petrichorslines

“Ren, itu nanti opening acaranya fix gak akan lebih dari satu jam, kan?”

“Iya, Kay. Gue masih coba konfirmasi nih nanti skrip sambutan ketua jurusannya bakal sepanjang apa, biar bisa dikira-kira.” Iren-Ketua Divisi Acara- menjawab dari ujung meja rapat tanpa menatap Kayana. Fokusnya masih tertaut pada layar laptop yang menampilkan susunan daftar acara.

“Juri untuk tiap lomba gimana? Anak Jepang yang bakal cari sendiri, kan?”

Kali ini Ayunara yang bertugas sebagai salah satu anggota divisi acara “Bunkasai” memberikan lembaran kepada Kayana, “Ini daftar jurinya, Kak. Baru untuk beberapa lomba sih, nanti aku coba minta lagi untuk sisanya.”

“Yaudah nanti kalau udah ada updatetannya tolong kasih ke saya, ya?”

“Siap, Kak.”

“Kay, untuk ukuran partisi gak akan nambah kan? Ini udah harus konfirmasi h-seminggu soalnya.”

Pertanyaan lain terdengar dari sisi kiri Kayana, Akbar—Ketua Divisi Hardware—bertanya dari tempatnya duduk.

“Iya, Bar. Tadi anak exhibitor udah lapor ke gue kok kalau partisi mereka fix di luar aula. Jadi gak akan ganggu yang di dalem, lo confirm aja ukurannya.”

Akbar mengangguk mengerti kemudian kembali fokus dengan rekan satu divisinya. Saat Kayana ingin mengalihkan tatapannya, tanpa sengaja dia mendapati Raechan tengah duduk di salah satu kursi yang berada di ruang sekretariat dan tampak sibuk dengan laptopnya. Hari ini, juniornya itu mengenakan kaus berwarna hitam lengan pendek yang dia masukkan ke dalam celana jeans yang berwarna senada. Rambutnya tertutup topi yang dipakainya secara terbalik. Sejak beberapa hari terakhir, Kayana tidak banyak interkasi dengan Raechan, laki-laki itu tidak banyak menganggunya. Kayana mendengar dari Iren bahwa Raechan diberi tugas untuk mendesign segala jenis poster yang akan dipajang saat acara Bunkasai nanti dan sepertinya tugas yang diterimanya itu cukup membuat Raechan kelimpungan hingga dia tidak memiliki waktu untuk merecoki Kayana. Atau mungkin, Raechan memang sudah mulai bosan saja mengganggunya.

Rasanya menyenangkan, tapi juga aneh bagi Kayana.

“Kay, jam makan siang nih. Break dulu boleh ya?” Suara Akbar menginterupsi Kayana dan membuatnya sedikit terkejut, “Iya, iya, makan sama shalat aja dulu silahkan.”

Hampir semua anggota LPP langsung keluar ruangan, tak terkecuali Iren dan Klarisa yang sempat mengajak Kayana untuk makan siang bersama. Tapi Kayana menolak ajakan keduanya karena lagi-lagi, perhatiannya justru jatuh pada Raechan yang tidak keluar ruangan dan tetap fokus pada layar laptopnya.

Mata Kayana menatap lekat pada Raechan yang nampak mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Rokok. Kayana baru tahu bahwa Raechan merokok. Kemarin, saat mereka berkumpul di studio Jevan, hanya Jaenandra dan Jevan yang merokok di depannya.

“Lo ngerokok juga ternyata.”

“Uhuk...Uhuk...Uhuk....” Raechan tersedak asap rokoknya sendiri karena terkejut mendengar suara Kayana.

“Minum?” Dengan santai, Kayana mengulurkan sebotol air mineral ke hadapan Raechan yang masih berusaha mengatur nafasnya.

“Makasih, Kak, Uhuk...Uhuk... Hmmm... Saya kira udah gak ada siapa-siapa di ruangan ini makanya saya ngerokok.”

“Makanya jangan terlalu fokus sampe gak sadar masih ada manusia di ruangan ini.” Kayana mendudukkan dirinya di kursi sebelah kanan Raechan hingga membuat Raechan buru-buru memindahkan batang rokoknya ke tangan sebelah kiri.

“Ya wajar saya gak sadar... Soalnya Kak Kayana juga bukan manusia sih.”

“Maksudnya?”

“Kak Kayana lebih mirip bidadari dari pada manusia.”

Raechan and his smart mouth.

“Ini lo semua yang design?” Kayana mengalihkan setitik rasa tersipunya dengan menatap ke arah layar laptop Raechan, “Udah jadi berapa poster?”

“Baru tujuh, kurang tiga lagi.” jawab Raechan santai, “Mau buru-buru saya beresin, soalnya anak-anak udah rewel.”

“Anak-anak? Maksudnya divisi design?”

Raechan menghisap rokoknya sebelum menjawab, “Bukan, sahabat-sahabat saya, Kak. Saya udah seminggu kayaknya gak ke studio, terakhir waktu sama Kak Kayana itu lah, jadi mereka udah kangen saya kayaknya.”

Ah, entah kenapa penjelasan Raechan membawa kelegaan yang luar biasa terhadap hati Kayana. Entah lega karena benar ternyata Raechan berhenti merecokinya karena tugasnya ini, Raechan bahkan tidak sempat untuk datang ke studio Jevan. Atau lega karena ternyata di balik sikapnya yang terlihat santai dan “nakal” itu, Raechan memiliki sisi seperti ini, bertanggung jawab atas apa yang memang menjadi tugasnya.

“Kalau kapan-kapan lo kesana lagi, gue boleh ikut gak?”

“Ke studio Jevan?”

“Iya.”

“Ya boleh lah, Kak.”

