Hari yang akan dikenang

Manik mata milik seorang laki-laki terpatri pada cermin panjang yang ada di hadapannya. Kedua tangannya sibuk menarik-narik sisi jas yang terlihat sedikit kusut akibat dipakai duduk terlalu lama. Lalu tangannya merayap naik, menggerayangi area dada hingga leher. Membenahi dasi yang tampak sedikit miring.

Helaan nafas gugupnya terdengar lagi, meskipun sedetik kemudian dia menarik ujung-ujung bibirnya hingga membentuk lengkung senyuman. Menatap puas dirinya yang tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lengkap dengan sepatu mengkilap dan rambut yang ditata dengan begitu apiknya.

“Ayo, Rae, lo pasti bisa. Berjuang buat Kayana selama dua tahun aja bisa, masa ngelewatin upacara pernikahan selama beberapa jam aja grogi sih?” Tak ada orang lain yang dapat mendengar bisikannya yang sepelan hembusan angin. Karena Raechan hanya membisikkan kalimat penyemangat itu untuk dirinya sendiri.

Ketukan pada pintu merebut perhatiannya dari pantulan cermin. Dia menolehkan kepala, mendapati seseorang muncul dari balik pintu dengan senyuman lebar, “Ayo turun, sebentar lagi upacara dimulai.”

Dan di sinilah Raechan sekarang, berdiri di titik akhir wedding asile yang sudah dihias dengan begitu cantik. Dipayungi kain berwarna pastel serta juntaian bunga berwarna putih, tidak lupa dilengkapi dengan petal floor dan standing flower yang berdiri di setiap sisi kursi tamu.

Mata Raechan berpendar, menatap sekeliling ball room hotel yang saat ini akan menjadi saksi bisu puncak kisahnya dengan seorang gadis yang begitu dia cintai. Ruangan ini akan menjadi salah satu tempat yang akan dikenanangnya seumur hidup.

Lalu saat denting piano terdengar, tatapan Raechan jatuh pada seorang gadis yang menautkan jemari lentiknya di lengan seorang laki-laki. Kayana, dia berdiri di ujung sana, bersama dengan satu-satunya laki-laki yang Raechan perbolehkan menyentuh gadis cantiknya.

Gaun putih membungkus tubuh Kayana dengan sempurna. Riasan wajah yang tidak terlalu kentara juga membuat penampilannya semakin sempurna. Bahkan hari ini, Kayana terlihat jauh lebih cantik dari seikat bunga yang dia genggam dengan sebelah tangannya yang bebas.

Mata Raechan tak sanggup melepaskan sosok itu. Dipandanginya terus menerus, hingga tanpa sadar setetes air bening menetes menuruni pipinya. Setitik demi setitik. Beriringan dengan langkah kaki Kayana yang membawa dirinya semakin dekat pada Raechan.

Suasana ruangan menjadi begitu haru saat akhirnya laki-laki yang menggandeng Kayana di wedding aisle akhirnya menyelesaikan tugas. Anak kesayangannya sudah berdiri bersebelahan dengan Raechan. Gati— Ayah Saera— menatap keduanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelah tangannya menggenggam mic namun laki-laki itu tak kunjung bersuara.

“Ayah,” Kayana berbisik lirih pada ayahnya yang langsung mengangguk mengerti.

Gati akhirnya membawa mic itu mendekat pada bibirnya, “Maaf, saya terlalu terbawa suasana.“  Dia terkekeh pelan, meskipun air mata justru menetes membasahi jas putihnya. “Anak saya, Kayana, saya tidak menyangka hari seperti ini akan datang begitu cepat dalam hidupnya.”

“Usianya baru dua puluh satu tahun, dia masih begitu muda, tapi saya bangga karena dia sudah berani mengambil keputusan sebesar ini.” Gati menatap putri semata wayangnya dengan senyum yang tulus, “Ayah lega, Nak. Ayah lega bisa mengantarkan kamu untuk menjemput bahagiamu. Ayah lega, kamu bahkan bisa memilih laki-laki sebaik Raechan untuk menjadi pendampingmu. Ayah lega karena laki-laki yang akhirnya bersanding dengan kamu tidak perlu melakukan banyak hal untuk meyakinkan Ayah melepaskan kamu. Karena padanya, Ayah berani menitipkan kamu sepenuhnya.”

Lalu tatapan Gati teralih pada Raechan, “Tapi kamu jangan besar kepala ya, Rae! Ayah masih akan selalu di belakang Kayana. Kalau sampai dia tidak bahagia, Ayah jewer telinga kamu. Mohon izin ya, Mas Adi.”

“Tenang saja mas Gati, nanti saya bantu. Mas Gati telinga kanan, nanti saya yang telinga kiri!” Adi— Ayah Raechan menimpali dari kursi tamu, membuat seluruh tamu undangan tertawa terbahak-bahak.

Dibalik semua tawa itu, diam-diam Raechan menggenggam tangan Kayana. Meremasnya pelan seolah meyakinkan gadisnya itu sekali lagi sebelum janji suci pernikahan mereka.

Karena selain janji suci pernikahan di depan altar itu, Raechan sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Bahwa ia tidak akan memberikan perasaan lain selain perasaan bahagia untuk Kayana.

Dan janji itu akan dipegangnya seumur hidup.

Bukan karena takut dijewer oleh Papa dan mertuanya sendiri,

tapi karena pantang baginya membuat gadis yang amat dia cintai itu merasakan kesedihan.