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangisan. Dia ingin menjadi si kuat, saat gadisnya sedang lemah. Dia akan menangis nanti, sendirian, sambil memohon kepada Tuhan.

Memohon agar dia diberi kekuatan untuk melepaskan gadisnya. Memohon agar diberi keikhlasan ketika kelak dia akan melihat gadisnya bahagia dengan orang lain.

Mikaelo melepaskan pelukannya saat dia merasa tangisan Saera mulai mereda, kedua tangannya terulur untuk menghapus sisa-sisa air mata gadis cantik itu.

“Udah, jangan nangis lagi, ya?”

Saera mengangguk, berusaha menahan air matanya yang kembali berdesakan.

“El, nanti, kalau kita lahir lagi, ketemu sama gue dulu ya? Jangan ketemu sama orang lain dulu. Biar gak kayak gini. Gue gak mau kayak gini lagi, El.”

Tapi sia-sia, air mata itu kembali mengalir kembali dengan deras sesaat setelah Saera menyelesaikan kalimatnya.

“Iya, nanti aku jatuh cinta sama kamu duluan ya? Aku gak akan jatuh cinta sama orang lain dulu. Biar kita gak kayak gini.”

Sekali lagi Saera mengangguk. Meskipun dalam hatinya dia menjerit. Perpisahan semacam ini malah membuatnya merasakan sakit yang berkali-kali lipat dari pada saat dia mengetahui Mikaelo hanya menjadikannya sebagai seorang “pengganti.”

Saat ini, saat dia mulai merasakan kasih sayang Mikaelo untuk dirinya sendiri, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai seorang pengganti, takdir malah mempermainkan mereka dengan begitu kejamnya.

Tapi begitulah hidup, kita akan ditempa.

Dan kita hanya bisa menerima.

Riuh suara tawa mengisi halaman belakang keluarga Minanta yang luas. Malam itu, seluruh pekerja kebun beserta anggota keluarga mereka berkumpul untuk merayakan pesta panen. Makanan tradisional hingga makanan yang kelas dunia tersaji di sana.

Saera membaur bersama para gadis, anak-anak dari orang-orang yang bekerja untuk ayahnya. Tak ada kesenjangan, mereka tampak akrab bak teman lama.

Di sisi lain, terlihat keluarga Davis juga berbaur dengan baik. Sebagian dari mereka asik mengobrol dan anggota yang lainnya sibuk menikmati makanan.

Tak ada yang merasa tak senang di pesta itu.

“Mbak, awet sekali lho sama Mas Kael. Bagi-bagi dong rahasinya, aku ndak bisa lho awet gitu kalau pacaran.” Seorang gadis yang mengenakan sweater berwarna abu-abu menyenggol lengan Saera dengan manja. Saera terkekeh lalu berbisik kepada gadis itu, “Gak tau juga apa rahasianya, beruntung aja aku mungkin.”

Gadis lain menyahut dari tempatnya berdiri, “Yo jelas awet to! Mbak Saera itu cuantik terus Mas Kaelnya juga guanteng wes pasangan cocok! Kalau mereka putus aku yang sedih!”

“Halah, kamu sedih karena kalau mereka putus nanti Mas Rayhan ndak kesini lagi to?!” Kelakar gadis bersweater abu-abu, membuat gadis yang lainnya terbahak-bahak.

“Heh ngawur kamu!”

“Eh, itu, itu, gebetanmu naik ke atas panggung itu! Mau ngapain dia?” Seorang gadis lain menepuk-nepuk gadis yang tadi dituduh menyukai Rayhan hingga semua perhatian gadis-gadis yang berdiri di sekitar Saera menatap ke arah panggung.

Dan saat Saera mengikuti tatapan mereka, didapatinya Rayhan dan Mikaelo sudah berdiri di atas panggung. Rayhan sedang sibuk menyesukaikan stand mic dengan tingginya, sedangkan Mikaelo sedang sibuk dengan gitar dan juga kursi yang baru saja diantarkan ke atas panggung oleh Azriel.

“Cek, cek, 1, 2, 3, hehehe.” Rayhan memulai pengecekan micnya, merebut seluruh atensi tamu pesta, “Permisi, Om Nata. Boleh kan saya dan kakak saya menyumbang lagu untuk pesta ini?” tanyanya dengan senyuman yang merayu.