Pernikahan adalah sebuah upacara sakral penyatuan dua insan manusia yang berjanji akan sehidup semati. Di depan seorang pendeta atau penghulu, mereka akan mengucapkan ikrar itu. Disaksikan oleh orang-orang terpenting dalam hidup mereka. Rasa-rasanya, mereka yang sudah berani melakukan hal seindah itu hanyalah mereka yang sudah yakin mau menerima baik dan buruknya pasangan mereka. Dan Adzkiya selalu merasa kagum pada mereka semua. Karena pernah dikecewakan dua kali oleh dua orang pria yang sempat dia kira akan mengisi kekosongan hatinya membuatnya ragu kalau dia akan bisa sampai pada keyakinan akan sebuah pernikahan.

Di depannya, Garend dan Vivian baru saja melaksakan janji pernikahan dan rangkaian upacara lainnya. Adzkiya bisa melihat Adetama— Ayah Garend— mengusap ujung matanya. Di sisi kanan pria setengah baya itu, duduk seorang wanita cantik bersanggul jawa yang mengusap-usap bahunya lembut, Klarisa. Dan di sisi kiri Adetama, terdapat sebuah kursi kosong yang Adzkiya yakini sengaja dikosongkan untuk mendiang Rosa— Ibunda Garend yang telah tiada beberapa tahun lalu.

“Buset cakep juga ya istrinya, pantes sih si Garend-Garend itu cinta mati.” Adzkiya hampir lupa akan keberadaan Nakayesa, “Lu gak mau pulang aja, Ki? Masih betah disini?” tanyanya pelan yang diacuhkan oleh Adzkiya.

Setelah semua rangkaian upacara pernikahan selesai, kini saatnya seluruh tamu undangan dipersilahkan untuk memberi ucapan selamat langsung kepada kedua mempelai. Adzkiya, Nakayesa, Lucia, Tendra dan Jonathan langsung berdiri dari duduk mereka untuk mendekat ke arah Garend dan Vivian. Diam-diam, Adzkiya meremas-remas kedua tangannya gugup. Detak jantungnya berpacu liar, memberi dorongan pada dadanya hingga ada sesuatu di sudut-sudut matanya yang mendesak keluar. Dia tidak baik-baik seperti yang coba dia tampilkan. Jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang sekali lagi terasa hancur lebur. Kalau boleh, saat ini dia ingin berlari dari ruangan ini. Mengendarai sepedanya dan pergi ke tempat yang paling dia sukai. Di sana tak akan seramai ini. Di sana, dia bisa menangis sepuasnya tanpa harus menahannya seperti ini. Di sana hanya ada ribuan tumbuhan dandelion, yang tak akan mengadu pada siapapun tentang seberapa keras tangisan Adzkiya.

“Senyum, Ki. Jangan keliatan gugup banget gitu, deh.” Lagi, Nakayesa berucap pelan, menyedot kewarasan Adzkiya untuk kembali ke kenyataan, “Ini lu lagi dateng ke nikahan mantan lu loh. Lu harus keliatan bahagia, biar dia nyesel.”

Benar juga, batin Adzkiya.

“Ki, gua kasih tau ya. Ya iya sih, bininya cakep banget. Tapi lu kaga kalah cakep kok, cuma galak aja kayak singa. Makanya lu senyum dah. Tuh tuh liat tuh, ramah banget kan tuh bininya Garend. Enak diliat.”

“Kok lo jadi ngebanding-bandingin gue sama dia gitu sih?” Sewot Adzkiya.

“Ya bukan gitu maksud gua. Pokoknya, intinya, lu senyum dah. Jangan keliatan sedih. Percuma nih gua ampe minjem jas ke Jakarta buat nemenin lu kalau lunya murung begini.”

“Iya, bawel.”

Masih berada dalam antrian, perasaan Adzkiya mulai membaik karena celotehan Nakayesa yang panjang dan menyebalkan itu. Dia tidak lagi memikirkan kehancuran dalam hatinya. Sekarang, dia hanya memikirkan apa yang harus dia katakan ketika tiba gilirannya nanti untuk berhadapan dengan Garend.

“Gue harus ngomong apa ya, Yes, nanti ke Garend?”

“Hmmm....” Nakayesa menyeret bola matanya ke atas, tampak serius berfikir, “Selamat menempuh hidup baru ya mantan teman tidurku.”

Reflek Adzkiya memukul kencang lengan Nakayesa dan membuatnya mengaduh.

“Ya lagi lu aneh dah nanya gituan. Ya ucapin selamat aja lah standarnya.”

Lalu setelah beberapa menit mengantri, kini giliran Adzkiya yang naik ke pelaminan untuk memberi ucapan selamat. Langkah kakinya meragu saat dia harus mendekat pada Garend setelah lebih dulu mengucapkan selamat pada Vivian. Keraguannya berbanding terbalik dengan respon Garend yang tampak senang melihat kedatangan Adzkiya.

“Gue gak nyangka lo dateng, Ki.” sambut Garend ramah yang dibalas senyuman ragu-ragu oleh Adzkiya.

“Selamat ya, Rend. Akhirnya kalian sampai ke tahap ini juga.” Bibir Adzkiya bergerak begitu saja atas perintah otaknya.

“Makasih, lo cepetan nyusul, ya?”

Kaku, kali ini bibir Adzkiya begitu kaku untuk menjawab ucapan Garend.

Iya, Mbak, saya baru buka cafe di sebelah Kiya Florist. Nanti kapan-kapan mampir, ya? Saya kasih gratis, deh.”

Tapi bibirnya yang kaku itu tetap melengkungkan senyum ketika tanpa sengaja dia mendengar ucapan Nakayesa di belakangnya.

Bisa-bisanya pria itu masih sempat mempromosikan cafenya. Belum lagi panggilan Mbak yang dialamatkannya pada dokter Vivian.

“Iya, Rend. Doain aja gue cepet nyusul.” Jawab Adzkiya pada akhirnya dengan senyuman tulus.


Third Person's Pov

“Sejak kapan lo suka baca buku?”

“Hah?” Sagata mengalihkan tatapan dari lembaran buku kepada Jaenard yang baru saja meletakkan bokongnya di sofa kosong di sebelahnya, “Iseng doang kok ini.”

