Narasi Ketujuhbelas
Mikaelo duduk sendirian di atas sebuah bangku yang berada tak jauh dari dermaga kapal tua yang sudah tak dipakai. Dia memilih tempat ini karena pemandangannya terarah langsung ke laut lepas. Birunya laut yang dijatuhi sinar matahari secara langsung membuatnya menyipitkan mata karena silau. Tapi dia senang berada di sana.
Entah sudah berapa jam Mikaelo habiskan di sana, tanpa seorang pun menemaninya. Hanya ada dirinya dan kicau burung serta debur ombak yang terdengar ramai.
Mikaelo menghembuskan nafas panjang, melonggarkan dadanya yang akhir-akhir ini selalu terasa sesak.
Ingatannya terlempar jauh ke belakang, mengingat malam dimana semua rasa sesak itu berasal.
Flaahback On
Malam itu dia berhadap-hadapan dengan Nata— Ayah Saera. Keduanya sama-sama diam setelah Mikaelo selesai menceritakan semua permasalahnnya dengan Saera. Nata tidak banyak bereaksi, jauh dari yang Mikaelo perkirakan.
“Om sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, toh semuanya juga sudah terjadi, iya to?” Nata akhirnya bersuara, merasa jengah dengan keheningan yang malah memekakkan telinganya.
“Om hanya heran, bagaimana bisa kamu menyembunyikan semuanya serapih ini. Ndak nyangka saja.“ Nata melanjutkan, menatap Mikaelo yang juga menatapnya dengan perasaan bersalah yang kentara.
“Maafkan Kael, Om. Tapi sekarang Kael janji, Kael gak akan nyakitin Saera lagi.” ucap Mikaelo sungguh-sungguh.
“Cuma ada satu cara supaya kamu ndak nyakitin dia lagi.”
“Apa itu, Om?”
“Jangan terikat hubungan apapun dengan Saera lagi.”
Seperti tertimpa batu yang ukurannya sangat besar, dada Mikaelo terasa sesak. Dia kesulitan bernafas, bahkan sekarang ada air bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Mikaelo tidak pernah menyangka kalau Om Nata, seseorang yang selalu terbuka kepada siapapun mengatakan hal seperti itu kepadanya.
Memberi larangan keras untuknya terhadap Saera.
Saat itulah Mikaelo sadar, kesalahan yang dia lakukan sangatlah besar.
Karena selama ini Mikaelo hampir lupa kalau sebelum menjadi perempuan yang dia cintai, Saera adalah seorang anak perempuan dari seorang ayah yang juga begitu mencintainya.
“Maaf, Om. Tapi tolong izinin Kael untuk perbaiki semuanya.”
“Apa kamu yakin kalau perasaanmu itu bukan cuma perasaan bersalahmu yang lain, El? Apa kamu yakin perasaan sayangmu untuk Saera yang kamu coba perlihatkan itu bukan hasil rasa bersalahmu karena sempat menyakitinya?”
Mikaelo diam lagi. Pertanyaan Nata begitu tiba-tiba hingga membuatnya kelabakan. Mulutnya terkatup rapat, seolah seluruh keyakinan yang sudah dia persiapan untuk menghadapi Nata lenyap.
“Lihat, to? Kamu saja ndak bisa jawab pertanyaan Om yang itu. Om ndak akan melepaskan anak Om untuk laki-laki yang bahkan ndak bisa mengerti perasaannya sendiri.”
Nata berdiri setelah menyelesaikan kalimatnya, menatap Mikaelo yang masih duduk menunduk dalam diam.
“Om ndak melarang kamu atau adik-adikmu untuk berteman dengan Saera, tapi tolong, jangan lebih dari teman.” Nata berkata lagi, menegaskan apa maksud dari perkataan yang sebelumnya.
“Anak itu terlalu baik, dia bahkan ndak cerita apapun ke orang tuanya. Dia masih berperilaku baik ke kamu dan keluargamu. Jadi tolong lepaskan dia, biarkan dia cari kebahagiannya sendiri. Karena anak itu ndak mungkin mampu melepaskan kamu, El.”
Mikaelo mengangguk mengerti. Disekanya air mata yang kini sudah jatuh dan mengalir menuruni pipinya, “Iya, Om. Kael paham.”
“Mungkin sekarang kamu merasa Om jahat, tapi kamu juga calon ayah, El. Kamu akan tahu nanti kenapa Om bersikap sekeras ini.”
Malam itu Mikaelo duduk sendirian di bangku taman belakang keluarga Minanta. Dia duduk disana hingga jam tiga pagi. Menata hatinya, menata pikirannya. Menelaah lebih jauh semua perkataan yang diucapkan oleh ayah Saera.
Lalu menjelang jam tujuh pagi, saat ayah Saera kembali menemuinya di meja makan untuk sarapan, Mikaelo berkata dengan pelan, “Kael akan lepaskan Saera, Om.”
Flashback Off
Mikaelo kembali mengingat kejadian menyedihkan itu, air mata kembali menuruni pipinya. Disekanya dengan buru-buru. Takut kalau-kalau gadis yang sedang ditunggunya melihat air mata sialan yang tidak tahu malu itu.
“El?”
Benar saja, beberapa detik setelah Mikaelo menyadarkan dirinya kembali, Saera memanggil namanya dari arah belakang.
Mikaelo menampilkan senyum palsunya lalu menolehkan wajah, “Hei, duduk sini.”
Saera menurut, berjalan mendekat kemudian duduk di sebelah Mikaelo. Tatapan mereka berdua mengarah ke laut lepas.
“Ra, kamu inget gak, aku pernah bilang kalau kita punya anak perempuan aku gak akan pernah izinin dia untuk pacaran?”
