Raechan dan keyakinannya.

Bau matahari yang berasal dari tubuh manusia-manusia yang tampak kering terpanggang panasnya matahari bercampur dengan bau pengharum ruangan di ruangan ber-AC yang sesak. Mata-mata sayup dan helaan nafas lelah dapat dilihat dan terdengar dari sana-sini. Beberapa dari mereka bahkan menguap dengan terang-terangan tanpa mau repot-repot menutup mulut mereka dengan sebelah tangan.

“Hahahahah capek, ya? Sabar ya, sebentar lagi pembinanya dateng kok. Kalian kalau ada yang bawa makanan, makan aja dulu gak papa.” Gadis cantik di depan sana tersenyum seraya merapihkan beberapa kertas yang ada di tangannya.

Gadis itu- Dia masih tampak begitu cantik dan segar. Berbanding terbalik dengan keadaan Raechan yang sudah mulai kumal dan bau badan.

“Rae, mau gak?” Bisikan lembut dari arah samping membuat Raechan menolehkan wajah, menatap malas ke arah seorang gadis lain yang menyodorkan sebungkus permen karet. “Gak ada yang lain? Nasi padang gitu kek.” tanyanya dengan malas.

“Nih jigong gue mau?”

“Jorok lo!” hardik Reachan ketus, menambahkan sedikit toyoran ke kepala gadis yang sudah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun itu.

Namanya Klarisa, tapi Raechan dan sahabat Klarisa yang lain memanggilnya Ica. Raechan tidak terlalu ingat bagaimana akhirnya gadis dengan kepribadian yang sangat berbanding terbalik dengan dirinya itu bisa menjadi sahabatnya.

“Selamat sore, Pak.”

Sapaan sopan yang serempak itu menyadarkan Raechan kalau pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok pria berkemeja putih yang terlihat terburu-buru. Beliau duduk di kursi yang telah disiapkan, menatap kami satu-persatu seolah berusaha menguasai seisi ruangan.

“Maaf, ya, saya tadi harus ke kelas dulu.” Beliau membuka briefing sore ini dengan permintaan maaf lalu melanjutkan, “Jadi gimana? Yang lolos seleksi pertama segini nih ya?”

Lalu briefing dimulai dari sana, membahas hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan. Telinga Raechan fokus pada penjelasan dosen muda itu tapi sayangnya indera penglihatannya justru tertaut pada figure cantik yang berdiri di pojok ruangan.

Hati Raechan berdesir tiap kali gadis itu mengulas senyum, mengangguk setuju ataupun menyanggah dan berpendapat. Dia tampak sempurna dalam segala hal yang dia lakukan. Bahkan Raechan mengagumi bagaimana jari-jari cantiknya bekerja sama ketika gadis itu menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga.

Gadis itu terlalu cantik untuk sekedar dipandangi, gadis seperti dia lebih layak untuk dijaga dan dilindungi. Dan entah mendapat wangsit dari mana, Raechan Leenandar merasa percaya diri bahwa dia tahu cara memperlakukan wanita secantik dia dengan baik.

Lama briefing itu berlangsung, hingga akhirnya Pak Wishnu- nama dosen muda itu- beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan.

**

“Kenapa lo, Rae, cengengesan aja? Kesambet setan Ruangan Pertemuan Umum lo?”

Seorang pria dengan kemeja putih yang dimasukkan ke dalam celana kain hitam merasa terganggu dengan tingkah aneh salah seorang junior yang juga merupakan sahabat baiknya.

Sedangkan di sisi lain, pria dengan kemeja abu-abu tua yang kancingnya dibiarkan terbuka hingga menampakkan kaus putih di dalamnya hanya sibuk mengipas-ngipaskan selembar kertas yang dia ambil dari dalam tas. Tidak tampak tertarik dengan rasa penasaran si penanya.

“Ca, sahabat lo kenapa tuh?” Belum habis rasa penasaran Markio- si pria berkemeja putih- dia melanjutkan bertanya pada gadis yang tadi datang bersamaan dengan Raechan.