The Courage To Be Disliked... Widih mau belajar hidup bebas lo?” Tanya Jaenard diringi tawa mengejek, “Emang bisa anak yang iya-iya aja kayak lo hidup bebas?”

“Gak support amat jadi temen.”

Kali ini tawa Jaenard lebih kencang lagi, “Bukan gak support, realistis aja, selama ini lo tau apa sih, Ga, selain hidup ngikutin garis yang udah Mama lo bikin?”

Sagata terdiam, tidak sanggup membalas ucapan sahabat karibnya itu.

“Lo kerja keras dari jaman kuliah dulu, nilai lo harus selalu bagus, harus lulus tepat waktu, harus mimpin hotel punya keluarga lo. Lo selalu jadi apa yang Mama lo mau, Ga. Apapun. Semua perintahnya lo ikutin. Itu semua lo lakuin karena menurut lo, dengan begitu, Mama lo bakal sayang sama lo kan?”

Sagata masih diam.

“Terus ngeliat lo baca buku dengan judul kayak gitu.... looks so weird, hahaha.”

Bagi sebagian orang, perkataan Jaenard bisa diartikan sebagai tindakan keji. Tapi bagi Sagata, tidak ada satupun kesalahan dalam ucapan Jaenard. Semuanya benar, terlampau benar sampai dia sendiripun tidak sanggup menyanggahnya. Dibolak-baliknya buku pemberian dari seorang gadis yang saat ini sedang berada di Bali itu. Sagata menimbang-nimbang, masih haruskah dia melanjutkan untuk membaca buku itu?

“Kadang gue kasian liat lo sama Dama. Kalian terlalu kerja keras untuk sesuatu yang seharusnya kalian bisa terima tanpa ngelakuin apa-apa.”

Sagata melirik kepada adiknya, Dama, yang tertidur di sofa panjang yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Adik yang lebih muda tiga tahun darinya itu juga merasakan apa yang dia rasakan. Persis seperti yang Jaenard katakan. Bedanya, Dama tidak menjadi boneka perjanjian bisnis mama mereka. Karena Sagata lebih dulu mengambil semua peran itu. Dia tidak ingin adiknya lebih menderita kalau harus melakukan pertemuan-pertemuan menjijikkan demi keperluan bisnis kotor. Adiknya itu sudah memiliki seorang gadis yang dikencaninya sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Maka dari itu, Sagata berpikir biarlah dia yang bertemu dengan gadis-gadis yang diincar mamanya.

Sagata, laki-laki itu selalu bilang “I have no time for that shit” atau “Gue gak mau lagi dateng ke pertemuan bisnis menjijikkan kaya gitu.”

Namun pada akhirnya, dia akan tetap datang. Karena dia terlalu takut kalau mamanya akan lebih membencinya. Dia takut mamanya akan menganggapnya tidak ada.

Karena di dalam hatinya, dia sedikit bersyukur ibu kandungnya itu masih mengganggap dia sebagai boneka bisnis. Itu sedikit lebih baik, daripada dianggap tidak ada.


Dari tempatnya berdiri, Sira bisa melihat seorang staff untuk pemotretannya hari ini berlarian sambil memanggil namanya. Saat orang itu telah berdiri di dekatnya dan mengatakan sesuatu, kedua tangan Sira mengepal menahan marah. Tidak, dia tidak marah pada orang itu, tapi dia marah pada seseorang yang mengirim orang itu untuk mendatanginya.

“Saya sudah bilang, jangan pernah cari dimana keberadaan saya.” Sira berucap lirih tanpa memandang pria berjas abu-abu gelap yang duduk di hadapannya.

Aroma air laut masih tercium dari tempatnya duduk. Sira juga masih bisa melihat beberapa staff yang menunggunya di pinggir pantai.

“Tidak sopan berkata seperti itu kepada Papi kamu, Sira.”

Sira berdecih, memutar bola matanya malas.

“Pulang, sudah tiga tahun kamu tidak pulang.”

“Pulang dan menjadi alat bisnis Anda lagi? Tidak, terimakasih banyak untuk tawaran menjijikkanya.”

Anuraga— Papi Saera menyesap winenya dengan santai. Dia menatap anak gadisnya yang tidak menatapnya sama sekali, “Di depan mayat Oma kamu, kamu sudah memaafkan saya.”

“Ya... Saya memang sudah memaafkan Anda, tapi saya tidak akan pernah melupakan apa yang telah Anda lakukan.”

Sira berdiri dari duduknya dan mengenakan kembali topi pantainya, “Oma selalu mengajarkan saya untuk menjadi orang baik, bukan bodoh.” Ada jeda sebelum Sira kembali berkata, “Dan kembali ke rumah Anda adalah tindakan bodoh. Oma gak akan suka kalau saya bertindak sebodoh itu.”

Bersamaan dengan angin laut yang berhembus sekali lagi, Sira berlalu dari hadapan ayah kandungnya. Dia kembali ke pantai dengan terburu-buru. Tentu saja diikuti oleh tatapan Anuraga. Sira bisa merasakan tatapan itu, tapi dia berusaha mati-matian untuk mengabaikannya.

Dia terlalu benci fakta bahwa orang yang baru ditemuinya itu adalah seseorang yang ikut serta dalam keajaiban yang membuatnya terlahir di dunia ini. Dia membenci fakta bahwa ada darah orang itu dalam dirinya. Dan dia benci menyadari bahwa bahkan nama belakangnya diambil dari nama lali-laki itu.

Anuraga, Sira sangat membencinya. Itulah kenapa dia lebih senang memperkenalkan diri dengan Sira Adreean saja, tanpa Anuraga.

“Mbak Sira, sudah bisa dimulai lagi? Sunsetnya lagi cantik-cantiknya nih.” Seorang wanita yang menjadi fotografernya hari ini bertanya sopan menyambut kedatangannya.

“Bisa-bisa, saya touch up sebentar ya.” Jawab Sira ramah, seolah tidak terjadi apa-apa, “Oh iya, Mbak Rara, selagi saya touch up boleh tolong fotoin sunsetnya dulu gak? Buat dimasukin ke blog nanti, hehehe.”