“Iya inget, kenapa?”
Mikaelo tidak langsung menjawab, digenggamnya sebelah tangan Saera, membuat si empunya tangan menatap Mikaelo bingung.
“Ternyata itu perasaan semua ayah. Mereka takut anak perempuan mereka akan disakiti oleh laki-laki lain. Gak ada ayah yang rela anak perempuan yang dia besarkan dengan kasih sayang malah dibuat sakit hati sama laki-laki bodoh yang baru aja masuk ke hidupnya.”
“El?”
“Dan ngeliat anaknya dibuat kecewa sama laki-laki yang menjajikan kebahagiaan, ngebuat hati seorang ayah seribu kali lipat lebih kecewa. Karena meskipun pada akhirnya anak perempuannya akan memaafkan laki-laki bodoh itu, seorang ayah gak akan melakukan hal yang sama.”
“El, lo ngomong apa sih?” Saera menatap Mikaelo dengan wajah yang semakin kebingungan. Dia sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan Mikaelo.
Mikaelo membalas tatapan Saera, “Aku udah cerita semuanya ke Papa kamu, Ra. Tentang kita.”
“Terus?”
“Papa kamu melakukan tugasnya sebagai seorang ayah. Sama persis dengan apa yang aku lakukan kalau aku ada di posisi beliau.”
“Maksudnya?”
Mikaelo diam lagi, sekarang dia kembali mengalihkan tatapannya ke laut lepas. Menikmati birunya laut yang perlahan tertimpa warna orange dari matahari yang bergerak kembali ke peraduan. Dia tersenyum samar, “The sunset is beautiful, isn't it?“
Saera baru mengerti arah pembicaraan Mikaelo sekarang, setelah pria itu mengutip sebuah kalimat menyakitkan yang memiliki arti “I love you but I'm letting you go.“
“El, kita bisa yakinin Papa. Kalau lo beneran sayang sama gue dan mau serius perbaikin semuanya Papa pasti akan ngerti dan kasih izin.”
“Gak ada jaminan kalau aku gak akan menyakiti kamu lagi di masa depan, karena itu, melepaskan kamu untuk mencari kebahagiaan kamu sendiri adalah jalan yang paling tepat.”
Mikaelo yakin pada cintanya untuk Saera, tapi dia tidak begitu yakin dengan dirinya sendiri. Mikaelo takut kalau ketidak yakinan itu hanya akan menyakiti Saera di kemudian hari. Dia takut kalau apa yang dikatakan ayah Saera adalah benar. Jadi mungkin ini cara paling baik untuk membahagiakan Saera. Melepaskannya terbang untuk menemukan cinta yang baru, cinta yang sempurna, bukan cinta yang cacat.
“Cari kebahagiaan kamu sendiri ya, Ra? Cari kebahagiaan yang gak bikin kamu takut untuk merasa bahagia. Cari kebahagiaan yang terasa jelas, yang gak bikin kamu bertanya-tanya alasan dibalik semuanya. Cari kebahagiaan yang gak akan pernah aku bisa berikan ke kamu.”
Mikaelo melepaskan genggaman tangannya dari Saera, tapi kini tangannya menarik lembut lengan Saera untuk membantunya berdiri, “Last hug?”, bisiknya lembut, tak lupa menampilkan senyuman yang sangat jelas dipaksakan.
Saera maju beberapa langkah, menghapus jaraknya dengan Mikaelo. Menabrakkan tubuhnya ke dada bidang laki-laki itu, air matanya tumpah di sana.
“Kael.” dia memanggil nama itu di sela isak tangisnya.
“Iya, aku di sini. Aku gak akan pernah kemana-mana, sebagai seorang teman.” Mikaelo mengelus pelan punggung Saera, berusaha menenangkan gadis kesayangannya itu.
Mikaelo menahan dirinya untuk tidak ikut teriask, digigitnya bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangisan. Dia ingin menjadi si kuat, saat gadisnya sedang lemah. Dia akan menangis nanti, sendirian, sambil memohon kepada Tuhan.
Memohon agar dia diberi kekuatan untuk melepaskan gadisnya. Memohon agar diberi keikhlasan ketika kelak dia akan melihat gadisnya bahagia dengan orang lain.
Mikaelo melepaskan pelukannya saat dia merasa tangisan Saera mulai mereda, kedua tangannya terulur untuk menghapus sisa-sisa air mata gadis cantik itu.
“Udah, jangan nangis lagi, ya?”
Saera mengangguk, berusaha menahan air matanya yang kembali berdesakan.
“El, nanti, kalau kita lahir lagi, ketemu sama gue dulu ya? Jangan ketemu sama orang lain dulu. Biar gak kayak gini. Gue gak mau kayak gini lagi, El.”
Tapi sia-sia, air mata itu kembali mengalir kembali dengan deras sesaat setelah Saera menyelesaikan kalimatnya.
“Iya, nanti aku jatuh cinta sama kamu duluan ya? Aku gak akan jatuh cinta sama orang lain dulu. Biar kita gak kayak gini.”
Sekali lagi Saera mengangguk. Meskipun dalam hatinya dia menjerit. Perpisahan semacam ini malah membuatnya merasakan sakit yang berkali-kali lipat dari pada saat dia mengetahui Mikaelo hanya menjadikannya sebagai seorang “pengganti.”
Saat ini, saat dia mulai merasakan kasih sayang Mikaelo untuk dirinya sendiri, sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai seorang pengganti, takdir malah mempermainkan mereka dengan begitu kejamnya.
Tapi begitulah hidup, kita akan ditempa.
Dan kita hanya bisa menerima.