“Gak tau, Kak. Dari tadi juga begitu.” jawabnya asal. Klarisa sibuk dengan ponselnya sendiri, terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang, “Iya, aku di kantin fakultas Kak Kiyo.... Iya kesini aja, ajak Jevan sama Juan sekalian. Elen masih ospek jurusan.”

Tidak lama berselang, tiga orang pria dengan name tag menggantung di leher mereka masing-masing berjalan gontai ke arah kantin.

Seorang pria dengan name tag bertulisan Jaenandra Derovano Utama langsung duduk di sebelah Klarisa, kekasihnya, yang sudah siap dengan tisu basah dan handsanitizer di tangannya, “Lap dulu tangannya.” titah Klarisa yang langsung dituruti oleh Jaenandra.

Seorang pria lainnya melepas name tag bertuliskan Jevander Novanda dengan asal dan langsung menyambar gelas berisi milo dingin milik Raechan, “Gila, ya, ospek jurusan lebih capek ternyata.”

“Bersyukur, Jep, kan masih dibantuin tuh sama kakak-kakak senior yang naksir sama lo.” ledek pria dengan name tag bertuliskan Alexander Parajuan di lehernya.

“Wih, bulan pertama kuliah aja udah jadi inceran kating ya lo.” timpal Markio.

“Eh ngomong-ngomong soal kating, kating cewek yang mimpin briefing tadi siapa dah, Ca, namanya?” Setelah sekian lama, Raechan baru bersuara, “Cakep banget.”

“Kak Kayana.”

“Oh, namanya secakep orangnya ya.” Raechan terkekeh pelan, “Jadi makin semangat gue ikut Lembaga Pusat Perbantuan.”

Sebuah kotak tisu mendarat pelan ke kepala Raechan yang langsung disambar dengan ocehan, “Jadi dari tadi lo nyengir-nyengir mikirin itu, Nyet?”

“Hehe.”

“Target baru, Rae?” tanya Juan yang tampak tertarik dengan sikap sahabatnya yang tidak pernah berhenti mencari wanita untuk dikencani sejak umurnya genap tujuh belas tahun itu.

“Tapi yang ini bukan buat dipacarin.”

“Terus?”

“Dinikahin.”

Jevan tampak ingin muntah sedetik setelah ucapan Raechan terolah di otaknya. Sedangkan tiga pria lainnya menyeringai tidak percaya atas apa yang baru saja mereka dengar.

“Eh.... Muka lo pada kenapa? Serius loh ya gue!” hardik Raechan tidak terima, “Yang ini tuh beda. Tipikal cewek yang gak mau gue ajak main-main. Cantiknya tuh minta gue seriusin.”

“Cewek-cewek yang kemarin juga lo bilang begitu Rae.”

“Wah, enggak, Ca. Sumpah deh. Yang ini tuh ya, pas pertama kali liat dia, yang ada di otak gue langsung hobi bapaknya nih cewek apa ya? Gitu.”

“Emang kalau pas liat yang dulu-dulu, yang ada di otak lo apaan?” tanya Jevan penasaran.

Raechan diam sebentar, dia menarik sebelah alisnya ke atas, “Ni cewek enaknya gue ajakin di mobil apa booking hotel, ya?”

Plak.

Tangan kanan Klarisa mendarat mulus di bibir Raechan, “Sembarangan banget mulut!”

“Bercanda, njir. Sebandel-bandelnya gue, mana pernah sih gue sembarangan nidurin cewek.” Raechan bangkit dari duduknya kemudian menggendong tas hitamnya di punggung, “Udah, udah, pokoknya buat yang satu ini gue beneran serius. Gue gak bakalan nyerah sampek nama Leenandar ada di belakang nama Kak Kayana.”

“Mau kemana lo?” tanya Juan sebelum Raechan benar-benar menjauh.

“Nyari kontaknya Kak Kayana.”

“Ati-ati, Rae. Saingan lo banyak! Dari jaman ospek, Kayana udah banyak yang ngincer tapi ditolak semua.” teriak Markio lantang.

“Kalem. Mereka bukan Raechan Leenandar, makanya ditolak!” sombong Raechan sebelum akhirnya punggungnya hilang di tikungan kantin.