“Boleh banget, Mbak.”

Sira tersenyum dan mengangguk lalu berbalik untuk mencari pouch make upnya. Namun tanpa sadar, matanya menatap ke arah dimana Papinya tadi duduk. Dan laki-laki itu sudah tidak berada disana.

Sira's Pov

“Padahal lo gak perlu repot-repot untuk anterin gue, gue bisa naik travel atau kereta.”

You better be grateful dari pada ngomel gitu.”

“Ya gue kan gak mau hutang budi aja.”

Siang ini, Sagata tampil lebih santai dari biasanya. Tidak ada kemeja fit to body beserta dasi dan jasnya. Hari ini, dia hanya mengenakan kaus berwarna hitam yang dimasukkan kedalam celana jeans yang juga berwarna hitam. Dari pada mengantar gue ke Bandara, dia lebih cocok untuk mengantarkan gue ke pemakaman.

“Barang lo gak ada yang ketinggalan kan?”

“Mudah-mudahan.”

I won't tell you tho kalaupun ada.”

“Dasar, owner gila.”

Di depan Terminal Keberangkatan, gue berdiri berhadap-hadapan dengannya. Dia tampak ingin kembali mengatakan sesuatu tapi berusaha menahannya. Lalu gue memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak yang sejak tadi berada di tas ransel milik gue.

“Buat lo.” Tangan gue terulur untuk menyerahkan kotak itu pada Sagata.

Namun dia hanya menatap kotak itu dalam diam, hingga gue bersuara lagi, “Ambil, ini buat lo.”

Perlahan, laki-laki itu meraih kotak berwarna biru muda itu lalu membukanya. Di dalamnya berisi sebuah buku dengan judul The Courage To Be Disliked dan sebuah gelang bertuliskan Be Brave.

Lagi-lagi dia hanya diam dan membuat gue sedikit kesal,

“Buku itu harus lo baca setelah lo selesaiin Loving the Wounded Soul. Dan gelang itu.... Be brave, Sagata. Gue harap, lo mulai berani untuk bilang enggak, ke siapa pun, termasuk ke Mama lo.” Dia masih diam, “Berani untuk bilang enggak gak akan bikin lo jadi orang jahat kok.”

“Makasih, gue gak nyangka ternyata lo sebaik ini. Karena jujur aja, awalnya gue kira...” jawabnya polos dan membuat gue tertawa mendengarnya.

“Gak papa, a good friend will always start by I thought she was such a bad bitch, kan?”

Dia terkekeh mengiyakan.

“Yaudah, gue berangkat ya. Lo ati-ati baliknya, jangan ngebut. Makasih udah nyetirin gue dari Bandung sampek sini. Good bye, Sagata.”

See you again, Sira.”

Sagata mengangguk sembari tersenyum dan gue memutuskan untuk menjadikan senyuman itu sebagai pemandangan terakhir gue sebelum masuk ke dalam Terminal Keberangkatan.

Saat melewati sebuah rumah makan cepat saji yang bertuliskan Marugame Udon di atasnya, ingatan gue kembali pada saat dimana gue dan Sagata duduk berhadap-hadapan dan menyantap makanan kami di Paris Van Java. Saat melintasi toko buku bertuliskan Periplus, gue teringat pada Sagata yang masih ingin membaca lebih banyak buku. Dan saat gue tiba di boarding lounge, gue disadarkan bahwa setelah ini gue akan kembali ke kehidupan normal gue dimana hanya ada diri gue sendiri dan sesekali Keycia masuk ke dalamnya. Gue disadarkan pada kenyataan bahwa Sagata hanyalah salah satu orang yang gue kenal tanpa sengaja dan akan segera terlupakan seiring berjalannya waktu.

Lagi, keheningan itu merampas kesadaran gue dengan paksa. Ramainnya Bandara Soekarno-Hatta saat itu bahkan tidak mampu menarik gue kembali dari kesepian yang sudah bertahun-tahun terpatri di jiwa gue.

Lagi, gue akan menjadikan alalm Indonesia sebagai penghiburan yang sebetulnya tidak benar-benar menghibur.

Lagi, gue akan menjadikan kegiatan menulis blog sebagai senjata untuk membunuh waktu.

Lagi, gue akan menggunakan pekerjaan sebagai dalih pengalihan kesendirian.

Dan sebaliknya, gue berharap kado kecil yang gue persiapkan untuk Sagata sejak tadi malam itu dapat sedikit mengubah hidupnya. Gue sangat berharap dia tidak lagi menjadi anak yang bodoh dan selalu mengiyakan apapun keinginan orang tuanya. Gue berharap, laki-laki dengan tingkat kepekaan sangat minim itu setidaknya bisa peka dengan luka batinnya sendiri. Karena sungguh, gue benar-benar melihat diri gue yang dulu pada dirinya. Dan gue mengasihaninya.

Karena hidup dengan cara seperti itu, menyakitkan.

Jadi semoga saja, meskipun dia tidak bisa seberani gue untuk membebaskan diri dan pergi rumah, setidaknya dia bisa cukup berani untuk membebaskan diri dari belenggu orang tuanya.

Sira's Pov

The delivery men is quiting his job, ya?”

Sagata tersentak ketika suara serta keberadaan gue muncul secara tiba-tiba di sampingnya yang tengah sibuk memandangi Kota Bandung dari balkon lantai 5 AIM Hotel. Semilir angin menerbangkan rambut bagian depan Sagata yang pagi ini tidak ditata rapi dan diberi pomade seperti hari-hari lain.

Context?

“Sarapan gue, bukan lo lagi yang anter.”

“Ahhh, iya, sorry gue ada meeting pagi tadi.”

Gue diam, membiarkan kicau burung mengisi ruang di antara kami. Sebelum beberapa detik kemudian, suara Sagata terdengar lagi, “Is everything okay? Staff hotel ada yang bikin kesalahan lagi gak?”

