Raechan dan Teman-temannya
“Lo semalem kemana, Rae? Ditungguin di studio malah gak muncul.”
“Tau nih, jalan sama cewek mana lagi lo?”
Baru saja bokong Raechan mendarat di sofa, pertanyaan-pertanyaan itu sudah memberondong dirinya.
“Di kampus, sampek jam delapan, nungguin Kak Kayana beres ngurus berkas LPJ.” jawab Raechan santai, padahal teman-temannya yang lain langsung saling pandang saat mendengar jawabannya.
“Rae... Lo beneran deketin Kayana?” tanya Markio mewakili sahabat-sahabatnya.
“Ya Tuhan, kalian belum percaya juga kalau gue beneran serius sama Kak Kayana? Image gue sejelek apa deh di mata lo pada? Sedih sih gue.”
“Yeee lagak lo paling tersakiti,” Juan menoyor kepala Raechan pelan, “Ya lo aja sehari pacaran besoknya putus, gimana kita bisa nganggep lo serius sama cewek.”
Raechan diam, tidak lagi mampu menyanggah apa yang Lord Juan katakan. Manusia itu jarang berbicara, tapi sekali berucap, hanya fakta yang keluar dari bibir tipisnya.
Jika direnungi lagi, memang aneh rasanya seorang Raechan yang bisa mendekati lima wanita sekaligus dan mendapatkan semuanya bertekuk lutut di hadapannya bisa jatuh bertekuk lutut untuk satu wanita.
Tapi sungguh, segala hal tentang Kayana benar-benar membuat Raechan menggila. Sikapnya yang acuh dan seolah tidak roboh bahkan ketika Raechan mendobrak pertahannya berkali-kali itu justru membuat Raechan semakin bersemangat.
“Yaudah gini deh, biar enak nih, biar kita percaya, tunjukin deh ke kita kalau lo beneran serius.” Jaenandra berusaha menengahi.
“Gue udah ketemu orang tuanya, bokapnya suka banget sama gue, malah udah diajak main golf bareng.”
“APAA????”
Raechan mengosok telinganya pelan, merasa terganggu dengan teriakan dari semuanya sahabat-sahabatnya. Terlebih suara Klarisa yang melengking.
“Rae? Lo beneran..... ah gila. Baru ini lo ngelibatin orang tua di hubungan lo.” Jevan tak habis pikir, ditatapnya laki-laki yang sudah dia kenal luar dan dalam itu.
“Udah gue bilang, gue beneran serius sama Kak Kayana. Tapi masalahnya, dia nih yang susah banget dideketin. Restu bokap-nyokapnya udah ada, tapi bocahnya masih jauh banget dari jangkauan gue.”
Punggung Raechan meringsut di sofa, matanya menatap ke langit-langit studio Jevan yang berwarna putih. Dia hampir kehabisan akal, tidak tahu lagi cara apa yang bisa dia gunakan untuk menaklukan Kayana.
Biasanya, gadis-gadis akan senang jika diajak makan malam. Tapi Kayana menolak mentah-mentah ajakan itu.
Biasanya, gadis-gadis akan senang jika orang tua mereka didekati, tapi Kayana justru melarangnya datang lagi.
Biasanya, gadis-gadis akan merasa bahagia ketika digoda, tapi Kayana justru membalas kalimat-kalimat manis yang didengarnya dengan kalimat tajam.
Lalu dengan apa Raechan bisa meluluhkan hati gadis cantik itu? Raechan benar-benar baru kali ini merasa mati kutu.
Sangking frustasinya, Raechan sempat berpikir bahwa apa yang dialaminya saat ini adalah sebuah karma. Karma buruk dari gadis-gadis yang sudah dia campakkan begitu saja. Karma buruk karena mengabaikan perasaan tulus dari gadis-gadis yang menyukainya. Hingga akhirnya, ketika dia tulus mencintai seseorang, perasaannya diabaikan begitu saja.
“Cara lo deketin dia gak sesuai sama seleranya kali, Rae.”
“Maksudnya, El?”
“Ya kan selama ini, cewek-cewek duluan kan yang naksir ke lo? Jadi apapun cara lo deketin mereka, ya mereka suka-suka aja. Tapi Kak Kayana kan beda, Rae. She doesn't pay attention to you, at all. Bahkan setelah usaha yang lo lakuin. Ya berarti cara lo deketin dia itu gak sesuai sama seleranya. Yang lo lakuin tuh standar banget buat dia.”
“Rae, Kak Kayana tuh cantik, baik, pinter, dipuja-puja sama sesama mahasiswa dan bahkan dosen. Yang deketin dia banyak banget, jadi pasti dia udah ngerasain tuh rasanya modus-modus standar cowok. Jadi lo harus cari cara baru buat dapet perhatiannya. Nah lo pikirin deh tu caranya.”
“Sebagai sesama cewek, gue setuju sama Elen.”
Raechan terperanjat dan langsung menegakkan punggungnya. Perkataan Klarisa menamparnya hingga dia tersadar.
Bukan hati Kayana yang sulit diluluhkan. Tapi cara Raechan saja yang tidak tepat.
“Gue cabut, ya!” kata Raechan sembari meraih jaket dan kunci mobilnya dari gantungan di dekat pintu studio.
“Kemana lo?”
“Praktekin teori Elen. Tar malem gue kabarin gimana hasilnya! Bye!”
Manusia-manusia yang tersisa di studio Jevan hanya menatap jenaka ke arah pintu yang tertutup kencang. Suara mobil yang menjauh dari pekarangan juga membuat mereka terkekeh.
“Temen lo beneran tobat tuh.”
“Haha, yoi, bagus deh.”
Sementara di dalam mobil, Raechan tampak menghubungi seseorang yang dia anggap paling dekat dengan Kayana.