Raechan dan Izin
Ayah Kayana bekerja di salah satu kantor besar yang jam kerjanya tidak pernah lebih dari jam lima sore dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan hampir seluruh harinya di rumah. Hal tersebut menjadikan Kayana sebagai manusia terakhir yang pulang ke rumah.
Tapi meskipun begitu, Kayana selalu berusaha untuk pulang sebelum jam makan malam, karena baginya makan malam adalah waktu paling baik untuk bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak tunggal, Kayana tidak ingin ibu dan ayahnya merasa kehilangan sosok anak yang beranjak dewasa dan mulai sibuk dengan hidupnya sendiri.
Tapi malam ini, Kayana merasa terkejut bukan main saat mobil yang dikendarainya masuk ke pekerangan rumah. Di sana sudah terparkir sebuah mobil yang belum pernah dia lihat.
“Mobil siapa nih?” Dengan rasa penasaran, Kayana turun dari mobil dan berlari ke rumah. Menerka-nerka siapa kemungkinan yang datang malam-malam begini.
Tapi sialnya, keberuntungan sedang tidak berkawan baik dengan Kayana hari ini. Sosok yang beberapa hari ini coba dia hindari sudah duduk dengan manis di samping ayahnya. Menyesap sedikit kopinya sambil sesekali mengomentari pertandingan bulu tangkis yang sedang mereka tonton.
“Wah, Om, gila juga ya si Kevin itu.”
Kayana semakin terkejut saat ucapannya itu masuk dengan begitu jelas ke telinganya. Kayana tidak menangkap adanya nada takut atau malu-malu dalam suara pria asing itu. Dia berbicara begitu tenang dan santai.
“Smash! OKE!!! MENANG RAE!!”
Ya. Raechan. Mobil yang terpakir di depan adalah milik Raechan. Seorang junior yang dalam beberapa hari selalu mencoba mencari perhatian Kayana dengan berbagai cara.
Mata Kayana terbelalak saat dia melihat Raechan dan ayahnya melakukan tos dan kemudian saling merangkul satu sama lain. Mereka tidak tampak seperti dua orang yang baru saja saling mengenal.
“Eh makan dulu lah kita, Rae! Sambil nungguin Kayana pulang. Bu, makanannya udah— loh ini dia udah pulang!”
Ayah Kayana baru menyadari kehadiran anak semata wayangnya saat beliau berdiri dari duduknya dan hendak berjalan ke arah meja makan. Di sampingnya terlihat Raechan berjalan dengan santai sambil menaikkan sebelah alis. “Kamu ini kok gak bilang-bilang punya temen kayak Raechan! Sering-sering ajak dia kemari!” Ayah Kayana mengacak-acak rambut Kayana pelan kemudian melanjutkan langkahnya untuk menuju meja makan.
“Lo ngapain di sini?” tanya Kayana cepat, namun masih dengan suara pelan karena takut ayah dan ibunya mendengar.
“Makan malam, lah. Kan kemarin Kak Kayana undang.” jawab Raechan santai, masih dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Kayana menghela nafas kesal, menahan tangan Raechan agar ia berhenti melangkah. “Gue gak pernah ngundang lo, gue cuma bilang kalau gue selalu makan malam di rumah. Apa itu kedengeran sebagai sebuah undangan buat lo? Dan satu lagi, gue gak suka lo dateng ke rumah gue tanpa izin kayak gini! Bisa gak lo berhenti bersikap seenak—”
Ucapan Kayana tidak selesai karena Reachan memotong ucapannya dengan berbisik, “Saya cuma akan minta izin untuk dua hal, Kak. Ketika saya akan mencium Kak Kayana untuk pertama kali dan ketika saya butuh izin dari orang tua Kak Kayana ketika kita akan menikah. Hanya itu. Jadi bersiaplah untuk hal-hal yang akan saya lakukan tanpa izin.”
Pegangan tangan Kayana di lengan Raechan mengendur, terlalu terkejut dengan kalimat yang Raechan ucapkan barusan.
“Ay, weekend besok Ayah sama Raechan mau main golf bareng, kamu sama Ibu ikut, ya?”
Kyana terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga mengabaikan pertanyaan dari ayahnya.