Gue tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Otak gue bergerak untuk membuka lembaran-lembaran ingatan yang gue dapatkan selama tiga hari tinggal di tempat ini. Semuanya baik. Selain dari kelalaian mereka di hari pertama gue menginap disini, mereka tidak pernah melakukan kesalahan apapun lagi.

Sarapan yang selalu diantar tepat waktu, kamar yang dirapikan setiap hari, serta pelayan lain yang mereka siapakan khusus untuk menebus kesalahan mereka di awal.

“Malah bengong lagi, jawab.” Sagata menyenggol lengan gue dengan sikunya.

“Iya, baik-baik aja kok semuanya. Tenang aja, reviewnya nanti gue bagus-bagusin.”

Tawa Sagata terdengar, “Thanks, btw....

Dering ponsel menginterupsi Sagata sehingga dia memberi isyarat pada gue untuk mengangkat panggilan itu lebih dulu.

Tanpa melihat nama yang tertera di layar, gue mendekatkan ponsel pada telinga,

Kapan kamu pulang? Mau sampai kapan kamu main-main sama kehidupanmu? Berhenti jadi anak tidak berguna.”

Panggilan itu tidak berada dalam speaker mode, tetapi karena gue berdiri cukup dekat dengan Sagata, gue yakin dia bisa mendengarnya.

Bip

Panggilan itu dimatikan secara sepihak, oleh gue tentu saja.

I'll go back to my room, enjoy your day, Mr. Sagata.”

Gue memutuskan untuk kembali ke kamar karena terlalu memalukan untuk tetap berdiri di sebalah Sagata yang tanpa sengaja mendengar keruhnya hubungan gue dengan orang tua gue.

Tidak, gue sama sekali tidak berusaha untuk membangun image di mana gue adalah seorang puteri cantik yang lahir dari keluarga baik-baik. Gue hanya kurang menyukai perasaan dimana gue merasa dilucuti tentang kehidupannya oleh orang asing, tidak terkecuali oleh Sagata yang sebenarnya juga memiliki masalah yang sama.

Do you want to go somewhere?

Namun langkah gue terhenti saat suara Sagata terdengar lagi, tanpa perlu membalikkan badan, gue tahu benar saat ini dia sedang menatap gue dari tempatnya berdiri.

No, thanks.

“Anggep aja ini balas budi gue, buat malam itu.”

**

“Lo yakin bisa naik motor?”

Pria setinggi 180cm itu memandangi motor yang telah kami sewa dengan ragu, “Terakhir kali gue bawa motor sih waktu SMA, kayaknya sih masih bisa.”

“Yaudah gue aja yang bawa.”

“Lo bisa?”

“Di bali gue selalu motoran.”

“Yaudah, gih lo yang depan.” jawabnya enteng.

Seharusnya, gue tidak perlu terkejut dengan respon Sagata yang seperti ini, karena impresi gue sejak awal terhadapnya juga tidak begitu baik.

Tapi tetap saja, bukankah seharusnya dia harus sedikit lebih berbasa-basi untuk tetap menawarkan dirinya untuk mengendarai motor sewaan ini?

Dasar cowok gak peka, maki gue dalam hati.

Kami berakhir mengendarai sepeda motor yang telah kami sewa untuk sampai ke puncak salah satu tempat wisata di Kota Bandung, Tebing Keraton. Menurut Sagata, tempat ini sangat cocok untuk keadaan hati gue yang sedang buruk hingga dia memaksa gue untuk datang ke tempat ini bersamanya.

Jaraknya dari AIM Hotel sekitar dua jam perjalanan yang tentu saja diiringi dengan kemacetan. Sedangkan jarak dari area parkir mobil hingga sampai ke puncaknya hanya sepuluh menit. Setelah sampai, Sagata membayar tiket masuk dan menggiring gue untuk berjalan ke area puncak Tebing Keraton. Dari atas sini, gue bisa melihat sisi lain dari Kota Bandung. Bukan gedung-gedung tinggi, namun hijaunya pepohonan yang sangat memanjakan mata. Udaranya terasa sejuk dan bersih. Suasanya juga tenang, tenang sekali.

Tanpa sadar, gue menghembuskan napas panjang. Melonggarkan dada yang sejak tadi sesak. Bukan hanya tadi lebih tepatnya, tapi rasa sesak ini sudah ada sejak lama. Lama sekali.

Such a beautiful place.”

I've told you, rugi tadi kalau lo gak mau gue ajak kesini.” ucap Sagata pelan didampingi dengan senyuman sombong tentu saja, “HAAAAHHHHH, life sucks, seharusnya lebih banyak tempat kayak gini untuk hilangin stress.”

Beautiful place belongs to something beautiful, beautiful memories, not painful,” Mata gue berpendar sekali lagi, “Kasihan banget alam seindah ini kalau cuma jadi penampungan rasa sedih, kecewa apalagi marah.”

Dan gue merasa bersalah karena gue turut menjadikan alam Indonesia yang indah ini sebagai penampungan dan pelarian diri gue dari pahitnya kehidupan.

Your parents.... Did they do the same to you?

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Sagata setelah mungkin dia berusaha menahannya.

“Lo benci gak sih sama orang tua lo atas apa yang udah mereka lakuin ke lo?”

“Gue gak bisa benci sama Mama.” jawab Sagata pelan.

“Lo bisa tapi lo gak mau.”

Dari ekor mata gue bisa melihat Sagata memiringkan tubuhnya untuk sepenuhnya menatap gue.

“Gue pernah baca satu buku, judulnya Loving the Wounded Soul, di buku itu penulisnya bilang, tidak sedikit anak yang berusaha mencintai orang tua mereka karena perasaan bersalah yang ditanamkan oleh masyarakat, norma budaya, dan agama. Lo gak benar-benar mencitai mereka, lo cuma takut dianggap jahat sama semesta kalau lo benci sama mereka.”

It sad but it's true, hahahaha.”