“Silahkan, Nak. Ayo-ayo, Rayhan. Silahkan.” Nata mempersilahkan dengan semangat.

Setelah mendapat izin, alunan nada mulai mengalun dari petikan jari Mikaelo yang beradu dengan senar gitar yang ada dipangkuannya.

I was lost, I was tryna find the answer In the world around me I was going crazy All day all night

Suara Rayhan terdengar, begitu halus dan sopan masuk ke telinga semua orang yang ada di sana.

*You were the only one who understood me And all that I was going through Yeah I just gotta tell you Oh baby I

Rayhan berhenti disana, digantikan suara Mikaelo yang kini menyanyikan bait selanjutnya.

I could make it better I could hold you tighter Cause through the morning Oh you're the light And I almost lost ya But I can't forget ya Cause you were the reason that I survived

Meskipun jari-jarinya sibuk memetik senar gitar, Mikaelo menatap lurus ke arah Saera. Mengunci manik mata gadisnya itu. Senyumnya juga dikulum tipis. Membuat beberapa gadis menjerit kesenangan.

You were there for me through all the times I cried I was there for you but then I lost my mind I know that I messed up but I promise I Oh oh, I can make it right

Saera membalas senyuman itu. Merasakan gelenyar panas yang kini terasa di kedua pipinya. Dia yakin, saat ini pipinya sudah memerah.

Tanpa perlu dijelaskan, Saera tahu lagu itu sengaja Mikaelo nyanyikan untuknya. Liriknya begitu menggambarkan hubungan mereka. Terutama pada lirik I know that I messed up but I promise I, I can make it right.

Saera tahu, Mikaelo sedang meminta kesempatan kedua untuknya dengan cara yang manis. Dan Saera akan memberikannya, meskipun dia tahu kalau dia belum siap untuk berada pada hubungan apapun saat ini.

Setidaknya dia akan mengizinkan Mikaelo untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat rusak. Meskipun tidak ada jaminan kalau hubungan itu akan kembali baik.

Jari kelingking saera terangkat, digoyangkan jari kelingkinganya itu pelan untuk menarik perhatian Mikaelo, lalu dia berkata tanpa suara, “Promise me?

Dari atas panggung, Mikaelo tersenyum lebih lebar. Dia mengangguk mantap, dan ikut berkata tanpa suara seperti apa yang Saera lakukan, “I promise you.”

All right All right Oh oh, I can make it right

All right All right Oh oh, I can make it right

Rayhan menutup lagu itu dengan begitu manis. Tepuk tangan yang ramai langsung menjadi hadiah untuk mereka berdua. Samar-samar dapat juga terlihat senyum bangga dari kedua orang tua mereka.

“Mantap, Mas, suarane!” Pujian itu terlontar dari salah seorang pekerja, “Tapi aku ndak mudeng itu tadi lagunya nyeritain apa, hahahahah. Tapi suaranya bagus pol, jadi tetap suka!”

“Makane belajar bahasa inggris, Pak No. Hahahaha.” Timpal pekerja yang lain.

Hooh ya nanti tak daftar les bahasa inggris di kota! Mbak Saera, kalau balik ke kota, Pak No ikut ya!”

Mendengar percakapan dua pekerjanya, Nata langsung berdiri dengan kedua tangan diletakkan di pinggang, pura-pura marah, “Oh, tak ketak kamu, No! Nanti kudaku siapa yang urus! Udah ndak usah aneh-aneh!”

Tidak ada satupun dari orang-orang yang ada disana yang tidak tertawa mendengar obrolan hangat itu. Pesta ini semakin terasa meriah, semakin membuat senang. Membuat Saera terlarut hingga dia tidak menyadari kalau Mikaelo sudah berdiri di dekatnya dengan sebuah gelas di tangan, “Minum?” tawarnya.

Saera meraih gelas itu, “Makasih.” ucapnya.

“Waduh, temen-temen, pindah yuk pindah. Supaya ndak ganggu.” Gadis bersweater abu-abu kembali berucap, menarik lengan teman-temannya untuk menjauh dari Mikaelo dan Saera.

“Pengertian banget mereka.” Mikaelo berbisik pelan. Namun Saera tidak menjawab karena dia sibuk menyembunyikan pipinya yang kembali memanas.