Raechan dan kemarahannya

Bagi Raechan, sebaik-baiknya mata kuliah adalah mata kuliah yang tidak dihadiri oleh dosen pengampunya. Dengan kata lain, mata kuliah yang ditiadakan. Dengan senang hati, Raechan akan langsung keluar dari kelas tanpa rasa kesal seperti yang dirasakan teman-teman sekelasnya. Dia bahkan bingung, untuk apa juga dia harus kesal? Bukan kah hal seperti ini adalah hal yang seharusnya disyukuri?

Raechan melenggang membelah koridor kampus yang ramai, membawa Juan dalam rangkulannya karena tubuh sahabatnya itu cenderung mudah tersingkirkan bahkan dengan sedikit dorongan, jadi dia berinisiatif untuk melindungi Juan. Mereka berdua berbelok di pintu masuk fakultas dan melewati taman kecil untuk sampai di kantin fakultas. Di sana, Jevan sudah menunggu dengan gitar di pangkuannya.

“Dari pada paha lo dipake buat mangku gitar, mending buat alas gue tidur deh, Jev.” Tanpa izin, Raechan mengambil gitar dari Jevan dan meletakkan gitar kesayangan Jevan itu ke atas meja, “Nah, begini kan enak.” ucap Raechan saat dia sudah meletakkan kepalanya di atas paha kiri Jevan. Tubuhnya berbaring di atas kursi panjang berbahan kayu tempat Jevan duduk.

“Temen lo makin gak ada sopan santunnya ya, Jep, gue rasa-rasa.”

Jevan hanya memutar bola matanya malas. Dia memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah lain dan tatapannya jatuh pada seseorang yang sedang berjalan di koridor sebrang kantin,

“Eh, Rae, Kak Kayana tuh, kayaknya mau ke ruang briefing. Lo ada briefing kan hari ini?”

“Oh iya anjir untung lo bilang.” Raechan buru-buru bangkit dari posisi berbaringnya dan mengeluarkan ponsel dari saku celana, “Harus cakep nih gue, mau ketemu calon pacar.” Raechan berbicara pada dirinya sendiri sembari berkaca di pantulan layar ponsel untuk merapihkan rambutnya.

“Baju lo tuh rapihin juga, kaos lo udah mulai lecek.”

Ucapan Juan membuat Raechan melirik kaus putih yang tersembunyi di balik jaket berwarna hitam yang dia kenakan, “Perhatian banget deh, Wawan.”

Raechan terkekeh pelan, bermaksud menggoda sahabat karibnya itu.

Setelah selesai dengan kegiatan “merapihkan” penampilan, Raechan berlalu dari kantin untuk menghampiri Kayana. Sementara dua sahabatnya hanya memandangi punggungnya yang kian menjauh.

“Kak....” Belum sampai nama Kayana keluar dari mulut Raechan, matanya lebih dulu menangkap sesosok pria yang menghadang jalan Kayana. Kayana terlihat tidak nyaman karena gadis itu terlihat berusaha menghindar.

“Jalan sama siapa lo kemarin?” Samar-samar Raechan dapat mendengar suara berat pria itu.

“Temen.” jawab Kayana pendek, masih berusaha mencari celah agar dapat kabur dari pria berkemeja biru muda itu.

“Jalan sama guenya kapan?” tanya pria itu lagi, kali ini Raechan dapat mendengar lenguhan kesal keluar dari mulut Kayana, “I've told you, Ki, sikap lo ini bikin gue gak nyaman.”

Si pria berkemeja biru muda tersenyum miring, disentuhnya bahu Kayana dengan tangan kanannya, “Terus gue harus apa biar lo nyaman sama gue, Kayana Aburima Gati?”

Dada Raechan bergemuruh. Dia jengah. Bukan perasaan cemburu kekanak-kanakan, tapi ini lebih kepada perasaan tidak suka melihat seorang gadis diperlakukan seperti itu. Meskipun bukan Kayana, Raechan tetap akan merasakan perasaan yang sama jika dia melihat seorang gadis diperlakukan tidak sopan seperti itu.

Sementara di sisi lain, Kayana menepis lengan pria berkemeja biru muda itu. Ditatapnya lekat-lekat mata pria yang dia sudah kenal selama dua tahun belakangan, Lukio.

“Minggir, gue ada briefing sejam lagi. Gue harus siapin ruangan sama materinya.”

Semakin ditolak, Lukio justru semakin berani. Kali ini, dia menarik lengan Kayana dan menarik tubuhnya hingga tubuh mereka berjarak beberapa cm saja, “You look prettier when you mad.” Bisik Lukio pelan.

Kayana muak. Benar-benar muak. Sikap teman satu angkatannya itu selalu saja membuat dia geram. Kayana membenci perasaan “dipaksa” yang membuatnya tidak nyaman. Kayana benci perasaan dimana dia merasa privasinya diobrak-abrik oleh orang lain seperti ini.

“Lepas atau gue bakal....”

“Kak Kayana!”

Panggilan itu membuat Kayana menoleh. Dia mendapati Raechan mendekat ke arahnya dengan raut wajah kesal yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

“Maaf, tadi dosennya telat keluar, jadi saya baru beres kelas. Jadi ke ruang briefing bareng, kan?”

Tanpa menunggu jawaban dari Kayana, Raechan sudah lebih dulu menarik tangan Kayana untuk menjauh dari sana. Langkah demi langkah mereka ambil tanpa repot-repot menoleh ke arah Lukio yang menatap kepergian mereka dengan geraman tertahan.

Kayana menatap tangan Raechan yang mengenggam pergelangan tangannya. Jika dipikir-pikir lagi, Raechan tidak ada bedanya dengan Lukio. Pria yang baru saja menyelamatkan dirinya dari Lukio itu juga sering melanggar privasi yang Kayana bangun. Tapi Raechan tidak pernah membuat Kayana muak. Raechan mungkin membuat Kayana kesal karena kehadirannya yang tiba-tiba di sekretariat dan rumahnya, tapi Raechan tidak pernah membuat Kayana merasa “terancam” seperti yang Lukio lakukan.

“Itu tadi siapa sih, Kak?”

Mereka berdua sudah berada di depan pintu Ruang Pertemuan Umun (RPU) ketika akhirnya Raechan melepaskan genggaman tangannya dari Kayana.

“Lukio.”

“Dia naksir sama Kak Kayana juga, ya? Tapi caranya norak banget.” suara Raechan terdengar kesal, “Kenapa gak dijauhin aja sih, Kak, orang kayak gitu?”

“Udah,” Kayana mengehela napas pendek, “Tapi emang orangnya keras kepala. Mungkin dia bakal berhenti kalau gue punya pacar.”

“Yaudah bilang aja saya pacar Kak Kayana biar dia gak ganggu Kakak lagi.”

Kayana menatap Raechan yang menatapnya serius. Kayana tidak terkekeh ataupun menganggap omongan adik tingkatnya itu omong kosong, karena tatapan Raechan terlampau serius.

Kayana merasa bahwa apa yang diucapkan Raechan bukan lah sebuah modus atau sejenisnya.

“Jangan, nanti dia jadi ngincer lo. Anak itu lebih bahaya dari yang lo pikir.”

“Itu lebih baik dari pada dia gangguin Kak Kayana terus. Biar aja dia jadi ganggu saya.” ucap Raechan lagi dengan penuh keyakinan.

Dan diam-diam, Kayana merasa terbujuk.