Tawa Sagata menggema, menyelinap masuk di antara ranting-ranting pohon yang membuat mereka juga bisa merasakan kepedihan dalam tawa itu.

“Btw, pulang dari sini temenin gue ke Gramedia Merdeka ya? Yang di depan BIP.”

“Ngapain?”

“Beli buku yang lo baca itu.”

“Oh, eh tapi boleh gak kita ke Gramedia yang ada di PVJ aja?”

“Kenapa emangnya?”

“Gue pengen makan udon, hehehe”

“Hahahah dasar.”

Siang itu, tawa gue dan Sagata mengalun bersatu. Tanpa ada kepedihan di dalamnya.

Sagata's Pov

Dari pada makan malam bersama keluarga terpandang seperti ini, gue jauh lebih menyukai menyantap satu cup mie instan yang bisa gue seduh di ruangan kerja gue. Di sana, gue bisa bebas menaikkan sebelah kaki sambil menonton series di salah satu aplikasi berbayar. Sungguh berbanding terbalik dengan suasana canggung yang tercipta di ruangan pengap dengan hidangan makanan yang tersaji rapi di sebuah meja besar di hadapan gue.

Keluarga Om Satrio— kawan baik Mama— mencoba untuk membawa gue masuk ke dalam obrolan keluarga mereka sebelum akhirnya mempersilahkan gue dan seorang gadis— yang menawarkan dirinya untuk datang ke acara tidak penting ini— menyantap makanan kami.

“Sagata suka udang, kan? Mau nambah?”

Gue hanya menggeleng pelan dan mengucapkan kata terimakasih untuk membalas tawaran anak tertua dari keluarga Satrio yang sudah merias wajahnya sedemikian rupa itu.

“Akhir-akhir ini, Sagata lebih suka makan cumi-cumi dari pada udang, sepertinya seleranya berubah.” Sira menyahut dari kursinya, membuat anak Om Satrio menatapnya malas.

“Oh ya? Ah.. oke.. lain kali kita pesan lebih banyak cumi-cumi dari pada udang.”

“Apa masih perlu lain kali?” tanya Sira pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya di sisi piring sebelum menopang wajahnya dengan sebelah tangan, “Sepertinya, kalau untuk membicarakan bisnis bisa di jam kerja aja ya? Gak perlu makan malam seperti ini.”

Om Satrio yang duduk di ujung meja berdeham, menandakan ketidaknyamanan. Dari ujung mata, gue bisa melihatnya menarik-narik dasi yang melingkar gagah di lehernya.

“Apa salahnya dengan pembicaraan bisnis di sela-sela makan malam?” tanya anak Om Satrio.

“Tentu tidak ada yang salah. Tapi setau saya, bisnis tidak akan pernah berhasil jika dicampuri dengan urusan pribadi.” Nada suara Sira sangat tenang, dia tidak menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, tapi entah kenapa itu justru membuat lawan bicaranya menjadi tidak berkutik.

Terbukti, anak Om Satrio langsung menoleh pada ayahnya seolah meminta bantuan.

Om Satrio nampak menangkap signal dari anaknya dan kemudian dia bersuara, “Tidak ada urusan pribadi kok disini, hahaha, pure hanya bisnis.” Tawanya canggung, terkesan dipaksakan.

“Ah, baguslah kalau begitu, saya senang mendengarnya. Kalau begitu, lain kali saya tidak lagi perlu mendampingi Sagata untuk acara makan malam dengan niat terselubung seperti ini.” Kalimat itu seperti gong penutup dari makan malam menyesakkan yang diakhiri dengan ditandanga tanganinya berkas kerja sama antara perusahaan Mama dan perusahaan Om Satrio.

Dan tentunya, tanpa ada “perjodohan” di dalamnya.

**

“Lo sering ya ikut dinner kayak tadi?”

Sebelum mengantarnya kembali ke AIM hotel, gue membawa Sira untuk membeli makanan kecil di supermarket yang berada tidak jauh dari hotel.

Sira menyesap ice cremnya sebelum menjawab, “Enggak, cuma pernah nonton di drama-drama aja kejadian kayak tadi. Terus gue praktekin aja deh apa yang gue tonton.”

“Hmm.”

“Lo sering disuruh ikut acara kayak gitu?”

“Enggak, cuma beberapa kali aja.”

“Oh.”

Hening. Hanya ada deru kendaraan yang lalu lalang.

Thanks ya?”

“Santai aja, that was just my way to have some fun.”

Gue menatap Sira yang menatap kosong ice cream di tangannya. Dia tidak lagi menyesap ice cream dengan rasa vanilla yang awalnya dia ambil dengan begitu antusias. Ada yang berbeda dari gadis itu sesaat setelah dia mengatakan kalimat that was just my way to have some fun.

Gadis ini....

Gadis yang terlihat begitu ramai kehidupannya sebagai seorang travel blogger bisa tiba-tiba terdiam hanya karena sebuah kalimat yang berhubungan dengan kata “fun”.

Bukankah kata itu adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan kehidupannya?

Bukankah hidupnya menyenangkan?

Tapi kenapa tatapan matanya justru begitu kosong?

KKN.

Bagi beberapa mahasiswa, momen ini sangat ditunggu-tunggu. Ada yang menunggunya karena menantikan keseruan yang akan tercipta dan sebagiannya lagi menggunakannya sebagai ajang untuk mengenal mahasiwa dari program studi lain.

Tapi bagi Haskara, dia tidak menantikan keduanya, dia tidak terlalu suka bergaul dengan orang banyak. Karena itu, membayangkan untuk tinggal bersama sembilan orang lain dalam satu rumah untuk jangka waktu lebih dari satu bulan sudah lebih dulu membuatnya lelah. Belum lagi, selama itu juga dia akan meninggalkan kekasihnya.

“Tidur, besok rombongan kamu berangkat pagi.”

Ayunara, kekasih Haskara berucap pelan, meskipun gadis itu tidur memunggungi Haskara, dia tahu bahwa pria itu belum juga terlelap.

Haskara hanya bergumam pelan sembari menaikkan tangannya yang tadinya berada di pinggang Ayunara menjadi di area dadanya, “Kamu masih pake bra? Tumben.”

“Iya, lupa lepas.”

“Lepas dulu gih, biar enak tidurnya.”

Ayunara menurut, dia duduk dan melepas kaitan branya dengan satu tangan sebelum kembali berbaring bersebelahan dengan Haskara.

“Gini kan enak megangnya.” bisik Haskara saat tangannya juga kembali menggerayangi area dada Ayunara.

“Ka, tidur.”

“Ini malem terakhir sebelum aku berangkat loh, yakin gak mau?”

“Iya, ini juga buat kebaikan kamu. Hari ini kamu harus tidur cepet, supaya besok gak kesiangan.”

“Kamu gak bakal kangen aku emangnya?” tanya Haskara pelan, tangannya sudah menelusup masuk ke dalam gaun tidur Ayunara. Diremasnya sebelah payudara kekasihnya itu hingga terdengar lenguhan pelan.

“Aku satu bulan loh perginya, yakin gak kangen diginiin?” Jari Haskara menjepit puncak payudara Ayunara dan membuatnya menegang. Bibirnya juga tidak tinggal diam, dikecupinya leher Ayunara lalu turun ke bahunya, “Kalau aku sih bakal kangen kamu banget, Ay.”

“Ka....”

“Ya?”

Not now, please.”

But I want to.”

Haskara tidak menahan diri lagi, dia merubah posisinya hingga berada di atas Ayunara. Diturunkannya lengan gaun malam Ayunara lalu menariknya lepas. Saat ini, Ayunara sudah polos tanpa pakaian atasnya. Kedua payudaranya selalu tampak cantik dari sudut pandang Haskara.

Deru napas yang bersahut-sahutan memenuhi ruangan berukuran 5x5m. Pendingin ruangan sudah diatur hingga titik terendah namun keringat tetap saja melumuri tubuh kedua insan yang tengah sibuk di atas ranjang.

Tubuh polos si laki-laki menggagahi seorang gadis di bawahnya yang juga polos tanpa busana. Mata si gadis tertutup rapat menikmati sentuhan dan hentakan yang diberikan.

“Buang dimana?”

“Luar aja, aku lagi masa subur.”

Si laki-laki menurut. Mempercepat gerakannya hingga mencapai pelepasannya sendiri setelah memastikan gadisnya sampai lebih dulu.

Mereka berdua kembali terengah-engah. Tubuh si laki-laki sudah tergeletak lemas di atas ranjang.

“Kamu tadi pamit sama Bunda mau kemana?”

“Ke kosan Edo, numpang ngecas.”

Such a liar.”

Haskara terkekeh pelan, dia merapatkan tubuhnya pada si gadis, Ayunara.

“Ya aku beneran ngecas kok, ngecas yang lain tapi.”

“Ka, aku denger dari Edo, anak-anak kepanitiaan sering ngomongin kamu di belakang, gara-gara kamu sering deket-deket sama aku.”

Haskara berecak pelan, tangannya yang bebas merapihkan rambutnya yang acak-acakan, “Iri aja mereka tuh. Gak usah didengerin.”

“Tapi, Ka...”

Ayunara duduk bersandar pada kepala ranjang, menutup tubuhnya dengan selimut hangat yang selalu tersedia di atas ranjang, “Dari pada iri, kayaknya mereka lebih ngerasa aku gak pantes buat deket sama kamu makanya mereka sampek segitunya.”

Sejujurnya, Haskara mulai jengah karena pembicaraan ini dibawa lagi oleh Ayunara. Tapi dia mengerti, hal ini juga merupakan gangguan pikiran Ayunara hingga dia selalu membahasnya.

“Dari pada bahas itu, mending kita main lagi.”

Haskara bergerak pelan, menarik tubuh Ayunara lalu membuat gadisnya itu duduk di atas tubuhnya yang terlentang, “Kamu yang di atas, ya?”

“Ka, aku....”

I prefer hear you moan instead of talking about this shit again, baby.”

“Bagi rokok, Jup.”

“Tumben?”

“Hm, akeh pikiran.”

Jupiter hanya menatap Wintor sekilas sebelum melemparkan kotak rokoknya kepada sahabatnya itu.

Ojo akeh-akeh, nggko bajumu mambu rokok si Hanira gak gelem dikeloni.”

“Hahaha bacot.”

Wintor menyalakan sebatang rokok kemudian menyesapnya dalam. Punggungnya dia sandarkan pada sisi mobil yang tadi dia gunakan untuk menghantarkan Hanira ke hotelnya.

Enek masalah opo, Win? Gak mungkin kamu disini suwi-suwi cuma karena pengen liburan.”

“Hahaha, peka juga kamu, Jup.”

Ucapan Wintor dihadiahi toyoran pelan oleh Jupiter, “Aku koncomu ket cilik, Cok.”

“Adik e Hanira... Si Aji....”

Ngopo?

“Aku bingung cara nyedekine piye.”

Jupiter membuang rokoknya yang telah terbakar habis sebelum menjawab, “La bukane wes nongkrong bareng wingi kae?

Iyo udah, tapi bar iku malah upload foto kambek mantane Hanira dee. Captione lo, see you, Mas, ngono. Beh loro atiku.”

Angin di are parkir salah satu restoran fast food berhembus basah, membawa udara dingin yang mendukung perasaan muram Wintor.

Jare Hanira, Aji wes mulai muji-muji aku sih, tapi tetep wae aku insecure, Jup.”

“Butuh waktu aja iku, Win, kamu lo sama kayak dia to? Pendiem, susah buka omongan, sama banget kambek si Aji. Sedangkan Haidar, tiap liat di storyne Juan, aku wes bisa ngepal anak e banyak omong, easy going, rame, wajar lek Aji bisa deket mbek dee.”

Ngono yo, Jup?”

Iyo, wes to seng penting kamu ke dia tu tulus. Yakin banget aku nanti juga dia terbuka ke kamu.”

Tidak ada percakapan yang terdengar setelah itu. Wintor hanya menatap sepatunya. Pikirannya masih melayang-melayang memikirkan adik dari wanita yang dicintainya. Disesapnya rokok semakin dalam lalu asapnya dia hembuskan seolah melepas beban di dadanya.

Aji, anak itu, adalah versi muda dari dirinya. Wintor tahu benar, butuh cara khusus untuk mendekati orang seperti Aji. Karena Wintor sendiripun tidak mudah membuka dirinya untuk orang lain. Mungkin benar apa yang dikatakan Jupiter, Wintor hanya perlu bersabar. Juga ketulusan yang tidak boleh dilupakan.

Biasane uwong ki mumet nyedeki bapak e, iki malah nyedeki adik e.”

Wintor terkekeh pelan, atmosfer kegelisahannya masih dirasakan Jupiter ternyata.

“Udah sana kamu susulin Hanira ke hotelnya, opo iso turu iku kamu nanti lek gak nyandeng cewekmu?

“Ojo ah, dia bar rampungan event, butuh banyak tidur. Lek aku merono, gak sido turu dee.

“Hahaha, asu asu.”

Waktu sudah menujukkan pukul sepuluh malam. Hampir seluruh lampu gedung dua tingkat di ujung jalan sudah mati total. Kecuali lampu sebuah ruangan di lantai dua dengan seorang pria di dalamnya. Pria itu menggulung lengan kemejanya sampai siku, melonggarkan dasinya yang sejak tadi menyesakki ruang pernapasannya.

Di depannya terdapat beberapa berkas yang menumpuk, belum lagi layar ponsel yang terus menyala-nyala menandakkan panggilan masuk. Seharian tadi, dia terus mengabaikan panggilan dan pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Rasa kesalnya terhadap si pengirim belum juga reda meskipun sudah terlewat lebih dari 24 jam sejak kejadian.

You mad at me?

Suara itu bukan berasal dari sambungan telepon, melainkan terdengar langsung dari sosok yang baru saja membuka pintu ruangan Wintor tanpa mengetuknya lebih dulu.

“Koh Win, you mad at me?” Gadis yang mengenakan kaos pendek berwarna hitam itu mengulang pertanyaannya, “Kamu masih mau diemin aku?”

Wintor tak menggubris pertanyaan ketiga Hanira, iya masih sibuk menandatangani beberapa berkas di depannya.

“Marion gak bakal begini sih ke ceweknya.” Hanira bersuara lagi, kali ini berhasil merebut perhation Wintor sepenuhnya. Laki-laki itu sudah menatap Hanira dengan mata kesalnya.

“Marion, aku yakin kalau cewek e salah, dia gak bakal diemin ceweknya kayak kamu gini.”

“Marion terus.....” cicit Wintor pelan. Kekesalannya bertambah karena gadisnya itu justru terus-terusan menyebut nama itu bahkan setelah Hanir tahu bahwa kemarahan Wintor berasal dari sana.

Wintor sebenarnya tahu, Hanira tidak punya maksud lain atas pujiannya kepada Marion. Wintor juga tahu, perilaku Hanira justru hanya untuk memancing rasa cemburunya. Tapi tetap saja, mendengar Hanira memuji-muji sahabatnya secara langsung seperti itu tetap membuat hati Wintor tidak senang.

“Masih belum mau ngomong sama aku? Yowes aku pulang aja yo....”

“Ojok, Yang.” Wintor menyerah, dia menyerah pada rasa kesalnya, “Disini aja, temenin aku lembur, ya?”

“Emange aku dapet opo kalau nemenin kamu lembur?” meskipun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, tapi Hanira tersenyum lebar dalam hatinya.

“Sini dulu.” Wintor menepuk pahanya.

Hanira menurut, dia melangkahkan kakinya mendekati Wintor dan duduk di atas pangkuannya.

“Kamu.... beneran to mau pacaran sama Marion?”

“Masih bahas itu neh?”

“Ya... itu agak ngeganggu pikiranku lo, Yang. Aku wedi kamu beneran....”

“Kita udah sejauh ini, aku gak bakal macem-macem, Koh.”

Make me believe, then.”

Hanira tersenyum lembut kemudian dia mengecup bibir Wintor sekilas, “Wes percaya sama aku?”

“Belum.”

Senyum Hanira melebar, ditempelkannya lagi bibirnya, kali ini lebih lama, “Udah?”

“Urong, Han...”

“Halah itu mah pengenmu aja, Koh, Koh.”

“Ya emang.”

Mereka lalu tertawa bersama hingga suara tawa itu lenyap saat Wintor menempelkan bibirnya kepada mili Hanira. Dia tidak hanya menempelkannya, tapi juga melumat dan sesekali menggigit. Tentu saja Hanira membalas ciuman membara itu, tangannya juga sibuk membuka dasi Wintor lalu beralih ke kancing kemeja yang Wintor gunakan. Deru nafas mereka beradu dengan suara kecapan yang cukup menggairahkan bagi telinga mereka masing-masing.

Cukup lama mereka berada pada posisi itu hingga suara pintu terbuka diiringi suara lantang yang menyusulnya,

“KOH, KAMU GAK PULANG TO? KATA PAPA.....”

Si empunya suara terdiam mendapati pemandangan di hadapannya. Kakak kandungnya sedang duduk di atas kursi dengan kekasihnya di atas pangkuannya. Kemeja yang dikenakan sudah acak-acakan dengan tiga kancing atas terbuka menampakkan aera dadanya yang kekar. Sementara gadis yang di pangkuan Kakaknya hanya menatap kedatangannya dengan sebelah alis terangkat dan wajah tenang.

Juan mundur beberapa langkah dan tanpa berkata apa-apa dia menutup kembali pintu ruangan Wintor.

Hanira, mbok apain Kokohku, Han!!!!!

Teriakan itu baru terdengar ketika Juan sudah berada di mobilnya.